Loading...
Logo TinLit
Read Story - Penerang Dalam Duka
MENU
About Us  

Hari ini hujannya begitu deras dan terlihat tidak akan berhenti secepatnya. Matahari saja tidak terlihat, yang ada hanya awan gelap seolah akan kembali malam. 

 

Suara notifikasi pesan terdengar selama beberapa kali, Mina yang lekas memeriksa ponselnya dan mencari tahu siapa yang barusan mengirimi pesan. 

 

Ada dua orang yang mengirimkan pesan. Salah satunya adalah ketua kelas. 

 

[Masih waras? Kalau nggak masuk sekolah, jangan banyak alasan kalau tinggal kelas.]

 

Seperti biasa isi pesannya membuat orang sakit hati. Namun Mina tidak begitu tersinggung karena kenyataannya memang seperti itu. Ketua kelas tidak hanya sekadar mengirimkan pesan saja melainkan juga mengirim beberapa file yang berhubungan dengan berbagai materi setiap pelajaran. 

 

“Oh, perhatian juga.” 

 

Setelah itu ada pesan lainnya berasal dari seorang teman yang akhir-akhir ini sedang akrab dengannya. Dia adalah Hendrik. Pria setengah dewasa yang sedang menjalani kuliah sambil bekerja. 

 

“Bukannya pagi ini dia sedang kerja?” 

 

Tidak terbaca pesan dari notifikasi yang mengambang, mengunggah rasa penasaran Mina yang ingin segera membukanya namun hal itu tertunda saat mendengar teriakan Lia dari arah kamar mandi. Mina yang khawatir bila terjadi sesuatu, lekas pergi menghampiri.

 

“Lia, kamu kenapa?” tanya Mina yang panik saat melihat Lia terduduk di lantai kamar mandi. 

 

Dengan tangan gemetar, Lia menunjuk ke arah jendela. Dia melihat sesuatu namun Mina justru tidak melihat apa pun. 

 

“Aku sama sekali nggak lihat apa-apa dari sini.”

 

Kemudian mencoba melangkah masuk ke dalam, melihat dekat tentang apa yang sebenarnya Lia takuti. Saat sadar ada sosok siluet hitam yang tadinya tidak ada di sana, Mina mendadak jadi bingung lantas kembali melangkah mundur guna memastikan sesuatu. 

 

“Bayangan hitamnya hilang ketika aku mundur ke belakang, tapi jika masuk dan diperhatikan lebih dekat maka bayangan hitamnya muncul.” 

 

Karena kaca jendela di atas sana dibuat buram dari luar dan dalam sehingga tak terlihat dengan jelas. Mina jadi teringat dengan kejadian lama dan pernah ketakutan sama seperti Lia saat ini. 

 

“Dulu aku nggak pernah memperhatikan ada keanehan mungkin karena waktu kecil, jendela itu terlalu tinggi jadi aku nggak bisa lihat.” 

 

Mina menepuk pundak Lia secara perlahan lalu membantunya untuk beranjak dari lantai yang licin itu. 

 

“Jangan berdiri atau duduk di dekat bak mandi kalau nggak mau lihat hal menyeramkan itu,” ujar Mina memberi saran.

 

Mereka berdua melangkah ke belakang dekat pintu dan kembali memperhatikan ke arah jendela, sosok hitam yang dilihat Lia pun menghilang. 

 

“Kenapa bisa begitu?” Karena penasaran, Lia kembali memastikannya dengan berjalan selangkah maju mundur selama beberapa kali. 

 

“Mungkin karena langit gelap. Lampu yang terus nyala di kamar mandi ini malah tanpa sengaja membuat bayangan lewat kaca jendela.”

 

“Kalau dipikir-pikir itu benar. Kaca jendela kamar mandi kamu,” ucap Lia sambil menunjuk ke arah jendela itu lagi. “Kacanya terbuat dari kaca keramik atau jangan-jangan cermin?” pikirnya. 

 

Mina menggelengkan kepala lantas menjawab, “Aku juga nggak tahu sebenarnya itu jendela macam apa, tapi yang jelas itu karena bayangan lampu.” 

