Hari-hari menjelang ujian kenaikan kelas datang dengan ritme yang lebih padat dari biasanya.
Jadwal pelajaran berubah, waktu murojaah ditambah, dan malam-malam dipenuhi bisik hafalan yang tak henti terdengar dari balik kamar santri.
Aira duduk di sudut ruang belajar, tempat favoritnya yang menghadap jendela kecil. Cahaya sore masuk perlahan, mengusap pelan permukaan meja kayu di depannya. Di sana, terbuka mushaf dan buku catatan—dua benda yang selalu menemani hari-harinya sejak awal mondok.
Ia membuka kembali lembaran catatannya dari pelajaran siang tadi. Tulisan-tulisan itu sedikit berantakan, ditulis terburu-buru saat ustadzah menjelaskan. Sebagian bahkan hanya berupa potongan kalimat yang tak lengkap. Ia berniat menyalin ulang—sekaligus mencoba mengingat ulang apa yang tadi belum sempat ia tangkap. Tapi baru beberapa baris, tangannya berhenti. Kalimat berikutnya mengambang di ujung ingatan, seperti asap yang menghilang sebelum sempat digenggam.
Satu menit. Dua menit. Aira masih diam. Ia memijat pelipisnya pelan, mencoba mengingat kembali poin yang tadi sempat ia pahami. Tapi semuanya berceceran seperti potongan puzzle yang tak lagi pas. Suaranya hanya berbisik lirih dalam hati, “Tadi itu ustadzah bilang apa, ya? Tentang ayat itu… atau tentang hukum tajwidnya?”
Aira memejamkan mata sejenak. Tangannya memegang pensil erat-erat. Tapi semakin ia memaksa, semakin jauh semua itu menghilang. Lalu Ia menunduk, menghela napas panjang. Dada Aira terasa sesak, bukan karena lelah fisik, tapi karena rasa kecewa yang ia tahan sendiri. “Kenapa sekarang semuanya terasa lebih sulit?” tanyanya dalam hati. “Dulu aku bisa menyimak dengan baik, cepat paham. Sekarang… semuanya kabur begitu aja.” Gumamnya lagi dalam hati.
Kemudian ia menatap kertas kosong yang belum terisi penuh, lalu menoleh ke luar jendela. Cahaya matahari mulai menguning, menandakan sore akan segera berganti malam. Teman-temannya di ruangan lain masih terdengar, ada yang sedang murojaah, ada yang bercanda kecil sambil menulis. Tapi Aira hanya duduk diam, merasa seperti tubuhnya di sini, tapi pikirannya entah di mana.
Lalu, perlahan, ia menutup bukunya. Bukan karena ia menyerah, tapi karena ia tahu… untuk hari ini, mungkin ia hanya bisa sampai di sini. Ia butuh waktu, bukan untuk berhenti, tapi untuk menata kembali serpihan fokusnya yang berserakan entah di mana.
Setelah menutup bukunya, Aira hanya duduk diam di tempat. Ia menatap jendela kecil yang perlahan mulai kehilangan cahaya. Sore berubah cepat menjadi senja. Langit di luar menua, dari jingga ke ungu, lalu akhirnya gelap sepenuhnya.
Tak lama kemudian Adzan Maghrib berkumandang. Suaranya menggema lembut dari masjid pondok, mengajak seluruh santri untuk sejenak melupakan buku dan dunia. Aira bangkit pelan, mengambil mukenanya, dan berjalan ke arah tempat wudhu dengan langkah yang berat membawa semua beban di dalam pikirannya.
Sholat Maghrib berjama’ah-pun dimulai, Aira berdiri di shaf pertama paling ujung, tubuhnya diam namun hatinya berdesir, pikirannya penuh dan air mata mulai menetes ke sajadahnya. di tengah keheningan. Di dalam sujudnya, ia membisikkan seluruh do’a dan isi hatinya, “Ya Allah… bantu aku memahami semuanya, bantu aku mengejar impianku, bantu aku bertahan, bantu aku kuat agar terus melangkah, bantu aku ya Rabb… bantu aku….”
Selesai sholat, Aira dzikir dan berdo’a mencurahkan isi hatinya sekali lagi…, kemudian setelah semuanya selesai ia kembali ke kamar. Hatinya sedikit lebih tenang. Ada yang lapang setelah bersujud dan bercerita kepada sang pemilik alam semesta ini.
