Loading...
Logo TinLit
Read Story - Can You Hear My Heart?
MENU
About Us  

Kedua tangan Kara terus mengobrak-abrik tumpukan lipatan pakaian di lemari miliknya, dengan napas memburu dan mata yang berkerut serta sesekali memicing karena mencari kemeja kotak-kotak hijau favoritnya. Kara mendengus kesal, pikirannya mulai kacau seperti isi lemarinya sekarang ini. Di mana baju itu berada? Seolah potongan kain yang sudah dijahit menjadi busana atasan itu sedang ingin bermain petak umpet.

Sesaat ia teringat bahwa kemarin telah memakainya sewaktu hendak membeli susu kemasan kesukaannya di toko depan rumah. Ia segera berjalan ke arah pintu kamarnya, meninggalkan lemari yang sudah acak-acakan dan terbuka begitu saja, sampai kemudian ia membanting penutup lemarinya keras-keras, melampiaskan rasa jengkel yang meluap seperti air mendidih. Mendadak tubuhnya berkeringat dan terasa gerah, bulir-bulir peluh sebesar biji jagung menetes dari dahinya. Pandangannya tertuju pada gantungan yang menempel di pintu kamar tidurnya. Kali ini ia menyibak tumpukan pakaian yang sudah lama bertengger di sana, bahkan setelah terlihat tas-tas kecil yang juga tergantung, kemeja kotak-kotak itu ternyata tidak berada di sana.

 “Mama!” teriaknya sambil membanting daun pintu dengan kasarnya. Ia yang masih memakai daster bunga-bunga berjalan serampangan menuju tempat sang mama berada.

 “Apa sih Dek?” Lita segera menghampiri putrinya.

 “Kemeja kotak-kotakku ke mana?” tanya Kara berseringai sambil menghentakkan kedua tangannya.

 “Mama cuci Dek, udah berapa lama itu ngegantung di kamarmu. Itu aja di sana pasti masih banyak baju, kamu lain kali kalau ada pakaian kotor harusnya segera taruh di belakang!” ujar Lita dengan nada yang mulai meninggi.

 “Mama tuh lancang! Kan mau aku pakai! Lagian kotor apanya sih?” cerocos Kara dengan kening berkerut, matanya melotot sambil menodongkan telunjuknya ke arah mamanya. Melihat respon Kara yang emosinya sudah melonjak, Lita berusaha menahan amarahnya, ia mendekati putrinya yang kini menyendekapkan tangannya di perut.

 “Iya, lain kali Mama pasti bilang ke kamu dulu kalau mau nyuci,” ucap Lita seraya merangkul bahu putrinya.

 “Terus sekarang aku pakai baju apa?” tanya Kara yang beringsut.

 “Kan masih banyak baju di lemari kamu, coba pakai T-shirt kamu yang pink itu, yang gambar bunga Daisy. Itu favorit kamu juga kan?” kata mamanya dengan lemah lembut, membuat hati Kara melunak.

 “Yaudah, ambilin!” cicit Kara lalu mengembuskan napas panjang, ia memang gampang sekali terpercik api emosi. Ia bisa merasakan dadanya seolah bergemuruh.

 Lita segera berjalan masuk ke kamar Kara, ia hanya bisa menggeleng pasrah melihat isi lemari yang sudah berantakan tak karuan, padahal tumpukan pakaian itu sebelumnya sudah susah payah disetrika. Lita segera mengambil kaus lengan panjang berwarna pink itu, pikirnya nanti saja dibereskan. Begitu menemukan kaus favorit Kara yang bagai harta karun, gadis dengan tubuh gempal itu mengambilnya dari tangan mamanya, lagi-lagi Lita hanya bisa menggeleng sambil meredam emosi. Ia kemudian masuk ke kamar tidur utama di bagian depan rumah.

 “Mama!” Belum sepuluh menit berlalu, Kara berteriak lagi, kali ini lebih nyaring. Lita bahkan belum mengoleskan bedak untuk menutupi kerut di wajahnya. Buru-buru ia keluar dari kamar, dan sudah menemukan Kara mondar-mandir di depan meja di ruang tengah.

 “Kacamataku mana? Mama tuh suka asal aja mindah-mindahin barang! Kacamataku tadi di sini!” cecar Kara sambil menggebrak meja yang tak bersalah. Lita menarik napas berusaha untuk kesekian kalinya menahan amarah, mengapa putrinya itu suka sekali menyalahkan dirinya yang sudah susah payah merapikan seisi rumah.

 “Mama nggak mindahin kacamata kamu Dek, coba diingat-ingat lagi!” kata Lita memantapkan kesabarannya. Lita kemudian masuk ke kamar tidur Kara dan membuka laci pada meja riasnya. Betul dugaannya.

