Bab A – “Rai: Vampir, Skrip, dan Satu Lagi Latte Tanpa Gula”
Rai duduk di ruang make-up dengan tatapan kosong. Cahaya lampu vanity menyorot wajahnya yang... ya, terlalu simetris untuk manusia biasa. Asisten make-up-nya menggigil, bukan karena dingin, tapi karena belum makan sejak jam 6 pagi dan merasa... lemas banget tiap deket Rai.
“Tuan Rai mau diblot lagi nggak pipinya?”
“Kalau kamu nempel dikit lagi, aku yang blot kamu,” jawab Rai datar. Lembut, tapi nadanya punya efek seperti audio ASMR yang bikin jantung berhenti 0,3 detik.
---
Dulu, bertahun-tahun lalu...
Rai kecil ditemukan di depan toko kopi 24 jam oleh pasangan vampir kelas menengah yang sedang nyari camilan malam. Tapi saat melihat bayi itu menggigit gelas plastik sendiri sampai hancur, mereka langsung mikir: “Oh ini anak kayaknya bisa jadi sesuatu.”
Mereka mengadopsi Rai, membesarkannya dengan penuh cinta—dan buku tebal tentang sejarah klan vampir. Tapi Rai tumbuh... berbeda. Dia lebih suka nonton drama Korea daripada ritual penghisapan darah.
Puncaknya? Saat remaja, Rai menyatakan diri ingin jadi aktor.
Orang tua vampirnya syok.
“Kamu malu jadi vampir?! Mau jadi manusia?!”
“Bukan. Aku cuma... pengin ngerasain disorot kamera, bukan sinar matahari. Itu bunuh diri.”
Mereka tidak bisa berkata-kata. Tapi sejak itu, Rai tinggal sendiri dan mulai hidup di dunia manusia. Pekerjaan pertamanya? Figuran drama FTV berjudul “Cinta di Warung Sayur Berdarah”. Ironis, ya.
---
Sekarang, Rai sudah terkenal. Aktor papan atas. Dingin, berkelas, nyaris tidak pernah senyum kecuali kalau lagi minum latte tanpa gula di sela syuting.
Tapi tiap malam, di apartemen mewahnya, dia duduk sendirian, nonton video random di YouTube. Kadang mukanya jadi mellow kalau liat video “Anjing Ketemu Pemiliknya Setelah 10 Tahun”.
Dia bukan sedih. Cuma... bosan. Hidup panjang sebagai vampir membuatnya kebal rasa. Tapi dunia akting? Setiap peran memberinya emosi baru—meski semua itu... bukan miliknya sendiri.
“Kalau besok aku harus main jadi tukang parkir alien dari planet Jupiter, aku siap,” katanya ke Vidi.
Vidi hanya melirik, “Asal jangan ngisep darah lagi di lokasi syuting. Kita udah hampir kena pas adegan naik bus kemarin.”
---
Tapi Rai cuma mengangguk, lalu melangkah ke set. Kamera siap. Skrip di tangan.
Dan untuk beberapa menit... dia bisa pura-pura jadi siapa pun. Bahkan jadi makhluk yang bukan vampir.
Bab B – “Vidi: Manajer Vampir, Anak dari Kesalahan Orang Tua”
Manager yang punya 100 koleksi wig di kamar apartemen nya setiap hari ganti gaya rambut..
Sifat mengikuti gaya rambut..
Vidi sedang duduk di balik layar syuting, mengenakan headset besar dan memegang tablet. Di satu tangan dia pegang daftar properti, di tangan lain… es kopi yang sudah meleleh sejak dua jam lalu.
“Rai minta latte tanpa gula, bukan kopi susu gula aren... Siapa yang bawa ini? Mau saya kirim ke akhirat nggak pakai ongkir?”
Semua staf kabur...
---
Dulu, di masa lalu yang absurd...
Vidi dilahirkan dalam keluarga manusia biasa. Ibu seorang guru yoga, bapak konglomerat yang kekayaannya tidak habis 7 turunan, sayang bapaknya keturunan ke 8.. bercita-cita jadi musisi jazz metal. Semuanya baik-baik saja… sampai bapaknya dapat tawaran investasi dari “agen asuransi umur panjang”.
Tentu saja itu penipuan vampir.
Bapak Vidi menandatangani kontrak berdarah yang salah cetak. Harusnya “perlindungan umur panjang”, malah tertulis “konversi keturunan ke spesies tahan lama (baca: vampir)”.
Boom. Vidi lahir, tapi giginya dua dari awal. Giginya langsung tajam waktu disusui. Dan dia alergi sinar matahari sejak usia satu bulan.
Ibu bapaknya syok. Mereka berusaha menutupi semua. Tapi Vidi tumbuh jadi remaja dengan dark circle permanen dan suara batin yang selalu bilang, “Jangan gigit tetangga. Itu dosa sosial.”
---
Masa SMA Vidi diisi dengan kegiatan ekstrakurikuler seperti:
Menyendiri di toilet sekolah
Mengendus teman yang bawa bekal daging
Menulis fanfiction tentang dirinya sendiri jadi idol Korea yang vegetarian
Tapi hidupnya berubah saat dia bertemu Rai.
