Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kisah Cinta Gadis-Gadis Biasa
MENU
About Us  

"AKU NGGAK MAU, FAN!" Sofi memberontak sekuat tenaga saat Ifan lagi-lagi hendak melampiaskan nafsunya. Gadis itu menendang-nendang Ifan, membabi buta. Namun, cowok berbadan kekar itu tampak tak terpengaruh tendangan Sofi. Tangannya terangkat tinggi, dan gamparan menyakitkan mendarat di pipi gadis berambut ombak tersebut.

Sofi terisak. Di antara parau suaranya yang putus asa, rahasia yang selama ini dia simpan akhirnya terlepas juga. “Aku baru aja keguguran, Fan.”

Pernyataan itu bagaikan anak panah yang menembus dada Ifan. Dia berhenti dan terpana. Napasnya sedikit terengah, dahinya mengernyit penuh pertanyaan. Menyugar rambut, Ifan bertanya garang, “Apa? Apa kamu bilang barusan?”

"Aku keguguran, Fan! Anak kamu!" teriak Sofi, sarat emosi. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk meloloskan diri dari Ifan. Bergegas, dia bangun, meraih gagang pintu yang hanya sepelemparan batu dari kasur di kamar motel sempit itu. Sakit di pipinya terasa berdenyut-denyut. Luka di hatinya tak terkatakan lagi. Busuk dan bernanah. Setiap kali Ifan melakukan hal terkutuk ini, hati Sofi terasa koyak.

“Mau ke mana kamu?” Ifan merangsek, menghalangi pintu. “Jelasin dulu apa yang kamu bilang barusan!”

Sofi menatap pemuda itu dengan amarah berkobar. “Apa yang perlu dijelasin? Aku hamil! Hamil anak kamu!”

“Bohong!” Ifan mendengkus. “Tahu dari mana kalau itu anakku?”

Ucapan Ifan memberi efek yang tidak pernah Sofi rasakan sebelumnya. Dengan tangan bergetar karena rasa marah yang seketika bergulung-gulung di dada, dia ganti menggampar mulut Ifan. Telapak tangannya panas, berdenyut, hatinya pedih, dan air matanya tak terbendung lagi, tapi setidaknya dia sudah memberi ganjaran untuk pemuda ini. Perlakuan pantas yang selama ini dia tahan-tahan. 

Sejenak, Sofi memandang cincin berlian yang melingkar di jarinya—dan emosinya semakin meruah. Dia mengumpat dengan kata-kata makian paling kotor yang dia tahu. Dalam satu gerakan tak terduga, Sofi melepas cincin itu dan telak melemparkannya ke wajah Ifan. “Aku nggak akan nikah sama kamu!” raungnya.

Mendapati perlakuan Sofi, Ifan bagai kesetanan. Tangan kekarnya menarik rambut panjang gadis itu tanpa ampun, dan membenturkan kepala Sofi ke daun pintu. “Cewek nggak tahu diuntung! Kurang ajar! Rasain ini! Rasain!”

Sofi berteriak sekuat tenaga. Kedua tangannya menggedor-gedor pintu. Penglihatannya buram karena air mata, setengah berkunang-kunang karena benturan di kepalanya. “TOLONG! TOLOOONG!” Gadis itu melolong.

“Nggak tahu diuntung! Kamu pikir kamu siapa, hah! Setiap hari ngemis uangku, kayak gini balasanmu?” Wajah Ifan memerah dan pelipisnya berdenyut-denyut.

Sofi tersedak di antara teriakannya. Dia merasa sudah sampai di ambang hidupnya. Sekujur tubuhnya sakit, hatinya remuk. Gedoran tangannya mulai melemah. Teriakannya tak lagi bertenaga. Sofi pasrah jika dia harus mati di tangan Ifan. Mungkin, memang beginilah nasibnya. Tragis. Matanya memejam, menanti kesadarannya hilang.

