Loading...
Logo TinLit
Read Story - Penerang Dalam Duka
MENU
About Us  

Sesuatu mencoba menggoyahkan tekad dari gadis itu. Entah apa namun itu terlihat mengerikan, sosok hitam tampak seperti manusia akan tetapi setiap bisikan yang terdengar langsung ini merupakan sebuah hasutan. 

 

Sedikit demi sedikit perasaan Mina terus terjerumus ke arah yang salah. Sosok hitam tersebut mencoba menghasut Mina agar menyalahkan Lia yang tidak menoleh ke belakang pada saat kejadian hari itu. 

 

“Ini semua salah temanmu Lia yang mengabaikanmu sehingga kau dibawa paksa oleh preman-preman itu.” 

 

Kalimat-kalimat penuh kebencian terus menghasut pikiran Mina. Sifat Mina yang telah berubah pun membuat semua kalimat tak benar itu langsung menyerangnya dengan mudah. Bukan hal sulit bagi siapa pun yang mencoba mengadu domba dirinya dengan seorang teman. 

 

“Lalu kenapa kau tidak membalasnya?! Balas saja! Kau harus menghajarnya karena telah membuat dirimu harus menderita selama berhari-hari. Nah, serang aja!” 

 

Suara itu kian menjadi-jadi tak peduli seberapa keras usaha Mina tuk bertahan tapi pada akhirnya dia sudah tidak berdaya. 

 

“Mina, Mina! Jawab aku, kamu kenapa?” Lia yang panik karena Mina terus mengerang kesakitan, dia ingin segera membantu tapi dia tidak tahu harus berbuat apa. 

 

“Mina!” Sekali lagi Lia memanggil namanya dengan suara keras. Mengulurkan tangan dan berharap Mina bisa sadar serta rasa sakitnya dapat berkurang tetapi itu tidak terjadi. 

 

“Minggir!” sentak Mina seraya menepis tangan Lia yang hendak meraih dirinya. 

 

Lia bergidik merinding saat mendapati tatapan mata Mina yang tajam. Dia merasa napasnya tercekat selama beberapa waktu sehingga hanya berdiri diam dengan ketakutan. Perasaan mencekam seolah nyawanya sedang dalam bahaya namun pada saat itu Lia yang naif masih saja memikirkan kondisi temannya. 

 

“Apa ada seseorang yang ganggu kamu? Bilang. Apa ada hal lain? Bilang saja. Apa mungkin aku yang mengganggu? Maafkan aku karena tidak tahu apa saja yang kamu alami di hari itu.” 

 

Tanpa sadar kedua kakinya telah bertekuk lutut, Lia menghadap sosok Mina yang terlihat sangat marah dan terus mengatakan maaf atas segala hal. 

 

“Maaf. Seandainya aku nggak ninggalin kamu, seandainya aku tetap di rumahmu meskipun cuman sebentar. Maaf, Mina.” 

 

Lia sejujurnya tidak tahu apa penyebab Mina menjadi seperti ini namun paham bahwa dirinya telah melakukan sebuah kesalahan. 

 

“Aku nggak mau ungkit itu karena takut kamu terus kepikiran, maaf. Maaf Mina,” ucap Lia sekali lagi, air mata pun mengalir. Dia menangis.

 

Hujan turun deras namun langit masih terang dan udara terasa panas menyengat. Sosok hitam terus membelenggu leher dengan erat dan membuatnya sulit bergerak. Kadangkala pikiran sosok hitam itu bercampur dengan sosok lain yang mirip dengan gadis berambut pendek itu, sosok tersebut selalu mengatakan bahwa ada yang salah. 

 

“Hentikan!” 

 

Di tengah hujan deras, bagian punggungnya sedikit basah. Mina terus memegangi bagian kepalanya dengan kuat dan berusaha menahan rasa sakit serta menekan omong kosong dari sosok hitam. 

 

“Hentikan!” Dia menjerit lantas menangis. 

 

Setelah hitungan beberapa menit mendadak pikirannya kosong melompong lalu jatuh tak sadarkan diri di tempat. 

 

***

 

Hari sudah semakin siang, hujan masih turun dengan derasnya. Begitu pula dengan terik matahari yang tidak wajar tetap muncul. Lia menunggu di samping ranjang tidur sampai Mina yang terbaring di sana terbangun. 