 “Nih, kacamatamu, kamu yang lupa Dek. Sudah ya, jangan marah-marah lagi ….” Lita mengusap pelan punggung putrinya. Kara segera memakai kacamatanya dan menunduk, terkadang ia pun tidak memahami bagaimana cara kerja otaknya untuk bisa mengolah emosi.

 “Jadi diantar Papa kan Ma?”

 “Tadi Papa telepon, ada meeting dadakan. Mama antar aja ya!” kali ini Lita merangkul bahu Kara yang langsung menjingkat.

 “Haduh, mendung gini, kalau kehujanan gimana?” protes Kara.

 “Nggak-nggak Sayang, dibonceng Mama aja ya, nanti pulangnya kita jalan-jalan dulu juga nggak apa-apa,” bujuk Lita. Mendengar kata jalan-jalan ternyata bisa meredam kemarahan Kara yang selalu muncul tiba-tiba.

 Pasangan ibu dan anak itu kemudian segera berangkat meninggalkan kediaman mereka. Kara merasakan terpaan angin yang menghantam wajahnya mulai mendingin sebab langit sedang muram. Awan-awan berwarna kelabu pekat, seolah berarak menggantung mendekati permukaan bumi. Tiba-tiba saja ada yang mengganggu pikiran Kara.

 “Ma, Ma bentar, berhenti dulu!” Buru-buru Lita menarik tuas rem motor matic-nya.

 “Kenapa emang?” tanyanya.

 “Aku tadi bawa HP nggak ya? Haduh ini kok nggak bisa?” Kara berusaha membuka ritsleting tasnya tetapi tak kunjung bisa. “Nggak bisa Ma!” jerit Kara hampir ingin menangis.

 “Kamu turun dulu!” pinta Lita yang mulai terbawa kepanikan Kara.

 “Nggak bisa Ma!” jerit Kara lagi, kali ini dia hampir membanting tas miliknya.

 Lita merebut paksa tas yang dipegang Kara. Memang susah sekali untuk membukanya, tapi kemudian Lita berdoa dalam hatinya, semoga tas menjengkelkan itu tak memperburuk nasibnya hari ini.

 “Nih bisa! Ada di situ HP-mu! Kamu jangan panik terus Kara!” pekik Lita sambil menghela napas, kesabarannya sudah di ujung lidah, kapan saja bentakan dan perkataan penuh amarah bisa meloncat keluar dari mulutnya.

 Mereka berdua akhirnya sampai di tempat tujuan, bangunan megah dengan interior serba puith dan biru berpadu hijau. Suasana rumah sakit hari ini sangat ramai, setelah melakukan fingerprint untuk pendaftaran, Kara dan mamanya masuk ke ruang tunggu poli. Hampir semua kursi sudah terisi, mereka terancam tidak bisa duduk. Hingga mata Lita yang masih jeli, menemukan tiga kursi kosong di barisan tengah. Sesegera mungkin keduanya menuju ke sana dan duduk dengan tenang. Suara-suara obrolan sesama pasien, keramaian lalu-lalang perawat, bau pengharum ruangan rumah sakit yang wanginya khas dan juga temperatur suhu AC yang begitu dingin, semua ini bukan hal yang awam bagi Kara, dia sudah terbiasa. Ia menengok ke belakang. Apa ibu-ibu itu membicarakannya? Jelas ia tadi mendengar namanya disebut. Kara hanya bisa menunduk.

 “Kenapa Dek?” tanya mamanya melihat gerak-gerik aneh Kara.

 “Ma, apa kita pulang aja, ramai banget, aku nggak suka!” gumam Kara dengan tatapan sendu. Lita hanya bisa menggaruk tengkuk lehernya yang tertutup kerudung, merasa tidak bisa berkata apa-apa lagi.

 “Yasudah,”

 “Permisi Kak, boleh aku duduk di sini?” tanya seorang gadis yang terlihat masih belia menuding bangku tempat tas Kara bersanding.

 Kara mendongak memandangi wajah polos sang remaja perempuan, kemudian dia segera memindahkan tas ke pangkuannya.

 “Boleh, duduk aja,” Mama Kara mempersilakan hingga membuat gadis berambut panjang itu tersenyum kikuk.

 “Kamu sendirian?” tanya Lita lagi.

 “Nggak, sama Mama Papa!” jawabnya sambil menunjuk ke arah depan. Sepasang suami istri memandang ke arah mereka, mama Kara menunduk sopan.

 “Kakak sakit apa?” tanya si gadis sambil menatap lekat Kara. Kemudian lantas dijawab mamanya.

