Pafeta memanjat tanah kering di ladang terbengkalai dekat desa huma penyembuh.
Sebenarnya apa sih yang dia lakukan? Liana punya Kaelion dan mungkin sedang terbang di langit. Memanjat daerah tertinggi di ladang terbengkalai, tidak memberinya penglihatan yang lebih baik mengenai apapun. Pafeta mulai kelelahan, dia mungkin tidak akan menemukan Liana. Bagaimana sekarang?Apakah ia harus kembali menuju desa huma penyembuh?
Tapi persoalan ini, persoalan Kakaknya, Pafeta tidak ingin menyerah sebelum berusaha maksimal.
Dia menjejakkan kakinya yang mungil pada bagian tertinggi yang bisa didakinya dan berteriak dengan suara lantang. “Liana! Dimana kau!”
Pafeta mengulanginya sampai tiga kali, dia memegang lehernya, kerongkongan nya kering. Mungkin inilah saat nya, inilah saat ia musti menyerah kepada kondisi yang ada. Pafeta merengkuh wajahnya, kesal karena tidak bisa mendapatkan keinginannya. Dia sekarang harus turun perlahan dan mulai berjalan menuju desa huma penyembuh sebelum gelap.
Tanah kering dan tandus tidak membantunya turun dengan lebih mudah. Kakinya berkali-kali berselancar dalam tanah yang runtuh. Pafeta berusaha, sayang usahanya menyebabkan genggamannya juga menjadi lemah. Ia tergelincir di bukit kecil itu. Pafeta kecil memejamkan matanya, ketakutan akan apa yang akan terjadi.
Anehnya, Pafeta mendarat, bukan pada duri-duri tanaman yang kasar, namun pada bulu lembut dan menawan. Pat membuka matanya perlahan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Dia terhampar pada bulu lembut milik burung raksasa. Kaelion.
“Hei kau harus lebih berhati-hati,” suara tenang dan berwibawa menyambut terbukanya mata Pafeta.
“Liana!”pekiknya terkejut. Pafeta begitu senang melihat Liana. “Astaga, bagaimana kau bisa menemukan aku?!”
“Aku mengikutimu sejak tapal batas desa. Bocah, bisa-bisanya kau kabur dari Kakakmu. Karena kau, aku jadi terlambat nih kembali ke Lembah.” ucap Liana.
“Tunggu, tunggu, kau tidak akan terlambat sama sekali Liana. Karena aku akan ikut denganmu.” Pat berkata tegas.
Liana memicingkan mata, lalu berkata, “kurasa kau mengigau.”
“Tidak aku bersungguh-sungguh.” Mata emerald Pat menatap tajam mata Liana “Tolong bawa aku kepada Idris Velarion Liana.”
***
Liana turun dengan anggun dari Kaelion.
“Kaelion lelah terbang, dia tidak akan sanggup membawa kita berdua lama-lama.”
Burung elang itu mengudara lagi ke angkasa. “Sekarang dia kemana Liana?”
“Cari makan,” jawab Liana acuh. “Jadi mumpung dia lagi cari makan, bisa kau jelaskan kata-kata mu tadi Pafeta?” tanya Liana dengan nada lebih serius.
Pat menghela napas.
Tadi pagi ia bangun dalam kondisi segar. Matahari menyinari wajahnya dengan lembut. Akan tetapi, Pat khawatir ketika dia menemukan rumah itu dalam keadaan kosong. Kakaknya tidak ada di rumah. Selembar pesan turun jatuh di meja makan mengatakan Kakaknya sedang pergi memancing. Tetapi, Pat tidak ingin kejadian seperti ini terjadi lagi. Dia tidak ingin terbangun dan mendapati kakaknya tidak di rumah. Saat itu Pat membulatkan tekadnya, dia akan menemukan cara untuk membuat Kakaknya batal menjadi jaminan Eryndel. Pat menceritakan itu semua kepada Liana.
“Aku jujur kepadamu Liana. Aku membutuhkan waktu untuk bicara dengan Idris bukan demi visimu atau apapun, tapi demi Kakakku.” ucap Pat melihat perubahan pada raut muka Liana, buru-buru ia menambahkan, “tentunya, bukan berarti aku tidak akan membantumu balik. Aku juga bersedia berbicara dengan Idris demi kepentinganmu. Aku tidak seegois itu.”