Rai waktu itu masih aktor FTV dengan honor dibayar pakai snack box. Tapi aura misterius dan cool-nya bikin Vidi langsung berkata:
“Gue tau lo vampir.”
Rai menjawab, “Dan gue tau lo butuh pekerjaan.”
Boom. Chemistry.
Vidi langsung daftar jadi manajer. Bukan karena cinta. Bukan karena loyalitas. Tapi karena…
“Gue males ngeliat lo minum darah random. Itu bisa bikin lo gagal casting.”
---
Sekarang, Vidi jadi manajer paling ditakuti dan dicintai (secara diam-diam) di industri hiburan.
Setiap pagi dia baca skrip, atur jadwal, dan hapus jejak darah kalau Rai kelupaan bersih-bersih. Tapi kadang, saat malam panjang datang, Vidi nonton bintang—dan bertanya dalam hati:
“Kalau aku nggak dilahirkan sebagai kesalahan, apa aku akan hidup seperti manusia biasa? Atau lebih kacau lagi?”
Lalu dia ngelirik jam, dan sadar...
“Wah, belum pesan catering untuk syuting besok. Mati gue.”
---
Besoknya, dia bangunin Rai dengan bantal.
“coy bangun. Hari ini syuting scene ciuman. Jangan dingin-dingin amat. Nanti lawan main pingsan bukan karena grogi, tapi hipotermia.”
Dan hari pun berjalan seperti biasa.
Vidi bukan aktor. Bukan pahlawan. Cuma... vampir manaher gaji standar dengan Google Calendar paling rapi di jagat hiburan.
Bab C – “Shin: Antara Jaksa, Gincu, dan Keputusan Kabur dari Rumah”
Shin membuka matanya perlahan di dalam van artis. Kamera belum nyala, naskah belum dihafal, tapi eyeliner-nya sudah rapi. Ia mendesah sambil menatap langit-langit mobil.
“Kalau aja dulu aku ngikutin kata Mama, mungkin sekarang aku lagi ngurus perkara pencucian uang. Bukan ngulang adegan nangis karena rebutan pacar dengan saudara kembar yang ternyata alien.”
---
Kilas balik ke masa kecil:
Shin dibesarkan di rumah yang penuh buku hukum, baju formal, dan... kecaman halus.
Ayah: “Kamu harus jadi jaksa, Shin. Biar bisa bela kebenaran.”
Ibu: “Iya. Jangan kayak Tantemu yang jadi penyanyi.. Suaranya fals, apalagi hidupnya”
Shin kecil mengangguk sambil menyembunyikan brosur audisi di balik bantal. Setiap malam dia latihan pose di depan cermin. Tapi saat kedapatan nyanyi OST drama Korea di kamar mandi, dia dihukum nonton rekaman sidang selama seminggu.
---
Hingga akhirnya, di umur 17, Shin kabur dari rumah.
Ia hanya bawa satu koper, tabungan hasil jadi guru les privat, dan satu keyakinan:
“Aku lebih suka dipanggil ‘fake’ di sosial media daripada ‘jaksa gagal’ di rumah.”
Perjalanannya gak mudah.
Tidur di ruang tunggu agensi. Makan mi instan 3 kali sehari. Audisi ratusan kali. Tapi akhirnya… ia lolos.
Debutnya lewat drama “Cinta di Warkop Akhir Zaman” (bareng Rai sebagai barista misterius). Netizen awalnya nyinyir, “Artis baru modal muka doang.” Tapi Shin cuek. Karena diam-diam, dia tahu dia bukan cuma cantik. Dia kerja keras juga—dan gak pernah minta restu orang tuanya untuk itu.
---
Sekarang? Shin adalah artis papan atas. Endorse-an penuh, job terus masuk, fans berjejer. Tapi... setiap kali lihat iklan TV yang dibintanginya, dia berpikir:
“Orangtuaku pasti lebih bangga kalau aku muncul di berita hukum, bukan di iklan lipstik.”
Tapi saat kamera roll dan dia ucapkan dialog,
“Cintamu kayak chat WA biru doang—dilihat, tapi gak dibalas,”
semua keraguan hilang. Karena panggung ini, suara ini, hidup ini… miliknya sendiri.
---
Suatu malam, setelah syuting selesai, dia duduk bareng Jenni, Rai dan Vidi di Apartemen
Shin nyeletuk, “Gue mau ke rumah besok. Bilang ke ayah dan ibu kalau aku masih hidup. Walau bukan jaksa seperti yang mereka mau"
Jenni : seandainya aku jadi manusia normal
Vidi: “kita memang tidak normal, tapi kita tidak norak”
Rai: “gak nyambung”
Krik krik krik...
Mereka tertawa.
Gelap, tapi hangat.
Karena di dunia hiburan yang terang benderang, mereka bertempat adalah bayangan—yang saling menemukan arti dalam absurditas yang sama.