Namun, Tuhan rupanya belum menginginkan gadis itu kembali. Sekuriti yang sedang berpatroli di kamar—karena beberapa minggu lalu ada yang gantung diri di salah satu kamar motel itu—mendengar pergulatan Sofi dan Ifan. Bergegas, lelaki paruh baya bertubuh tinggi besar itu mengetuk pintu kamar. 

“Ada masalah apa di dalam?” ucapnya lantang.

Mata Sofi seketika terbuka. Hatinya buncah oleh rasa syukur. Dia selamat kali ini. “Tolong saya, Pak!” 

Satpam itu mengambil kunci cadangan, dan lima menit kemudian Sofi terbebas. Ifan digelandang ke kantor sekuriti untuk diamankan, sementara Sofi pulang dengan taksi online. Wajah moleknya babak belur. Perasaannya hancur lebur. Dia pikir, sekuriti akan memberi Ifan pelajaran atau lebih bagusnya, membawa pemuda itu pada polisi. Pria tersebut bisa jadi saksi kunci tindakan pelecehan dan penganiayaan terhadapnya. Namun, Sofi tidak tahu bahwa uang, dalam banyak hal, bisa menyelesaikan masalah. Dengan lima lembar ratusan ribu, sekuriti itu pura-pura hilang ingatan. Ifan dapat semudah itu pulang.

*

Dua hari kemudian, masalah Sofi mencapai titik runyamnya—seperti yang sudah dia duga. Dua hari ini dia tidak bisa masuk kerja. Satu bulan ini dia sudah bolos empat hari. Dua hari pasca keguguran, yang berhasil dia tutup-tutupi dari semua temannya di D’Sunset Coffe, dan dua hari ini. Dia tidak mungkin melayani pelanggan dengan wajah bonyok sedemikian banyak. Krisna bahkan tak lagi membalas pesannya. Sofi harus bersiap jika akhir bulan ini, mungkin dia akan diberhentikan.

Bapak dan ibunya bertanya-tanya kenapa putri sulung mereka pulang dengan keadaan mengenaskan seperti itu. Namun, Sofi memutuskan untuk tutup mulut. Dia sudah sangat menderita dan sakit—komentar bapaknya yang mungkin justru akan membela Ifan, sama sekali tak ingin dia dengar. Akhirnya, dua hari ini dia hanya mengurung diri di kamar. 

Namun, petang ini, dia terpaksa keluar, ikut duduk di ruang tamu bersama Bapak, Ibu, juga Ifan dan bapaknya, Pak Haji Mukri yang terhormat. Gadis itu tak mau menatap Ifan mau pun calon mertuanya. Dia sudah benar-benar muak dengan semua ini. Ibu, yang menegurnya untuk tersenyum, tidak dihiraukan.  

“Anu … ada apa ini sebenarnya, Nak Ifan?” Bapak membuka percakapan. “Kelihatannya kalian sedang bertengkar. Sudah dua hari Sofi nggak mau keluar kamar.”

Uap tipis dari empat cangkir teh yang terhidang di meja kayu menjadi saksi keheningan di ruangan sempit itu. Ifan—Sofi meliriknya dari ekor mata—tampak sedang berpikir. Tentu dia harus mengarang jawaban semasuk akal mungkin. Bukankah sebelum ke sini harusnya dia sudah punya cerita versinya sendiri—mungkin Sofi jatuh, kecelakaan, dan sebagainya. Gampang saja. Toh Bapak mempercayai semua ucapan Ifan, termasuk ketika pemuda itu bilang akan menjaga Sofi. Menjaga Sofi.

Namun, kalimat pilihan Ifan membuat gadis itu sontak mendongakkan kepala.  "Sofi mau membatalkan pernikahan kami, Pak.”

