Leo pulang dengan paper bag di salah satu tangan. Melangkah menuju Dapur di mana tercium aroma harus dari cookies yang sepertinya sedang dipanggang. Dilihatnya dengan lengkungan manis yang menghiasi bibirnya kedua wanita paling ia cinta di dunia ini. Leo taruh paper bag itu di atas meja makan yang kosong.
"Aku kira gak akan ada macaron lagi," kata Mireya setelah melihat paper bag, lalu menatap Leo yang berjalan ke arahnya.
Sehabis mencuci tangan di wastafel Mama Leo berdiri di samping Mireya. "Sebenarnya Mama yang suruh Leo pulang cepat hari itu, makanya dia gak jadi beli macaron. Waktu kamu mau pulang, Mama ingin Leo mencegah kamu."
"Padahal aku pulang buat kembali ke sini," ucap Mireya sembari menatap Mama Leo.
"Mama mana tahu. Melihat wajah serius kamu, Mama kira kamu gak akan sampai mau tinggal di sini."
"Sekarang Mama sudah gak perlu khawatir lagi kalau sewaktu-waktu kamu akan pulang," ucap Leo sembari menatap Mireya dan Mama-nya, bergantian.
Papa Leo yang berada di kursi kerja-nya wajahnya nampak tegang setelah menerima telepon. Terdapat keterkejutan juga di sana setelah menerima suatu kabar. Mengambil kembali handphone yang baru diletakkan di atas meja.
Drrrtt drrrtt drrrtt
Leo keluarkan handphone dari dalam saku jaket baseball nya, menatap layar yang menampilkan panggilan masuk dari Papa-nya. Leo yang merasa bahwa itu telepon penting, sedikit menjauh dari sana. Berdiri di dekat meja makan.
"Hallo, Pa."
"Papa sudah menyuruh seseorang membawa berkas unuk permintaan penyelidikan ulang, tapi permintaan itu ditolak!"
"Apa?! Kenapa? Kasusnya baru saja 3 tahun, belum lama."
"Kata orang suruhan Papa, ada seseorang yang mengajukan permohonan yang sama untuk kasus yang sama karena merasa adanya kebohongan."
"Kasus yang sama? Siapa yang mengajukan penyelidikan ulang? Hanya kita yang tahu, Pa." Sembari menatap Mireya dan Mama-nya yang tengah mengobrol.
"Papa-nya Mireya!"
Plot twist apa lagi ini! Leo sungguh tidak menyangka bahwa Papa-nya Mireya tahu soal itu. Bukan. Lebih tepatnya aneh tidak sih jika tidak ada yang tahu? Papa-nya Mireya bukan orang bodoh yang dengan mudahnya dibodohi, namun kenapa selama ini hanya diam?
Leo menatap Mireya dalam-dalam. Kasus yang ditutup dengan murni kecelakaan ternyata menyimpan rahasia. Apa yang harus Leo katakan pada Mireya? Apa ia akan terus menyembunyikannya sampai Mireya tahu sendiri?
"Karena semuanya sudah semakin jelas, aku boleh kan memberitahu Mireya?"
"Iya, Papa rasa sudah waktunya Mireya tahu rahasia di balik kepergian Mama-nya."
Setelah panggilan selesai, Leo memasukkan kembali handphone ke dalam saku jaketnya. Berjalan kembali mendekati Mireya. "Ma, Mire ...." ucap Leo dengan tatapan serius.
"Ada apa, Le? Tiba-tiba banget wajah kamu serius. Memangnya habis terima telepon dari siapa?" tanya Mama-nya dengan wajah heran.
"Ada pembaruan dari kasus kecelakaan Mama-nya Mireya." Sembari menatap Mama-nya, lalu Mireya yang memasang wajah tidak mengerti dengan maksud Leo.
"Maksud Kak Leo apa? Pembaruan? Kasusnya kan sudah ditutup."
"Ada yang mengajukan penyelidikan ulang."
Sontak wajah Mireya memasang wajah terkejut. Seolah tak percaya dengan apa yang baru saja Leo katakan. "Kenapa sampai ada penyelidikan ulang? Apa ada yang salah?"
"Ada penyelidikan ulang karena kasus itu ternyata dimanipulasi. Bukan kecelakaan biasa, Mire … tapi pembunuhan!"
Mendengar kata terakhir Leo, kedua kaki Mireya rasanya lemas dan jika ia tidak langsung berpegangan pada tepi meja Dapur, mungkin Mireya akan jatuh. "Bagaimana bisa setelah 3 tahun baru ketahuan?!" kata Mama Leo dengan wajah tak percaya.
