Sejumlah foto pria yang juga tertulis namanya di bagian sudut, itu semua terlihat asing bagi Mina. Tak seorang pun dia mengenalinya bahkan hanya melihat wajah mereka saja tetap asing baginya.
Mina lantas mencari nama mereka dari browser internet dengan menggunakan akun samaran guna menghindari pelacakan dan hasilnya nihil. Dia tidak dapat menemukan apa-apa selain nama yang hampir sama tapi dengan wajah yang berbeda.
Mina berdecak kesal, dia menggigit jarinya dengan menunjukkan raut wajah masam yang terpantul dari layar komputer yang mati.
Susah payah menemukan petunjuk justru berujung buntu. Tidak dapat menemukan apa pun selain menyimpan semua foto orang-orang itu saat ini. Semakin lama dia semakin kesal lantas dia pun pergi keluar bersama kucingnya.
Siang dengan cuaca panasnya. Hal yang jarang terjadi pada akhir tahun ini membuat dia merasa skeptis. Mina menghela napas sesaat sebelum akhirnya pergi meninggalkan rumah dan menuju ke suatu tempat.
Letaknya cukup jauh dari tempat tinggal Mina, dia bahkan harus pergi dari area perumahan hanya untuk menuju ke sebuah kafe dengan membawa tas kecil miliknya.
Kafe dengan gaya kasual dikunjungi oleh beberapa orang dewasa. Mereka semua tidak datang kemari hanya untuk meminum atau melepas penat melainkan juga bekerja di sela-sela waktu dengan laptop mereka. Suasana yang pas agar dapat membaur secara perlahan membuat Mina sedikit bersemangat untuk kembali mencarinya.
Bersamaan dengan seseorang yang keluar dari kafe, Mina masuk ke dalam dengan menunjukkan raut wajah ceria walau hanya sedikit saja.
Terdengar langkah yang berat seakan berat tubuh yang dimiliki oleh orang itu tidak terukur namun juga membuat Mina tertekan dalam sesaat. Seketika Mina terkejut lantas berhenti berjalan, lalu menoleh ke belakang dan hanya melihat punggung seorang pria dewasa yang sedikit membungkuk dan rambut pirangnya.
“Kenapa malah ke sini? Tadi aku udah ngabarin kalau besok bakal datang ke sini, jadi ya besok saja.”
“Ah, terlalu lama. Aku juga terburu-buru dan agak lelah sedikit.”
“Oh, aku tahu kalau kamu itu orangnya terlalu terburu-buru tapi ya sudahlah.”
Berbeda dengan langkah berat yang dimilikinya, suara pria berambut pirang itu justru terdengar sangat lembut dan menenangkan. Sekilas jantungnya berdegup kencang, seolah merasakan jatuh cinta.
"Sekilas aku lihat wajahnya." Mina membatin, lekas dia mengeluarkan ponsel dari tas kecilnya dan melihat semua foto yang tersimpan dalam galeri.
Ada dua orang yang memiliki rambut pirang, salah satunya berpakaian formal layaknya pegawai kantoran sementara lainnya hanya berpakaian biasa dan bertindik.
Hanya untuk memastikan saja, Mina menoleh ke belakang dengan cepat dan terdapat tindik di bagian telinga kirinya yang menandakan dia adalah orang di salah satu foto.
Sungguh kebetulan bisa menemukan salah satu dari mereka di tempat ini bahkan tanpa sengaja menguping pembicaraan mereka dan mendapat sedikit informasi. Entah apa pekerjaan atau siapa dia sebenarnya, Mina merasa kepergiannya tidaklah sia-sia.
Mengingat percakapan mereka, pria itu akan kembali ke sini besok pagi tetapi dia mana mungkin bisa menunggu lagi. Sebab itulah dia memanfaatkan waktunya tuk bergegas membuntuti mereka diam-diam.
Hari itu banyak sekali pejalan kaki, mungkin karena tempat kafe ini menjorok ke dalam jalanan kecil sehingga tidak begitu ramai akan pengendara berlalu-lalang. Mina cukup beruntung karena dapat mengikuti mereka dengan menyamarkan diri sebagai pejalan kaki biasa.
