Tepat membalikan badan untuk masuk ke dalam rumah. Dalisha sudah menatap nyalang Kala. Membuat Kala otomatis mengigit bibir bawahnya dan memainkan kuku jari. Ia berjalan perlahan penuh keraguan. Semakin dekat menghampiri sang Bunda. Semakin tidak keruan juga perasaan Kala.
"DARI MANA KAMU?!"
Dalisha menepis tangan Kala yang berniat untuk menyalami nya. Perasaan sesak menyelimuti Kala saat mendapat perilaku dari sang Bunda.
"Masuk," ucap Dalisha datar.
"Darimana kamu?!"
"Kala abis bimbingan, Bun."
"Oh, udah berani bohong kamu?" Kala mengernyit ia menggeleng pasti.
"Darimana?" Dalisha kembali menanyakan hal yang sama pada Kala berharap anak itu jujur.
"Abis bimbingan Bunda. Kala gak bohong.."
PLAK!!!
Satu tamparan keras mendarat dipipi mulus Kala. Ia memegangi pipinya yang kini terasa panas. Setetes air mata pun turun dari kedua bola mata Kala. Tetapi, Kala berusaha untuk menghapusnya. Ia tidak ingin terlihat lemah.
"KAMU BILANG KAMU BIMBINGAN KAN YA?" Kala menganggukkan kepala.
Dalisha berdecih. Beberapa saat kemudian ia menunjukkan ponselnya tepat di depan mata Kala. Kala terbelalak dibuatnya.
"INI YANG KAMU SEBUT BIMBINGAN KALA!!"
"KAMU JADI ANAK GA TAU DIUNTUNG! MIKIR DONG UDAH DILAHIRIN HARUS BERGUNA DIKIT!" ucap Dalisha berapi-api.
"BUNDA MINTA KAMU MENGUNDURKAN DIRI DARI OLIMPIADE.
"TAPI KALA BENERAN BIMBINGAN BUNDA. KALA GA PACARAN!"
PLAK!!
Tiba-tiba sebuah tangan kembali menampar pipi kanan Kala. Rasa panas dan perih menyeruak. Kala memandangi Dalisha dan Aksa dengan pandangan yang semakin buram karena air matanya semakin deras.
"Kenapa nangis?"
"Cengeng banget jadi anak!"
"Ga usah pura-pura nangis cuma pengen dapat perhatian deh. Ga ada yang peduli!" lanjut Aksa.
"Masuk lo sekarang ke kamar!"
Kala menggelengkan kepala ia justru menangis semakin menjadi. Berusaha meraih tangan bunda. Tetapi, ditepis kasar. Entah siapa yang sudah menyebarkan fitnah tentang foto itu.
"Ikut gua!"
Aksa meraih lengan Kala. Menariknya dengan kasar membuat Kala kewalahan untuk berdiri. Dengan jalan terseok Kala berusaha mengimbangi langkah kaki Aksa yang menuju pintu kamarnya.
"Masuk!"
"Denger ya Kala.. Gua kurung lo sampe pagi buat renungin kesalahan lo!"
Dari balik pintu kamar Kala duduk menekuk kedua kaki dan menangis. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menangis.
"Aku masih haus kasih sayang. Tapi, rasanya bunda menganggap aku gak butuh itu."
"Kala cape bunda.."
***
"Hari ini bunda mau ke sekolah. Kamu jaga Kala kamu jangan sampe keluar rumah." Pesan Dalisha pada Aksa.
Aksa hanya bisa mengangguk kan kepala seraya mencium punggung tangan Dalisha. Selepas Dalisha pergi, Aksa pun menuju kamar Kala. Berniat memberikan sarapan pagi untuk Kala.
"Bunda kamu gak setuju dan bilang ke wali kelas kita untuk mengundurkan diri?" ucap Andra dari balkon rumah yang kebetulan bersampingan dengan balkon kamar Kala.
Kala menarik napas panjang. Ia tidak mampu menjawab dengan kata hanya anggukan sebagai jawabannya.
"Alasannya apa?!" ucap Andra penuh penekanan dan tanda tanya besar.
Kala menunjukkan sebuah foto yang menunjukkan dirinya dengan Banu saat belajar bersama. Andra menaikkan kedua alis. Dalam benaknya penuh tanda tanya.
"Ada orang yang sengaja kirim foto itu ke bunda."
Mata Andra melotot tidak percaya. "Itu siapa yang kirim? Ngadi ngadi.."
