Denting sendok yang beradu pelan dengan piring makan porselen memecah keheningan ruang makan yang bersatu dengan ruang tengah. Kara berdiri dari kursi, lalu memundurkannya dan beranjak ke arah televisi.
“Habiskan Dek, makananmu, nanti nasinya nangis lo!” ujar Lita memperingatkan putrinya.
“Emang mau aku habisin kok, ini lo mau sambil nonton TV!” kata Kara membela diri. “Lagian Mama, nasi kan benda mati, kok bisa nangis, hayo?” imbuh Kara lagi lalu terkikik pelan sambil menutupi mulutnya dengan tangan kanannya.
“Mama nggak bercanda, kok kamu ketawa sih Dek? Udah buruan habisin!“ pungkas Lita yang enggan menjelaskan bagaimana nasi bisa menangis bila tidak dimakan habis.
“Kara! Jangan nonton kartun terus dong!” seru Sarah lalu merebut paksa remote televisi dari adiknya.
“Jangan diganti! Mending nonton kartun, hiburan tahu! Mbak Sarah sukanya berita terus, terlalu serius, hidup udah banyak beban kali ....” Kara melengos, pasrah saat benda berbentuk balok itu berpindah ke tangan Sarah. Kali ini Kara terpaut pada ponselnya yang bergetar, ia dengan cepat tahu, lalu mencomot ponselnya yang ia taruh di samping piring.
“Kara! Habiskan dulu dek, jangan HP terus, kalau papamu tahu, nanti disita tuh HP-mu!” hardik mamanya, tapi Kara seolah tak menghiraukan. Gadis itu melahap suapan nasi goreng dengan tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya tetap memegang ponselnya.
“Lagian Papa, pagi-pagi udah ngibrit, demen bener bulu tangkis,” celoteh Kara. “Eh Ma?” pekiknya saat Lita berusaha mencomot ponsel Kara.
“Habiskan, Dek!” kata Lita tegas, dibanding Sarah kakaknya, Karana lebih susah diatur dan cukup keras kepala, apalagi sikapnya yang sangat kekanak-kanakan, khas anak bungsu.
Beringsut, Kara cepat-cepat melahap habis nasi goreng. Tersisa telur mata sapi yang masih utuh, Sarah melirik ke piring Kara.
“Kamu nggak mau tuh telurnya? Sini biar kumakan!”
“Eits! Emang sengaja bakal kumakan terakhir ya Mbak! Asal mau embat aja nih!” Kara langsung menghalau tangan Sarah yang hendak mencomot telur ceplok.
“Aneh, deh!” cibir Sarah sambil menjulurkan lidah.
“Jangan salah ya, ada makna filosofinya, hidup tuh mending susah dulu, yang manis biar belakangan aja, telur ceplok yang super lezat ini biar jadi penutup makan, biar rasa gurihnya makin mantap,” cerocos Kara sambil sedikit membusungkan bahunya.
“Preett!” umpat Sarah merasa geli dengan filosofis yang diungkapkan Kara.
“Sudah-sudah, kalian ini ribut aja, buruan piringnya dibawa ke belakang, cuci sendiri-sendiri ya ....”
“HP-ku mana Ma, udah habis nih!” ucap Kara sambil mengulurkan tangan ke arah mamanya.
“Kamu itu dek, udah kecanduan HP,” kata Lita sambil menggelengkan kepala.
Tepat saat ponselnya mendarat mulus ke telapak tangan kanan Kara, benda telekomunikasi itu bergetar lagi, segera dilihatnya, rupanya ada notifikasi pesan entah dari siapa. Pasalnya ini masih cukup terlalu pagi.
“Nitip!” Kara langsung menaruh piring kosong punyanya hingga menumpuk di piring kakak perempuannya. Lalu dia cepat-cepat berdiri dan kabur, lantas berlari ke arah kamar tidur.
“Kara!” Wajah Sarah langsung cemberut, tapi dia memilih mengalah, daripada si manja Kara nanti merajuk. Ia memilih mengalah dari ulah usil adiknya.
Kara duduk di kursi meja belajarnya setelah menghidupkan kipas angin. Ia melihat notifikasi pesan yang tadi. “Siapa sih?” gumamnya penasaran. Sederet nomor tidak dikenal menghiasi retina bola matanya.
085666777333
-Selamat pagi Karana :)-
Berulang kali Kara kembali membaca pesan itu, tidak biasanya ada yang mengucapkan hal semanis pesan selamat pagi. Kara mengernyitkan keningnya, lalu menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak terasa gatal. Dia hanya sedang berpikir, daripada bertanya-tanya tanpa kepastian, buru-buru Kara membalas pesan itu. Ia mulai memencet-mencet keypad ponselnya, “Dibalas gimana ya? Masa aku nggak jawab salamnya?” rutuk Kara lalu menghapus deretan kata yang sudah terketik. Kara tak ambil pusing, ia segera membalas.
