Baru satu hari berlalu dari peristiwa yang dramatis ala sinetron itu, hidup Raina kembali riuh. Bagas, Bagas, Bagas lagi! Dia benar-benar mual mendengar nama cowok yang baru berubah statusnya menjadi mantan. Kemarin, cowok itu masih menunggu di depan kost-nya sampai satu jam. Satpam sampai kebingungan bagaimana mengusir Bagas. Pria tersebut akhirnya menggertak akan memanggil polisi karena kelakuan Bagas yang meresahkan. Bagas pun menyingkir.
Tapi Mama, beda cerita. Sudah tiga hari Raina memblokir kontak Mama karena perempuan itu terus-terusan mencecarnya tentang Bagas. Keadaan hati Raina semakin berantakan gara-gara Mama. Meski rasa bersalah juga menghantuinya, tapi dia benar-benar sedang butuh waktu untuk sendiri dulu—menghindar dari segala sesuatu tentang Bagas. Mamanya benar-benar tidak memahami itu.
Tak hanya kontak Mama, kontak ibu Bagas pun Raina blokir. Dia menyadari, menghadapi ibu sang mantan yang demikian baik dan berperangai lembut—kebalikan dari Mama—membuatnya lemah. Dia masih bisa membantah Mama, tapi ibu Bagas bukan tipe orang yang bisa dibantah. Bukan karena menakutkan atau apa, tapi karena betapa bersahajanya dia. Raina—dalam pikiran semrawutnya kini—mengira mungkin Bagas adalah anak pungut.
Hari ini, dia membuka blokirannya terhadap nomor Mama, dan langsung saja, panggilan serta pesan dari Mama menyerbu. Ponselnya tidak berhenti berbunyi. Kadang-kadang Raina bingung juga, sebenarnya Mama sedang bekerja atau tamasya jauh di sana. Waktu senggangnya banyak sekali.
Mama
Ra, angkat! Mama mau ngomong.
Kemudian panggilan video masuk lagi. Raina mengabaikannya dengan terus makan ketoprak yang baru dibeli. Namun, akhirnya toh dia tidak sabar juga. Tiga hari memberinya kekuatan untuk menghadapi Mama. Raina pikir, inilah saatnya menyelesaikan semuanya. Final. Mama boleh mengatur hidupnya sedemikian rupa—kuliah di mana, pakai baju apa—tapi hatinya adalah miliknya. Dia berhak lari dari segala hal yang menyakitkan.
Gadis berlesung pipi itu menerima panggilan video.
“Kamu memang persis bapakmu! Bisanya lari dari masalah!” Wajah Mama, galak, nadanya setinggi pancang listrik, memenuhi layar ponsel Raina. Raina menanggapinya santai sekali, sambil makan kerupuk ketoprak yang dia cocol-cocolkan dengan sisa-sisa bumbu.
“Bagas bilang kamu pindah kost. Kenapa nggak bilang Mama?” Mama mendelik melihat respon putrinya itu.
Raina menyeruput es tehnya sebelum menjawab dengan nada santai, “Kalau bilang emang Mama mau pulang? Bantuin aku pindah-pindah?”
Mama tergemap. Raina bisa melihat ekspresi wajah sang mama berubah, dari marah menjadi marah sekali. Namun, dia maju terus. “Nggak, kan? Apa-apa aku juga sendiri, kok.”
“Raina!”
“Udah, Ma, nggak usah marah-marah terus. Capek.” Raina mendesah. “Dan nggak usah hubungi Bagas lagi. Aku sama dia udah putus.”
Di ujung belahan lain dunia, wajah Mama merah padam. Baru sekali ini dia mendapati Raina menjawabi titahnya. Anak itu lebih banyak diam dan menurut, tanpa protes, asal uang darinya lancar. Selama ini, ancamannya untuk tidak mengirimi uang jika dia berulah, bisa diandalkan. Hari ini, dia lihat Raina berbeda.
“Kamu memang nggak pernah dengerin Mama, ya! Bagas itu udah paling benar jadi pacar kamu. Orangtuanya terpandang! Bisa bantuin kamu cari kerjaan, bisa ngangkat derajat kamu, derajat Mama! Kamu mau yang gimana lagi sih, Ra?”
Raina memutar bola mata. Dia jengah sekali lagi-lagi, sepertinya untuk keseribu kali, terlibat dalam percakapan seperti ini.
“Dia selingkuh, Ma. Tiga kali! Mama tega lihat anaknya disakiti kayak gitu terus?”
“Tahan, Ra! Bagas sama kayak kamu, masih belum dewasa. Nanti juga dia berubah.”
“Ma …” Raina tersenyum miris. Dia sungguh tidak menyangka inilah yang akan dikatakan Mama.
“Lagian nyari cowok setia zaman sekarang ini susah, Ra! Kamu harusnya bersyukur!”
“Aku diselingkuhi dan harus bersyukur?” Tawa sarkas Raina tak tertahan. “Mama nggak bersyukur dapat bapak. Mama juga pergi!”
“Jangan bawa-bawa bapakmu!” Geligi Mama mengertak.
