Malam tanpa bintang dan bulan, malam hari ini terlihat jauh lebih sepi. Bintang-bintang yang biasa bertaburan kini telah bersembunyi sedangkan bulan yang biasanya muncul justru menghilang entah ke mana. Hanya samar-samar dari setengah bagian bulan saja yang nampak.
Dibukanya jendela pada larut malam hari ini, hanya untuk menatap langit malam yang sepi. Sembari menikmati semilir angin malam, lembut dan sejuk, Mina duduk di kusen jendela itu seraya memikirkan banyak hal termasuk mengenai si pria bisu.
Pria bisu itu mengaku dirinya adalah rekan kerja ayahnya dan telah diminta untuk menjaga putri sulung yaitu Mina sendiri. Terdapat beberapa alasan yang membuat dia sulit mengungkap identitasnya dan hanya sekadar memberitahu bahwa dia bulanan penguntit kurang ajar.
Di dunia ini banyak sekali penipu tetapi entah kenapa Mina merasa pria bisu itu tampak seperti bulan saat ini. Hanya samar-samar terlihat seakan sedang menyembunyikan sesuatu. Namun Mina baru setengah percaya sebab dia pula harus berwaspada karena orang asing tidak mudah dipercaya.
Mina mengulurkan tangan ke arah langit, melebarkan setiap jari miliknya, itu terlihat seperti akan meraih sesuatu yang jauh tapi sulit dijangkau. Mina menghela napas sejenak lantas menoleh ke belakang.
Lia menginap di hari ketika Mina baru saja pulang setelah diculik selama satu minggu ini. Lia sudah tertidur sejak tadi dan terlihat sangat pulas sekali dengan postur tubuh yang jarang berubah tapi bentuknya aneh karena dia hampir memenuhi satu ranjang.
Mina menggelengkan kepala secara perlahan sambil mengulum senyum menatapnya. Dia merasa iri karena mudah sekali tertidur nyenyak lantaran Mina memang sejak tadi kesulitan beristirahat.
Lantas gadis itu menutup jendela dan tirainya dan pergi dari kamar menuju ke ruangan keluarga. Kucing yang ikut terbangun segera mengikuti majikan.
Mina duduk di kursi sofa dengan berencana menyalakan televisi bersama kucingnya yang tiba-tiba melompat ke atas paha. Mina tidak terkejut sebab telah terbiasa dengan sifat kucingnya yang suka bermanja-manja itu.
“Ya ampun, masih saja mengikutiku ya?”
Awalnya Mina cukup risih karena kucing ini terus menempel tetapi dia sudah terbiasa berinteraksi sebab terkadang dia membayangkan kucing itu adalah Lia.
Ada beberapa hal dari mereka yang terlihat mirip dan salah satunya adalah sering menempel ini.
Mina sedikit tertawa jika membayangkan kucing ini adalah Lia.
“Kamu mungkin juga cape dan nggak seharusnya ikut melulu,” ucap Mina sambil mengelus kucingnya.
Bulu kucing ini semakin lembut rasanya setelah diurus Mina selama hampir setengah bulan. Dia penurut dari awal dan juga manja, hanya itu yang membuat Mina sedikit jengkel tetapi untungnya dia masih bisa memaklumi.
“Kamu tahu? Kamu dan Lia punya kesamaan yang jelas. Kalian berdua suka sekali menempel ke sana kemari seperti nggak punya pendirian.”
Kucing itu hanya mengeong, entah jawaban apa yang dia katakan sebenarnya.
Satu jam penuh menatap televisi yang menyiarkan acara membosankan di waktu tengah malam. Mina berusaha menikmati cerita itu meskipun kedua matanya mulai lelah.
“Oh, apa aku sudah lelah?”
Dia berharap bisa menutup mata dan tertidur pulas. Mina kemudian berbaring di kursi sofa namun sayangnya kedua mata Mina tetap terbuka seakan menolak untuk beristirahat.
Lagi-lagi Mina menghela napas. Nampaknya ini bukan satu atau dua kali dia menghela napas seperti orang tua yang banyak pikiran.
Jujur saja Mina masih memikirkan kejadian saat diculik maupun kejadian saat dia merasa ada seseorang mengintip dari balik jendela kamar mandi.
Teringat akan hal tersebut, Mina lekas pergi menuju ke kamar mandi dan sekali lagi memastikan sesuatu tentang jendela kamar mandinya. Dia merasa yakin memang ada yang mengintip.
