Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Antara Luka dan Mimpi
MENU
About Us  

Pagi itu, pukul sudah menunjukkan 06:58, hanya tersisa dua menit sebelum Aira harus minum obat pertamanya hari itu. Di meja kecil samping tempat tidurnya, berjajar rapi beberapa obat dalam botol dan kotak kecil dengan label yang jelas. Ada Carbamazepine, tablet putih bulat dengan garis tipis di tengah, yang bertugas menenangkan aktivitas listrik otak yang berlebihan. Meski bentuknya sederhana dan tidak terlalu besar, efeknya tidak main-main—mampu meredam badai kejang, meski sering meninggalkan rasa pusing atau mulut kering setelahnya.

 

Di sebelahnya, berdiri botol putih buram berisi kapsul Depakote, yang berfungsi ganda: menahan gejala kejang dan menstabilkan perubahan suasana hati yang datang bersamaan dengan gangguan neurologisnya. Efek sampingnya-pun tak pernah absen—kantuk berat dan sensasi seperti ada kabut di kepalanya terkadang mengganggu hari-harinya.

 

Ada juga kotak kecil berwarna oranye cerah berisi Vitamin D3 5.000 IU, suplemen yang diberikan dokter agar tubuhnya tetap kuat meski harus menanggung banyaknya obat setiap hari. Lalu Salbutamol Sulfate, dalam tiga bentuk berbeda: tablet kecil yang biasa ia minum setelah aktivitas padat, cairan bening untuk nebulizer saat napasnya terasa sempit, dan inhaler biru yang tak pernah lepas dari genggaman tangannya.

 

Setelah menelan semua yang perlu ditelan dan meminum air terakhir dari gelas, Aira menarik napas dalam. Ia meraih hijab panjangnya dari gantungan dan mengenakannya dengan pelan. Al-Qur’an ukuran sedang bersampul bunga warna pink yang lembut kini berada di genggamannya. Langkahnya menyusuri lorong pondok menuju halaqah pagi terasa perlahan—namun tetap membawa harapan dalam diamnya pagi itu. Hari baru telah dimulai, dan Aira tahu—setiap langkah kecil menuju ilmu adalah bagian dari ikhtiar panjang untuk sembuh dan tetap bertahan.

 

Di kelas, suasana halaqah sudah mulai terasa hangat meski belum terlalu ramai. Teman-temannya duduk bersila dengan mushaf terbuka, beberapa mulai melancarkan hafalan secara mandiri sebelum disetorkan. Aira memilih tempat di belakang, sedikit menyamping ke kiri. Ia membuka mushafnya perlahan, jari-jarinya menyusuri lembaran halaman, hingga menemukan surat yang sedang ia murojaah. Di sekelilingnya, suara pelan para santri yang sedang melancarkan hafalan masing-masing mengisi ruangan. Suara itu tidak keras, tapi cukup jelas untuk membuat suasana terasa hidup.

 

Beberapa menit kemudian, pintu terbuka pelan. Ustadzah masuk dengan langkah ringan, mengenakan abaya longgar dan hijab besar yang menambah wibawa dalam kesederhanaannya. Suara obrolan pelan langsung mereda.

 

“Assalamu’alaikum warahmatullah,” ucap beliau lembut.

 

“Wa’alaikumussalam warahmatullah,” para santri menjawab hampir serempak.

 

“ana buka dulu halaqahnya, ya. Bismillah, kita baca doa belajar dulu, 'Rabbi zidni ‘ilman warzuqni fahman…'" lanjut ustadzah suaranya lembut namun tegas.

 

Semua santriwati menirukan doa dengan suara pelan dan khusyuk.

 

Setelah itu, halaqah pun benar-benar dimulai. Para santri mulai melancarkan hafalan masing-masing. Suara mereka bergantian memecah heningnya kelas. Aira memejamkan mata sebentar, lalu mulai membaca surat yang akan ia setorkan. 

 

Ia terus mengulang hafalannya, pikirannya sesekali kabur—kabut dari efek Depakote pagi tadi perlahan menyusup. Kadang ia harus mengulang satu ayat berkali-kali sebelum yakin untuk maju dan menyetorkan.

 

Namun Aira tetap duduk di sana, dan tidak menyerah sembari melanjutkan lantunan yang ia perjuangkan sambil sesekali matanya menatap ke arah teman-temannya yang sudah mulai berdiri dan maju satu-persatu, setoran demi setoran mengalir seperti air di antara keheningan ruangan. Ia belum berani maju untuk setoran. Kabut di kepalanya belum sepenuhnya hilang, dan suaranya masih terasa berat untuk dikeluarkan.