Raina tahu dia sebaiknya mengakhiri perdebatan ini jika ingin hidupnya baik-baik saja. Mama adalah providernya. Namun, kali ini dia tidak lagi peduli pada apa pun. Mama stop uang, oke, dia akan cari kerjaan. Dia sudah lelah sekali menghadapi dua orang—Bagas dan mamanya—yang entah masih punya nurani atau tidak.
“Mama yang selalu bawa-bawa Bapak! Mama selalu bilang aku mirip dia, kan?”
“Oh, sadar kamu?” Mama mendengkus. “Kamu memang persis bapakmu! Nggak punya tanggung jawab, lari terus dari masalah! Mama didik kamu ketat dan keras kayak gini biar kamu nggak nurun sifat bapakmu itu. Tapi Mama lupa, biar gimanapun masih ada darahnya dalam diri kamu, ya, Ra. Pantas saja kamu jadi pengecut—”
"Mama!" Raina meraung.
"Apa? Apa, ha?” Amarah Mama semakin meruncing. “Mama, Mama, Mama! Iya, Mama! Memangnya bapakmu pernah ngurus kamu? Nggak, Ra! Mama semua! Mulai ngasih kamu makan, nyekolahin kamu, nguliahin kamu, bikinin kamu rumah, ngasih semua fasilitas, semua Mama! Tapi apa balasan kamu, ha? Pernah minta apa memangnya Mama sama kamu? Nggak pernah, kan? Yang kamu kasih cuma masalah terus-terusan!"
"Bagas selingkuh sama teman dekatku! Masalah apa yang aku kasih ke Mama? Aku cuma mutusin dia karena memang itu yang seharusnya aku lakuin!" Pelipis Raina terasa berdenyut-denyut, kedua matanya tersengat panas.
"Mama udah bilang, itu cuma karena Bagas belum dewasa. Kamu nggak perlu putusin dia! Kamu harus dapat suami yang mapan, Ra, biar nggak kayak Mama!" Mamanya tetap bersikeras.
"Biar nggak kayak Mama atau biar Mama bisa pamer di medsos dapat menantu kaya?"
"Raina!" Mama membeliak mendengar apa yang terlontar dari mulut putrinya.
Raina terkekeh. Air mata jatuh sebulir di pipinya. "Apa, Ma?" Tantang gadis itu. "Emang benar, kan, apa yang Mama lakuin semuanya ini buat Mama sendiri? Aku cuma alat biar Mama dipuji-puji semua orang, karena Mama janda yang bisa nguliahin anaknya, bangunin anaknya rumah, kasih motor, laptop, dan semua yang Mama pamerin di facebook itu! Padahal Mama nggak pernah peduli kan, sama aku?"
"Ra! Sekali lagi kamu ngomong—"
"Aku bakal ngomong!” Napas Raina memburu. Wajahnya merah padam dan jantungnya berdentam begitu keras. “Mama emang nggak pernah peduli sama aku! Apa Mama pernah dengar pendapatku? Apa Mama pernah mikirin soal kebahagiaanku? Ma, pikir, deh! Mana ada anak seumuranku yang bahagia hidup sendirian, meski rumahnya gede dan mewah kayak gini? Mana ada anak seumuranku yang rela diselingkuhi pacarnya berkali-kali hanya karena mamanya bilang pacarnya ini mantu idamannya yang mapan? Mana ada, Ma! Mama bahkan rela menukar kebahagiaanku demi prestise, demi agar Mama terlihat wah di mata orang-orang! Itu kan, yang Mama ingin?"
Mama bungkam. Sentakan rasa bersalah menghantam Raina saat perempuan yang membawanya ke dunia itu menitikkan air mata. Kemarahannya meretih, tapi tidak sepenuhnya. Sudah basah, menurut Raina, ya sudah basah sekalian. Dia akan terus bicara tentang semua yang dipendamnya selama ini.
"Mama tahu nggak?” Nada suara gadis itu terdengar putus asa. “Aku nggak suka Mama selalu nyama-nyamain aku sama Bapak. Mama bahkan nggak pernah percaya sama aku! Nggak pernah ngasih aku pilihan buat nentuin jalan hidupku sendiri karena takut aku nggak akan bertanggung jawab! Apa Mama tahu gimana tertekannya aku di bawah setiran Mama kayak gini? Bahkan soal asmara yang harusnya jadi privasi pun, Mama selalu ikut campur. Aku nggak suka, Ma!"
Jeda panjang terjadi. Raina membersit ingus yang membuat dadanya sesak.
"Mama terluka. Mama marah sama Bapak, sama keadaan. Aku tahu. Tapi kenapa aku yang jadi samsak kemarahan Mama? Itu nggak adil, Ma …” Raina terisak. Seiris rasa lega yang tak pernah dia rasakan, melingkupinya—seperti ada satu beban berat yang diangkat dari dada.
Mama terdiam. Wajahnya juga basah oleh air mata. Rautnya yang semula garang, perlahan-lahan mengendur mendengar pernyataan akhir Raina sebelum gadis itu menutup panggilan video call-nya.
“Aku tetap putusin Bagas. Sekali ini aja, biarin aku nentuin jalan hidupku sendiri, Ma …”
Wanita yang belum lama menginjak kepala empat itu menerawang jauh, menghela napas panjang dengan tujuan mengusir kemarahan. Rasa perih dan sesal melebur dalam hati, menyadari bahwa si lesung pipinya sudah dewasa.[]