Di tengah malam yang sunyi di mana orang-orang terlelap dalam tidur, Leo terduduk sendirian di meja makan dengan kaleng minuman bersoda. Ucapan Cyntia di Cafe itu sungguh mengusik kepala Leo. Ibu tiri Mireya terlibat dalam kecelakaan? Maksudnya apa? Apa yang sebenarnya terjadi?
"Apa mungkin kecelakaan itu disengaja? Kalau pun iya kenapa gak ada orang yang tahu?" gumam Leo dengan wajah serius.
Semakin memikirkannya Leo semakin bingung. Bagaimana cara Leo mencari tahunya? Leo penasaran dengan kejadian sebenarnya. Namun, Leo tidak tahu harus mulai dari mana.
"Apa nih anak Papa diam-diam minum soda sendirian, bukannya tidur," kata Papa-nya dengan piyama yang dipakainya. Wajah yang memperlihatkan bangun tidur.
Ketika melihat Papa-nya yang berjalan ke meja Dapur, Leo pun baru ingat bahwa ia memiliki seseorang yang bisa membantunya. Bagaimana bisa Leo lupa memiliki Ayah yang berprofesi sebagai pengacara terkenal seindonesia!
"Pa, bisa temani aku sebentar gak? Ada yang mau aku bicarakan," kata Leo sembari menatap Papa-nya dengan serius.
Papa-nya mendudukkan diri di kursi tepat di hadapan Leo, meneguk habis air yang diisi setengah gelas itu. "Dari wajah serius kamu, kamu gak sedang terlibat masalah kan?" Sembari meletakkan gelas.
"Nggak, Pa. Ini masalah lain." Wajah Leo lebih serius.
"Masalah apa?"
"Pulang Sekolah aku kan ke Cafe buat beli macaron, gak sengaja melihat Kakak tirinya Mireya yang namanya Cyntia. Aku kan penasaran apa yang Cyntia bicarakan sama temannya, apa mungkin soal Mireya, jadi aku mendengarkan pembicaraan mereka diam-diam, dan Papa tahu apa fakta apa yang aku temukan?"
"Fakta apa?"
"Ibu tiri-nya Mireya terlibat dalam kecelakaan Mama-nya Mireya!" Papa-nya langsung memasang wajah terkejut. Tidak ada yang menduganya, bukan?
"Bagaimana ceritanya?"
"Aku juga gak tahu, Pa. Aku cuma dengar kalau Ibu tiri-nya terlibat, kalau kesalahan gak sepenuhnya salah Mireya, ada yang lebih bersalah dari Mireya."
"Kamu sudah membicarakannya sama Mama?"
"Belum ada waktu."
"Jangan kasih tahu Mama dulu! Kita perlu bukti yang kuat. Kamu tahu sendiri Mama kamu kayak gimana."
"Iya, Pa. Aku juga berencana untuk gak kasih tahu Mama dulu."
"Papa akan mencari tahu. Papa akan bantu Mireya sebisa Papa."
Leo tersenyum. "Terima kasih, Pa."
"Gak perlu, Le. Mireya sudah bagian dari keluarga ini." Papa Leo terlihat memikirkan sesuatu.
"Aku penasaran apa motiv Ibu tirinya kalau benar terlibat."
"Bukankah sudah jelas dengan posisinya saat ini?" tanya Papa-nya dengan pemikiran cerdasnya.
Leo mendapatkan pemikiran yang sama dengan Papa-nya yang sebelumnya tidak kepikiran. "Apa karena Papa seorang pengacara makanya cepat berpikirnya?"
"Jadi kamu mau jadi pengacara?" tanya Papa-nya santai.
"Aku belum tahu mau jadi apa." Dengan wajah bingung dengan diri sendiri.
"Bukannya sudah ada satu hal yang pasti?"
"Satu hal yang pasti, apa?" Leo bingung.
"Jadi suami Mireya." Papa-nya terkekeh kecil.
Leo langsung tersenyum lebar. Saat terdengar suara langkah kaki, kedua laki-laki beda usia itu menoleh ke sumber suara di mana Mireya menampakkan dirinya dengan piyama dress bunga bunganya. Papa Leo yang melihat itu meninggalkan Leo dengan senyum menggoda.
"Kak Leo di sini," ucap Mireya dengan wajah masih mengantuk.
Alih-alih seperti mengambil minum, Mireya mendudukkan diri di kursi samping Leo, bahkan meletakkan kepalanya di meja yang mengarah ke arah Leo. Leo tatap wajah dengan mata yang perlahan menutup.