Liana nampak berpikir. Dia tidak perlu membawa Pat. Tidak perlu jika tidak ada urgensi. Masalahnya visinya sangat jelas, dan datang berulang. Berkata dengan tegas untuk membawa anak keluarga Finch ke Lembah Gunung Erba. Pat adalah salah satu anak keluarga Finch. Kenyataan itu membuat pikirannya jernih.
***
Kaelion terbang mendahului mereka.
Liana berkata pada Pat bahwa perjalanan ini akan sulit karena tidak bersama Kaelion. Tetapi Pat tetap pada pendiriannya, hal sesulit apapun, bisa ditanggung olehnya. Mereka sudah berjalan kurang lebih setengah hari, Marigold, gajah kecil kawan Liana, membantu mereka membukakan jalan.
“Marigold amat menyukai semangka ya?” tanya Pat dengan rasa ingin tahu.
“Ya, dia amat menyukai semangka,” jawab Liana sambil tersenyum. “Malah kita harus berhenti sekarang untuk mencari semangka lagi dan memotong-motongnya untuk Marigold,” tambah Liana. Liana kemudian menggunakan sulurnya untuk mencari semangka dalam rerimbunan pohon.
“Wah, jarang-jarang aku menganggap orang selain Kakakku keren. Tapi sulur mu benar-benar hebat Liana."
Liana mengumpulkan beberapa semangka dan meletakkannya di depan Marigold. Kaki kecil Marigold menandak-nandak.
"Mengapa Marigold tidak bisa memotong-motong semangkanya sendiri?" Pat membantu Liana memegang semangka itu, agar sulurnya dengan mudah membagi semangka menjadi beberapa bagian.
"Dia belum sekuat itu Pat. Giana, ibunya jelas mampu.” Liana memandang jauh pada vegetasi hutan yang dibukakan oleh Giana. Serpihan kayu dan batang terpotong, menandakan Giana tadi melewati jalan itu.
"Liana, bagaimana kalau Giana tersesat? Dia berjalan terlalu cepat mendahului kita," tanya Pat cemas.
"Gajah punya ingatan yang kuat Pat." Liana memberikan semangka kepada Marigold. Gajah kecil itu menaikkan belalainya dengan senang, dengan belalai itu dia mengambil semangka dari tangan Liana. Marigold menikmati semangkanya. Liana tersenyum senang lalu memanfaatkan sulur-sulurnya yang panjang dan fleksibel untuk memotong semangka lainnya menjadi bagian yang lebih kecil lagi dari sebelumnya.
"Kecil sekali potongannya? Untuk siapa?" tanya Pat. "Kulihat Marigold lebih suka potongan semangkanya lebih besar, dia suka sekali semangka itu berbunyi saat dikunyah." Pat senang saat melihat Marigold makan.
"Untuk kita, masa kau tak lapar?" Liana menyerahkan potongan itu kepada Pat. Pat menerimanya dengan senang hati.
“Tentu saja aku lapar!” Pat menerima potongan semangka itu. Semangka itu terasa segar dan manis, Pat amat menyukainya. “Kakakku suka membawakan ku semangka juga. Dia sering berkelana ke ladang terbengkalai dan membawakanku potongan semangka yang nikmat.”
“Pantas kau berjuang sekeras ini agar terus bersama kakakmu.”
Pat memandang sekitar, pada pepohonan dan rumput yang tidak ia kenal, pada Liana yang berjalan dengan anggun, pada Marigold yang dengan riang mengikuti mereka. Kondisi ini tadi membuat hatinya gundah, namun semakin ia melangkah, ia merasakan keputusan ini adalah keputusan yang terbaik baginya. “Kakakku adalah alasan yang pantas membuatku mengambil keputusan besar seperti ini.”
“Itu semangat yang amat bagus. Aku seringkali mengamati negeri ini. Cinta seperti yang kau miliki kepada Kakakmu, itu patut dipertahankan. Kurasa kau sangat menyukai Kakakmu ya?”