 

Namun akhirnya, setelah cukup lama bergumul dengan keraguan dan kekosongan yang tak tampak, Aira perlahan berdiri. Langkahnya pelan saat maju ke meja ustadzah, bergabung dalam antrian penuh keheningan yang berisi wajah-wajah sabar menanti giliran. Hatinya berdegup kencang namun ia tetap berusaha tenang dan fokus menanti giliran.

 

Tibalah gilirannya, Aira duduk bersila di hadapan ustadzah. Setelah membaca ta’awwuz ia mulai melantunkan ayat-ayat yang sudah berulang kali ia ulang dalam hati. Suaranya pelan, agak berat, tapi ia tetap berusaha fokus. Tidak semuanya sempurna. Ada sedikit ragu, ada sedikit ulang, namun ustadzah tetap menyimak dengan sabar dan penuh perhatian.

 

Setelah selesai, Aira kembali ke tempat duduknya. Tak banyak kata, tapi di wajahnya terlukis sedikit senyum kecil muncul di bibirnya. Bukan karena hafalannya sempurna, tapi karena hari itu, ia berhasil melawan satu hal yang tak terlihat oleh siapapun. Dan itu cukup.

 

Belum ada yang tahu apa yang sebenarnya ia alami. Teman-teman halaqah-nya hanya mengira Aira sedang kelelahan. Tidak ada yang menyangka bahwa di balik tubuh mungil yang duduk tenang itu, tersimpan badai penyakit yang diam-diam mencuri kendali tubuhnya.

 

Sepulang halaqah, Aira kembali ke kamar. Ia duduk di ranjang bawahnya, membuka kotak obat berwarna biru pastel yang ia simpan di samping kasurnya. Di dalamnya, tertata rapi botol-botol berukuran kecil dan sedang, juga strip obat berbagai bentuk serta warna, masing-masing berlabel nama dan dosis yang harus diminum setiap hari. Di antara tumpukan itu, di bagian paling ujung kotak, terselip beberapa lembar panduan dari rumah sakit—dilipat kecil hingga cukup pas untuk diselipkan. Kertas itu tampak sedikit lecek, sudut-sudutnya mulai tumpul. Di halaman paling depan, dengan huruf kapital besar, tertulis jelas: "Panduan Pasien dengan Epilepsi Fokal.”

 

Ia membaca ulang nama-nama obatnya, jadwal minum, dan efek samping. Kantuk, mual, pusing, kehilangan fokus. Semua itu telah ia rasakan. Tangannya kemudian menarik lipatan kertas panduan yang terselip di ujung kotak. Perlahan, ia membuka lembar demi lembar, memerhatikan kembali daftar hal-hal yang tidak boleh ia lakukan, dan apa saja yang harus dijaga agar tubuhnya tidak kambuh. Ia berusaha mengingat satu per satu—tidak begadang, menghindari stres, menjaga pola makan, dan tidak boleh telat minum obat. Semua itu terasa berat, tapi ia tahu, hanya dengan cara inilah ia bisa melindungi dirinya sendiri. Walau tetap, di dalam hati, Aira merasa seperti sedang menjalani hidup orang lain, bukan dirinya sendiri.

 

DUG!. Suara pintu kamar terbuka bersamaan dengan salam lembut dari Ka Imut. Aira tersentak kecil, jantungnya sempat berdegup lebih cepat. “Astaghfirullah...” ucapnya refleks, sambil menoleh ke arah pintu. Ia terlalu tenggelam dalam pikirannya barusan, sampai tak sadar ada langkah yang mendekat.

 

Ka Imut ikut terlonjak kecil, alisnya terangkat kaget. “Eh, astaghfirullah, maaf! Bikin anti kaget ya?” katanya cepat, sedikit menunduk, sambil tersenyum geli.

 

Aira terkekeh pelan, rasa kagetnya mulai reda. “Hihi, na’am, laa ba’saa... afwan, ana juga jadi bikin Ka Imut kaget balik,” ujarnya sambil menggeleng kecil dan menarik napas.

 

Ka Imut tertawa kecil, lalu bersuara lagi, kali ini dengan nada yang lebih ringan. “Anti lagi ngapain, Aira?”

