Ujian Pertama — Ingatan Bukan Milikmu
Langkah Dawn semakin dalam. Langit di atas tak berubah warna, seakan waktu di Dentar sudah lama berhenti. Di antara kabut, muncul jalan setapak berbatu. Di ujungnya, berdiri sebuah rumah tua... rumah yang tak pernah ia kenali, tapi terasa sangat familiar.
Pintu kayunya terbuka perlahan, berderit pelan. Dawn melangkah masuk.
---
Isi Rumah yang Salah Tapi Benar
Di dalam rumah itu:
Foto-foto tua tergantung di dinding. Ada wajah-wajah pucat dengan mata emas.
Seorang pria mirip dirinya duduk membaca di kursi goyang.
Di meja makan, ada semangkuk sup madu, mengepul wangi, seperti yang dulu pernah dimasakkan ibunya… meski ia tak pernah mengingat kapan.
Tapi yang paling mengganggu:
Di sudut ruangan, ada piano. Dan di atas piano itu, tergantung potret besar—wanita yang persis seperti Jenni. Tapi rambutnya putih. Dan senyumnya… menyedihkan.
---
Suara Tanpa Tubuh
Tiba-tiba, suara terdengar. Bukan suara manusia. Seperti gema dari dalam dada.
> "Ambillah ingatan ini. Milikilah. Maka kau akan tahu alasan kau dilahirkan."
Dawn mendekat ke piano. Tangannya terulur, seakan dipandu.
> "Atau tolak. Dan tetap menjadi pecahan teka-teki yang tak pernah lengkap."
Begitu ia menyentuh tuts pertama…
---
Visi Meledak: Ingatan yang Bukan Milikmu
Dawn tersedot ke dalam bayangan:
Ia melihat lelaki muda—tabib dari klan manusia—melarikan diri dari istana vampir sambil membawa seorang bayi yang terbungkus selimut madu.
Ia melihat perempuan vampir (ibu nya) menahan amarah saudara-saudaranya yang ingin memburu bayi itu.
Ia menyaksikan jenazah tabib itu dibakar oleh para Penjaga Taring karena dianggap membawa "madu beracun"—alias bayi darah campuran.
Semua itu… terjadi sebelum Dawn bisa mengingat dunia.
Dan semua itu bukan miliknya—tapi kini membekas dalam dadanya.
---
Ujian Selesai — Tapi Belum Lolos
Dawn terjatuh. Darah mengalir dari hidungnya. Rumah itu memudar menjadi kabut. Tapi kini di tangannya, ia menggenggam sebuah kunci emas kecil berbentuk tetesan madu.
Dari kejauhan, suara ibunya terdengar samar:
> "Itu kunci menuju Ruang Madu. Tapi hati-hati, dua ujian lagi menunggumu."
Dawn berdiri pelan, menyeka darahnya, dan menatap ke dalam kabut yang kini bergerak—membentuk bayangan makhluk… yang bukan manusia.
Dua Dunia, Satu Nafas
[Di Dalam Dentar – Ujian Kedua]
Kabut menggulung, lalu pecah seperti tirai. Di depan Dawn, muncul makhluk tinggi, berwajah kabur—matanya seperti serangga, dan tubuhnya dilapisi kulit meleleh.
Makhluk itu membuka mulutnya. Tapi bukan suara yang keluar, melainkan aroma—wangi yang sama seperti saat ibunya memeluknya, saat ia kecil.
> "Kau bukan anak yang dicintai... kau adalah anak yang ditinggalkan demi rahasia."
Dawn memejamkan mata. Suara itu bukan datang dari makhluk itu. Itu… dari dalam pikirannya. Atau…
---
[Di Luar Dentar – Di Tepi Hutan]
Jenni duduk bersila, membuka lipatan surat yang ditulis tangan. Rai berdiri di belakangnya, gelisah. Di sebelahnya, Vidi tampak mencium tanah, mencari jejak aroma Fajar—tapi yang ia temukan hanyalah madu basi.