 

Mina mencoba untuk membuktikannya lagi dengan mematikan lampu kamar mandi lalu pergi mengambil senter dan menyorot bagian jendela itu, hasilnya pun tidak ada sosok atau siluet hitam di sana. 

 

“Fenomena aneh yang bikin orang merinding,” gumam Lia. 

 

Kini Mina pun jadi mengetahui alasan mengapa saat itu dia melihat siluet hitam yang sekilas mirip dengan kepala manusia. Ditambah lagi pada saat itu terjadi, pikiran Mina sedang kacau, wajar saja karena mengira ada orang yang mengintip.

 

“Aku bersyukur itu bukan orang sungguhan,” ucap Mina.

“Mina, kamu juga pernah ngira begitu sebelumnya?”

“Iya. Mungkin sehari setelah hari berduka.” 

 

Saat Mina mengatakan hal itu, raut wajahnya menjadi sedih. Lia jadi merasa tidak enak karena tanpa sengaja membuat kenangan buruk Mina kembali diingatnya. 

 

[Aku ingin mampir sebentar ke rumahmu nanti. Apa boleh?]  

 

Setelah lebih dari seminggu Mina berhubungan dekat dengan Hendrik. Usia mereka terpaut cukup jauh tapi mereka memiliki selera yang sama sehingga percakapannya sangat lancar. 

 

Mendiang ibu Mina pernah memberinya sebuah nasihat yang berkaitan dengan seorang lawan jenis. 

 

“Tidak ada yang namanya pertemanan di antara perempuan dan laki-laki,” ucap Mina yang mengulang kembali kalimat ibunya. 

 

Laki-laki dan perempuan yang berteman tidak akan bertahan selamanya sebab jika mereka lebih lama berinteraksi maka akan ada sebuah perasaan yang muncul di tengah-tengah hubungan mereka. Hubungan itu tidak lain dan tidak bukan adalah cinta. 

 

Mereka mungkin satu selera, satu frekuensi, satu pemikiran dan hobi namun bukan berarti Mina akan berlapang dada dan menyambut segala hal yang akan dilakukan oleh pria itu padanya. 

 

Sudah cukup lama Mina memandangi sebuah pesan singkat dari Hendrik. Dia sedang mempertimbangkan baik buruknya sosok teman satu itu, ragu apakah dia akan menerimanya sebagai tamu rumah atau tidak. 

 

“Aku nggak pernah cerita soal rumah. Aku juga nggak berniat menerima dia sebagai tamu di sini. Lagi pula dia laki-laki, apa dia punya niat lain?” 

 

Pemikiran berlebihan yang negatif kembali menyerangnya. Mina jadi bimbang meskipun sudah mengatakan tidak akan menerima Hendrik di rumah ini tapi berbeda di lain hati yang ingin pria itu datang. 

 

“Siapa yang kirim pesan?” tanya Lia.

“Temanku.”

“Perempuan?” 

“Bukan.” 

 

Mulut Lia menganga lebar, tak percaya dengan yang barusan Mina katakan. Seseorang mengirimi Mina pesan dan dia bukanlah seorang perempuan. 

 

“Pacar?” Lia menebak asal.

“Mana mungkin!” sangkal Mina dengan marah. 

 

Seketika Lia membisu di tempat. Tidak berani mengatakan sepatah kata pun begitu melihat Mina marah padanya. 

 

Setelah mempertimbangkan cukup lama, Mina memutuskan untuk menolaknya. Lagi pula hujan masih sangat deras. Kemudian Mina mengirimkan pesan, “Jika ingin bertemu di kafe saja. Tunggu hujan reda.”

 

Meskipun Mina mengirimkan pesan seperti itu tetapi dia tidak sedikit pun berniat menemuinya namun takdir berkata lain. Seolah langit menjawab harapan Hendrik, hujan begitu cepat reda. Menagih janji yang ditetapkan, pesan masuk dari Hendrik membuatnya pergi meninggalkan rumah. 

 

“Mau ke mana? Tugasnya belum selesai.”

“Aku pergi sebentar. Tolong jaga rumahku ya, Lia.” 