 

Aira tersenyum tipis. "Ini ka, lagi lihat-lihat jadwal minum obat. Soalnya ana sering lupa."

 

Ka Imut masuk ke kamar, mendekati Aira lalu duduk di ranjang sebelahnya. "Ana boleh lihat nggak obat-obat anti?"

 

"Boleh kok, kaa," jawab Aira, menyerahkan kotak biru itu.

 

Ka Imut membuka kotaknya perlahan. Matanya menyapu tiap baris nama obat, lalu berhenti pada selembar kertas yang belum sempat dilipat kembali—masih terbuka sebagian di antara obat-obatan. Ia menariknya pelan, memperhatikan deretan kalimat di dalamnya.

 

“Ana tadi baru aja baca,” ujar Aira, sedikit canggung. “Belum sempat dilipet lagi.”

 

Ka Imut tak langsung menjawab. Tatapannya bergeser kembali pada beberapa nama obat yang tertulis di panduan. Dahi mungilnya mengerut. Kemudian, seolah ada sesuatu yang menyentaknya, ia membalik kertas itu cepat dan membaca ulang.

 

“Eh... Astaghfirullah,” bisiknya, menatap Aira dengan mata membesar. “Aira... anti kena epilepsi kah?”

 

Aira menunduk sebentar. “Euhm... iya ka. Qodarullah.”

 

Wajah Ka Imut sontak berubah, antara terkejut dan khawatir. Ia meraih tangan Aira dan menggenggamnya erat. "Owh ya Allah, qodarullah…” ucapnya lirih. Semangat ya Aira. Mungkin ini cara Allah menyayangi anti. Syafakillah syifaa'an 'aajilan, laa ba'sa, thohuurun in syaa Allah."

 

“Hehe, aamiin, jazaakillahu khairan yaa kaa.” Aira menjawab ka Imut sambil mengangguk pelan sembari tersenyum kecil. Tapi sebenarnya, ia sendiri belum sepenuhnya paham apa yang tengah ia hadapi. Diagnosa awal yang ia terima belum cukup menjelaskan mengapa tubuhnya bisa kehilangan kendali, atau kenapa pandangannya mendadak kabur, atau rasa mual yang tiba-tiba datang seperti ombak tak diundang.


 

Dua hari kemudian, Aira kembali ke rumah sakit bersama Umi untuk mengambil hasil MRI yang sudah ditunggu-tunggu. Ia duduk di ruang tunggu dengan hati berdebar. Sesekali ia melirik Umi yang menggenggam tas kecilnya erat-erat. Tak lama kemudian, namanya dipanggil.

 

Di ruang dokter, Aira duduk diam. Tangannya menggenggam jilbabnya. Dokter membuka map hasil MRI dan mulai menjelaskan.

 

"Aira, hasil MRI kamu menunjukkan adanya aktivitas epileptiform yang konsisten dengan epilepsi fokal kompleks," ujar dokter sambil menunjuk bagian otak dalam citra MRI yang tampak seperti pola-pola abstrak hitam putih. "Kondisi kamu ini sedikit berbeda dari epilepsi umum yang sering disertai kejang-kejang."

 

Aira mengernyit, mencoba menangkap setiap kata yang keluar dari mulut dokter.

 

“Pada kebanyakan penderita epilepsi, mereka mengalami kejang yang bisa dilihat oleh orang lain. Tapi pada kasus kamu, kejangnya ‘tersembunyi’, terjadi di dalam. Gejala yang kamu alami seperti kehilangan fokus, gerakan tubuh yang tidak bisa dikendalikan—seperti tangan dan kaki yang bergerak tanpa sadar, kehilangan indra perasa dan penglihatan, mual, muntah, sampai kehilangan kesadaran selama beberapa hari.”

 

Dokter melanjutkan, “Ini juga bisa menyebabkan gangguan memori. Kadang kamu mungkin nggak bisa mengingat apa yang terjadi selama kejang berlangsung, atau bahkan beberapa saat setelahnya. Itu karena otak kamu waktu itu kayak ‘ke-reset sebentar’ dan nggak sempat nyimpen memori.” Kondisi ini memang lebih rumit dan harus dipantau secara ketat.”

 

Aira menelan ludah, perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Ketakutan, keheranan, dan juga tekad untuk terus berjuang bercampur jadi satu.

 

Ia menunduk sejenak, lalu memberanikan diri bertanya, “Berarti… ini bisa makin parah, ya, dok?”