"Entah.." jawab Kala.
"Tenang, Kal. Pasti gua bantu lo."
"Ini gak bisa dibiarin ni.. Lo gak salah. Lo sama Banu murni belajar gak pacaran!"
"Androy... Droy.. Di mana lu? Ayok kita berangkat, gua udah kelar mandi sama pake baju. Sepuluh menit lagi kita telat!"
"Kala, buka pintu. Abang bawa sarapan buat kamu."
Kala dan Andra saling bertatapan ketika mendengar suara-suara itu. Kala sepontan menyahut panggilan Aksa.
"Iyaa, Abang... Sebentar, Kala lagi di kamar mandi..."
"Em.. Andra, maaf ya. Aku harus masuk. Ma- makasih udah dengerin cerita aku.." Andra menganggukkan kepala.
"Aku duluan masuk ya.."
Usai memberikan senyuman pamit pada Andra. Kala bergegas menutup pintu balkon kamar. Dan membuka pintu kamarnya. Karena takut Aksa marah jika ia lama membuka pintu.
"Lama banget.."
Aksa meletakkan nampan yang berisi sarapan dan duduk di atas tempat tidur Kala. Ia menatap Kala yang masih saja berdiri di dekat pintu. Aksa memberi isyarat untuk Kala supaya ia duduk di sampingnya. Dengan canggung Kala menurut. Aksa sedikit menarik napas sebelum berkata.
"Bunda ke sekolah. Mau minta Bu Loli buat hapus nama kamu dari daftar olimpiade. Minta buat diganti sama orang lain."
Kala tidak menjawab ia hanya bisa menarik napas panjang. Sudah tidak ada harapan lagi.
"Lagi lu kenapa sih.. Aneh aneh aja."
"Banggain bunda sedikit dong. Kalo ga bisa kaya gua, minimal ga usah buat bunda marah dengan cara bohong."
Perkataan Aksa langsung menghujam hati Kala. Tidak lama setelah Aksa berujar.
"Kala udah bilang Kalo, Kala gak pacaran sama Banu!"
"Lu kok jadi ngebentak gua?!" sentak Aksa kesal. "Gua bilangnya baik-baik ya sama lu."
"Abang... Bunda.. Sama Ayah itu gak ada yang pernah ngertiin Kala.."
"Kalo abang salah pasti Bunda garda terdepan buat belain abang. Terus kalo adel salah ayah garda terdepan buat belain. Terus kalo, Kala yang salah gak ada yang mau jadi garda buat Kala!"
"Kala cuma punya Kala sendiri.. Kala salah ya Kala harus bisa bela sendiri. Walaupun gak akan bisa.."
"Kala pengen jadi kaya abang sama adek yang kalo mau makan pasti ditanyain mau dimasakin apa..."
"Selama ini Kala gak pernah ditanyain sama Bunda mau dimasakin makasan apa. Bunda sellau bilang udah banyak masak masakan kesukaan abang sama adek. Jadi Kala harus makan makanan yang udah ada."
"Ayah juga sama kalo abang dibolehin buat pilih sekolah di mana abang mau sekolah dan adel yang dibolehin pilih mainan yang disuka waktu mau beli. Kala ga dapat keduanya."
Aksa membalik badan menatap Kala yang sudah berbulir penuh air mata. Saat Aksa ingin mendekat buru-buru Kala berlari masuk ke dalam kamar mandi dan mengunci pintunya. Kala kemudian menyadarkan tubih dari balik pintu kamar mandi. Beberapa kali Kala mendengar suara Aksa yang samar-samar memanggil namanya.
"Kal.. Kala.. Buka pintunya.."
"Abang mau ngomong sama kamu.."
"Ga ada yang oerlu diomongin bang.. Karena Kala cuma punya diri Kala sendiri. Engga kaya Abang Aksa sama adek."
Mendengar ucapan itu perasaan Aksa sungguh berkecamuk. Aksa kira dirinya lah yang paling menderita karena ia harus menanggung beban ekspektasi sang Bunda yang selalu mendambakan anak berprestasi. Sampai-sampai segala prestasi sekecil apapun selalu diceritakan kepada teman-temannya. Namun, ternyata Aksa salah, Kala lah yang selama ini menderita. Menderita karena haus kasih sayang dari orang tua yang membedakan perlakuan setiap anaknya.
"Maafin abang ya, Kal.."