 

Hati tak selaras dengan ucapan. Langkahnya semakin cepat menuju ke seberang jalan luar perumahan.

 

“Bukannya tadi aku nggak mau ketemu dia? Tapi kenapa aku tetap pergi bahkan berlari?” 

 

Dirinya sendiri pun selalu bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya Mina rasakan saat ini. Jauh berbeda dari hanya sekadar bertemu seorang teman. 

 

“Jangan bilang aku ...mana mungkin.” 

 

Sosok Hendrik dengan penampilan yang sedikit rapi terlihat dari luar sedang duduk di kursi paling depan dengan menghadap jendela. Sebelum masuk, Mina berdiri sejenak sembari mencuri-curi pandang orang itu lantas tersenyum.

 

Wajah yang dulu terlihat biasa kini terlihat lebih tampan. Tak pernah sekalipun memperhatikan postur tubuhnya dengan benar, kulit putih bahkan cara dia melakukan sesuatu yang remeh seperti mengangkat gelas atau semacamnya namun kini Mina melihatnya semua dengan detail seolah akan menilai hal itu. 

 

Hitam rambut terlihat lebih berkilau meski terhalang kaca. Bagian dalam kafe yang sepi tidsk Mina perhatikan apalagi cuman karyawan. Pandangannya hanya tertuju pada sosok Hendrik yang tengah menunggu di dalam sana. 

 

Sesekali pria itu menyeruput kopi hangat miliknya sambil bermain ponsel dan mencoba mengetik sesuatu yang ternyata adalah sebuah pesan. Pesan itu dikirim untuk Mina.

 

[Lama juga. Aku jadi bosen nunggunya.] 

 

Mina segera membalas pesan itu, “Iya maaf. Aku udah di depan.” 

 

Hendrik tersentak kaget saat pandangan mereka saling bertemu. Keduanya menjadi canggung sesaat, terlihat ada sedikit keraguan pada Mina yang merasa enggan masuk ke dalam. 

 

“Seharusnya aku sudah terbiasa melakukan pertemuan ini. Tapi kenapa sekarang aku ragu?” 

 

Di lubuk hatinya yang terdalam terdapat keraguan yang begitu besar. Seperti jurang besar, dalam dan luasnya membuat dasar jurang sama sekali tidak nampak namun ada suara yang seolah meminta untuk ditarik keluar dari sana. Ini menggambarkan perasaan Mina yang sedikit berubah setelah kembali berjumpa dengan Hendrik. 

 

“Kemarin sudah bertemu juga biasa saja. Lalu apa yang bikin perasaanku resah?” 

 

Kini dia tidak peduli lagi dengan semuanya, Mina lekas masuk ke dalam kafe lalu duduk berhadapan di satu meja yang sama dengan pria itu. 

 

Hendrik hanya sekadar menatap Mina yang sengaja mengalihkan pandangan ke arah luar. Tanpa bicara sepatah kata pun dan tanpa kontak fisik secara langsung.

 

Selang beberapa waktu, barulah pandangan mereka kembali bertemu. Hanya sekadar saling menatap, membuat suasana di sekitar terasa hangat. Di tengah suasana hening, menambah kesan romantis yang elitis. 

 

“Kamu ...kenapa lihat aku melulu?” tanya Mina. 

“Maaf, aku cuman agak salah tingkah hari ini,” Hendrik menjawab secara frontal lalu kembali menyeruput kopinya dengan santai.

 

Kecanggungan ini tidak pernah berakhir, bahkan obrolan di antara mereka semakin sedikit tidak seperti sebelumnya. 

 

“Oh ya, kalau mau pesan sesuatu maka pesan saja. Biar aku yang bayar.”

“Terima kasih.” 

 

Menit demi menit telah berlalu begitu cepat, jam dinding dalam kafe telah menunjukkan angka 9 dan tidak ada kemajuan sedikit pun di antara mereka. 

 

“Apa nggak masalah kamu pergi ke kafe bareng aku?”

“Bukan masalah. Memangnya ada apa?”

“Lalu teman kakak yang rambut pirang dan berkacamata?” tanya Mina penasaran.

