Ceiricit burung di pepohonan rindang yang berjejer di taman depan kost baru Raina, membangunkan gadis itu. Sinar mentari sudah cukup terang. Jam di ponsel menunjukkan pukul enam tiga puluh. Perut Raina berkemerucuk nyaring. Saatnya sarapan.
Menghindari pacar yang kuliah di kota apalagi kampus yang sama, dan tahu segalanya, memang sulit. Raina jelas tidak mau kembali ke kost lamanya. Bertemu Tiwi, bahkan melewati kamar temannya itu saja membuatnya mual. Akhirnya, dana darurat Raina terpakai juga. Dia tidak bilang Mama kalau pindah kost, tidak mau hal sepele seperti ini diributkan. Mama punya keahlian untuk membuat masalah jadi besar.
Satu minggu berlalu sejak kejadian traumatis itu. Raina memblokir kontak Bagas dan Tiwi. Entah, setelah ini, mungkin dia tidak akan pernah percaya lagi pada yang namanya laki-laki. Dia mengawang-ngawang di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar. Kost ini—khusus perempuan—lebih mahal dan luas dari kost lamanya, juga lebih ketat aturannya. Tidak akan ada cewek-cewek seperti Tiwi yang bisa menyelundupkan pacar ke kamar, karena sekuriti bertugas 24 jam. Setiap tamu yang berkunjung juga harus meninggalkan tanda pengenal. Bagas, sejauh ini, belum muncul dramatis—seperti biasa—di depan kost-nya. Raina harap cowok itu tidak tahu dia pindah ke mana.
Bapaknya tidak bertanggung jawab. Pria itu membiarkan mamanya menanggung beban sebagai tulang rusuk sekaligus tulang punggung. Raina tidak pernah tahu kabar sang bapak sekarang. Mama melarangnya mencari tahu. Tidak ada gunanya, kata Mama. Malah bisa-bisa Raina dipalak karena tahu dapat kiriman uang dari Mama. Raina menurut saja.
Sekarang, pacar yang dia kira tidak akan seperti bapaknya, punya penyakit suka selingkuh. Raina mengembuskan napas berat. Mungkin takdirnya memang begini, tidak mujur dalam berurusan dengan lelaki. Dia pernah membaca sebuah buku psikologi—iseng beberapa bab saja—dan menemukan teori bahwa luka batin yang belum sembuh akan menjebak kita, selalu mempertemukan dengan orang-orang yang punya tabiat sama seperti si pemberi luka.
Awalnya, Raina tidak percaya. Tapi, setelah dipikir lebih jauh, itu terjadi pada Mama. Setelah cerai, Mama dua kali menjalin hubungan dengan lelaki, tapi tak pernah berhasil. Dua-duanya ketahuan hanya mau uang Mama saja. Namun, dirinya berbeda, bukan? Dia tidak merasa begitu terluka karena sang bapak. Dia masih terlalu kecil dulu, hanya melihat sekilas-sekilas pertengkaran Mama dan bapaknya. Kenapa dia menanggung kutukan ini juga?
Mengembuskan napas berat dan demo di perutnya yang semakin nyaring, Raina turun juga dari tempat tidur. Mencuci muka, menyambar jilbab instan dan jaket, gadis itu turun ke bawah. Kost barunya sangat strategis, ke mana-mana mudah. Rumah makan berjejer-jejer di seberang jalan, mulai dari nasi campur lima ribu sampai pizza pun ada.
Satpam menyapanya—pria paruh baya yang ramah pada para penghuni kost, garang pada tamu apalagi jika tamu itu laki-laki. Di kost ini, batas bertamu hanya sampai pukul sembilan malam. Sudah seperti jam jenguk rumah sakit saja. Namun, itu yang persisnya Raina butuhkan sekarang. Dia ingin menghindari siapa saja.
“Pagi, Pak. Udah sarapan?” balas Raina.
“Sudah, Mbak Raina.”
“Saya belikan gorengan ya, Pak.” Raina ingin membalas kebaikan Pak Satpam karena membantunya pindah-pindah kemarin.
“Makasih, Mbak.” Satpam itu tersenyum lebar.
Raina balas tersenyum. Dia keluar gerbang dengan perasaan yang jauh lebih baik dibanding hari-hari kemarin. Sinar matahari yang hangat menyambutnya. Raina berdiri sekejap di tempat terang yang dijatuhi sinar pagi sang surya, menikmatinya. Memejamkan mata, dia merasakan kehangatan merasuk di setiap pori-pori. Vitamin D alami karunia Tuhan, gadis itu bergumam. Konon—dia pernah membaca postingan seorang dokter di Instagram—kekurangan vitamin D bisa membuat orang depresi. Mengerikan sekali.