Nyeri di sudut bibir, pelipis, kedua pipi, terlebih di hati Sofi, kembali berdenyut perih. Licik! Sekarang Ifan bahkan berperan sebagai orang yang paling tersakiti. Sofi antagonisnya di sini.

“Kenapa bisa begitu, Nak Ifan?” Kini, Ibu yang angkat bicara.

“Ibu tanya saja sendiri sama anak Ibu.” Ifan menjawab ketus. Perut Sofi mengejang seiring darahnya yang mendidih. Berani benar pemuda itu bersikap tidak sopan pada ibunya!

“Nak Ifan, kalau ada masalah sebaiknya dimusyawarahkan.” Bapak mencoba sok bijak, sambil melirik putrinya. “Ada apa, Sofi? Ayo kita selesaikan masalah kalian.”

Haji Mukri, lelaki yang ke mana-mana memakai kopiah putih sebagai pertanda bahwa dia sudah berhaji, berdeham. "Saya nggak ngerti sama anak sampean, Pak Muto. Bukannya sudah enak, tho, mau dinikahi Ifan? Nanti dia nggak perlu jadi pelayan kafe lagi. Hidupnya sudah pasti terjamin.”

Bapak mengangguk takzim pada calon besannya. “Benar, Pak Haji. Aduh, saya jadi nggak enak sendiri ini. Maafkan anak saya, Pak Haji, saya akan didik dia supaya lebih baik lagi.”

Pak Haji Mukri mengetuk-ngetukkan jemari di lengan kursi kayu yang diduduki. “Kalian ini sebetulnya beruntung sekali dapat anak saya sebagai mantu. Lihat gubuk reot ini, sudah mau roboh—”

“Saya nggak akan nikah sama Ifan!” Sofi mendesis. Tatapannya tak lagi disembunyikan, melainkan dihunjamkan langsung pada calon mertuanya—yang merasa terguncang karena perkataannya disela. Seumur hidup, tidak pernah ada yang berani berbuat begitu padanya.

“Sofi!” Bapak menegur keras. Ibu memegangi lengan suaminya.

“Kenapa, Pak? Bapak mau marah sama aku? Bapak mau usir aku dari sini? Nggak usah Bapak suruh, aku bakal pergi, Pak!”

Lelaki dengan kumis tebal melintang itu terkejut setengah mati mendapati reaksi putri sulungnya. Ibu apalagi. Selama ini, Sofi dikenal sebagai gadis penurut yang selalu riang, ramah, ceria, meski di rumah dia jarang bicara pada ibu dan bapaknya.

“Sofi …” Tatapan mata Ibu yang lembut membuat Sofi menangis terisak. Dadanya sudah tidak mampu menahan sesak. Dia juga sudah tidak sanggup bersandiwara lagi—menunjukkan sikap seolah-olah dia bahagia akan menikah dengan Ifan.

Inilah saatnya, Sofi membulatkan tekad. Harapan itu tidak akan datang sendiri padanya. Dialah yang akan menciptakannya. Dialah yang punya kendali atas hidupnya, dan tidak mau hal berharga itu lebih hancur lagi dari ini.

“Aku keguguran, Bu. Anak Ifan …”

Lirih saja, tapi sempurna membuat semua yang ada di ruang tamu itu ternganga. Waktu seperti terhenti untuk beberapa saat. Semua berusaha mencerna kalimat Sofi. Sementara, wajah Ifan seketika merah padam. Dia menghunjamkan tatapan tak ada ampun pada Sofi. Gadis itu balas menatapnya, menantang. 

"Ngomong yang jelas, Sofi!" Bentakan Bapak memutus koneksi Sofi dengan Ifan.

Sofi mengalihkan pandangan pada bapaknya, menghela napas panjang. "Ifan melecehkan aku terus-terusan selama ini, Pak.” Suaranya bergetar.

Ibu menahan napas. Tubuhnya mematung.