“Kalau memang bukan pria bisu pelakunya lalu siapa?” Inilah yang menjadi pertanyaan terbesarnya.
“Apakah memang aku yang terlalu memikirkan hal ini dan mengira ada seseorang padahal hanya halusinasi?” Mina juga mengubah pemikirannya meski dia merasa itu semua memang benar terjadi padanya.
Kedua tangannya mengepal kuat, tatapan tajam tertuju pada jendela kamar mandi yang sedikit tinggi. Kali ini dia benar-benar meyakini bahwa memang ada orang yang mengintip.
“Tidak. Aku tidak mungkin salah lihat. Aku yakin itu.”
Semakin hari semenjak kehilangan keluarganya, Mina selalu dihadapkan oleh banyak hal aneh. Semua orang terlihat menyeramkan dan penuh intrik bagi gadis itu. Terlihat seperti monster berkulit manusia.
Setelah itu Mina kembali menuju ke ruang keluarga, sebelum kembali duduk di sofa menemani kucingnya di sana, Mina melepas kerinduannya sejenak dengan memeluk sebuah pigura keluarganya. Itu foto yang sudah sangat lama ketika usia Mina masih berusia 10 tahun dan Ema yang masih digendong.
“Ayah, ibu, dan Ema. Maafkan aku yang ceroboh sampai diculik oleh orang-orang aneh. Maafkan aku juga yang tidak sempat berbakti tetapi tenanglah Mina, putri sulung kalian ini akan mencari dan membalas semua perbuatannya suatu saat nanti.”
Semula wajah tenang penuh dengan senyuman lembut berubah menjadi ekspresi yang dingin dan menakutkan. Keningnya berkerut, sudut bibir yang melengkung ke bawah lalu matanya yang terlihat hampa namun tajam mengisyaratkan tekad yang begitu kuat.
“Tidak akan pernah aku biarkan dia lolos begitu saja!”
Baginya menemukan sekaligus membalas perbuatan si pelaku merupakan tujuan sekaligus pembalasan dendam secara pribadi. Dia tidak lupa dirinya siapa atau bahkan menghilangkan sisa bayangan hari ketika orang tua dan adiknya tiada.
Tidak ada lagi yang membuatnya menangis dan juga takut selain kehilangan mereka semua.
Helaan napas terdengar ringkih, ekspresi yang tidak tenang menunjukkan seberapa kesal dirinya dengan kejadian itu.
Kecelakaan yang dialami oleh mereka itu sengaja. Seseorang atau mungkin sekelompok orang telah merencanakannya dengan matang bahkan sampai menyamarkan hal itu dengan kecelakaan, sudah pasti mereka bukan orang biasa.
Setelah cukup lama berdiri sambil memeluk pigura, Mina lekas meletakkannya kembali di atas meja kecil yang berada di sudut ruang keluarga lalu mematikan televisi dan segera menuju ke kamarnya.
Terlihat berbagai tempelan berwarna merah muda yang memenuhi dinding kamar. Tidak hanya itu, kasur, meja belajar hingga satu set meja dan kursi kecil yang ada di depan cermin bahkan lemari pakaian pun berwarna merah muda.
“Warna yang tidak seharusnya ada,” ucap Mina, dia memalingkan wajah dengan sedikit memijat keningnya.
Perubahan selera yang cukup drastis ini tidak ada seseorang yang menyadarinya sampai pagi datang dan Lia dikejutkan dengan semua tempelan dinding yang dicopot satu persatu oleh Mina sendiri.
“Aku baru saja bangun dan apa yang aku lihat ini?”
Pukul 6 pagi, suara ayam berkokok juga sudah terdengar. Hari ini adalah hari senin yang paling menyebalkan, kini dijadikan pelampiasan kecil dengan Mina yang merobek semua tempelan super imut dari dinding kamarnya.
“Jangan heran begitu. Aku sengaja melakukannya karena memang sudah nggak suka lagi,” jelas Mina.
Seperti biasa raut wajah datar itu tidak pernah berubah.
Keyakinan seseorang dapat berubah dalam sekejap mata, begitu pula dengan sifat manusia yang tidak mudah bertahan lama di dunia kejam bagaikan neraka ini.