Saat membuka mata, Raina tergemap. Sekitar lima meter dari kostnya, di pinggir trotoar, dia melihat motor yang sangat dikenalinya. Pengendaranya bersandar di jok, mengamatinya lekat. Tak sampai hitungan detik, cowok itu mendekatinya dalam langkah-langkah panjang.
Raina mengumpat pelan. Dari mana Bagas tahu dia ada di sini? Buru-buru, Raina mempercepat langkah, berbalik arah. Dia benar-benar tidak mau berurusan dengan Bagas lagi. Melihat cowok itu saja rasanya jijik setengah mati.
“Rain, Rain! Plis, aku nyariin kamu ke mana-mana!” Bagas sudah sejajar dengannya, memblokir Raina yang berjalan cepat.
Gadis itu mendengkus. “Aku nggak mau ketemu kamu lagi! Pergi!”
“Dengerin aku dulu, Rain!”
“Dengerin apa? Kronologimu tidur sama Tiwi?” jawab Raina sarkas.
Bagas mengerang frustrasi. “Nggak gitu ceritanya, Rain. Aku dijebak sama Tiwi. Plis, dengerin aku dulu.”
“Bulshit!”
Bagas mencoba menggapai lengan Raina, hendak menghentikan gadis itu. Raina menepisnya tanpa ampun. “Berani sentuh, aku teriak!”
Cowok itu terperangah. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Hanya seliweran motor yang mulai ramai, mendekati jam kerja, menengahi mereka.
“Jangan temui aku lagi. Kamu bikin aku jijik!” ucap Raina final, semakin mempercepat langkahnya.
Bagas tidak menyerah. Dia terus mengejar Raina, memohon-mohon.
“Pergi, Bagas! Kita put—”
“Aku kayak gitu juga karena kamu!”
Teriakan Bagas membuat Raina refleks menghentikan langkah. Kedua mata sipitnya menyipit tajam. “Apa?”
“Kamu sok suci, Rain! Sok nggak mau diajak tidur! Munafik!”
“A-apa?” Raina mencoba mencerna ucapan Bagas.
“Bertahun-tahun kita pacaran. Aku dapat apa?”
Gelombang besar seolah menghantam Raina. Tubuhnya limbung, entah karena lapar atau kenyataan menyakitkan lain yang baru saja Bagas lontarkan. Dia benar-benar merasa bodoh sekali sekarang. Bisa-bisanya selama ini dia mengira Bagas adalah cowok yang tulus, yang tidak mengharapkan hal-hal menjijikkan seperti itu darinya.
“Jadi itu alasan kamu selingkuh?” Raina bergumam. Bagas menyugar keras-keras rambutnya, kentara sekali frustrasi. “Makasih udah bilang. Sekarang aku yakin seribu persen buat ninggalin kamu!”
“Rain, Rain, maaf Rain, nggak gitu maksudku. Maaf, Rain …” Cowok itu berlutut di depan Raina, membuat semua pandangan orang yang berlalu lalang tertuju pada mereka.
Raina sudah mendapatkan kekuatannya lagi. Dia kembali berjalan cepat, menuju kostan. Kelakuan Bagas hanya membuatnya malu.
“Dasar cowok manipulatif! Kamu playing victim biar aku ngerasa bersalah? Jangan harap!”
“Ra, Raina!” Bagas masih terus mengejar. “Aku nggak mau putus!”
Raina berhenti mendadak di depan gerbang kost. Bagas hampir saja menubruknya. Tajam, untuk terakhir kali, Raina menatap cowok itu. “Aku nggak akan terpengaruh apa pun lagi! Kamu bisa pilih, mau nyakiti diri kamu sendiri atau perlu aku yang ngelakuin itu?”
Bagas menelan ludahnya susah payah. Raina tidak kelihatan main-main. Menyakiti dirinya sendiri adalah senjata pamungkasnya untuk membuat Raina kembali. Kalau dengan ancaman bunuh diri saja sudah tidak mempan, harus dengan cara apalagi?
“Ra-Rain … aku bisa mati kalau nggak sama-sama kamu.”
"Bagus. Aku nggak akan ngelayat!" Raina mendengkus. Dia berlalu begitu saja dengan langkah mengentak, bersamaan dengan Pak Satpam yang menghampiri mereka.
“Ada apa, Mbak Raina?” tanya pria itu.
“Orang gila, Pak. Tolong diurus, ya.”
Di belakangnya, Raina bisa mendengar Bagas meneriakkan namanya dan usiran garang Pak Satpam.[]