 

Berjam-jam lamanya dia tidak kunjung bangun. Raut wajah Mina justru semakin pucat seolah jiwanya meninggalkan raga yang sedang sakit itu. Lia semakin khawatir dan segera menghubungi ibunya. 

 

“Ibu, tolong Mina. Mina tiba-tiba pingsan, aku nggak tahu harus gimana.” 

 

Ibu Lia terdiam cukup lama, dia pun merasa sangat khawatir karena mendengar suara putrinya yang lirih dan gemetar. Lia hampir menangis lagi.

 

["Ibu akan segera ke sana dan membawanya ke rumah sakit."] 

 

Usulan itu cukup bagus tetapi sayangnya dokter tidak bisa melakukan apa pun selain mendiagnosis bahwa Mina hanya kelelahan saja. Tidak ada hasil yang pasti setelah mereka membawanya ke rumah sakit, Lia kecewa karena merasa masih ada sesuatu dari dalam tubuh Mina saat ini. 

 

Lia menoleh ke arah ruangan Mina—tempat dia dirawat untuk sementara ini. Kedua matanya mulai berkaca-kaca, dia hampir menangis begitu teringat dengan kesakitan yang dialami oleh Mina sebelumnya. 

 

“Ibu, aku nggak bohong. Mina bilang sakit dan dia memegang kepalanya. Wajahnya juga pucat dan kadang dia bilang sesuatu yang sulit dipahami.” Lia menjelaskan. 

 

Ibunya menepuk pundak Lia dengan perlahan, sambil tersenyum lantas berkata, “Ibu percaya. Hanya saja penyakit Mina mungkin tidak bisa disembuhkan di sini.”

 

“Lalu di mana? Tapi apa penyakitnya?”

“Kalau sesuai dengan yang kamu bilang maka ini bukan sekadar penyakit tapi lebih seperti kerasukan.”

 

Kerasukan tidak biasa telah dialami oleh gadis malang itu. Berbagai musibah selalu menghampiri ditambah pikirannya yang kacau menimbulkan efek negatif dan memberikan kesempatan pada sosok iblis untuk mempengaruhinya lebih jauh.

 

“Mina mengalami hal ini. Apakah karena aku?” pikir Lia seraya memandang Mina dari kejauhan. 

 

Ibu Lia menggelengkan kepala lantas berkata, “Bukan salahmu. Ini terjadi karena kelalaian orang tua.” 

 

Sekilas terlihat dari wajah yang tenang, Mina mungkin sedang bermimpi indah tapi kenyataannya jauh berbeda dari bayangan. Dia bukan sedang bermimpi melainkan kembali masuk dalam memori masa lalunya. 

 

Seperti potongan puzzle yang hilang di setiap bagian tengahnya, berbagai kenangan dari kecil hingga remaja seolah hanya menutupi bagian wajah. Memori indah di kehidupan Mina tidak pernah menghilang melainkan tersembunyi jauh di lubuk hatinya yang terdalam. 

 

Menekan kepribadian ramah sekaligus menyembunyikan kenangan indah, memicu sosok alter-ego muncul ke permukaan dan menggantikan Mina berinteraksi di sepanjang waktu. Dia yang memiliki sifat kejam dan dingin sedang mencoba tuk menghapus segala hal yang tak berguna. 

 

“Membosankan.” 

 

Alter-ego Mina mendengus, raut wajah yang berubah datar dan menyeramkan itu lekas pergi meninggalkan semua kenangan indah itu. Dia berbalik badan lalu berhadapan dengan kenangan terburuk yang pernah ada. Sosok iblis juga kembali muncul, kali ini dengan wujud Mina sewaktu kecil. 

 

“Haha, lihat kebodohanmu yang mengharapkan pertolongan orang lain. Bisa-bisanya dijebak oleh preman.”

 

Satu momen yang paling menyakitkan adalah saat kehilangan kedua orang tuanya sekaligus adik. Mina merasakan sakit di bagian dada ketika memori menyakitkan itu terus berulang dalam benaknya. 

 

“Lalu si bisu itu? Bagaimana bisa kau berharap padanya dan percaya?”

“Aku nggak percaya dengannya, tuh.” Mina menyangkal dengan sebelah alisnya terangkat.