Namun kucing hitam yang dibawanya barusan malah berlari menghampiri pria berambut pirang itu. Entah apa maksudnya tapi Mina menjadi sangat khawatir apabila mereka sadar sedang diikuti.
"Bodoh, kenapa kucing itu malah ke sana?!" jeritnya dalam batin.
Mereka berhenti. Mina pun sama dengan berpura-pura membenahi sandal sepatu yang dipakainya. Dia mencuri pandang sedikit demi sedikit guna memastikan apa yang dilakukan kucing itu pada mereka.
“Kucing ini dari mana asalnya? Kenapa malah menempel padaku begini?” Pria itu geram. Sudah jelas terlihat tidak suka dengan seekor kucing.
“Bung, ini hanya seekor kucing. Tidak perlu marah begitu,” ucap temannya sambil menyingkirkan paksa kucing itu dari kaki pria berambut pirang.
“Aku tidak seperti dirimu yang menyukai banyak hal!”
“Ya sudah, lagi pula sudah aku singkirkan jadi jangan merengek terus, Albert.”
Berkat kucing itu pula Mina mengetahui namanya dengan pasti.
Albert Ginnia, pria yang berusia sekitar 20 tahun ke atas. Itulah yang Mina lihat dari wajah muda dan postur yang terlihat gagah. Dia mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dari Mina tapi sifatnya terkadang kekanak-kanakan. Entah bagaimana pria ini masuk ke daftar sebagai target.
Kucing itu juga tampaknya sangat menikmati digendong. Namun perhatian kucing itu tertuju pada pria rambut pirang bahkan dia berusaha meraihnya seolah ada hal yang ingin dia lakukan.
“Mau sampai kapan dia bermain? Seharusnya kamu cepat kembali, jangan sampai membuatku rugi,” gumam Mina dengan perasaan was-was. Dia tidak bisa meninggalkan kucing itu tapi jika dia tetap berada di tempatnya pasti akan menimbulkan kecurigaan di sekitar.
Kemudian ada satu hal yang terpikirkan bagi Mina, yaitu sengaja berinteraksi dengan mereka dengan menggunakan kucing sebagai alasan. Bukan ide yang buruk bila menggunakan alasan tersebut. Meski begitu Mina merasa harus mempertimbangkan segala hal sebelum melakukan rencananya.
Ada sebuah resiko dalam rencana ini, tidak lain dan tidak bukan karena wajahnya pasti akan diingat oleh orang itu. Dan pada akhirnya dia mengurungkan niatnya.
“Nggak bisa. Aku harus menyembunyikan wajahku dari semua orang yang ada di foto itu termasuk dia.”
Keberaniannya tuk mengambil resiko tidak sebanding dengan harga nyawa. Mina lantas beranjak dari sana sambil menatap mereka yang perlahan menjauh hingga tertutup dengan kerumunan banyak orang.
Menunggu sampai besok atau tetap mencari tahu sekarang. Kedua pilihan ada di tangan Mina sendiri, dari banyaknya pertimbangan tak ada satu pun yang aman tapi memang beginilah resikonya.
“Sudah terlambat berbalik badan sekarang. Aku mana mau menunggu sampai besok karena harus memastikan 7 target lainnya juga.”
Resiko besar dan kecil sekilas tak ada perbedaan. Dia berlari dengan menanggung resiko yang mungkin akan membahayakan nyawanya sendiri, meski begitu dia harus mendapatkan sesuatu sebelum pulang ke rumah dan merencanakan hal lainnya.
Memantapkan hati dan mengasah tekad. Kedua tangan yang mengepal kuat dan kaki yang berlari ke depan dengan penuh keberanian telah menjangkau sosok pria berambut pirang itu lagi.
Mina berhenti berlari saat berada sepuluh langkah dari mereka. Siapa sangka ketika sadar akan keberadaan sang majikan, kucing itu menoleh ke belakang lalu mengeong.
Terkejut akan hal tersebut, Mina berbalik badan secara spontan. Dia menghindari kecurigaan lantaran kedua orang itu juga menoleh ke belakang.
Situasi tak terduga telah terjadi. Bertepatan setelah dia kembali mengejar dan kucing itu malah mengeong sambil melihat ke arah Mina.