 

Dokter mengangguk dengan raut tenang sembari tersenyum tipis dan lanjut menjelaskan. “Kalau tidak teratur minum obat, stres berat, atau terlalu kelelahan, iya, bisa memburuk. Tapi dengan penanganan yang tepat, banyak pasien epilepsi fokal bisa hidup normal. Kuncinya ada di disiplin.”

 

Aira mendengarkan dalam diam. Semua penjelasan dokter itu menggema di kepalanya—epilepsi fokal kompleks, gejala samar yang menyusup diam-diam, dan perlunya pengobatan jangka panjang. Ia mengangguk pelan, tak banyak bicara, hanya membalas penjelasan dokter dengan tatapan tenang yang dalamnya menyimpan begitu banyak tanya.

 

“Kalau ada yang ingin ditanyakan, Kak Aira?” tanya dokter lembut, menyadari betapa sunyinya reaksi gadis itu.

 

Aira sempat ragu. Namun akhirnya, dengan suara yang nyaris tenggelam, ia berkata, “Berarti... aku harus terus minum obat ini setiap hari, ya, Dok?”

 

Dokter tersenyum hangat. “Iya, Nak. Obat-obatan ini membantu mengontrol gejalanya. Tidak untuk menyembuhkan secara total, tapi agar kamu bisa tetap hidup normal, belajar, berkegiatan, dan nggak terganggu oleh serangan.”

 

Aira kembali mengangguk, lalu menunduk sebentar. Hatinya seperti diremas—bukan karena takut, tapi karena ia sadar: ini bukan hal yang akan berakhir cepat.

 

“Jadi mulai sekarang, kamu harus benar-benar jaga pola tidur, makan, dan jangan sampai lupa minum obat, ya?” ujar sang dokter, suaranya melembut.

 

“Iya, Dok...” jawab Aira lirih, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan ruang praktik itu.


 

Setelah semua dijelaskan, dokter memberikan catatan kecil untuk kontrol berikutnya dan resep tambahan jika dibutuhkan. Umi Aira menerima semuanya dengan saksama, lalu mengucapkan terima kasih. Tak ada yang mereka katakan sepanjang perjalanan menuju pintu keluar rumah sakit, tapi genggaman tangan Umi di pundaknya sudah cukup menguatkan. Ada rasa dingin yang samar di dadanya, bukan karena takut, tapi karena kenyataan ini kini nyata—tertulis di atas kertas medis, tergambar di layar MRI, dan terpatri di pikiran Aira.

 

Di luar rumah sakit, langit terlihat biasa-biasa saja. Tidak mendung, tidak cerah. Hanya datar, seperti perasaannya.

 

Umi menoleh padanya ketika mereka berjalan menyusuri area parkir.

 

“Kamu yakin nggak mau istirahat dulu di rumah, Nak?” tanyanya pelan. “Kita bisa hubungi pihak Ma’had, bilang kamu izin satu hari aja.”

 

Aira diam sesaat, menatap ujung sepatu yang melangkah pelan di lantai berubin kasar itu.

 

“Aku… masih mau balik, Mi,” jawabnya dengan suara tak bergetar, tapi juga tak penuh tenaga.

 

Umi berhenti sejenak. Menatap Aira seakan ingin memastikan sekali lagi, tapi akhirnya ia mengangguk dengan pasrah. “Baiklah. Tapi umi anterin sampai depan gerbang, ya. Nggak usah naik ojol.”

 

Biasanya, Aira memang pulang sendiri dari rumah sakit, naik transportasi online yang dipesan Umi lewat ponsel, lalu masuk pondok dengan langkah yang tenang seperti tak terjadi apa-apa. Tapi hari ini berbeda. Ada sesuatu yang rapuh dan baru tumbuh dalam dirinya, yang membuat Umi merasa belum bisa melepaskan begitu saja.

 

Perjalanan menuju pondok dilalui dalam diam. Aira menyandarkan kepalanya ke jendela mobil, memperhatikan pepohonan dan gedung-gedung yang melintas cepat. Di dadanya masih ada sisa degup yang tak ia mengerti. Mungkin takut. Mungkin lelah. Atau sekadar cemas yang belum sempat ia urai.

 

Mobil berhenti tepat di depan gerbang pondok.

 

“Umi nggak ikut masuk ya. Kamu langsung ke kamar aja, jangan lupa minum obatnya nanti,” pesan Umi sambil membenarkan kerudung Aira dengan lembut.