Selepas Maghrib, kamar mulai ramai. Beberapa teman sudah kembali dari masjid, dan di pojok kamar dari kejauhan Aira melihat Fiya, Fira, dan Anira duduk melingkar dengan buku-buku, suara tanya jawab, dan canda tawa kecil mereka mulai terdengar di telinganya.
Aira baru saja kembali dari masjid, masih memegang buku catatannya yang tadi sempat ia tinggalkan. Saat sampai di depan kamar, Anira melambai: “Ra! Sini dong! Kita belajar bareng!”
Fiya langsung menarik sedikit ruang di sampingnya. “Cepetan duduk sebelum ana tanya duluan. Ana lagi bingung banget sama mad-mad!”
Aira tertawa kecil. Hatinya yang tadi sesak perlahan menghangat. Tiba-tiba ia teringat—hari-hari seperti ini. Menjelang ulangan, memang selalu ada inisiatif belajar bareng begini dari para santriwati. Biasanya tanpa direncanakan dan tanpa komando. Momen-momen seperti ini yang sering jadi penyelamat ketika pelajaran terasa berat.
Entah kenapa, sore tadi ia sempat lupa. Mungkin karena terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, atau karena terlalu tenggelam dalam rasa takutnya tak bisa mengikuti pelajaran.
Sekarang, melihat teman-temannya berkumpul seperti biasa, membuka buku dengan semangat, dan menyambutnya dengan senyum lebar… Aira merasa lega.“Oh iya, aku kan nggak sendirian. Aku lupa kalau aku punya mereka…” bisiknya dalam hati.
Karena terlalu hanyut dalam pikirannya sendiri, Aira berdiri mematung di tempat. Matanya menatap mereka, tapi langkahnya tak juga bergerak.
Ra!, Fiya melambai lagi, kali ini sambil menepuk lantai tempat kosong di sampingnya. “Ayo sini! Anti berdiri terus kayak patung pajangan!”
Anira terkekeh. “Bukan patung lagi, Fi, kayak tiang bendera itu mah, ayo cepet sini Ra!”
Suara itu membuat Aira tersadar. Ia mengerjap pelan, lalu tersenyum malu-malu. “Hehe… ana lupa tau, kalau tiap mau ulangan pasti ada belajar bareng begini.” Ia mulai duduk di samping mereka. “Tadi sore ana udah kayak mau putus asa karena nggak paham-paham hehe… Alhamdulillah ya Allah, baru habis doa langsung dikabulin.”
Fiya tersenyum sambil menoleh ke catatan. “Doa dijawabnya lewat kita dong, ih spesial banget ya kita.”
“Hihi maa syaa Allahhh” sahut Aira menjawab Fiya.
Tawa kecil pun pecah di antara mereka. Dan malam itu, Aira tahu—ia tak hanya menghafal pelajaran. Ia juga sedang belajar mencintai takdir… bersama orang-orang yang selalu menggenggam tangannya di tengah jalan.
Waktu berlalu dengan cepat, akhirnya waktu ulangan-pun tiba.
Pagi itu, suasana pondok terasa lebih hening dari biasanya. Tak ada tawa keras di lorong kamar, tak ada suara panggilan bercanda. Semua santri sudah bersiap sejak Subuh—berwudhu, mengulang hafalan, dan mengenakan seragam sekolah. Hari itu adalah hari pertama ujian kenaikan kelas.
Aira duduk di dalam kelas dengan tangan yang sedikit dingin. Di depannya sudah tergeletak lembar soal, pensil, dan penghapus. Meja kayu tempat ia bersandar terasa keras dan dingin, membuat punggungnya tegang. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
“Bismillah…” bisiknya pelan.
Soal pertama ia baca dengan seksama. Tapi baru setengah kalimat, pikirannya melayang. Ia menunduk lagi, membaca ulang, tapi konsentrasinya seperti pasir yang tergelincir dari sela-sela jari—tak bisa digenggam.
“Kenapa nggak bisa fokus…” batinnya gelisah. Ia menatap huruf-huruf di soal yang tampak asing, padahal semalam ia baru membahasnya bersama Anira dan yang lain.
Ia menggenggam pensil lebih erat, mencoba mengalihkan kecemasan menjadi tekad. “Pelan-pelan, Ra. Satu soal dulu,” bisiknya lagi, kali ini dengan suara lebih meyakinkan.