“Kenapa malah di saat seperti ini?”
Kedua pria itu, terutama Albert Ginnia tampak mencari-cari keberadaan yang mungkin mengenal si kucing.
“Kau mengikuti kami ya?!” seru Albert secara tiba-tiba.
Mina merasa posisinya sudah ketahuan, tapi dia tidak boleh menyerah begitu saja. Dia pun segera memikirkan alasan yang bagus guna menghindari kecurigaan. Tampaknya memang tidak bisa menghindari untuk tidak berinteraksi dengan mereka, tetapi apa boleh buat karena ini semua telah terjadi.
Mina menenangkan diri sejenak dengan menghirup lalu membuang napas selama beberapa kali, saat dia hendak kembali menghadap ke depan, seseorang menabrak pundaknya lalu pergi menghampiri mereka.
“Ternyata kalian sadar aku ikuti ya,” ucap pria lainnya yang menggunakan kacamata minus.
Mina bertanya-tanya dalam benaknya, "Keajaiban macam apa ini? Kukira aku yang mereka tegur tapi temannya dan kebetulan dia juga salah satu orang di foto yang aku simpan."
Bagai harta turun dari langit. Tumpukan koin emas seolah mengalir seperti air sungai. Keajaiban telah terjadi padanya sebab bukan dia lah yang ketahuan melainkan teman mereka. Lalu keajaiban kembali terjadi karena teman mereka pun masuk ke dalam daftar target.
“Apa semua orang di foto bertempat tinggal di sekitar sini?” Saking kebetulannya dia tidak percaya bahwa ini semua benar terjadi. Mina bahkan khawatir bila ini jebakan tapi tidak ada gunanya berspekulasi buruk kala dia belum mendapatkan sesuatu yang jelas untuk saat ini.
“Baiklah jika mereka ingin menantangku.” Mina mendengus. “Bukan, bukan. Aku rasa memang kebetulan belaka. Tapi yang terpenting selama aku nggak ketahuan maka bagus,” tuturnya.
Terlalu banyak orang untuk diikuti, dia merasa waktu hari ini tidaklah cukup. Berhubung kucingnya masih di sana, Mina berpikir alangkah baiknya begitu dan dia akan mengambilnya kembali saat dibutuhkan.
Dengan tenang Mina mengambil langkah terbalik. Dia menghentikan niatnya di tengah jalan dengan ekspresi girang.
“Hei, kamu yang di sana!” Seorang pria yang jika didengar dari suaranya adalah suara dari pria berkacamata memanggil seseorang.
“Lagi-lagi teman mereka,” pikir Mina seraya menggelengkan kepala dengan merasa heran.
Belum juga sempat melangkah pergi, Mina dikejutkan dengan tangan seseorang yang menepuk pundaknya.
“Kamu pasti majikan kucing ini.”
“Benar. Aku juga yakin kau mengikuti kami karena kucing ini 'kan?” Albert angkat bicara seraya memandang sinis ke arah kucing hitam itu.
Seharusnya Mina belum ketahuan, tetapi entah mengapa situasinya berubah hanya dalam sekejap mata. Keinginannya sekarang hanya satu, yaitu melarikan diri tanpa harus menoleh ke belakang. Sangatlah berbahaya bila berinteraksi dengan mereka sekarang.
Namun dengan polosnya kucing hitam itu malah melompat ke tubuh Mina. Dia meraih pundak bagian sebelahnya dan terus mengoceh dengan bahasa kucing yang tidak dia pahami.
“Ternyata benar dia pemilik kucing ini.”
“Kucing mengenali majikan.”
“Harusnya babu 'kan? Lalu bukannya tadi kucing itu bisa tenang saat kau menggendongnya?” tanya Albert.
“Tidak, kucing itu justru ingin lebih dekat denganmu.”
Percakapan di antara mereka bertiga terus berlanjut hingga pada akhirnya mengabaikan sosok gadis yang tubuhnya hanya setinggi dada mereka. Gadis yang terhitung pendek.
"Apa aku kabur saja sekarang?" pikir Mina dalam benaknya.