 “Kamu sendiri sakit apa?” Kara balik bertanya.

Dengan suara pelan, senyap-senyap gadis itu menceritakan sakitnya kepada Kara dan mamanya. Setiap perkataannya seolah menjadi mantra yang menyihir Kara, kalimat-kalimat yang meluncur keluar dari mulut gadis itu tentang pengakuannya mengapa bisa sakit hingga kisah cintanya, ia mengungkapkannya dengan gamblang sampai Kara melihat detail mata si gadis yang dilapisi lensa kontak berwarna cokelat, menatapnya begitu dalam, seolah gadis bernama Cinta itu mengingatkannya kepada semua kenangan lama yang terkubur rapi di hati Kara. Tentang masa putih abu-abunya yang begitu berkesan dan membekas. Hingga cerita itu diputar kembali dalam ingatannya, semuanya berawal dari kisah itu, dan sosok remaja laki-laki itu ….

 “Trein …,” gumam Kara memanggil nama yang selalu hinggap bersemayam di hatinya, hingga kemudian ia hanyut bersama riwayat kenangan kisah lamanya. Kara dan masa SMA-nya! Cerita lama bersemi kembali ….

 

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Diary : You Are My Activist
15262      2591     4     
Romance
Kisah tentang kehidupan cintaku bersama seorang aktivis kampus..
Strange and Beautiful
4887      1335     4     
Romance
Orang bilang bahwa masa-masa berat penikahan ada di usia 0-5 tahun, tapi Anin menolak mentah-mentah pernyataan itu. “Bukannya pengantin baru identik dengan hal-hal yang berbau manis?” pikirnya. Tapi Anin harus puas menelan perkataannya sendiri. Di usia pernikahannya dengan Hamas yang baru berumur sebulan, Anin sudah dibuat menyesal bukan main karena telah menerima pinangan Hamas. Di...
Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
1633      684     1     
Romance
Ketika Arya menginjakkan kaki di Tokyo, niat awalnya hanya melarikan diri sebentar dari kehidupannya di Indonesia. Ia tak menyangka pelariannya berubah jadi pengasingan permanen. Sendirian, lapar, dan nyaris ilegal. Hidupnya berubah saat ia bertemu Sakura, gadis pendiam di taman bunga yang ternyata menyimpan luka dan mimpi yang tak kalah rumit. Dalam bahasa yang tak sepenuhnya mereka kuasai, k...
Seseorang Bernama Bintang Itu
551      389     5     
Short Story
Ketika cinta tak melulu berbicara tentang sepasang manusia, akankah ada rasa yang disesalkan?
Cinta Si Kembar
11444      2070     2     
Romance
Lala dan Lulu adalah saudara kembar yang memiliki kepribadian dan pekerjaan yang berbeda,tetapi mereka mempunyai permasalahan yang sama yaitu mereka berdua dijodohkan oleh orang tua mereka.Akankah mereka akan menyetujui perjodohan tersebut dan akankah mereka akan menyukai calon tunangan mereka.
Angel in Hell
541      408     0     
Short Story
Dia memutar-mutar pena di genggaman tangan kanannya. Hampir enam puluh detik berlalu dan kolom satu itu masih saja kosong. Kegiatan apa yang paling Anda senang lakukan? Keningnya berkerut, menandakan otaknya sedang berpikir keras. Sesaat kemudian, ia tersenyum lebar seperti sudah mendapatkan jawaban. Dengan cepat, ia menggoreskan tinta ke atas kertas; tepat di kolom kosong itu. Mengha...
Aku Ibu Bipolar
59      52     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...
LINN
13897      2102     2     
Romance
“Mungkin benar adanya kita disatukan oleh emosi, senjata dan darah. Tapi karena itulah aku sadar jika aku benar-benar mencintaimu? Aku tidak menyesakarena kita harus dipertemukan tapi aku menyesal kenapa kita pernah besama. Meski begitu, kenangan itu menjadi senjata ampuh untuk banggkit” Sara menyakinkan hatinya. Sara merasa terpuruk karena Adrin harus memilih Tahtanya. Padahal ia rela unt...
Maaf katamu? Buat apa?
751      480     0     
Short Story
“Kamu berubah. Kamu bukan Naya yang dulu.” “Saya memang bukan Naya yang dulu. KAMU YANG BUAT SAYA BERUBAH!”
MAHAR UNTUK FATIMAH
574      430     2     
Short Story
Cerita tentang perjuangan cinta seorang pria dengan menciptakan sebuah buku khusus untuk wanita tersebut demi membuktikan bahwa dia sangat mencintainya.