Musim buruk dengan curah hujan yang tinggi tidak pernah lepas dari kalender akhir bulan ini. Membuat perasaan aneh seperti benci sekaligus marah karena hujan ini telah membuat kenangannya seolah lenyap tersapu oleh derasnya hujan hampir setiap hari.
Bagai garam yang ditabur di atas luka, perih yang dia rasakan dalam hati membuat pikiran Mina tak kunjung tenang. Keinginannya untuk membalaskan dendam kian meningkat dari hari ke hari hingga membentuk jati diri Mina yang sekarang.
Meskipun begitu satu cahaya penerang ada di sisinya. Lia tersenyum cerah dan menyapa pagi yang cuacanya mendung ini. Hanya sesaat pikiran negatif pada Mina tersingkir selama beberapa saat.
“Aku seperti disucikan,” celetuk Mina. Kedua matanya berkedip selama beberapa kali lantaran tak percaya dengan apa yang barusan dia ucapkan.
“Kamu bilang apa sih? Jangan ngelantur.”
Mina tertawa hambar menanggapi omongan Lia tadi.
“Ini aneh ya?”
“Apanya?”
“Aku merobek semua poster, stiker atau tempelan lainnya yang berwarna merah muda padahal ini semua adalah favoritku.”
“Apa pun kelakuanmu selama nggak menyimpang, itu bukan masalah. Bukankah aku sudah pernah bilang begini ya?”
Mina kembali tertawa namun kali ini tawanya tidak hambar. Mina merasa semua ini lucu jika berkaitan dengan sahabatnya Lia. Memang selama dia ada di sisinya maka Mina cenderung terbuka dan terkadang sifat periang itu muncul.
Lia yang perlahan sadar akan hal itu hanya bisa tersenyum sembari memandang punggung sang sahabat yang gemetar karena tertawa.
“Kamu sekolah hari ini? Jangan ya, kita berdua ijin saja.” Secara frontal Lia ingin bolos bersama.
“Ijin?”
“Iya.” Lia mendekat dan menatap wajah Mina dengan tatapan penuh harapan.
Mina menghela napas, entah ini yang ke berapa kalinya dia melakukan itu.
“Kamu yakin?”
“Kamu juga baru balik kemarin. Waktunya untuk beristirahat nggak cukup. Lalu aku yakin satu hal.”
Lia menaikkan sebelah alisnya, menunjuk ke arah mata panda yang muncul di wajah Mina.
“Kamu belum tidur pasti.”
Seorang gadis telah diculik selama tujuh hari dan bagaimana mungkin bisa tidur tenang apalagi hanya sekadar istirahat. Meskipun Lia tidak berpikir lebih jauh kalau sahabatnya mungkin trauma namun dia tetap cemas.
“Aku sudah melupakan kejadian itu. Lagi pula mereka sudah ditangkap. Jadi buat apa diurus lagi?”
“Kamu tahu bukan itu maksudku,” tutur Lia.
Tentu saja yang dimaksud Lia adalah hal lain. Bodoh jika Mina tidak sadar sebab yang disinggung adalah rencananya untuk mencari pelaku.
“Ayolah Lia, aku nggak mau mengulur waktu hanya untuk ketenangan sesaat. Lia, mari kita pergi bersekolah.”
Wajah cemberut Lia terlihat jelas sekarang. Dia masih enggan bersekolah hari ini. Dia duduk di tepi ranjang sembari menatap jengkel padanya.
“Lia, jangan egois begitu. Kita ini masih adik bagi para kakak kelas di sekolah. Kalau terus libur—”
“Kamu nggak libur! Kamu berduka, kamu sakit dan kamu juga diculik selama satu minggu, bukan libur,” sahut Lia yang sengaja memotong kalimat Mina.
Mustahil dia bisa membantah bahkan jika hanya sekadar beralasan pun tetap tak bisa. Mina menyerah dan memutuskan untuk beristirahat hari ini sesuai dengan keinginan Lia.
Wajah cemberut Lia seketika hilang, tergantikan dengan wajah cerah dan senyuman lebar. Mina kalah telak.
“Kamu marah tapi di satu sisi juga mau manfaatin aku biar kamu juga ikut meliburkan diri?”
“Mana ada. Aku juga cape tahu.”
“Kenapa?”
“Aku mencarimu ke mana-mana tapi nggak ketemu juga. Lalu pria yang tidak bisa bicara itu mendatangiku saat aku berdiri di depan pagar rumah kamu.”
