Hari-hari selanjutnya berlalu bagai di neraka bagi Alya. Andre dan Sandra, sudah pasti merundungnya habis-habisan. Di kelas, di kantin, di mana saja Sandra bertemu Alya, gadis itu akan berkata keras-keras tentang betapa culasnya putri guru matematika mereka. Sindiran-sindiran tajam itu selalu membuat Alya berakhir mengurung diri di toilet sekolah. Alya sudah memblokir kontak Andre dan Sandra, juga teman-teman segeng Andre, termasuk Cika. Akan tetapi, dia toh tidak bisa menghindar sepenuhnya. Mereka satu kelas, bahkan ada beberapa tugas yang membuat Alya harus satu kelompok dengan cowok itu.
Namun, sebetulnya, yang membuat Alya lebih gusar adalah tanggapan teman-temannya. Hanya Fifi seorang yang bersimpati padanya, tetap memandang Alya dari sudut yang berbeda dengan kebanyakan teman. Tahi lalat pick me, si haus validasi, si paling sus, hanyalah beberapa dari banyaknya julukan baru untuk Alya. Alya kini sadar betul bahwa gadis sangat biasa sepertinya tak akan dapat pembelaan siapa-siapa, meski dari kacamatanya, dia adalah korban. Teman-teman tidak menaruh belas kasih padanya, sementara Sandra dan Andre—yang good looking dan kaya—bisa lolos begitu saja dari kecaman. Semua terasa tidak adil bagi Alya.
Setelah insiden ruang BK itu, secepat itu pula berita tentang mereka tersebar. Alya, yang wajahnya merah dan sembap, disambut Fifi yang hilang jenakanya. Sahabatnya itu sangat prihatin sekaligus heran. Alya anak emas sekolah, dan ruang BK, itu saja sudah terasa salah.
"Ada apa, Ya? Kamu kenapa?” cecar Fifi begitu Alya kembali ke kelas. “Ka-kamu nangis, Ya?”
Mendapati serentetan kepedulian Fifi, tangis Alya meledak lagi. Dia membenamkan kepala di meja, bahunya berguncang-guncang. Fifi menatapnya penuh kekhawatiran. Rasa penasarannya tak terbendung, tapi dia membiarkan Alya menangis dulu, menumpahkan segala emosi.
Belum juga Alya tenang dan bisa meredam tangisnya, dia mendengar pintu kelas ditendang keras. Tak hanya Alya, sontak semua anak menoleh ke arah pintu. Andre, berkacak pinggang dengan tampang penuh amarah dan kesombongan, berdiri di sana. Alya menelan ludah susah payah saat cowok itu berjalan ke mejanya.
"Dasar Tahi Lalat nggak tahu diuntung!” Andre menggebrak meja. Fifi berjengit di kursinya. “Kalau nggak ada aku, kamu nggak bakalan bisa datang ke party-nya Sandra! Kamu nggak bakalan bisa punya teman! Dasar cupu!" Andre mencecar, telunjuknya menuding-nuding wajah Alya.
Melihat perlakuan Andre yang seperti orang tidak pernah menyentuh bangku sekolah, Fifi berdiri. Dia menantang Andre dengan murka. “Apa-apaan sih, Ndre? Beraninya sama cewek! Ngomong yang sopan kan bisa!”
"Eh, nggak usah ikut-ikut!” Andre mendengkus. Dadanya naik turun. “Gara-gara temanmu ini, aku diskors! Ortuku dipanggil ke sekolah. Puas kamu, Tahi Lalat?"
“Ya nggak usah gini juga, dong! Selesaiin baik-baik!” Suara cempreng Fifi naik satu oktaf. Teman-teman sudah mulai berkerumun.
“Emangnya ada apa sih, Ndre?” Cika, yang tak tahu menahu soal masalah ini, buka suara. Andre pun menceritakan kronologis yang dibolak-balik seperti versi Sandra. Alya ternganga mendengar itu, begitu pula semua teman-temannya. Termasuk Fifi.
"Dia bohong, teman-teman!" Alya berdiri, suaranya parau tanpa tenaga. Dia sudah lelah sekali dengan drama ini, bahkan untuk membela diri.
