Loading...
Logo TinLit
Read Story - Penerang Dalam Duka
MENU
About Us  

Derasnya hujan membuatnya teringat akan kenangan buruk pada hari itu. Suara hantaman dari mobil yang ringsek, kepulan asap yang muncul lalu ledakan yang kemudian terjadi telah menghancurkan segalanya. 

 

Sekarang hanya tersisa kenangannya, menyisakan luka batin yang begitu dalam sampai tak mampu disembuhkan rasanya. 

 

Mina yang saat itu nyaris pingsan, merasa sangat lemah tak berdaya. Kedua matanya bahkan tak sanggup menatap hal lain, pandangan Mina buram. Mina kesulitan melihat dan hampir menangis di sana. 

 

Lia yang memapah dirinya mencoba untuk menyadarkan Mina kembali. Namun tak ada respon sedikit pun sehingga membuat Lia ketakutan. 

 

“Biar aku yang membawanya,” ucap Hendrik. 

“Tidak perlu.” Lia menatap sengit ke arahnya, terlihat sangat jelas bahwa Lia sama sekali tidak bisa mempercayainya. 

 

Derasnya hujan tak membuat Lia berputus asa. Gadis itu membantu sahabatnya secara totalitas. Pantang menyerah sebelum sampai ke rumah, meskipun hujan mengguyur dan rasa lelah maupun rasa kantuk menyerang pun tak membuat dia menyerah di tengah jalan. 

 

“Mina, kamu harus sabar sedikit. Jangan tumbang dulu, aku akan bawa kamu ke rumah. Jadi bertahanlah,” ucap Lia. 

 

Kedua kaki Mina terasa begitu berat. Sekujur tubuhnya menggigil kedinginan namun dia berusaha untuk tetap sadarkan diri semampunya guna tidak merepotkan Lia yang membantunya. 

 

Mina menjadi begitu lemah bukan hanya karena fisiknya yang saja melainkan karena mentalitas yang terganggu itu telah menghancurkannya dari dalam.

 

Berbagai kenangan buruk terus bergulir dalam ingatannya. Seperti potongan film yang kemudian dijadikan satu lalu diputar ulang selama seharian penuh. Rasa mual datang dari bagian dalam perutnya, Mina merasa ingin muntah.

 

Mereka berhenti saat akan memasuki area perumahan, Mina menutup mulut dan hendak mengeluarkan sesuatu dari dalam tubuhnya namun tidak bisa. Lia dengan sabar menunggu sambil mengelus bagian punggung hingga Mina akhirnya dapat memuntahkan sesuatu yang mengganjal bagian perutnya sejak tadi itu.

 

“Bagaimana? Udah enakan?”

 

Mina menganggukkan kepala sambil tersenyum. Wajah Mina semakin pucat, Lia pun lekas mengajaknya pulang secepat mungkin demi menghindari sesuatu hal yang tidak diinginkan. 

 

Begitu sampai di rumah, Lia membantunya mengeringkan rambut Mina dengan handuk. 

 

“Sebentar lagi aku mau minta tolong ke ibu agar bisa mengurusmu juga,” ucap Lia. 

 

Setelah berganti pakaian, Mina berbaring di kamarnya. Sementara Lia menyajikan teh hangat, minyak angin dan sedikit cemilan untuk Mina. Dia benar-benar terlihat seperti seorang ibu yang khawatir pada anaknya. 

 

***

 

Lia duduk di tepian ranjang, menatap ke arah sahabatnya dengan perasaan sedikit bersalah. Mina berbaring dengan mata terpejam tapi sebenarnya dia tidak sedang tertidur sama sekali. 

 

“Kamu udah ganti baju?”

“Mina, tolong khawatirkan dirimu. Aku sudah mengurus diriku sendiri. Nggak perlu cemas.”

 

Mina menganggukkan kepala, terlihat sudut bibirnya terangkat lalu membuka mata dan melihat sosok Lia yang muram di sampingnya.

 

“Kenapa lagi kamu?” Mina bertanya. 

“Aku hanya berharap kamu cepat sembuh.”

 

Hari ini Lia terlihat sedikit aneh. Lebih tepatnya semenjak menjemput Mina dari persimpangan jalan dan bertemu dengan sosok laki-laki yang adalah Hendrik. 

 

“Orang itu pacarmu?” Lia pun bertanya dengan blak-blakan.

 

Mina menggelengkan kepala lalu menjawab, “Bukan. Aku dan dia nggak punya hubungan khusus semacam itu. Kami hanya berteman.” 