“Bapak lihat wajahku yang bonyok ini? Ibu sering lihat kan, aku lebam-lebam? Bukan jatuh seperti yang selalu kubilang, Bu, itu semua ulah Ifan! Dia mukulin aku kalau aku nggak mau memenuhi nafsu bejatnya!”

Sofi tak peduli apa yang akan Bapak lakukan terhadapnya setelah ini. Yang akan terjadi, terjadi saja. Yang penting, saat ini juga, dia mau memutuskan hubungannya dengan Ifan. Mau seperti apa Bapak melukainya, dia tidak akan lebih terluka lagi. Ifan sudah menorehkan segala bentuk luka yang begitu dalam padanya.

“Sofi, Sofi …” Air mata Ibu mulai menitik. Wanita itu merangkul putrinya, yang seketika menumpahkan lebih banyak air mata. Dua perempuan itu bertangis-tangisan, menjeda segalanya. “Maafin Ibu, Nak …”

Seperti putranya, wajah Pak Haji Mukri memerah. Tatapannya garang pada Ifan yang kini hanya bisa tertunduk dalam. Sementara, Bapak Sofi tak tahu harus bagaimana menanggapi situasi ini. Di lubuk hatinya, dia tentu tak terima Sofi diperlakukan demikian oleh Ifan. Namun, ada satu sisi batinnya yang berat melepas rencana pernikahan anaknya dengan juragan sawah. 

"Dia bohong, Pak!”

Sofi tergemap mendengar kalimat yang lolos dari bibir Ifan itu. Ibu, yang juga sama terkejut, melepas pelukannya.

“Dari mana kita tahu kalau itu anakku?”

“Ifan!” Ibu memekik.

“Lho, siapa yang tahu—”

“Cukup, Fan! Keterlaluan kamu!” Pak Haji Mukri mengertak. “Kamu memang anak nggak tahu diuntung! Kamu bilang akan berubah kalau dinikahkan. Apa? Mana?”

Ifan tertunduk lagi, sementara Sofi tertawa di tengah derai air matanya. "Kalian semua tahu, aku bahkan nggak tahu kalau ternyata aku hamil. Aku hampir pingsan di tempat kerja. Untung ada sahabatku yang bawa aku ke rumah sakit. Ternyata aku sudah keguguran sejak sehari sebelumnya."

Ibu, yang mendengar pengakuan tersebut, bagai teriris sembilu. Wanita itu tak mampu menatap putrinya, hanya tergugu sembari menangkupkan tangan di muka.

“Aku nggak peduli siapa yang mau Bapak, Ibu, dan Pak Haji percayai. Mau bilang ini bukan anak Ifan juga silakan. Aku nggak mau capek-capek membela diri.” Sofi menyusut air mata dan ingusnya dengan tisu. “Tapi aku punya bukti yang cukup buat menyeret Ifan ke penjara kalau aku mau.”

Ifan sontak mendongak. Tatapannya lurus pada Sofi, bertanya. Amarah mulai terlihat jelas di gurat wajahnya. Pak Haji berjengit, ikut tajam menatap Sofi. Sayang, rasa gentar Sofi sudah lesap. Dia tak lagi terintimidasi dengan tatapan mematikan itu. Dia bertekad untuk membebaskan diri. Detik ini juga! 

Gadis berambut ombak tersebut mengeluarkan ponsel yang sejak tadi ada di saku celana. Cekatan, dia membuka galeri video dan menunjukkannya pada semua—kejadian di parkiran kafe tempo lalu yang direkam Raina.

Sekonyong-konyong, tanpa ada yang menduga, Pak Haji Mukri bangkit dari kursi. Secepat kilat, lelaki berjenggot putih itu mendaratkan pukulan di kepala Ifan. “Anak bisanya bikin malu! Bikin malu!"

Ifan tetap menunduk, tidak berusaha melindungi diri atau apa. Bapak segera melerai Pak Haji Mukri yang semakin terpancing amarah. Lelaki itu terengah, makian bertubi-tubi keluar dari mulutnya.