“Oh? Benarkah?” 

 

Sosok iblis ini yang paling tahu tentang isi hati Mina. Sulit dipungkiri tapi dia merasa enggan mengakui bahwa ada sedikit kepercayaan dengan pria bisu yang tidak pernah menyebutkan namanya.

 

“Tapi kau percaya dengannya. Percaya hanya karena dia menyebut dirinya sebagai rekan kerja ayahmu. Memangnya ada buktinya?”

 

Mengabaikan omong kosong iblis barusan, Mina melangkah pergi dan menjauhi segala kenangan baik dan buruk itu. Terus melangkah jauh tanpa menoleh ke belakang sedikit pun. 

 

Mina terbangun pada dini hari. Melihat ke sekitarnya dia sedikit merasa asing. Namun setelah melihat ke arah bekas sobekan poster yang masih menempel di dinding, dia baru teringat ini adalah kamarnya. 

 

Lia dan ibunya lah yang telah membawa Mina kembali pulang ke rumah. Sementara kehadiran mereka tidak ada, sosoknya tidak terlihat sejak tadi. Bahkan kucingnya juga. 

 

“Oh, apa Lia sudah pulang? Yah, lagi pula ini sudah malam.” Mina menoleh ke arah jam dinding. “Salah. Ternyata sudah pagi,” kata Mina lantas menghela napas. 

 

Kepalanya terus berputar begitu beranjak dari tempat tidur. Mina bersandar pada tepian ranjang agar tidak terjatuh. Dia menunggu selama beberapa saat sampai pusing itu menghilang dengan sendirinya. Barulah Mina mengambil langkah secara perlahan menuju ke ruang keluarga. 

 

Cukup lama Mina memandangi pigura yang terletak di atas meja sudut itu. Helaan napasnya terdengar berat begitu juga dengan hati yang tak kunjung menerima kematian keluarganya. 

 

“Bukannya aku sudah rela? Atau mungkin belum karena aku tahu ada yang sengaja menyamarkan kejadian itu dengan kecelakaan?” pikir Mina. 

 

Sebuah petunjuk tak dapat ditemukan dengan mudah. Adapun pria bisu yang dapat membantunya, dia masih ragu apakah orang itu layak dipercaya. 

 

Hati merasa bisa dipercaya dan mulut berkata tidak tapi dia berpikir pria itu bisa dimanfaatkan. 

 

“Ayah nggak mungkin tiba-tiba meminta seseorang untuk menjaga putrinya kecuali ada sesuatu yang buruk telah terjadi.”

 

Kali ini Mina sepakat pada dirinya sendiri tuk mempercayai semua penjelasan si pria bisu. Dia mulai menganggap ada sebuah pekerjaan rahasia yang membuat ayahnya dan pria bisu terlibat hingga kemudian terjadilah malapetaka. 

 

“Seseorang mencoba membungkam ayah entah untuk apa tapi mungkin dia tahu.” 

 

Dengan pikiran yang cermat dan mempertimbangkan segala hal, Mina membentuk sebuah kesimpulan yang nyata. Pada pagi hari sekitar pukul 7, dia bergegas keluar dari rumah untuk menemui si pria bisu tapi siapa sangka Lia datang mencegatnya di depan pagar. 

 

“Kamu sudah sehat? Gimana keadaan kamu?” tanya Lia. Terlihat wajah lelah dengan mata sembab, dia mencoba untuk tetap tersenyum seperti biasa. 

 

Mina membalas senyum ramah itu lalu menjawab, “Berkat kamu aku sudah sehat lagi.”

 

Kemudian berjalan setengah langkah sebelum akhirnya berhenti lagi. Tanpa berbalik, Mina hanya sekadar menoleh ke belakang. 

 

“Oh ya, untuk yang kemarin tolong maafin aku ya. Aku nggak ada maksud bikin kamu marah,” imbuh Mina.

 

Diam-diam tersenyum sembari memandang punggung sang sahabat yang kian menjauh rasanya seperti akan ditinggal jauh. Lia merasa kesepian bila itu benar terjadi namun dia tidak punya hak ikut campur karena ini adalah pilihan hidup Mina sendiri. 

 

Dari hari ke hari semenjak kehilangan kedua orang tuanya, Lia merasakan perubahan sifat serta sikap Mina dengan jelas. Meskipun begitu dia merasa perubahan Mina tidak begitu buruk, justru terlihat berkilau dalam pandangannya.