 

Lia sedikit tersenyum sembari menatap sahabatnya yang kini terbaring lemas di atas ranjang tidur. Ada perubahan ekspresi yang begitu jelas menandakan Lia memang sangat mengkhawatirkan sesuatu tentang pria itu. 

 

Dalam bayangan Lia, pria itu sekilas menakutkan. Lia sendiri tidak bisa menjelaskannya selain perasaan takut yang tidak bisa dijelaskan. 

 

“Mina, apa pria itu benar bukan pacar kamu?” tanya Lia kembali memastikan. 

 

Mina tidak merespon, tampaknya dia sudah terlelap. Lia menghela napas sejenak lantas beranjak dari sana. Namun begitu dia beranjak, Mina menggenggam tangannya. 

 

“Mina, ternyata kamu belum tidur.”

“Maaf nggak jawab pertanyaan kamu sebelumnya.” 

 

Setelah merasa tubuhnya membaik, Mina mengubah posisinya yang dari terbaring kini duduk dengan selimut yang tetap di atas tubuhnya. Lia menyuruhnya untuk kembali berbaring saja tapi Mina menolak. 

 

“Aku sendiri bingung mengatakannya. Bagaimana ya? Dia pria yang cukup baik, aku merasa sulit menolaknya.” 

 

Dikejutkan dengan pernyataan Mina, gadis yang masih saja berwajah muram itu sekarang merasa lega meski hanya sesaat saja. Dia bersyukur karena Mina mau mengakui perasaan dengan jujur. 

 

Mina tersenyum sambil menyodorkan teh yang masih hangat dari atas meja kecil. Berharap Mina meminumnya terlebih dahulu sebelum akan bicara panjang lebar. Dengan tanpa merasa sungkan dia menghabiskan teh itu hingga tidak ada setetes pun tersisa. 

 

“Makasih. Teh buatanmu enak juga.”

“Itu cuman teh celup. Semua orang bisa membuatnya.”

 

Mina sedikit tertawa mendengarnya, setelah dipikir-pikir benar juga kalau teh celup memang mudah dibuat. 

 

“Jadi ceritakan saja apa yang kamu mau, Mina.” Ekspresi Lia menjadi cerah seperti sebelumnya. Mina merasa senang karena akhirnya melihat ekspresi itu. 

 

"Aku nggak tahu apa yang dia pikirkan tentang Hendrik. Tapi aku berharap dia tidak terlibat dengannya," batin Mina. 

 

“Aku sendiri bingung menjelaskan. Selama ini aku bahkan nggak sadar kalau perasaan ini muncul.” Mina meletakkan cangkir kosong kembali ke atas meja. 

 

“Biasanya saat aku bertemu dia itu biasa saja. Aku menganggapnya teman karena percakapannya denganku nyambung. Makanya aku jadi terbiasa bertemu dengan dia,” tuturnya.

 

“Percakapan kalian nyambung? Hubungan kalian hanya sekedar teman? Aku nggak percaya kamu bisa bertahan dari itu,” timpal Lia. 

 

“Maksudmu?” tanya Mina tidak mengerti.

 

“Pertemanan di antara lelaki dan perempuan itu lebih terlihat seperti hal tabu. Makanya aku cukup tahu kalau dia punya rasa ke kamu,” jelas Lia. 

 

“Kamu tahu?” Mina tersentak kaget, mulutnya menganga lebar saking tak percaya karena ternyata Lia sudah sadar bahkan sebelum dijelaskan. 

 

“Padahal kamu juga punya banyak teman laki-laki di sekolah,” sahut Mina. 

 

“Itu berbeda. Seenggaknya aku tetap menjaga jarak dan nggak terlalu sering ngobrol dengan mereka,” timpal Lia.

 

Pada awalnya Lia yang melihat mereka berdua di persimpangan jalan mengira ada pertengkaran hebat di antara mereka tetapi setelah mendekat dia pun sadar kalau situasinya tidak semudah yang dibicarakan. 

 

Kecemasan Hendrik terlihat jelas di kedua matanya yang berkaca-kaca. Dia seperti ingin menangis dan meraih Mina namun dia sadar dia tidak bisa melakukannya begitu saja. 

 

Lia menceritakan tentang ekspresi apa yang ditunjukkan oleh pria bernama Hendrik itu, tetapi setelah itu Lia menunjukkan kembali ekspresi murungnya seakan ada sesuatu yang membuat dia takut. 