“Ayo pulang, Fan!” titahnya sambil menyeret Ifan.

“Ta-tapi gi-gimana nikahanku—”

“NGGAK TAHU MALU!” Amarah Pak Haji Mukri memuncak.

“Batal, Fan. Saya nggak akan nikahkan Sofi sama kamu.”

Sofi tidak ingat kapan terakhir kali Bapak ada untuknya, tapi sekarang, gadis itu menatap sang bapak sambil menangis sesenggukan, dengan sorot penuh rasa terima kasih—seperti balita rewel yang akhirnya dibelikan permen. Tahu bahwa Bapak masih peduli pada perasaannya, hati Sofi menghangat.

“Seharusnya kamu bilang,” ucap Bapak, sembari memperhatikan mobil mengkilat Haji Mukri hilang di tikungan.[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Ilona : My Spotted Skin
510      358     3     
Romance
Kecantikan menjadi satu-satunya hal yang bisa Ilona banggakan. Tapi, wajah cantik dan kulit mulusnya hancur karena psoriasis. Penyakit autoimun itu membuat tubuh dan wajahnya dipenuhi sisik putih yang gatal dan menjijikkan. Dalam waktu singkat, hidup Ilona kacau. Karirnya sebagai artis berantakan. Orang-orang yang dia cintai menjauh. Jumlah pembencinya meningkat tajam. Lalu, apa lagi yang h...
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
1069      696     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
Smitten Ghost
186      149     3     
Romance
Revel benci dirinya sendiri. Dia dikutuk sepanjang hidupnya karena memiliki penglihatan yang membuatnya bisa melihat hal-hal tak kasatmata. Hal itu membuatnya lebih sering menyindiri dan menjadi pribadi yang anti-sosial. Satu hari, Revel bertemu dengan arwah cewek yang centil, berisik, dan cerewet bernama Joy yang membuat hidup Revel jungkir-balik.
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
179      157     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
The Call(er)
1396      839     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...
Cinderella And The Bad Prince
1266      838     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
Wabi Sabi
96      74     2     
Fantasy
Seorang Asisten Dewi, shinigami, siluman rubah, dan kucing luar biasa—mereka terjebak dalam wabi sabi; batas dunia orang hidup dan mati. Sebuah batas yang mengajarkan jika keindahan tidak butuh kesempurnaan untuk tumbuh.
Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
2010      1174     0     
Inspirational
Judul ini bukan hanya sekadar kalimat, tapi pelukan hangat yang kamu butuhkan di hari-hari paling berat. "Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari" adalah pengingat lembut bahwa menjadi manusia tidak berarti harus selalu tersenyum, selalu tegar, atau selalu punya jawaban atas segalanya. Ada hari-hari ketika kamu ingin diam saja di sudut kamar, menangis sebentar, atau sekadar mengeluh karena semua teras...
Jalan Menuju Braga
392      306     4     
Romance
Berly rasa, kehidupannya baik-baik saja saat itu. Tentunya itu sebelum ia harus merasakan pahitnya kehilangan dan membuat hidupnya berubah. Hal-hal yang selalu ia dapatkan, tak bisa lagi ia genggam. Hal-hal yang sejalan dengannya, bahkan menyakitinya tanpa ragu. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya, membuat Berly menutup mata akan perasaannya, termasuk pada Jhagad Braga Utama--Kakak kelasnya...
Fusion Taste
139      126     1     
Inspirational
Serayu harus rela kehilangan ibunya pada saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Sejak saat itu, ia mulai tinggal bersama dengan Tante Ana yang berada di Jakarta dan meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Setelah kepindahannya, Serayu mulai ditinggalkan keberuntunganya. Dia tidak lagi menjadi juara kelas, tidak memiliki banyak teman, mengalami cinta monyet yang sedih dan gagal masuk ke kampus impi...