"Dari mana Kak Leo tahu semua ini?"
"Papa."
"Siapa yang minta dilakukannya penyelidikan ulang?" tanya Mama Leo dengan wajah serius.
Leo menatap lekat-lekat Mireya, memastikan bahwa apa yang akan ia katakan selanjutnya adalah hal yang benar. "Papa kamu, Mire." Sembari menatap Mireya yang kembali dibuat shock.
"Kalau Papa mengajukan penyelidikan ulang itu berarti Papa tahu soal kebenarannya?"
"Iya," jawab Leo.
"Tapi, kenapa Papa gak bilang apa-apa? Apa aku gak perlu tahu?" Mireya sedih harus mengetahui hal yang satu itu.
"Mungkin bukan seperti itu maksud Papa kamu, Mireya. Bisa jadi Papa kamu gak mau membebani kamu dengan kenyataan itu dan membuat kamu semakin sedih dengan kepergian Mama kamu."
"Bagaimana mungkin Papa gak mau aku terbebani? Papa benci aku, Ma."
Mireya yang merasa butuh waktu sendiri, melangkah pergi dari sana. Leo menatap punggung Mireya yang perlahan menjauh itu dengan tatapan khawatir. Setelah merasa lebih baik hati Mireya harus terguncang lagi. Mireya harus menerima kenyataan pahit lagi.
"Bagaimana bisa Papa kamu tahu? Terlepas dari profesinya sebagai pengacara," tanya Mama-nya dengan wajah serius.
Leo pun menceritakan semuanya pada Mama-nya yang merasa sedikit kecewa karena dari awal Leo tidak menceritakannya.
"Untuk siapa yang menjadi tersangkanya, Mama rasa kita perlu merahasiakannya dulu dari Mireya. Kalau semuanya sudah lebih jelas, baru kita bicarakan."
"Pasti gak mudah untuk Mire, Ma."
"Tentu saja. Mana ada anak yang terima kalau ternyata orang tuanya bukan mengalami kecelakaan biasa, melainkan ada yang mengincar nyawanya."
"Apa yang harus aku lakukan untuk membuatnya merasa lebih baik?"
"Mireya hanya butuh waktu, biarkan saja. Waktu yang akan membantunya merasa lebih baik."
.
.
Setelah beberapa hari di kediaman orang tau Mireya yang masih tenang-tenang saja, hari ini terdapat 3 polisi laki-laki yang datang dan bahkan langsung menyeret Ibu tiri Mireya yang tidak menyangka bahwa pada akhirnya dirinya akan ketahuan.
"Mas," ucap Ibu tiri Mireya dengan wajah memelas saat melihat kehadiran Papa Mireya yang baru tiba. Namun, Papa Mireya tidak peduli. Bahkan tidak sudi menatap wanita licik yang sudah merenggut nyawa istri-nya.
Mireya datang tepat waktu! Turun dari atas motor online, memberikan helm pada pengemudi motor, sedikit berjalan dengan wajah bertanya-tanya, lalu langkahnya terhenti saat Ibu tiri-nya lewat di hadapannya dengan digandeng deorang polisi laki-laki. Ibu tiri-nya menatap penuh benci Mireya yang bahkan tidak tahu apa yang terjadi.
Setelah mobil polisi berlalu dengan beberapa warga yang bubar setelah singgah beberapa saat karena penasaran, Papa Mireya menghampiri Mireya yang masih berdiri di luar pagar. "Apa yang terjadi?" tanya Mireya yang kedatangannya ingin bertanya soal kasus kecelakaan Mama-nya.
Mireya mematung saat Papa-nya memeluknya. Pelukan yang Mireya rasakan masih sehangat dahulu. Pelukan yang sudah lama tidak Mireya rasakan. Mireya senang tapi heran. Bukankah Papa-nya itu membencinya? Apa arti pelukan itu?
Papa-nya melepas pelukan dengan tidak mendapat balasan pelukan dari Mireya. Wajah yang selalu datar dan tidak peduli, saat ini terdapat lengkungan manis yang menghiasi bibirnya. Senyum yang sama dengan saat Mama-nya masih ada. Seorang Ayah yang mencintai putri-nya.
"Maafkan Papa selama ini, Mireya." Dengan nada terdengar tulus, dan merasa bersalah. Ada kesedihan juga di sana.
"Aku gak ngerti sama semua ini."