Satu soal terlewati. Tapi soal kedua kembali membuat pikirannya berputar. Ia sempat melirik sekeliling—teman-temannya menunduk serius, tangan mereka bergerak lincah di atas kertas. Aira merasa seperti satu-satunya yang lambat. Tapi ia menolak menyerah.
Ia menutup matanya sejenak, menarik napas dalam. Lalu membuka lagi, dan mencoba mengerjakan semampunya. Ia menulis pelan-pelan, meski ragu, meski harus mengulang membaca berkali-kali.
Waktu terus berjalan. Detik jam dinding terasa seperti denting peluru yang menekan. Tapi Aira bertahan. Ia tahu, mungkin jawabannya tak semuanya Benar. Tapi yang penting hari itu… ia tidak menyerah. Ia tetap duduk, tetap mencoba, tetap berusaha.
Dan saat waktu habis, ia menyerahkan lembar jawabannya sambil mengembuskan napas panjang.
“Alhamdulillah Ya Allah…, meski gak yakin hasilnya, Aira bersyukur masih bisa menyelesaikan semuanya.” Bisiknya dalam hati.
Setelah keluar dari kelas, para santri langsung duduk melingkar di depan kelas atau di tangga-tangga kecil. Beberapa membuka catatan, sebagian lagi sudah ribut membahas soal ujian yang baru saja selesai.
“Nomor lima tadi itu mad jaiz munfashil kan?” tanya Fira sambil membuka bukunya cepat-cepat.
Fiya mengangguk. “Iya, yang ada harakat di akhir satu ayat terus disambung ke ayat berikutnya yang awalnya huruf hamzah. Ana jawab itu juga.”
Anira mengerutkan alis. “Aduh… ana jawab mad wajib muttashil. Kayaknya salah deh.”
“Gapapa kokk, yang penting kita udah usaha walau mungkin ga semuanya benar”. Sahut Fira.
Awalnya Aira hanya menyimak, tapi ketika mereka sampai di soal lain, ia spontan ikut menjawab. “Kalau yang nomor sembilan, mad badal kan? Yang huruf hamzah bertemu huruf mad, tapi nggak ada tasydid sesudahnya…”
Fiya langsung mengangguk cepat sambil membuka buku tajwid di tangannya. “Ihhh iyaaa benarrr masyaa Allah, alhamdulillah Allah selalu bantu anaa, ana udah pusing tau, soalnya ana kurang bisa materi, lebih bisa praktik kalau tajwid. Tapi alhamdulillah ya Allah kalau bener.”
Aira tersenyum kecil, lalu menjawab pelan, “Iya, sama… tadi kepala ana juga sempat muter. Tapi alhamdulillah yaa Allah… Allah selalu bantu hamba-hamba-Nya yang mau berusaha.”
Alhamdulilahhhh sahut mereka dengan penuh senyum di wajah-wajahnya. Lalu ada salab satu yang langsung menyahut sembari tersenyum. “Iyaa Alhamdulillahhh yaa, sekarang udahin aja yukk ngebahas soalnya, apapun yang udah kita kerjain, intinya itu dari hasil kerja keras kita sendiri tanpa curang, jadi apapun hasilnya harus kita syukuri nanti, tenang Allah nilai usahanya kok.”
Lalu mereka pun setuju, dan mulai menutup buku dan menikmati waktu istirahatnya sambil canda tawa bersama. Dan di tawa itu, Aira merasa tenang. Bahwa meski jalannya berat, tapi ternyata Allah selalu sisipkan pertolongan lewat momen-momen sederhana… dan sahabat-sahabat yang saling mengerti.
Hari-hari berlalu begitu saja sampai akhirnya tak terasa ujian kenaikan kelas sudah berakhir. Hari-hari selanjutnya dipenuhi dengan canda dan tawa. Class meeting pun dimulai—momen paling ditunggu oleh banyak santri. Ada lomba cerdas cermat, drama antar kelas, lomba menulis kaligrafi, dan tentu saja… lomba gobak sodor yang paling seru dan heboh.
Aira duduk di pinggir lapangan bersama Anira dan beberapa teman. Ia mengenakan jilbab lebar berwarna biru muda dan memeluk botol air yang dibawakan Fiya. Dari kejauhan, para santri sudah bersiap—berbaris, tertawa, saling menyemangati.
“Ra, kamu mau ikut gobak sodor nggak?” tanya Anira sambil berdiri.