Dia tidak bisa melakukan itu, lebih tepatnya mereka akan menaruh curiga jika Mina sengaja menghindar. Pikirannya yang berlebihan ini membuat dia bingung mengambil sebuah keputusan dalam waktu singkat.
“Hei, itu benar 'kan?” Albert bertanya.
Mina menganggukkan kepala sedikit lantas berbalik badan secara perlahan. Memberanikan diri tuk berhadapan dengan ketiga pria yang tingginya membuat Mina harus mendongakkan kepala.
“Maaf jika kucingku mengganggu, kak. Aku nggak ada maksud tertentu tapi hanya bingung,” ungkap Mina berbohong.
Mina sengaja mengalihkan pandangan dari mereka dengan sifat malu-malu. Dia terlihat seperti salah tingkah dan gugup saat bicara.
Mereka bertiga lantas saling melirik satu sama lain dan terlihat merasa bersalah. Mungkin mereka berpikir Mina jadi takut karena tiba-tiba dihampiri oleh ketiga pria seperti sekarang ini.
Namun apa yang mereka pikirkan itu tidak salah. Nyatanya Mina memang benar-benar sedang takut tapi tidak dengan sifat pemalu bahkan sampai berbicara lemah lembut seperti gadis polos itu sebenarnya hanya dibuat-buat.
“Apa kakak marah?” Mina bertanya dengan merasa sungkan.
“Bukan. Kami sama sekali nggak marah. Kami hanya ingin bertanya apa benar kamu majikan kucing ini?” Teman dari kedua target bertanya dengan santai.
“Iya, benar. Kucing hitam ini peliharaanku,” jawab Mina sambil menganggukkan kepala. Lalu dia mendekap kucing itu dengan penuh kehati-hatian.
Kucing ini masih bisa bermanja dengannya, terlihat jelas dari cara kucing ini mendengkur hingga nyaris terlelap dalam dekapan sang majikan.
"Dia pikir dia baru saja selesai bermain ya. Kucing ini benar-benar menjengkelkan." Mina menggerutu dalam batin.
“Bagus deh kalau begitu. Tadi kucingmu berlari ke arah Albert. Mungkin dia suka aromanya atau karena sesuatu?” Temannya melirik ke arah pria berambut pirang sembari menduga ada sesuatu yang membuat kucing itu menghampirinya.
Albert merogoh kedua saku di celana dan menemukan beberapa potong roti kering dalam kemasan kertas.
“Aku tidak pernah berpikir bahwa kucing bisa menjadi anjing. Hei, apa dia mengendus roti ini?” pikir Albert sambil menyodorkan roti itu ke hadapan Mina.
Jika menyangkal maka mereka akan curiga dan merasa aneh, maka dari itu Mina mengiyakan yang mungkin memang karena roti itu.
“Kalau benar buat dia saja,” ucap Albert.
“Terima kasih.” Tanpa sungkan Mina menerima roti itu.
Berhubung masalah sudah terselesaikan, Mina pun lekas berpamitan dan pergi dari sana. Dia langsung berlari secepat kilat agar bisa menghindari kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Setelah cukup jauh Mina kembali memastikan wajah dan nama orang-orang itu.
Albert Ginnia. Sesuai nama dan wajah yang tertera di foto. Dia memang target dan sudah ditetapkan oleh Guntur dan Nindia sebagai tersangka yang mungkin telah mencelakai keluarganya.
Kemudian pria satunya dengan ciri-ciri wajah bulat dan rambut berwarna hitam dan memakai kacamata minus itu bernama Aldi. Dia memiliki ekspresi bahagia di fotonya dan tak terlihat seperti orang jahat. Pria ini juga sekilas mirip dengan teman mereka yang telah bersikap ramah padanya hari ini.
“Mirip karena kebetulan? Atau ada hubungan?”
Selangkah demi selangkah menapaki jalan berduri penuh dengan jebakan. Mina telah mengambil jalan yang benar dan setidaknya mampu menipu mereka dengan sifat polos dari seorang gadis. Dia merasa bersyukur karena masih bisa bersikap selayaknya gadis manis.
“Berpura-pura itu ternyata bikin senang. Apa karena aku sudah melupakan sisiku yang lama? Jadi seperti bernostalgia,”celetuk Mina lantas tertawa.