 

Aira mengangguk kecil, menggenggam tangan umi dan menciumnya lalu membuka pintu dan turun. Tapi Aira tidak langsung melangkah masuk ke dalam gerbang, Ia kembali menoleh ke arah Umi. Wajahnya tenang, tapi matanya tak bisa menyembunyikan sisa kelelahan dan keraguan yang masih tertinggal.

 

“Umi hati-hati di jalan yaa,” katanya lirih.

 

Umi tersenyum, sambil melambaikan tangan dengan lembut. “Kamu juga. Jaga diri baik-baik, ya Nak.”

 

Langkahnya kembali menjejak tanah pondok yang sudah begitu familiar, tapi hari ini terasa sedikit berbeda. Udara pondok yang biasanya menyambut hangat, kini seolah mengintip hati Aira yang sedang penuh tanda tanya. Tapi satu hal yang ia tahu pasti: ia kembali. Dengan tubuh yang sama, tapi dengan beban yang baru.

 

Aira berdiri mematung sebentar setelah Umi pergi. Tak ada teman yang menyambutnya di gerbang kali ini, hanya udara sore yang mulai mengabur dalam kabut lembut. Ia menarik napas pelan, lalu melangkah masuk kembali ke dunia yang sempat ia tinggalkan selama beberapa jam—seolah tidak terjadi apa-apa, padahal begitu banyak yang berubah hanya dalam sehari.

 

Langkahnya mengarah ke asrama. Beberapa teman terlihat dari kejauhan, duduk di depan kamar sambil menghafal atau menyalin pelajaran. Aira melambaikan tangan kecil, dan beberapa dari mereka membalas dengan senyum hangat.

 

“Airaaa! Udah balik?” Anira yang pertama menyambut dengan senyum lebar. Ia segera berdiri dan menghampiri Aira, lalu menarik tangan sahabatnya itu ke dalam kamar. “Gimana hasilnya tadi?”

 

Aira tersenyum kecil. “Alhamdulillah, udah…”

 

“Alhamdulilahh, terus hasilnya gimana Airaa? tanya Anira lagi karena pertanyaan sebelumnya belum sepenuhnya dijawab.

 

Aira tersenyum, tipis, sembari menghela napas. “Nanti aja, ya. Ana taruh barang dulu.”

 

Anira mengangguk. Tak mendesak. Ia tahu Aira butuh waktu. Tapi tetap menemaninya, duduk di ujung kasur sambil menatap wajah sahabatnya itu yang masih tampak lelah.

 

Setelah menata barang-barangnya dan duduk sebentar mengatur napas, Aira akhirnya menoleh pada Anira yang masih setia menunggu di ujung kasur. Senyum kecil terbit di wajahnya—bukan senyum bahagia, tapi senyum yang menyiratkan kekuatan untuk tetap bertahan.

 

“Nir…,” panggilnya pelan, “maaf ya, tadi ana belum sempat jawab.”

 

Anira mengangguk cepat. “Gak apa-apa. Sekarang gimana? Udah mendingan?”

 

Anira langsung mengangguk kecil. “Gak apa-apa, Ra. Sekarang gimana? Udah mendingan?”

 

Aira mengangguk, lalu menunduk sebentar. Matanya seperti menyusun kata-kata yang terlalu dalam untuk segera diucap. Tapi akhirnya ia mulai bicara, suaranya tenang, nyaris seperti bisikan angin sore.

 

“Tadi di rumah sakit... dokter bilang ana kena epilepsi fokal kompleks,” katanya, jujur, tanpa berusaha menyembunyikan. “Tapi bukan yang kejang kelihatan jelas gitu. Jenis ana... lebih ke dalam kayak ga terlihat gitu, kambuhnya tuh didalam gitu... Ana bisa bengong, diam beberapa detik, terus tiba-tiba hilang fokus, kadang gak sadar orang ngomong apa, dan kadang tubuh ana gerak sendiri tanpa ana bisa kontrol.”

 

Anira perlahan menegakkan duduknya. Mulutnya sedikit terbuka, terkejut—tapi ia tidak menyela.

 

“Sakit kepalanya juga beda, Nir... bukan cuma pusing. Kadang kayak dunia goyang. Ana juga suka ngerasa mual, terus... kayak ada bau aneh yang gak dicium orang lain. Dokternya bilang itu gangguan dari lobus temporal di otak. Dan yang bikin ana takut... katanya bisa bikin hilang ingatan juga. Kayak... lupa sama hal-hal yang ana pelajari atau yang barusan kejadian.”