Aira sempat membuka mulut, tapi belum sempat menjawab, Ustadzah yang berdiri tak jauh dari mereka tiba-tiba menoleh dan tersenyum lembut. “Aira… istirahat saja, ya. Umi antu sudah titip pesan. Anti nggak boleh lari-larian dulu ya sayang.”
Seketika Aira terdiam. Ia mengangguk pelan, lalu tersenyum walau rasanya ada yang menyayat diam-diam di dada.
Anira kembali duduk di sampingnya. “Maaf ya Ra, ana tadi nggak tahu…”
“Nggak apa-apa, Nir.” Aira mencoba tertawa kecil. “Emang nggak boleh kok. Ana juga gak mau ambil risiko.”
Tapi di dalam hatinya, ada remuk yang tak bisa dijelaskan dan ada luka yang tak terlihat.
Matanya menatap lapangan. Suara peluit ditiup. Santri-santri mulai berlari, menghindar, mengejar, melompat dengan semangat. Tawa mereka lepas. Gerak mereka ringan. Wajah mereka berseri.
Aira mengingat masa kecilnya—masa di mana ia selalu jadi yang paling cepat saat main kejar-kejaran. Di SD, ia sering bermain lari-lari tanpa takut akan sesak. Tubuhnya dulu kuat. Kakinya dulu bebas melangkah ke mana pun ia mau.
Sekarang?
Ia hanya bisa duduk di pinggir. Menonton. Dan tidak bisa ikut.
Tangannya menggenggam rok panjangnya erat-erat. Tapi sebelum sedihnya jatuh menjadi air mata, sebuah tangan menyentuh bahunya.
Fiya duduk di sampingnya, menyerahkan es lilin yang baru saja dibagikan panitia.
“Nih. Warna pink kesukaan anti,” katanya sambil tersenyum.
Ka Imut ikut datang, menepuk pundak Aira lembut. “Gak bisa ikut gobak sodor nggak apa-apa. Kita kan punya lomba jadi komentator juga.”
Fira menyodorkan buku catatan. “Tulis analisis pertandingan aja, nanti kita kasih ke panitia. Siapa tahu menang ‘lomba pengamat terbaik’.”
Aira tak bisa menahan senyumnya. Tawa kecil pun akhirnya pecah dari bibirnya. “Iya ya… meski nggak bisa lari, ana masih bisa jadi pengamat yang kritis.”
“Banget,” kata Fiya sambil tersenyum. “Anti nggak perlu lari-larian juga udah bikin tim kita kuat kok.”
Aira menatap mereka satu per satu, lalu menatap langit. Ada awan putih yang bergerak pelan. Seperti dirinya—yang mungkin tak secepat dulu, tapi masih terus melangkah.
Malam harinya, Aira tidak tidur cepat. Ia mengambil buku jurnalnya dan berjalan pelan ke ruang kelas yang kosong. Semua teman-temannya sedang bermain di halaman,
jadi ia tahu, tempat itu akan sunyi.
Ia duduk di ujung kelas, menyalakan lampu belajar kecil, dan mulai menulis. Pensilnya menari pelan, seakan tidak hanya menuliskan kata-kata,
tapi juga luka-luka yang belum sempat dibicarakan.
"Aku tahu, tidak semua yang kuinginkan akan bisa kumiliki. Tapi aku belajar, bahwa Allah tahu apa yang terbaik. Mungkin hari ini aku tak bisa berlari, tapi aku masih bisa melangkah. Dan langkah itu, sekecil apapun, tetap bernilai di mata-Nya."
Lampu belajar menjadi satu-satunya cahaya. Buku jurnal menjadi satu-satunya teman. Dan bagi Aira itu lebih dari cukup.
Karena malam itu, Aira sedang menulis bait-bait takdirnya. Bukan untuk mengeluh, tapi untuk memahami. Bukan untuk menangisi, tapi untuk menerima.
Dan malam itu, ia merasa: Allah sedang mengajarinya arti sabar yang sesungguhnya.
Kemudian dia lanjut mengayunkan pensilnya di atas buku.
“Wahai diri, hari ini kamu tidak sempurna. Tapi kamu sudah mencoba. Hari ini kamu tidak menang lomba, bahkan tidak bisa ikut berlari. Tapi kamu sudah memilih untuk berlapang dada dan tetap berada di jalan-Nya. Dan itu, lebih dari cukup.