 

Hendrik yang sejak tadi memperhatikan ponsel kini akhirnya menanggapi pertanyaan Mina dengan serius. 

 

Dia meletakkan ponsel itu, lalu menatap Mina sambil menyunggingkan senyum kecil yang terlihat tulus.

 

“Teman-temanku sudah mengerti kalau akhir-akhir ini aku sendiri sedang disibukkan oleh hal lain.”

 

“Aku tahu itu karena pekerjaan dan juga matkul yang harus kamu hadiri di kelas.”

 

“Bukan itu.” Hendrik menggelengkan kepala. “Ini karena aku sibuk kencan dengan seorang gadis yang jauh lebih muda dariku,” tuturnya. 

 

Hendrik menghitung sesuatu dengan jarinya lalu kembali berkata, “Gadis yang usianya 5 tahun lebih muda dariku.” Wajahnya serius saat mengatakan hal ini, dia menatap Mina seolah menunggu suatu harapan. 

 

Mina tentu sadar apa maksud ucapan Hendrik. Dia pun tersenyum biasa, meski tampak bahagia namun sejujurnya dia sedang menahan rasa bahagia itu dalam-dalam. 

 

"Nggak akan akan kubiarkan terhanyut dalam perasaan ini." Mina membatin.

 

Sosok Mina yang sekarang berbeda dengan Mina yang dulu. Dia menahan perasaan yang tak seharusnya ada ini hanya demi melanjutkan rencananya yang paling penting sampai akhir. 

 

Hendrik menunggu dengan penuh harapan, raut wajah bahagia sekaligus canggung terlihat jelas sekarang. Dia hendak meraih kedua tangan Mina namun sebelum itu terjadi Mina langsung menarik kedua tangannya. 

 

Kemudian berkata, “Maaf kak. Selama ini aku hanya menganggap kakak sebagai teman saja.”

 

Tak terlihat kekecewaan dari wajahnya, justru tetap tersenyum seolah-olah pengakuannya barusan tidak nyata. Hendrik tampak telah menduganya kalau dia akan ditolak oleh gadis yang dia sukai. 

 

“Oh aku paham. Kamu pasti udah punya pacar ya. Aku telat,” pikir Hendrik. 

“Bukan. Aku sama sekali nggak punya pacar. Aku masih sendiri selama ini.”

“Lalu kenapa menolak? Apa aku bukan selera kamu?”

“Ini ...sulit.” 

 

Mendengar jawaban Mina yang ambigu membuat Hendrik kecewa. Keningnya berkerut, tatapan sedih yang terlihat hampir menangis itu masih menatap Mina dengan penuh harapan.

 

“Sebenarnya aku ...ada urusan yang harus dilakukan.” 

 

Mina sedikit tidak mampu dalam menyembunyikan perasaan yang pertama kali dirasakan olehnya saat ini. Cinta yang tak berbentuk dan tidak bisa disentuh ini sungguh membuat Mina kerepotan. 

 

“Karena sepertinya urusan kita sudah selesai, aku pamit pergi.” 

 

Alih-alih mengatakan urusan mereka selesai, Mina sebenarnya hanya ingin melarikan diri dari perasaannya sendiri. Mina tidak ingin terlibat jauh dengan Hendrik sehingga memilih untuk menjauh. Dia berlari pergi, keluar dari kafe, meninggalkan Hendrik di sana. 

 

Jawaban penolakan yang sudah pasti dari Mina sendiri tentu tak membuat Hendrik berharap lagi. Dia tahu betul bahwa usia di antara mereka terpaut jauh, terlebih Mina masih bersekolah.

 

“Kita berdua juga sama-sama sedang belajar, apa benar kamu menolak karena usia kita yang jauh berbeda?” pikir Hendrik. 

 

Lelaki yang pantang mundur itu pun lekas pergi tuk menemui gadis itu sekali lagi. Dia merasa tidak puas setelah semua ini namun Mina hanya sekadar menjawab asal seperti sedang menyembunyikan sesuatu hal lain. 