 

Aira menoleh, matanya bening. “Mungkin itu kenapa ana susah banget hafalan akhir-akhir ini. Susah fokus, susah ngafal, kayak otaknya kabur gitu.”

 

Anira menatapnya lekat-lekat, dan Aira tahu, meski sahabatnya itu belum berkata apa-apa, hatinya sudah ikut menangis.

 

Tapi sebelum Anira sempat membuka suara, Aira tersenyum lagi. Senyum yang kali ini lebih terang meski tetap sederhana.

 

“Hehe…” tawanya lirih. “Mungkin Allah kasih ana ini karena Allah sayang bangett sama anaa Nirr. Mungkin selama ini ana banyak dosa yang ana gak sadar, terus Allah bersihin dengan cara ini.”

 

Ia menghela napas, pelan namun ringan. “Allah Maha Baik, Nir. Ana percaya banget… takdir-Nya pasti yang paling baik. Meski jalannya harus ditempuh sambil merangkak, sambil jatuh, sambil banyak nangis... tetap aja, itu pasti jalan terbaik yang Allah pilih buat ana, mungkin ana gatau apa yang bisa dibilang baiknya dari sakit yang terus datang ini, tapikan Allah maha tahu yang terbaik untuk hamabnya, dan selagi masih ada Allah di hidup ana, in syaa Allah ana akan selalu baik-baik saja.”

 

Anira menutup mulutnya, berusaha menahan tangis. Tapi justru kata-kata itu—yang begitu ringan tapi dalam—membuat air matanya jatuh juga.

 

Anira menghela napas pelan, lalu bergeser mendekat tanpa banyak bicara. Ia membuka lengannya, dan tanpa perlu kata-kata lagi, Aira pun menyandarkan tubuhnya dalam pelukan itu.

 

Bukan pelukan yang dramatis, bukan juga yang penuh air mata. Hanya pelukan sederhana antara dua sahabat yang saling tahu: dunia ini tak selalu ramah, tapi selama mereka saling ada, semuanya akan tetap bisa dijalani.

 

“Aira,” bisik Anira sambil mengusap pelan punggung sahabatnya, “kalau yang dikasih Allah itu bentuk cinta, berarti... kamu sekarang lagi dicintai banget sama Allah, ya?”

 

Aira terkekeh kecil, tertahan. “Hehe, kalau dilihat dari banyaknya obat sih... cinta-Nya kayak lagi full package.”

 

Anira ikut tertawa kecil, menahan haru di balik tawanya. “Full package plus bonus ujian kesabaran, ya?”

 

“Mungkin juga plus pahala tambahan kalau gak ngeluh,” sahut Aira cepat, masih dalam pelukan.

 

Keduanya tertawa lagi. Tidak keras, tidak juga lama. Tapi cukup. Cukup untuk meyakinkan diri mereka sendiri bahwa meski hari ini berat, mereka tak sedang berjalan sendirian.

 

Setelah beberapa saat, Anira melepas pelukannya, lalu menatap Aira dengan senyum lembut.

 

“Janji ya, Aira. Kalau capek, jangan dipendam sendiri. Kamu kan udah punya ana.”

 

Aira mengangguk. “InsyaAllah... Tapi kalau ana lupa karena efek epilepsi, ingetin, ya.”

 

Anira pura-pura berpikir. “Hmm, ana catat aja deh di dinding kamar. Kalau Aira lupa, peluk lagi sampai ingat.”

 

Aira tertawa, kali ini lebih lepas. Dadanya terasa sedikit lebih ringan. Bukan karena rasa sakitnya hilang, tapi karena hatinya tahu: cinta Allah hadir dalam banyak bentuk, dan salah satunya adalah sahabat yang tahu cara tertawa di sela-sela luka.

 

Waktu berjalan pelan. Matahari mulai bergeser dari puncaknya, memberi ruang bagi senja untuk menyapa bumi.

 

Setelah salat Ashar dan sedikit membantu merapikan kamar, Aira memutuskan keluar sebentar. Langkahnya membawanya ke tempat yang selalu jadi pelariannya saat hati terlalu penuh—saung kecil di sudut taman ma’had.

 

Sore itu, langit menggantungkan warna oranye yang perlahan berubah menjadi ungu pucat. Angin lembut menerpa dedaunan yang bergoyang pelan, seperti ikut berzikir bersama waktu yang berjalan tanpa henti.