Hari ini, aku belajar. Hari ini, aku punya kesempatan baru. Hari ini, aku punya semangat baru. Hari ini, aku masih diberikan waktu… dan aku ingin mengisinya dengan langkah-langkah kecil yang tetap mengarah pada cahaya-Nya.
Ya Allah… terima kasih.
Terima kasih untuk tubuh yang meski ringkih, tapi masih Kau izinkan berdiri. Terima kasih untuk sahabat-sahabat yang menguatkanku di saat aku nyaris runtuh. Terima kasih untuk sakit ini… yang membuatku lebih sering mengingat-Mu.
Jangan biarkan aku tersesat karena ujian ini. Tapi tuntun aku untuk semakin dekat.
Dengan takdir ini, aku ingin terus belajar mencintai-Mu… dalam langkah yang mungkin tak semua orang mengerti tapi dengan langkah yang Kau kehendaki sendiri, maka bantu aku ya Rabb.
-- Aira.”
Sejak ia divonis sakit, buku, lampu belajar, dan tempat yang sunyi menjadi caranya untuk menenangkan diri, karena baginya menulis adalah cara… untuk memahami dirinya sendiri.
Saat kata-kata di sekelilingnya terlalu ramai dan pikirannya sulit dikendalikan, halaman jurnalnya menjadi ruang paling jujur. Di sanalah ia bisa berkata sepuasnya tanpa takut ditanggapi salah. Tanpa harus menjelaskan panjang lebar. Tanpa perlu senyum palsu untuk menutupi luka.
Menulis bukan hanya meluapkan isi hati. Tapi juga bentuk doa… yang tak selalu terucap lewat lisan.
Ia sering mengambil waktu ketika teman-temannya sibuk bermain di luar. Saat kamar sepi, atau ruang kelas kosong, ia akan duduk di pojokan dengan hanya satu cahaya kecil dari lampu belajar. Pensil di tangan, dan lembar kosong di pangkuan—lalu pelan-pelan, kata-kata mulai bermunculan, seolah Allah sedang membimbing tangannya untuk mencurahkan segala yang tak bisa disimpan di dada.
Kadang tulisannya penuh tangis. Kadang hanya satu baris doa. Kadang penuh bait-bait yang bahkan ia sendiri tak tahu artinya… tapi selalu membuatnya merasa lega setelahnya.
Bagi Aira, menulis bukan pelarian. Tapi pelukan.
Pelukan dari dirinya yang lemah… untuk dirinya yang sedang mencoba kuat.
Dan mungkin, di antara bait-bait itulah Allah sedang menunjukkan: bahwa meski Aira tak bisa bergerak secepat dulu, ia tetap bisa melangkah—dengan kata.
Lalu setelah selesai menulis, ia menutup jurnalnya dan melangkah kembali ke kamar, hari sudah larut malam, ia menyiapkan dirinya untuk beristirahat.
Hari-hari berlalu dengan cepat hingga classmeet-pun berakhir, sekarang waktunya untuk berkemas-kemas karena hari pengambilan rapot sekaligus perpulangan akan segara tiba. Para santri mulai sibuk merapikan kamar, mencuci jilbab terakhir, dan mengepak barang-barang kecil ke dalam koper. Wajah-wajah yang dulu tegang karena ujian kini berganti dengan senyum menanti liburan.
Dan tibalah hari yang dinanti-nanti: hari pengambilan rapot sekaligus hari perpulangan.
Aira berdiri di dekat taman kecil, menunggu. Jilbabnya rapi, koper kecilnya sudah siap, dan matanya tak lepas memandang arah gerbang. Di antara lalu-lalang wali santri yang mulai berdatangan, ia mencari satu sosok yang selalu membuatnya merasa pulang.
Dan akhirnya, ia melihatnya.
“Umi…” bisiknya pelan, matanya langsung berkaca-kaca.
Uminya melangkah cepat, langsung memeluk Aira erat tanpa banyak kata. Pelukan yang tidak panjang, tapi cukup untuk menghapus penat sebulan penuh. Pelukan yang menguatkan.
“Siap ambil rapor, sayang?” tanya Umi dengan senyum hangat.
Aira mengangguk kecil. “Bismillah…”
Mereka berdua berjalan menuju aula. Di sana, ustadzah-ustadzah sudah duduk di balik meja panjang, map-map rapor tertata rapi sesuai nama. Santri hanya boleh masuk bersama orang tua—dan saat nama Aira dipanggil, ia dan uminya melangkah maju.