Sudah jelas itu pria bisu yang Mina kenal.
“Apa yang dia katakan?”
“Hanya informasi tentang kamu. Apa lagi?” jawabnya lugas.
“Serius?”Mina tidak yakin.
“Aku nggak bohong. Aku serius, Mina.”
Lia mengatakan pria bisu itu berjanji padanya akan segera menemukan jejak penculik beserta Mina.
Pada saat itu setiap harinya dia yang berpura-pura menjadi orang tua bagi Mina dan sengaja menggunakan nomor ponsel ayah Mina sendiri demi bisa memancing perhatian para penculik. Dan dia pun mengirimkan sejumlah uang setiap hari ketika belum bisa menemukan lokasi mereka karena ingin melacak keberadaannya secara langsung. Penculik itu tidak sadar akan rencana si pria bisu.
“Dia juga mengatakan kalau kamu itu gadis kuat jadi nggak akan mudah tumbang. Tapi itu memang benar, sih.”
“Dia bilang itu semua ke kamu saat di hari ke-7?” tanya Mina memastikan.
“Iya. Lalu di siang hari kalian muncul.” Lia menganggukkan kepala.
Satu hal lagi yang tak terduga dengan mudahnya pria bisu menceritakan semua itu pada Lia seakan-akan pembahasannya memang sengaja ditujukan untuk Mina.
“Entah ini kebetulan atau memang disengaja. Orang itu mungkin benar-benar rekan kerja ayahku,” ucap Mina.
“Apa katamu?” Lia bertanya, sekilas tak percaya dengan yang barusan dia katakan.
Mina kemudian menjawab, “Ya. Mungkin saja dia rekan kerja ayahku.”
Mina melenggang pergi sembari membawa semua sampahnya untuk dibuang. Selama beberapa jam sebelum ini, Mina memang memikirkan tentang pria bisu itu dengan alasan curiga.
Tampaknya Mina tidak bisa melepas kecurigaan terhadap si pria bisu karena sosoknya sendiri pun terlihat sangat misterius.
“Biasanya jika ada orang yang tidak mau menyebut pekerjaannya maka ada dua alasan. Pertama pekerjaan dia adalah pekerjaan kotor lalu kedua pekerjaannya mungkin pekerjaan rahasia yang tidak boleh diketahui masyarakat umum.”
Mata-mata atau sejenisnya, itulah yang dipikirkan Mina dalam benaknya. Percaya atau tidak, Mina hanya terpikirkan hal itu.
“Jika dia rekan kerja ayah, pasti tidak mungkin pekerjaannya kotor. Tapi ayah cuman pekerja kantoran.”
Semakin dipikirkan semakin pusing. Tidak ada jawaban yang pasti tentang siapa pria bisu itu sebenarnya. Hanya ada satu cara yaitu menanyakannya secara langsung.
“Memang harus begitu,” gumam Mina.
“Harus apa?” Tiba-tiba Lia datang dan membuat Mina terkejut, bahkan sampai nyaris terjatuh karenanya.
Beruntung Mina bisa menstabilkan tubuh dan tidak terjatuh atau masuk ke dalam tong sampah di depannya.
“Kamu ini ya, jangan bikin aku kaget begitu.”
Lia meminta maaf sambil tertawa, dia tidak menyangka temannya akan sekaget ini.
“Kamu juga terlalu fokus, Mina. Aku jadi cemas kalau mendadak kamu hilang lagi,” kata Lia.
“Hilang? Aku nggak akan pergi sebelum berpamitan.”
Muncul memori singkat yang pada saat itu Mina hendak memanggil Lia ketika sadar ada seseorang yang mengincarnya. Namun karena suaranya tidak keluar, kepala Mina dipukul dan berakhir diculik.
Selang beberapa detik setelah dia terjatuh, di tengah-tengah kesadarannya yang perlahan menghilang, muncul sosok hitam dari balik kabut menggenggam pundak dan tangan sambil membisikkan hasutan.
“Karena temanmu tidak sadar, kau jadi begini. Kau diculik karena temanmu yang tidak peka.”
Hasutan liar menjerumus masuk ke dalam memorinya, Mina mengerang kesakitan di bagian kepalanya. Dengan mata terpejam dan mencoba untuk melawan namun emosi Mina sulit terkendali.