Namun, sisi lain dirinya juga tidak terima diperlakukan seperti ini oleh Andre dan Sandra. Biar bagaimanapun, dia harus memperjuangkan nama baiknya.
"Kamu benar-benar nggak tahu malu, ya, Ndre!” Bibir Alya bergetar, air mata dan ingusnya berleleran. “Kamu manfaatin aku, kamu bohongin aku, kamu curang! Kamu dan gengmu itu nggak pernah tulus berteman sama aku. Kalian semua jahat!" Alya menyentak tangan Fifi yang berupaya menahannya. Fifi terperangah. Baru kali ini dia melihat Alya semarah itu.
"Ndre, apa kamu pikir, mentang-mentang kamu kaya, kamu bisa dapat segalanya? Nggak, Ndre! Kamu nggak bisa seterusnya manfaatin orang lain demi kepentingan kamu! Kamu pikir aku nggak punya hati dan perasaan? Kamu pikir aku sebodoh itu, hanya karena suka sama kamu terus bisa seenaknya kamu injak-injak? Nggak!" Api amarah Alya semakin berkobar. Wajahnya merah padam.
"Asal kalian tahu! Andre dan Sandra nyuruh aku nyuri soal ulangan matematika dari ayahku sebagai syarat biar aku diundang ke pesta Sandra. Dan pas ketahuan BK barusan, mereka bilang aku yang nawarin soal itu ke mereka. Selama mid kemarin Andre dan gengnya juga nuntut aku buat nyontekin mereka terus kalau aku masih pengin berteman sama mereka. Silakan kalian nilai sendiri siapa yang di sini nggak punya hati!" Napas Alya terengah-engah.
Andre menggebrak meja sekali lagi, geliginya mengertak. Lantas, dia berbalik arah dan menyibak kerumunan yang hanya bisa saling tatap.
*
Menghadapi tatapan sinis dan penghakiman dari teman-temannya bukanlah masalah yang sesungguhnya bagi Alya. Masalah sebenarnya, tentu saja, ada di rumah. Sewaktu Alya dipanggil ke ruang BK, Ayah sedang mengikuti pelatihan selama satu minggu di luar kota. Semesta seolah memberi jeda padanya agar bisa menghadapi problema pelik itu satu per satu.
Hari ini, Ayah pulang. Saat bel pulang sekolah berbunyi, Alya merasa seperti akan berperang. Rumahnya adalah tempat terakhir yang ingin dia kunjungi. Basa-basi, Alya mengajak Fifi membuat tugas bersama. Gadis bertubuh gempal tersebut mengangguk mengerti, dan mengajak Alya untuk berlama-lama di rumahnya.
Akan tetapi, waktu toh berlalu juga. Alya tak mungkin menginap di rumah Fifi atau minggat ke mana. Cepat atau lambat, dia harus menghadapi Ayah.
“Tenang, Ya, nggak akan separah itu, kok. Kamu hanya perlu jujur aja. Orangtua selalu luluh sama kejujuran kita, kan?” Fifi melepas Alya dari gerbang rumah dengan wejangan sok dewasa.
Alya menggigit bibirnya. Dia kenal Ayah, tahu bagaimana Ayah. Masalah ini tidak akan selesai hanya dengan dia berkata jujur. Ayahnya selalu lebih rumit jika menyangkut dirinya.
“Ka-kalau besok aku nggak berangkat … mungkin aku—”
“Ya! Nggak usah lebay, deh!” Fifi menukas tajam. “Kalau kamu sampai diusir dari rumah, telepon aku! Aku jemput! Mama papaku siap nampung kamu. Kalau disuruh milih satu, kamu atau aku, mereka mungkin bakal milih kamu, Ya. Dibuanglah aku.” Fifi mencoba melucu dengan ekspresi jenakanya, tapi Alya hanya tersenyum simpul menanggapi banyolan itu.
“Ya udah, aku pulang dulu, Fi.” Gadis bertahi lalat tersebut melangkahkan diri pada kenyataan.