“Assalamu’alaikum, Ustadzah…”
“Wa’alaikumussalam. MasyaAllah, ini ummi Aira ya?” Ustadzah menyambut mereka dengan senyum. “Alhamdulillah, selama semester ini Aira tetap semangat meski dengan kondisi yang tidak mudah. InsyaaAllah, Aira resmi naik kelas ya umm.”
Aira menunduk pelan, senyum di wajahnya tak bisa disembunyikan. “Jazakillah khayr, Ustadzah…”
“Syukron ustadzah jazaakillahu khayr…” Sambung uminya lembut kepada ustadzah.
Ustadzah menyerahkan map berisi rapor. “Terus semangat ya, Kak. Biar pelan, asal jangan berhenti.”
Di luar aula, Aira membuka rapornya perlahan. Matanya menelusuri angka-angka dan komentar yang tertulis. Tidak semuanya sempurna. Tapi cukup. Dan itu sudah lebih dari cukup.
Umi menatapnya sambil mengusap kepala Aira. “Umi bangga… bukan karena nilainya, tapi karena kamu tetap bertahan.”
Aira menatap rapornya, lalu memeluknya sejenak.
“Ya Allah… terima kasih. Untuk naik kelas ini, untuk umi, untuk kekuatan yang tak terlihat.”
Dari arah yang tak di sangka-sangka Anira datang, dan langsung menggandeng tangannya. “Ra! Kita naik kelas! Kita bakal punya adik kelas! Gimana rasanya jadi kakak kelasss nantii yaaa??” Celetuk Anira dengan wajah riang.
Aira tertawa kecil. “Aneh… kayak baru kemarin kita nyasar nyari tempat wudhu.”
Fiya menimbrung sambil menyeret kopernya. “Tahun depan harus lebih kuat ya. Tapi ingat, tidak boleh memaksakan diri, kalau cape harus tetap istirahat.”
Aira mengangguk. “Ana bakal coba… semampunya.”
Matahari mulai condong ke barat, udara pun terasa makin sejuk. Mereka berjalan bersama menuju pintu keluar pondok, membawa barang-barang masing-masing.
“Nanti kalau sampai rumah, kabarin ya,” kata Fiya sambil membuka pintu mobilnya.
“Iya, anti juga yaa,” jawab Aira sambil tersenyum.
Setelah saling mengucapkan salam, mereka berpisah arah. Fiya melaju ke arah jalan raya, sementara Aira naik ke mobil yang sudah menunggu di depan.
Di dalam mobil, suasana tenang mengisi ruang. Aira membuka tasnya dan mengeluarkan jurnal kecil yang selalu dibawanya. Pena di tangannya mulai bergerak, menorehkan kata-kata yang mengalir dari hatinya.
Hari ini aku belajar sesuatu yang sederhana tapi penting: perpisahan tidak selalu berarti jauh dan kehilangan. Kadang, perpisahan hanyalah jeda kecil untuk mengisi kembali tenaga dan harapan. Aku sadar, kekuatan itu datang dari keberanian untuk terus melangkah meski ada rasa takut dan lelah. Dan doa, itu seperti tali yang mengikat hati-hati kami, menjaga agar kami tetap dekat walau jarak memisahkan.
Aira menutup jurnalnya perlahan. Di luar jendela, hujan mulai turun, pelan-pelan membasahi kaca mobil dan menciptakan irama lembut yang menenangkan. Suasana basah dan hening itu membuat Aira merasa damai—seolah hujan tahu persis bagaimana meredakan letih yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ia menyandarkan kepala ke kursi, membiarkan pandangannya menelusuri titik-titik air yang menari di kaca.
Aira memang selalu menyukai suasana hujan. Ada sesuatu yang meneduhkan dari langit yang kelabu dan udara yang sejuk; sesuatu yang membuatnya merasa seolah dunia memberi ruang untuk bernapas sejenak. Dalam diam, ia membiarkan semua rasa mengendap, tak perlu diselesaikan saat itu juga. Cukup diterima, dipeluk perlahan, dan dibiarkan tenang bersama rintik hujan.
Dalam rinai hujan dan mendung yang menggantung, Aira merasa seperti berada di ruang sunyi yang menenangkan, tempat di mana semuanya terasa baik-baik saja.