 

Aira duduk sendirian di saung kecil di sudut taman ma’had. Tempat ini bukan yang paling mewah, tapi baginya, inilah tempat paling damai. Dari sini, ia bisa melihat pohon kembang sepatu yang sering dijadikan spot menghafal, suara anak-anak yang berlarian di kejauhan, dan langit—langit luas yang seperti tak pernah bosan mendengarkan keluh kesah yang tak terucap.

 

Kakinya terlipat rapi di atas dudukannya, dan di pangkuannya tergeletak mushaf kecil. Bukan untuk menghafal saat ini, tapi untuk menyelami makna. Jarinya perlahan menelusuri baris demi baris terjemahan, seolah ingin benar-benar mengerti apa yang sedang Allah sampaikan padanya.

 

Setiap kata ia baca dengan hati yang terbuka, bukan sekadar dipahami, tapi dimasukkan perlahan ke dalam luka yang sedang ia rawat. Seakan ia berkata dalam hati, “Kalau ini takdir dari-Mu, ya Rabb… maka tuntunlah aku untuk tidak hanya menerimanya, tapi juga memeluknya dengan ikhlas.”

 

Lembar demi lembar ia buka, hingga pandangannya jatuh pada satu ayat, jantungnya terasa seperti dipeluk:

 

 “Lā yukallifullāhu nafsan illā wus‘ahā."

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."

(QS. Al-Baqarah: 286)



 

Aira mengulang-ulang ayat itu dalam hati. Tidak nyaring, tapi cukup untuk menggema dalam relung yang selama ini kosong oleh jawaban. Tiba-tiba semuanya terasa lebih ringan. Bukan karena sakitnya hilang, tapi karena ia tahu… Allah mengenalnya lebih dari siapa pun. Bahkan saat ia sendiri ragu apakah ia mampu, Allah lebih dulu tahu bahwa ia bisa.

 

Matanya hangat. Bukan tangis sedih, tapi tangis dari hati yang mulai percaya:

Ya Rabb… Engkau menitipkan ini karena Engkau yakin aku kuat. Maka tuntunlah aku untuk tidak hanya bertahan, tapi juga bersyukur.”

 

Lalu Aira mengangkat wajahnya, menatap langit.

 

Ya Allah…” bisiknya pelan, “Aira nggak tahu kenapa Engkau pilih jalan ini buat Aira. Tapi Aira tahu... Engkau nggak akan pernah salah.”

 

Ia menghela napas panjang. Angin sore mengusap wajahnya, seolah menjawab kegundahan yang tertinggal di hatinya.

 

Tadi siang, tawa dan pelukan dari Anira memang menguatkan. Tapi saat sore tiba, seperti biasa, hatinya kembali sunyi. Dan di kesunyian itu, ia justru bisa mendengar lebih jelas suara hatinya sendiri—suara yang tidak ingin mengeluh, tapi juga belum sepenuhnya kuat.

 

“Aira takut, ya Allah… kadang takut banget,” gumamnya lagi. “Takut gak bisa terus menghafal, takut semua yang Aira perjuangkan hilang satu-satu, takut gagal, takut semuanya, takut gagal jadi baik juga karena merasa terlalu di uji…”

 

Ia menunduk. Kelopak matanya menghangat seperti ingin menangis, tapi ia berusaha kuat dan berusaha menerima.

 

“Aira cuma pengen tetap jadi hamba-Mu ya Allah, meski jalannya begini. Aira ingin tetap dekat… meski harus jatuh berkali-kali, Aira gamau tersesat karena ujian ini ya Allah, bantu Aira untuk tetap berhusnudzon kepada-mu ya Allah.”

 

Ia memeluk mushafnya erat-erat.

 

Seketika bayangan wajah sahabat-sahabatnya menari di pikirannya—Anira, Ka Imut, Fiya, Fira, Nisa dan yang lainnya. Mereka semua menyayanginya tanpa syarat. Mereka tak butuh Aira yang sempurna. Mereka hanya ingin Aira yang terus berjuang.

 

Angin sore kembali berembus. Kali ini membawa bau tanah yang lembap dan damai.

 

Aira menatap langit sekali lagi. Senyumnya pelan.

 

“Terima kasih ya Allah… buat sakit ini, buat air mata ini, buat sahabat-sahabat yang Engkau titipkan. Aira jadi belajar… dan akan terus belajar. Meskipun perlahan, bantu Aira ya Allah, bantu Aira melewati ini, bantu Aira untuk tetap kuat dan tetap dekat dengan-Mu ya Allah.”