“Tentu saja, dia orang yang amat hebat. Dia membuat ini.” Pafeta menunjuk pada sabuk yang melingkar di pinggangnya. “Sabuk berkantong ini sungguh luar biasa, bisa digunakan untuk menyimpan berbagai benda.”
“Sabuk berkantong?”
Liana memberikan pandangan yang menyepelekan.
“Jangan buat aku menyebutkan benda-benda lain yang dapat dibuat oleh Kakakku ya.”
Liana mengangkat tangan. “Aku punya kantong magis yang bisa memuat banyak perlengkapan ku. Bukan berarti aku tidak menghargai buatan Kakakmu.”
“Oh masih ada bantal Nemara yang enak dipakai untuk tidur.”
“Kau tau aku lebih suka tidur berlapiskan sulur ku, aku makhluk magis.”
“Dan eliksir yang sempurna.”
“Iya aku mendengar hal itu. Eliksir ya.”
“Eliksir Kakakku amat sempurna, banyak orang sembuh karena dirinya.”
“Kalau kau bisa juga membuat eliksir?”
“Aku tidak bisa, aku membantu Kakakku. Dia yang tahu racikannya.”
“Kurasa Kakakmu orang yang detail, aku suka orang yang detail.”
Mereka memasuki bagian hutan dengan vegetasi yang rapat. Pafeta memandang kebingungan pada vegetasi di sekitarnya. Dia tidak menyangkan, saat matahari belum turun pun, keadaan sudah menjadi gelap jika vegetasi yang ada menutupi serasah hutan. Beberapa kali ia terantuk akar pepohonan.
“Kaki-kaki mu kurang lincah ya.” ucap Liana. Dia beberapa kali menangkap Pafeta yang tersandung.
“Iya, sekarang aku memang masih kecil. Nanti, aku akan tumbuh besar dan menjadi lebih kuat.”
Marigold tiba-tiba mendahului mereka, dia melihat Ibunya, Giana. Liana berjalan mantap mengikuti jalan yang dibukakan oleh Giana, Pat mengekor di belakangnya.
“Nampaknya inilah saat kita musti berpisah dengan Giana dan Marigold.” ucap Liana. “Mereka hanya membantu mengantar sampai kesini.”
“Hah, aku bahagia dengan Marigold karena dia sudah bertemu kembali dengan Giana.” ucap Pat. “Tapi aku tidak suka, kita masih harus meneruskan perjalanan dalam hutan yang gelap ini berdua saja.”
“Ternyata kau takut gelap ya! Tadi kubilang kau pemberani, kurasa harus kutarik ucapanku itu.”
“Aku tidak bilang takut gelap, hanya saja The Things muncul pada saat kabut dan gelap. Yah, kuakui aku takut The Things, dan jadinya sama saja sih ketakutanku itu.” kata Pat.
“The Things suka kabut dan gelap. Tapi mereka berada di kedalaman Hutan Annora. Mereka tidak akan keluar dari sana. Jadi tidak perlu khawatir,” ucap Liana.
“The Things tidak selalu berada disana.”
“Apa maksudmu?” Liana mengangkat alis.
“Makhluk itu pernah datang ke desaku.”
***
“Pafeta, The Things itu makhluk malam yang memiliki kekuatan hanya jika digerakkan oleh Gustava. Tidak mungkin dia berjalan keluar dari Hutan Annora.” Liana menganggap jawaban Pat angin lalu.
“Tapi sungguh mereka pernah ada di desaku Liana, memang sih cuma satu.” Pafeta mengingat-ingat cerita mengenai The Things yang menyerang Kakaknya. “Ya, kurasa memang cuma satu. Dan dia menyerang Kakakku juga Janu.”
Liana menatap Pafeta heran, Gustava Mordain tidak akan membiarkan The Things berkeliaran begitu saja, kekuatan mengontrol milik Gustava begitu kuat. Satu, dua The Things tidak akan lepas dari cengkramannya, kecuali…
Liana berpikir keras, helaan napasnya berat.
Gustava memiliki perjanjian abadi dengan The Things, perjanjian itu tidak mungkin runtuh.