 

“Kenapa?” Mina bertanya dengan perasaan cemas karena mengira Lia juga sedang sakit tapi ternyata tidak. 

 

“Ada hal yang bikin aku takut karena dia,” tutur Lia dengan kepala tertunduk dan tanpa menatap Mina. 

 

“Iya, takut kenapa?”

 

Lia menggelengkan kepala lantas menjawab, “Pokoknya dia terlihat seperti bukan orang yang baik.”

 

“Katakan saja apa yang sebenarnya kamu lihat dari dia, Lia?” Mina mendesaknya agar Lia mau menjawab. Awalnya Lia menolak namun karena Mina begitu gigih, mau tak mau pun Lia harus mengungkapnya. 

 

Lia berpikir mungkin dengan begini Mina akan menjauh dari pria itu. 

 

Ekspresi Hendrik yang pada awalnya memang terlihat seperti akan menangis tetapi tidak lagi setelahnya. Bayangan dari postur tubuh yang tinggi menutupi mereka yang duduk di jalanan. Sudut mata berkedut selama beberapa saat dan kedua alis Hendrik yang terangkat seolah menantang sekaligus merasa kesal. 

 

Tangan yang besar hendak meraih sosok Mina ditepis oleh Lia yang merasa bahwa itu akan sangat berbahaya justru membuat ekspresi marah Hendrik jadi terbaca dengan sangat jelas. 

 

“Kamu yakin lihat itu?”

“Aku yakin 100℅!” seru Lia. Dia mengatakan itu dengan yakin dan merasa bahwa Hendrik bukanlah pria biasa. 

 

Kerutan di kening Lia menambah rasa yakin pada diri Mina untuk mempercayai omongannya barusan. Meski terdengar tidak masuk akal tetapi pada saat itu pandangan Mina buram sehingga tidak dapat melihat wajah seorang pria yang pernah mengakui perasaan padanya.

 

“Baiklah, aku yakin.”

 

Ponsel Lia berdering, ibunya menghubungi. Dia pun segera pergi dari kamar untuk mengangkat panggilan tersebut. Dan tak lama kemudian ponsel Mina ikut bergetar, ada pesan dari Hendrik. 

 

[Maaf aku nggak bisa bantu kamu tadi karena teman kamu terlalu galak. Dia takut aku mencuri kesempatan dalam kesempitan.] 

 

Mina tertawa ketika membaca pesan itu. Tidak disangka setelah mendengar cerita dari Lia, pria ini justru membuatnya tertawa. 

 

Sulit percaya dengan siapa, antara teman lama atau sosok pria yang dia sukai. 

 

Kini Lia mengetahui perasaan antara Hendrik dengannya dan tentunya Lia meminta Mina agar tidak mendekati pria itu lagi. 

 

“Cinta memang buta. Persis seperti ayah dan ibu yang melampaui langit dan bumi.” 

 

“Kamu bilang apa barusan?” sahut Lia yang tanpa sengaja mendengar ucapan Mina barusan. 

 

Mina mengulum senyum, ekspresi lembut dan tenang itu sekilas terlihat menyeramkan. Lia berdiri di ambang pintu kamar, posisinya tak berpindah dari sana setelah selesai bercakap-cakap dengan ibunya. 

 

“Jangan tunjukkan wajah itu.”

“Loh, kenapa?” Dengan bingung Mina bertanya. 

 

Lantas dia menyingkirkan selimut dan berniat meninggalkan ranjang tidurnya. Lia yang kaget pun bergegas menghampiri.

 

“Jangan berdiri dulu. Kamu masih sakit, ayo berbaring.” 

 

“Aku hanya pusing sedikit, bukan sekarat.” 

 

“Tapi kamu juga demam,” sahut Lia menegaskan suaranya seraya menyentuh dahi Mina yang masih panas. 

 

Pengaruh cuaca buruk di bulan ini, dingin yang tidak tertahankan, dan lagi Mina sempat hujan-hujanan di luar sehingga membuatnya jatuh sakit. 

 

"Padahal aku dan dia juga sama-sama kehujanan. Kenapa cuman aku yang sakit?" Mina bertanya-tanya dalam batin dengan heran. 

 

Terakhir kali Lia yang sakit hanya membutuhkan waktu sehari untuk sembuh. Sedangkan Mina berbeda, sudah hampir 3 hari dia tidak kunjung membaik justru semakin memburuk. Bahkan Mina masih sempat-sempatnya bertukar pesan dengan Hendrik.