 

Dan di antara bisikan angin dan langit yang perlahan gelap, Aira tahu… hatinya masih luka, tapi juga sedang tumbuh. Tumbuh menuju versi terbaik yang Allah kehendaki.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Bisikan yang Hilang
63      57     2     
Romance
Di sebuah sudut Malioboro yang ramai tapi hangat, Bentala Niyala penulis yang lebih suka bersembunyi di balik nama pena tak sengaja bertemu lagi dengan Radinka, sosok asing yang belakangan justru terasa akrab. Dari obrolan ringan yang berlanjut ke diskusi tentang trauma, buku, dan teknologi, muncul benang-benang halus yang mulai menyulam hubungan di antara mereka. Ditemani Arka, teman Radinka yan...
FLOW : The life story
91      81     0     
Inspirational
Dalam riuh pikuknya dunia hiduplah seorang gadis bernama Sara. Seorang gadis yang berasal dari keluarga sederhana, pekerja keras dan mandiri, gadis yang memiliki ambisi untuk mencari tujuannya dalam berkehidupan. Namun, dalam perjalanan hidupnya Sara selalu mendapatkan tantangan, masalah dan tekanan yang membuatnya mempertanyakan "Apa itu kebahagiaan ?, di mana itu ketenangan ? dan seperti apa h...
Langkah Pulang
376      275     7     
Inspirational
Karina terbiasa menyenangkan semua orangkecuali dirinya sendiri. Terkurung dalam ambisi keluarga dan bayang-bayang masa lalu, ia terjatuh dalam cinta yang salah dan kehilangan arah. Saat semuanya runtuh, ia memilih pergi bukan untuk lari, tapi untuk mencari. Di kota yang asing, dengan hati yang rapuh, Karina menemukan cahaya. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dan dari Tuh...
Paint of Pain
914      645     29     
Inspirational
Vincia ingin fokus menyelesaikan lukisan untuk tugas akhir. Namun, seorang lelaki misterius muncul dan membuat dunianya terjungkir. Ikuti perjalanan Vincia menemukan dirinya sendiri dalam rahasia yang terpendam dalam takdir.
Penerang Dalam Duka
605      400     2     
Mystery
[Cerita ini mengisahkan seorang gadis bernama Mina yang berusaha untuk tetap berbuat baik meskipun dunia bersikap kejam padanya.] Semenjak kehilangan keluarganya karena sebuah insiden yang disamarkan sebagai kecelakaan, sifat Mina berubah menjadi lebih tak berperasaan dan juga pendiam. Karena tidak bisa merelakan, Mina bertekad tuk membalaskan dendam bagaimana pun caranya. Namun di kala ...
TANPA KATA
18      17     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
120      107     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Semesta Berbicara
1060      649     10     
Romance
Suci adalah wanita sederhana yang bekerja sebagai office girl di PT RumahWaktu, perusahaan di bidang restorasi gedung tua. Karena suatu kejadian, ia menjauh dari Tougo, calon tunangannya sejak kecil. Pada suatu malam Suci memergoki Tougo berselingkuh dengan Anya di suatu klub malam. Secara kebetulan Fabian, arsitek asal Belanda yang juga bekerja di RumahWaktu, ada di tempat yang sama. Ia bersedia...
FAYENA (Menentukan Takdir)
356      261     2     
Inspirational
Hidupnya tak lagi berharga setelah kepergian orang tua angkatnya. Fayena yang merupakan anak angkat dari Pak Lusman dan Bu Iriyani itu harus mengecap pahitnya takdir dianggap sebagai pembawa sial keluarga. Semenjak Fayena diangkat menjadi anak oleh Pak Lusman lima belas tahun yang lalu, ada saja kejadian sial yang menimpa keluarga itu. Hingga di akhir hidupnya, Pak Lusman meninggal karena menyela...
Monday vs Sunday
112      97     0     
Romance
Bagi Nara, hidup itu dinikmati, bukan dilomba-lombakan. Meski sering dibandingkan dengan kakaknya yang nyaris sempurna, dia tetap menjadi dirinya sendiricerewet, ceria, dan ranking terakhir di sekolah. Sementara itu, Rei adalah definisi murid teladan. Selalu duduk di bangku depan, selalu ranking satu, dan selalu tampak tak peduli pada dunia luartermasuk Nara yang duduk beberapa meja di belaka...