 

“Itu keren. Aku jadi ingin anggap kamu sebagai kakak perempuan,” ucap Lia secara spontan. Tanpa sadar perkataan yang seharusnya hanya diucapkan dalam hati malah keluar dari mulut. 

 

“Justru kamu yang kakak perempuanku, Lia. Kamu 'kan lebih tua dua bulan dari aku,” sahut Mina seraya melambaikan tangan.

 

“Tunggu, kamu mau ke mana? Boleh aku ikut?” Lia bertanya sambil berharap lebih agar bisa ikut bersamanya namun sayangnya Mina tidak ingin jika sahabatnya terlibat dengan masalah.

 

“Aku harus pergi sendiri, tenang saja aku pasti bisa jaga diri baik-baik. Cuman sebentar kok.”

 

Di mata mereka berdua tak ada perbedaan satu sama lain. Kini mereka saling menganggap sebagai saudara meskipun mungkin mereka akan berpisah. 

 

Kepergiannya kali ini hanya untuk sementara waktu. Seseorang dengan pakaian biasa muncul di hadapan Mina. Seolah dia tahu bahwa Mina akan keluar, dia pun muncul menyambut kedatangannya. 

 

“Rumah saya ada di dekat sini. Mampirlah.” Pria bisu itu menggunakan suara AI lewat ponsel. 

 

“Maksudnya aku harus bertamu ke rumah seorang pria sendirian?” sindir Mina seraya melipat kedua lengannya dengan sombong.

 

Di sela-sela percakapan mereka, kucing peliharaan Mina kembali muncul dari arah pria itu. 

 

“Saya dan ada teman perempuan yang berusia sekitar 7 tahun lebih tua darimu.” 

 

Keraguan dalam diri hanya bersembunyi dalam bayang-bayang. Mendengar tamu perempuan selain dirinya juga ada maka gadis yang nampak sombong itu berjalan menghampiri si pria bisu. Keduanya lantas pergi bersama. Tak lupa dengan kucing yang sepertinya belum melupakan sang majikan. 

 

“Kamu sekarang terlihat sehat. Padahal kudengar kemarin kamu jatuh sakit.”

“Bukan urusanmu aku sakit atau nggak. Dan aku kaget karena sepertinya anda tahu kalau aku ingin mencari paman.”

“Hanya kebetulan. Lagi pula beberapa hari yang lalu kamu pasti punya banyak pertanyaan 'kan?”

 

Mina tidak menjawab, melainkan hanya sekadar mendengus. Nampaknya kesal. 

 

Tercium semerbak bunga ketika mereka sampai ke rumah si pria bisu. Pagar yang terbuat dari kayu dan pohon tumbuh alami terlihat menyatu dengan alam. Belum lagi bagian halaman depan rumah penuh dengan kehijauan. Sejuk di mata dan hati. Sesaat rasa penat menghilang karena pemandangan indah ini. 

 

“Adik perempuan ini pasti Mina ya? Kebetulan sekali kalian datang, kue sudah matang.” 

 

Seorang wanita muncul dari dalam rumah coklat kayu sembari melambaikan tangan dan tersenyum. Mina menyahut dengan penuh kesopanan. 

 

Keramahtamahan yang dimiliki oleh wanita ini tidak sebanding dengan pria bisu penguntit di sebelahnya. Mina membandingkan sifat mereka dengan perbedaan sikap yang kentara sehingga membuat situasi jadi canggung seketika.

 

“Hei, meskipun dia mengikutimu hampir setiap hari tapi dia melakukannya karena permintaan ayahmu dan juga keselamatanmu.” 

 

Wanita berwajah bulat dengan gincu berwarna merah mencolok ini merupakan rekan kerja sekaligus istri dari pria bisu. Dia bernama Nindia. Lalu nama pria bisu itu adalah Guntur. Barusan Mina tahu dari istrinya. 

 

“Sepertinya anda berdua tahu bahwa saya sedang mencari sebuah jawaban. Kalau begitu Bu Nindia dan Pak Guntur ...saya akan berterus terang saja. Mengapa seseorang mencelakai keluarga saya dan mereka siapa?” 