"Mau apa ke sini? Sebaiknya kamu kembali tidur. Jangan tidur di sini, Mire! Nanti badan kamu pegal pegal."
Mireya membuka matanya. "Aku mau minum, tapi terlalu malas mengambilnya," keluh Mireya.
Leo tersenyum tipis, lalu mengambilkan Mireya air. Mireya meneguk sekali air itu, lalu kembali pada posisi sebelumnya. "Sudah minum, bukankah seharusnya kembali ke Kamar?" tanya Leo, lembut.
"Kalau langsung tidur di Kamar kayaknya aku bakalan gak bisa tidur." Tanpa membuka matanya.
"Kenapa?"
"Mimpi buruk yang ceritanya ada hantu di Kamar." Mireya membuka matanya.
"Jadi kamu takut?"
"Iya. Memangnya Kak Leo gak akan takut?"
"Rasanya aku gak akan takut karena terlalu mengantuk? Jadi gak ada waktu buat takut."
"Aku sudah coba memejamkan mata tapi malah kayak ada yang memperhatikan."
Leo mengelus lembut kepala Mireya. "Itu hanya perasaan kamu, Mi. Kalau orang takut kan rasanya kayak ada yang mengawasi, padahal belum tentu ada."
"Aku mau tidur di sini dulu, nanti baru pindah."
Beberapa menit kemudian...
Leo masih dengan kegiatan mengelus kepala Mireya yang sudah terlelap dalam tidur. Bukankah Mireya seperti tidak akan bangun dan pindah ke Kamar-nya? Leo pun dengan perlahan mengangkat tubuh Mireya. Membawanya hati-hati. Sampainya di Kamar, langsung meletakkan tubuh ringan itu di kasur. Menyelimuti hingga sebagian tubuh.
Tidak langsung keluar, Leo mendudukkan diri di tepi ranjang, menghadap ke arah Mireya. Ditatapnya wajah yang jauh lebih baik dari kemarin. Jika Ibu tirinya terlibat dan kecelakaan itu bukan murni kecelakaan, bagaimana perasaan Mireya? Apa Mireya tidak akan terlalu menyalahkan dirinya?
.
.
Papa Leo meminta Leo datang ke firma tempatnya bekerja sebagai pengacara. Alih-alih membicarakan di Rumah atau tempat lain, Papa Leo merasa lebih nyaman membicarakannya di Kantor. Leo yang sudah terduduk di kursi tepat di hadapan Papa-nya, merasa tahu apa yang akan dibicarakan pria paruh baya itu.
"Papa sudah mencari tahu, bertanya ke beberapa sumber, dan perkataan Cyntia bukan sekedar omong kosong! Bahkan yang lebih mengejutkan, bukan hanya terlibat tapi wanita itu yang sudah membunuh Mama-nya Mireya!"
Shock berat siapa pun yang mendengarnya pasti. Tangan Leo mengepal, sungguh tidak menyangka jika endingnya seperti itu. Wanita yang selama ini tinggal bersama Mireya, ternyata seseorang yang telah menciptakan awal luka Mireya....
"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Pa? Dan gimana bisa kasusnya ditutup dengan kecelakaan biasa?"
"Polisi yang menangani kasus itu telah disuap. Kasusnya dibuat seperti murni kecelakan."
"Papa punya bukti yang kuat?" tanya Leo dengan suatu harapan.
"Papa memiliki cctv yang merekam kejadian. Cctv yang untungnya tidak dihancurkan, tapi disimpan dengan sangat rapi."
Leo menghela nafas, lega. "Itu berarti Tuhan masih berpihak sama Mireya."
"Jangan cerita ke siapa-siapa dulu sebelum Papa meminta penyelidikan ulang," ucap Papa-nya dengan wajah serius.
"Iya, Pa."
Leo sungguh merasa senang dengan kabar itu. Bukankah Mireya tidak harus terluka lagi? Mireya bisa lebih fokus mencintai dirinya sendiri. Fokus ke hal-hal yang ingin Mireya lakukan.
Saat berada di Lobi kantor Papa-nya, Leo menelepon seseorang. "Hallo, Kak."
"Kamu di Rumah?" tanya Leo dengan wajah bahagia.
"Iya, lagi bantuin Mama buat cookies. Kenapa?"
"Mau nitip apa? Biar aku belikan."
"Serius? Terakhir kali saja Kak Leo gak jadi beli."
"Kali ini beneran, Mire."
"Macaron!" Lagi-lagi macaron..