 

Hendrik menyusul, berteriak memanggil nama gadis itu sambil mengulurkan tangan dan memintanya untuk menunggu. Tidak peduli apakah gadis itu mendengarnya atau tidak, Hendrik tetap berteriak memanggil namanya berulang kali tanpa henti. 

 

Sampai akhirnya gadis itu berhenti berlari lalu menengok ke belakang dengan ekspresi sedih. Setitik air mata menetes dan membasahi pipi, perihal apa yang telah membuat gadis itu bersedih hati masih menjadi misteri. 

 

Langkah lelaki berkemeja hitam itu semakin cepat menghampiri. Dan hujan pun turun secara mendadak, membuat tubuh mereka berdua basah kuyup di persimpangan jalan. 

 

Teringat jalan persimpangan ini, di mana mereka pernah saling bercanda tawa. Namun sekarang berbeda karena sebuah kesedihan terpancar di wajah kedua orang itu. 

 

“Kamu benar-benar menolak perasaanku?” tanya Hendrik memastikannya sekali lagi. Keningnya berkerut, tatapannya yang lemah lembut telah menyentuh hati Mina yang sekeras batu. 

 

“Maaf,” ucap Mina sepatah kata. 

 

Di tengah hujan deras ini, cuaca dingin mulai menggerogoti tubuhnya hingga menggigil. Mina mulai terbatuk-batuk dan wajahnya terlihat pucat pasi. Dari kejauhan Lia yang pergi keluar demi mencarinya kini melihat sosok Mina yang kesakitan, dia pun lekas menghampiri dan menangkap tubuhnya yang nyaris jatuh ke jalan.

 

“Mina, bertahan sebentar. Kita akan pulang,” kata Lia yang begitu mengkhawatirkan sahabatnya.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Hello, Me (30)
20183      1095     6     
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...
Imperfect Rotation
182      160     0     
Inspirational
Entah berapa kali Sheina merasa bahwa pilihannya menggeluti bidang fisika itu salah, dia selalu mencapai titik lelahnya. Padahal kata orang, saat kamu melakukan sesuatu yang kamu sukai, kamu enggak akan pernah merasa lelah akan hal itu. Tapi Sheina tidak, dia bilang 'aku suka fisika' hanya berkali-kali dia sering merasa lelah saat mengerjakan apapun yang berhubungan dengan hal itu. Berkali-ka...
Metanoia
53      45     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiri—dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...
Jalan Menuju Braga
469      360     4     
Romance
Berly rasa, kehidupannya baik-baik saja saat itu. Tentunya itu sebelum ia harus merasakan pahitnya kehilangan dan membuat hidupnya berubah. Hal-hal yang selalu ia dapatkan, tak bisa lagi ia genggam. Hal-hal yang sejalan dengannya, bahkan menyakitinya tanpa ragu. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya, membuat Berly menutup mata akan perasaannya, termasuk pada Jhagad Braga Utama--Kakak kelasnya...
A Sky Between Us
47      42     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...
JUST RIGHT
115      98     0     
Romance
"Eh, itu mamah bapak ada di rumah, ada gue di sini, Rano juga nggak kemana-mana. Coba lo... jelasin ke gue satu alasan aja, kenapa lo nggak pernah mau cerita ke seenggaknya salah satu dari kita? Nggak, nggak, bukan tentang mbak di KRL yang nyanggul rambutnya pakai sumpit, atau anak kecil yang lututnya diplester gambar Labubu... tapi cerita tentang lo." Raden bilang gue itu kayak kupu-kupu, p...
My First love Is Dad Dead
55      52     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
Konfigurasi Hati
557      380     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
131      108     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
Perjalanan yang Takkan Usai
396      319     1     
Romance
Untuk pertama kalinya Laila pergi mengikuti study tour. Di momen-momen yang menyenangkan itu, Laila sempat bertemu dengan teman masa kecil sekaligus orang yang ia sukai. Perasaan campur aduk tentulah ia rasakan saat menyemai cinta di tengah study tour. Apalagi ini adalah pengalaman pertama ia jatuh cinta pada seseorang. Akankah Laila dapat menyemai cinta dengan baik sembari mencari jati diri ...