Seperti yang Alya duga, nyaris menyerupai dejavu, Ayah sudah menantinya—bahkan bukan di ruang tamu, melainkan di teras. Alya gentar setengah mati, tangannya gemetar membuka gerbang. Langkah kakinya tersaruk-saruk dan wajahnya tak bisa diangkat sesenti pun. Alya merasa beban yang tak kuasa dia tanggung tumpah di pundaknya. Ingin rasanya dia berbalik arah, berlari secepat mungkin dari rumah. Namun, semua itu hanya ada dalam kepalanya. Tatapan tajam Ayah yang bahkan tidak dia lihat langsung, mengunci tubuhnya. Boro-boro lari, bernapas saja rasanya menyakitkan bagi Alya.
“Cepat masuk! Ayah mau bicara!” Nada suara itu datar, dingin, tak berekspresi. Ibu, yang entah sudah sejak kapan ada di sampingnya, menuntun Alya. Rasanya Alya sedang digiring ke tiang gantungan.
Alya otomatis ikut duduk di kursi ruang tamu, saat Ayah duduk. Ibu mengenyakkan diri di sampingnya, mengusap-usap punggung Alya. Alya masih tak berani mengangkat kepala, tapi Ayah tidak menunggu. Whatever will be, will be … Alya mengucapkan mantra dalam hati.
"Ayah nggak mau basa-basi dan cuma mau tanya satu kali. Benar kamu mencuri soal ulangan dari laptop Ayah dan kamu berikan pada Sandra?"
Penghakiman itu dimulai. Alya memilin-milin ujung jilbab, kakinya bergerak-gerak resah. Keringat dingin mulai merambati punggungnya. Hanya ada keheningan. Semua orang tampak menahan napas.
"Tatap wajah orang yang sedang mengajakmu bicara! Ayah sudah ajari kamu sejak kecil!"
Alya tersentak kaget. Tubuhnya mulai panas dingin dan air matanya berdesakan ingin memecah bendungan. Ibu, sama terkejutnya, memperingatkan sang suami.
“Jangan terlalu keras, Mas!”
“Jangan menyela atau ngajari aku cara mendidik anak!” Ayah semakin murka. Tatapannya menghunjam Ibu. “Lihat ini! Sudah kudidik sejak kecil, kutanamkan nilai-nilai budi padanya agar dia jadi manusia, apa hasilnya?”
“Dia sudah jadi manusia. Lebih dari yang kamu harapkan!” Alya sontak mendongak pada Ibu yang seolah menjelma jadi sosok lain. Suaranya yang dalam dan tajam, rahangnya yang mengertak, air menggenang di mata, terlebih karena wanita itu berani menjawab perkataan Ayah.
“I-Ibu …” Bibir Alya berkecumik.
“Kamu tahu apa yang anakmu ini lakukan, Mar?” teriak Ayah. “Dia curi soal ulangan, dikasihkan ke rombongan anak-anak badung, biar apa? Biar diundang ke pesta ulang tahun! Sesepele itu, tapi aku harus menanggung malu seumur hidup!”
“Anakmu nggak berbuat asusila!” Ibu mengertak. “Dia juara olimpiade nasional, selalu rangking tiga besar. Dia penurut, tidak pacaran, bahkan kamu sita terus-terusan ponselnya. Apa yang bisa membuatmu malu seumur hidup, Mas?”
"Diam, Marni!” Napas Ayah terengah. “Berani-beraninya kamu jawab suami yang lagi bicara!” Lelaki itu sudah berdiri sambil menuding Ibu. Alya tersentak dan refleks memeluk wanita itu.
“Alya juga anakmu! Kamu tidak pernah sadar kamu perlakukan dia seperti apa?” Ibu tak gentar, justru ikut berdiri menantang Ayah.
“Dia susah diatur! Susah dididik! Lihat apa yang dia lakukan sekarang, ha? Geografi, anak-anak badung! Mau jadi apa dia? Aku tidak minta muluk-muluk, tapi seenggaknya dia bisa seperti Abr—”
“ABRAM SUDAH NGGAK ADA, MAS!”
Alya terbeliak. Tangis Ibu meledak. Wanita itu jatuh terduduk, segenap tubuhnya lunglai. Ayah, yang mendengar kalimat tak terduga dari istrinya, dalam sekejap terdiam. Ekspresinya seketika berubah, dari penuh kemarahan menjadi wajah yang sarat kepedihan.
“I-Ibu, udah … udah …” Alya tak sanggup lagi. Air matanya sudah tak bisa dibendung.