 

Mina menilai situasi bahwa tidak ada waktu yang tersisa baginya. Situasi telah berubah dan kejadian telah lama berlalu. Mina bukan sedang terburu-buru melainkan memang tidak suka berbasa-basi. 

 

Bu Nindia sedikit tertawa saat melihat ekspresi serius itu. Lalu dia mengatakan penyebab kematian keluarga Mina memang disebabkan oleh seseorang dengan sengaja yang disamarkan menjadi kecelakaan. Namun saat akan menyebut nama pelaku, dia terlihat ragu. 

 

Pria bisu—Pak Guntur menghela napas sejenak lantas menatap mata Mina yang juga tertuju padanya dengan tatapan tajam seakan mengancam. 

 

[Kenapa melihatku?] Pak Guntur menuliskan kalimat di kertas dan memberikannya pada Mina. 

 

“Katakan saja siapa. Saya yakin kalian berdua mengetahuinya benar?” pikir Mina seraya melirik mereka berdua secara bergantian.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Taruhan
61      58     0     
Humor
Sasha tahu dia malas. Tapi siapa sangka, sebuah taruhan konyol membuatnya ingin menembus PTN impian—sesuatu yang bahkan tak pernah masuk daftar mimpinya. Riko terbiasa hidup dalam kekacauan. Label “bad boy madesu” melekat padanya. Tapi saat cewek malas penuh tekad itu menantangnya, Riko justru tergoda untuk berubah—bukan demi siapa-siapa, tapi demi membuktikan bahwa hidupnya belum tama...
Perahu Jumpa
294      240     0     
Inspirational
Jevan hanya memiliki satu impian dalam hidupnya, yaitu membawa sang ayah kembali menghidupkan masa-masa bahagia dengan berlayar, memancing, dan berbahagia sambil menikmati angin laut yang menenangkan. Jevan bahkan tidak memikirkan apapun untuk hatinya sendiri karena baginya, ayahnya adalah yang penting. Sampai pada suatu hari, sebuah kabar dari kampung halaman mengacaukan segala upayanya. Kea...
Me vs Skripsi
2167      927     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
Let me be cruel
5566      2802     545     
Inspirational
Menjadi people pleaser itu melelahkan terutama saat kau adalah anak sulung. Terbiasa memendam, terbiasa mengalah, dan terlalu sering bilang iya meski hati sebenarnya ingin menolak. Lara Serina Pratama tahu rasanya. Dikenal sebagai anak baik, tapi tak pernah ditanya apakah ia bahagia menjalaninya. Semua sibuk menerima senyumnya, tak ada yang sadar kalau ia mulai kehilangan dirinya sendiri.
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
131      108     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
Happy Death Day
594      334     81     
Inspirational
"When your birthday becomes a curse you can't blow away" Meski menjadi musisi adalah impian terbesar Sebastian, bergabung dalam The Lost Seventeen, sebuah band yang pada puncak popularitasnya tiba-tiba diterpa kasus perundungan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Namun, takdir tetap membawa Sebastian ke mikrofon yang sama, panggung yang sama, dan ulang tahun yang sama ... dengan perayaan h...
Fidelia
2157      940     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Sweet Like Bubble Gum
1361      917     2     
Romance
Selama ini Sora tahu Rai bermain kucing-kucingan dengannya. Dengan Sora sebagai si pengejar dan Rai yang bersembunyi. Alasan Rai yang menjauh dan bersembunyi darinya adalah teka-teki yang harus segera dia pecahkan. Mendekati Rai adalah misinya agar Rai membuka mulut dan memberikan alasan mengapa bersembunyi dan menjauhinya. Rai begitu percaya diri bahwa dirinya tak akan pernah tertangkap oleh ...
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
2041      785     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
Reandra
1972      1141     67     
Inspirational
Rendra Rangga Wirabhumi Terbuang. Tertolak. Terluka. Reandra tak pernah merasa benar-benar dimiliki oleh siapa pun. Tidak oleh sang Ayah, tidak juga oleh ibunya. Ketika keluarga mereka terpecah Cakka dan Cikka dibagi, namun Reandra dibiarkan seolah keberadaanya hanya membawa repot. Dipaksa dewasa terlalu cepat, Reandra menjalani hidup yang keras. Dari memikul beras demi biaya sekolah, hi...