 

Pekerjaan rumah dan sekolah menumpuk bagai bukit bertingkat-tingkat. Demam membuatnya terus menggigil sepanjang waktu di balik selimut, panas dan dingin kerap kali dia rasakan, namun terkadang sekujur tubuhnya tidak dapat dia rasakan seolah menghilang. 

 

Ibu Lia menawarkan agar membawanya ke rumah sakit, tetapi Mina dengan tegas menolak dan berkata akan baik-baik saja selama tidur di rumah selama beberapa hari ke depan. 

 

Baik Lia maupun Ibunya, kedua orang ini tetap berniat akan membawa Mina ke rumah sakit. Keduanya saling melirik satu sama lain dengan satu pemikiran yang sama.

 

"Kita angkut ke rumah sakit kalau dia sudah tidur," batin Ibu Lia. Lalu Lia menganggukkan kepala dengan wajah serius. 

 

Bulan baru, musim hujan telah berakhir. Musim panas telah datang. Pada tanggal 3 Januari, di rumah sakit umum. Mina membuka kedua mata dan hal yang pertama kali dilihatnya adalah langit-langit berwarna putih.

 

Dan apa yang dipikirkannya saat pertama kali bangun adalah, “Albert Ginnia dan Aldi, ke mana aku harus pergi menemukannya?” Nampaknya sulit bagi Mina tuk melupakan hal ini. Rencananya akan segera dimulai jika dia tahu di mana tempat tinggalnya, namun sayang dia kehilangan jejak. 

 

“Bahkan kak Hendrik nggak pernah membicarakan tentang mereka. Sebenarnya mereka berteman atau tidak sih?”  

 

Hari sudah siang, cuaca panas mungkin tidak menembus ruangan ini. Namun begitu tirai dan jendela di kamar inap tempatnya dibuka, baru cahaya menyorot masuk ke dalam. 

 

“Hangatnya.” 

 

Semenjak sadar Mina tahu ini tempat apa. Di mana ada banyak orang berpakaian sama yang berjalan-jalan di bagian taman, kadang ada juga yang ditemani suster. Mereka melakukan berbagai aktivitas agar sirkulasi dalam tubuhnya tetap terjaga. 

 

“Rumah sakit lagi. Sejak kapan aku di sini? Apa Lia dan ibunya yang membawaku ke sini?” 

 

Pertanyaan itu langsung dijawab dengan kedatangan mereka bersama seorang suster. 

 

“Hari ini pemeriksaan rutin, mohon kerja samanya.” Suster tersenyum ke arah Mina. Sedangkan Mina berdecak kesal.  

 

Lagi pula sudah terlanjur dirawat inap, ternyata ini penyebab pulihnya kondisi Mina yang cepat. Tadinya Mina berpikir ini mungkin karena tidurnya yang lelap, namun ternyata salah. 

 

“Kondisinya sudah membaik setelah semalaman.” 

 

Suster itu segera pergi dan tak lama dia datang membawa seorang dokter yang akhirnya mengijinkan Mina pulang karena dinilai kondisinya sudah benar-benar pulih. 

 

“Syukurlah!” seru Lia merasa senang dan sangat bersemangat sekali. 

 

Mina tertawa hambar lantas berkata, “Baguslah aku nggak perlu menghirup bau rumah sakit lagi.” 

 

“Mina jangan terang-terangan begitu. Nanti dokter merasa tersinggung,” ujar Lia yang sejujurnya juga didengar oleh dokter itu.

 

Setelah selesai bersiap-siap akan pulang ke rumah, Ibu Lia menatap Mina lekat-lekat sambil tersenyum. 

 

Mina yang merasa risih, berusaha menghindari kontak mata. Dia tidak ingin ada pertanyaan lain yang harus dijawab karena merasa muak setelah mendengar ocehan Lia sepanjang waktu. 

 

“Keadaanmu sudah benar-benar sehat 'kan?” Mustahil menghindar dari pertanyaan Ibu Lia. 

 

“Ya, saya sudah membaik. Lagi pula tanpa harus ke rumah sakit, seharusnya memang akan membaik. Tapi saya ucapkan terima kasih karena telah menolong,” jawab Mina. 

 

“Bersikaplah seperti gadis biasa. Jangan bersikap sok dewasa,” tuturnya sekaligus menyindir dengan halus. 

 

Mina tersentak kaget lantas tersenyum kecut. Dia mengalihkan pandangan sekali lagi sebelum akhirnya pergi meninggalkan tempat ini.