“Abram sudah nggak ada, dan kamu seharusnya hidup buat Alya, Mas, buatku. Bukan ikut mati ….” Suara Ibu bergetar. Alya memeluk wanita itu lagi, dan mereka saling bertangisan.
Pandangan Ayah menerawang kosong. Segala hal tentang anak laki-laki kebanggaannya selalu membuatnya lemah. Pria garang itu mendesah putus asa, lantas dengan gontai kembali ke kursi. Kedua tangan bertumpu di lutut, menangkup wajah. Dia tak mau istri dan putrinya melihat air matanya ikut menitik.
Hanya isak tangis yang terdengar untuk beberapa saat lamanya. Alya tak mampu berkata-kata lagi. Dia tidak menyangka mereka akan membicarakan Abram dengan cara seperti ini. Luka kehilangan itu belum sembuh sama sekali, dan selama ini dia, Ibu, Ayah, memilih untuk tidak mengungkitnya. Semua berjalan seperti biasa, seolah semua baik-baik saja, seolah mereka sudah bisa menerima. Namun, Alya tahu pasti, dari Ibu yang terlalu banyak memandang kosong, dari Ayah yang diam-diam masih selalu masuk ke kamar Abram, dari dirinya sendiri yang sering menangis karena rindu pada Abram. Alya tahu mereka belum bisa melepaskan Abram, bagaimanapun juga.
Kehilangan Abram adalah ujian terberat bagi keluarga mereka. Alya masih terlalu muda untuk mengerti bagaimana cara menghadapinya. Dia pikir, Ayah atau Ibu akan merangkulnya, berusaha melewati ini bersama-sama. Namun, kedua orangtuanya justru berdiam diri, merasakan pedihnya sendiri, membiarkan Alya terombang-ambing dalam pusaran hampa kehilangan. Alya pikir, bukankah seharusnya mereka menghadapi ini bersama, menangisi Abram bersama, bukannya saling sembunyi-sembunyi? Alya pikir seharusnya mereka duduk bersama, mengenang dan membicarakan semua kebaikan Abram, kecemerlangan pemuda itu—bukannya malah saling bungkam seolah Abram adalah sesuatu yang harus disingkirkan.
“Yah …” Alya angkat bicara. Sebetulnya ada banyak hal yang ingin dia katakan pada Ayah. Dadanya yang tadi sarat akan kemarahan kini terasa kosong. “Aku minta maaf …”
Ayah mengangkat wajahnya. Tatapan galaknya pada Alya lenyap sama sekali.
“Maaf kalau aku nggak jadi seperti yang Ayah mau. Kalau aku … nggak sehebat Kak Abram.” Gadis bertahi lalat itu menghela napas. Air matanya mendesak keluar lagi. “Aku memang bodoh, mau dimanfaatin sama Andre dan teman-temannya. Tapi Ayah tahu kenapa aku mau ngelakuin itu?”
Ibu, yang juga sudah reda tangisnya, meremas bahu Alya. Ayah masih bergeming, hanya menatap lurus pada putrinya.
“Karena mereka mengakui kalau aku cemerlang, Yah. Sesuatu yang … nggak pernah kudapat dari Ayah.”
Pria itu menelan ludahnya yang membatu. Dadanya seakan terhimpit oleh sesuatu yang demikian berat, membuatnya sesak.
“Aku juga kagum sama Kak Abram, kok, Yah. Sama bangganya seperti Ayah. Aku juga sangat kehilangan dia. Tapi … geografi juga nggak buruk, Yah.”
“Nggak, Alya, nggak. Ibu bangga sekali sama kamu.” Ibu merangkul putrinya yang mulai sesenggukan lagi.
“Aku nggak akan minta apa-apa dari Ayah. Aku akan usaha sendiri biar bisa kuliah tanpa harus membebani Ayah. Tapi tolong, Yah, seenggaknya hargai pilihanku.”
Alya tersenyum, rasa gentarnya luruh. Dia menatap Ayah dengan pandangan buram karena air mata. Rasa sesak yang menggelayuti dirinya selama ini, sedikit terangkat. Dia lega sudah bisa menyampaikannya pada Ayah, meski dengan cara yang cukup menyakitkan. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, gadis itu berlalu dari ruang tamu ke kamarnya.[]