Kara
-Pagi, maaf siapa ya?-
Menurut Kara balasannya sudah cukup sopan. Sepuluh detik, setengah menit, dua menit. Tak kunjung ada tanda-tanda pesannya dibalas.
“Paling orang iseng nih!” gerutunya lagi, ia memutar kedua bola matanya, “Yaudahlah!” Kara mencomot headset di meja belajar, menancapkannya ke lubang di ponselnya, dan mulai memutar lagu. Ia bersenandung kecil mengikuti irama lagu favoritnya. Sampai ponselnya bergetar, ia berjingkat, lalu segera membuka pesan baru yang masuk.
085666777333
-Ini Jordan, Kar! :)-
Kara
-Jordan IX-D?-
Setelah membalas pesannya, bayangan cowok berkulit putih dengan mata sipit yang sudah jadi teman sekelasnya selama dua tahun di SMP segera terpatri di benaknya. Belum selesai dengan pikirannya yang melambung tinggi membayangkan sosok Jordan, ada pesan masuk lagi.
085666777333
-Ya iyalah, emang Jordan yang mana lagi? Eh btw, kita udah kelas X loh, Kar :)-
Otak Kara mengeja dengan cepat, jadi betul Jordan teman sekelasnya, ia merasa aneh, tidak ada angin, tidak ada hujan, cowok yang tidak terlalu akrab dengannya malah tiba-tiba mengirim pesan dan mengucapkan selamat pagi yang bagi Kara terasa sangat manis, belum lagi selalu ada emoticon tersenyum di akhir kalimatnya. Segera Kara menyimpan kontak Jordan. Ia kemudian membalas lagi.
Kara
-Oh, Jordan. Maaf nggak tahu, iya kita udah kelas X, emang kamu dapat nomorku dari mana? Dan ada perlu apa ya?-
Biarlah Kara bertanya ini itu, bagaimanapun, ia perlu tahu apa maksud Jordan dan bisa-bisanya nomornya jadi tersebar begini. Ponselnya bergetar lagi.
Jordan
-Dari Anika, ya gpp, sekarang kan kita satu SMA, Kar :)-
Kara
-Oh kamu keterima di SMABUPENAS juga ya?-
Jordan
-Iya, :) lagi apa kamu? Gimana Persiapan buat MOS besok?-
Kara
-Lagi dengerin lagu nih Dan, oh udah beres kok, kamu gimana? Lagi bikin topi kerucut yang jadi atribut MOS besok kah?-
Jordan
-Lagi mikirin kamu Kar, ini kan aku lagi ngobrol sama kamu, otomatis kita saling kepikiran kan? :)-
Kara membeku, matanya berkedip-kedip membaca pesan balasan Jordan barusan. Kara lagi-lagi heran, mengapa tiba-tiba sudah seakrab ini, padahal dulu waktu masih duduk di bangku SMP, mereka tidak terlalu akrab. Pertanda apa ini? Hatinya mendadak teraliri darah yang hangat, bibirnya tertarik ke atas.
“Hayo Kar? Ngapain tuh kamu senyum-senyum sendiri? “ tegur Sarah yang tiba-tiba masuk ke kamar, memergoki adiknya yang langsung gagap dan salah tingkah.
“Apaan sih mbak, ini Anika ngirim kata-kata lucu!” ujar Kara berusaha berkelit.
“Anika apa Anika? Coba sini lihat?” Sarah langsung melongok ke arah ponsel adiknya.
“Eh, udah deh Mbak, ayo jadi nggak nemenin aku belanja perlengkapan sekolah?” tanya Kara mengalihkan isu pembicaraan.
“Yaudah ayo, aku udah mandi ya, tinggal ganti baju doang, kamu tuh yang mesti siap-siap.”
“Aku juga udah mandi kali!”
“Ayo buruan ganti baju, keburu siang, nanti panas tahu! Kulitku bisa gosong kayak arang entar!” ungkap Sarah lalu mendorong bahu Kara yang masih menggenggam ponselnya.
“Iya, dasar vampir, takut matahari!” cicit Kara mengejek kakak perempuannya itu. Sarah hanya bertolak pinggang, tak ingin melanjutkan perdebatan kecil antara dirinya dan Kara. Mereka berdua segera mengganti baju. Diam-diam pipi Kara bersemu merah karena memikirkan harus membalas apa pesan Jordan tadi.