 

“Ayo pergi. Aku ingin cepat pulang,” kata Mina. 

 

Gadis malang yang selalu terkena musibah. Dunia terlihat memburuk dan gelap saat kehilangan orang-orang yang paling berharga dalam kehidupannya. Namun Mina merasa beruntung karena kehadiran Lia beserta Ibunya yang kerap membantu meski tak seberapa. 

 

Walaupun penerang baginya bukanlah mereka melainkan pembalasan dendam yang harus diperhitungkan. Tidak peduli para penjahat punya alasan sebesar apa sehingga harus mencelakai keluarganya, Mina akan bertindak sesuai hati. 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tanda Tangan Takdir
216      176     1     
Inspirational
Arzul Sakarama, si bungsu dalam keluarga yang menganggap status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai simbol keberhasilan tertinggi, selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Kakak-kakaknya sudah lebih dulu lulus CPNS: yang pertama menjadi dosen negeri, dan yang kedua bekerja di kantor pajak. Arzul, dengan harapan besar, mencoba tes CPNS selama tujuh tahun berturut-turut. Namun, kegagal...
Can You Be My D?
97      87     1     
Fan Fiction
Dania mempunyai misi untuk menemukan pacar sebelum umur 25. Di tengah-tengah kefrustasiannya dengan orang-orang kantor yang toxic, Dania bertemu dengan Darel. Sejak saat itu, kehidupan Dania berubah. Apakah Darel adalah sosok idaman yang Dania cari selama ini? Ataukah Darel hanyalah pelajaran bagi Dania?
Layar Surya
1746      1011     17     
Romance
Lokasi tersembunyi: panggung auditorium SMA Surya Cendekia di saat musim liburan, atau saat jam bimbel palsu. Pemeran: sejumlah remaja yang berkutat dengan ekspektasi, terutama Soya yang gagal memenuhi janji kepada orang tuanya! Gara-gara ini, Soya dipaksa mengabdikan seluruh waktunya untuk belajar. Namun, Teater Layar Surya justru menculiknya untuk menjadi peserta terakhir demi kuota ikut lomb...
Lovebolisme
167      147     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...
No Life, No Love
1277      951     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...
Dalam Waktu Yang Lebih Panjang
420      318     22     
True Story
Bagi Maya hidup sebagai wanita normal sudah bukan lagi bagian dari dirinya Didiagnosa PostTraumatic Stress Disorder akibat pelecehan seksual yang ia alami membuatnya kehilangan jati diri sebagai wanita pada umumnya Namun pertemuannya dengan pasangan suami istri pemilik majalah kesenian membuatnya ingin kembali beraktivitas seperti sedia kala Kehidupannya sebagai penulis pun menjadi taruhan hidupn...
The Boy Between the Pages
1544      929     0     
Romance
Aruna Kanissa, mahasiswi pemalu jurusan pendidikan Bahasa Inggris, tak pernah benar-benar ingin menjadi guru. Mimpinya adalah menulis buku anak-anak. Dunia nyatanya membosankan, kecuali saat ia berada di perpustakaantempat di mana ia pertama kali jatuh cinta, lewat surat-surat rahasia yang ia temukan tersembunyi dalam buku Anne of Green Gables. Tapi sang penulis surat menghilang begitu saja, meni...
Lepas SKS
184      159     0     
Inspirational
Kadang, yang buat kita lelah bukan hidup tapi standar orang lain. Julie, beauty & fashion influencer yang selalu tampil flawless, tiba-tiba viral karena video mabuk yang bahkan dia sendiri tidak ingat pernah terjadi. Dalam hitungan jam, hidupnya ambruk: kontrak kerja putus, pacar menghilang, dan yang paling menyakitkan Skor Kredit Sosial (SKS) miliknya anjlok. Dari apartemen mewah ke flat ...
7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
465      317     0     
Inspirational
Di masa depan ketika umat manusia menjelajah waktu dan ruang, seorang pemuda terbangun di dalam sebuah kapsul ruang-waktu yang terdampar di koordinat 7°49′S 112°0′E, sebuah titik di Bumi yang tampaknya berasal dari Kota Kediri, Indonesia. Tanpa ingatan tentang siapa dirinya, tapi dengan suara dalam sistem kapal bernama "ORIGIN" yang terus membisikkan satu misi: "Temukan alasan kamu dikirim ...
Glitch Mind
47      44     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......