“Pafeta apakah kau pernah melihat hal aneh dari Kakakmu?”
“Apa maksudmu bertanya seperti itu? Kakakku berusaha hidup dengan baik selama ini. Dia tidak melakukan yang aneh-aneh kok.” Pafeta menjawab dengan ketus.
Gadis cilik itu mempercepat langkahnya di depan. Liana mengikuti, sepertinya Pafeta amat menyukai Kakaknya, dia tidak akan mendapatkan informasi apapun dari Pafeta.
“Aku bukannya berniat menggali informasi yang enggak-enggak.” Liana berseru kencang, “cuma buka obrolan saja.”
Pafeta menoleh, raut mukanya meneduh.
“Ya kukira aku terlalu keras menjawab mu. Hanya saja aku memang benar-benar menyukai Kakakku.” ucap Pafeta. “Kau tahu Liana? Dia seorang pekerja keras, ditinggal orangtua kami di usia muda, dia membesarkanku seorang diri. Belum lagi pekerjaannya di ladang.” Ekspresi Pat berubah sedih. Matanya membesar dan genangan air mata menghiasi sudut matanya. “Aku sungguh berharap dengan pertemuanku dengan Idris Velarion bisa membantu meringankan sedikit beban yang selama ini ditanggung oleh Kakakku.”
Liana tidak membalas dengan kata-kata, dia berjalan menyusul Pafeta, menepuk bahunya hangat. Dia menunjuk muka daun yang lebar, dan menggesernya. Dihadapan mereka terbentang lanskap vegetasi hutan yang lebat, bermandikan padang penuh cahaya. Cahaya itu berasal dari kunang-kunang yang terbang rendah menyusuri rerumputan yang bergoyang.
“Wah, indah sekali! Tempat ini penuh magis!” seru Pafeta.
“Bersiaplah Pafeta kita sebentar lagi sampai di Lembah Gunung Erba.” ucap Liana.
“Aku tidak sabar untuk segera sampai!”
Merayakan Apa Adanya
488
351
8
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang.
Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Pacarku Pergi ke Surga, Tapi Dia Lupa Membawa Buku Catatan Biru Tua Itu
1117
398
7
Fantasy
Lily adalah siswa kelas 12 yang ambisius, seluruh hidupnya berputar pada orbit Adit, kekasih sekaligus bintang pemandunya. Bersama Adit, yang sudah diterima di Harvard, Lily merajut setiap kata dalam personal statement-nya, sebuah janji masa depan yang terukir di atas kertas. Namun, di penghujung Juli, takdir berkhianat. Sebuah kecelakaan tragis merenggut Adit, meninggalkan Lily dalam kehampaan y...
Heavenly Project
591
401
5
Inspirational
Sakha dan Reina, dua remaja yang tau seperti apa rasanya kehilangan dan ditinggalkan. Kehilangan orang yang dikasihi membuat Sakha paham bahwa ia harus menjaga setiap puing kenangan indah dengan baik. Sementara Reina, ditinggal setiap orang yang menurutnya berhaga, membuat ia mengerti bahwa tidak seharusnya ia menjaga setiap hal dengan baik.
Dua orang yang rumit dan saling menyakiti satu sama...
Diary of Rana
209
180
1
Fan Fiction
“Broken home isn’t broken kids.”
Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah.
Hidu...
Tanpo Arang
54
45
1
Fantasy
Roni mengira liburannya di desa Tanpo Arang bakal penuh dengan suara jangkrik, sinyal HP yang lemot, dan makanan santan yang bikin perut “melayang”. Tapi ternyata, yang lebih lemot justru dia sendiri — terutama dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar villa keluarga yang sudah mereka tinggali sejak kecil.
Di desa yang terkenal dengan cahaya misterius dari sebuah tebing sunyi, ...
GEANDRA
444
357
1
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari.
Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya.
Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
Hello, Me (30)
20183
1095
6
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang.
Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa".
Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...
Fragmen Tanpa Titik
44
40
0
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna"
Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...
Langit-Langit Patah
28
24
1
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri.
"Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?"
"Bunuh diri!"
Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...
Metanoia
53
45
0
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiri—dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...