Jenni mulai membaca surat keras-keras.
> "Kalau kalian membaca ini, berarti aku sudah masuk duluan."
"Bukan karena nekat. Tapi karena ini sudah waktuku."
---
[Dalam Dentar – Makhluk Mendekat]
Makhluk itu menunduk. Ia tidak menyerang. Ia… menangis. Air matanya berubah jadi madu pekat, menetes ke tanah, menguap jadi uap manis yang menusuk memori.
Dawn mulai goyah.
> “Kau rindu menjadi milik seseorang, kan?”
“Biarkan aku minum darahmu. Maka kau tak akan sendiri lagi.”
Dawn menahan napas. Tapi lalu suara lain muncul, lebih nyata.
Di sisi lain Jenni membaca surat khusus Dawn kepada dirinya
"Jenni…"
"Aku tahu kita belum lama kenal. Dan mungkin buatmu, aku cuma kru dadakan."
"Tapi waktu pertama kali lihat kamu… aku ngerasa kayak lagi lihat seseorang dari masa kecilku. Entah siapa."
"Bukan karena wajahmu, tapi karena caramu bicara. Tegas tapi capek. Peduli tapi pura-pura nggak."
"Itu aneh, kan?"
"Tapi aneh itu satu-satunya hal yang terasa normal buatku belakangan ini."
Jenni menghela nafas panjang
"Kita harus bantu dia"
[Dalam Dentar – Dawn Bertahan]
Dawn menggenggam liontin dan kunci. Ia mundur satu langkah, lalu berkata:
“Aku tidak sendiri.”
“Aku punya mereka. Dan aku punya aku sendiri.”
Makhluk itu meraung, tubuhnya mencair seperti lilin disiram doa. Tanah di bawah Dawn terbuka—menunjukkan lubang berisi cahaya.
Dawn melompat ke dalamnya.
---
[Surat Fajar – Penutup]
> "Kalau aku nggak balik..."
"Tolong jangan cari aku."
"Tapi kalau aku kembali..."
"Kita buka bar. Namanya ‘VampArtis & Madu’."
Jenni menutup surat..
Rai duduk di sampingnya.
Vidi diam, tapi menatap kabut Dentar seolah bisa menebus batas.
"Kita butuh pintu portal" Sambung Vidi
selamat dari ujian kedua—makhluk peminum rasa. Tapi ujian terakhir masih menanti:
> "Dirimu sendiri, yang tidak mau mengakui siapa kamu."
Bayangan yang Menyerupai
[Di Tepi Hutan – Setelah Surat Dibaca]
Setelah kalimat terakhir terbaca, Jenni terdiam. Angin sore menyibak helai rambutnya.
Vidi menatapnya cemas, tapi tak berkata apa-apa. Rai hanya duduk, menatap api kecil yang mulai padam.
Jenni akhirnya bicara, pelan.
> "Aromaku… mirip seseorang dari masa kecilnya?"
"Apa itu artinya aku bau madu basi juga?"
Ia tertawa kecil, tapi nadanya getir.
> "Alice, kamu nyembunyiin apa sih dari anakmu…"
Di tangannya, surat itu sedikit bergetar.
---
[Dalam Dentar – Ujian Ketiga Dimulai]
Dawn mendarat di sebuah ruang putih, sunyi, tak berujung. Tak ada dinding, tak ada langit.
Hanya satu benda di tengah: cermin besar berbentuk tetesan madu, berwarna keemasan kusam.
Ia mendekat, dan cermin itu menyala. Tapi yang muncul bukan wajahnya.
Yang muncul adalah…
> Dawn versi lain. Lebih tinggi. Mata merah. Rambut perak. Tertawa dengan angkuh.
> "Akhirnya kau sampai juga."
---
Dialog dengan Bayangan Diri
Dawn mengernyit.
Bayangan itu melangkah keluar dari cermin—nyata, menapak, dan mulai mengelilinginya.
> "Aku adalah kamu. Tapi versi yang kau tolak. Setengah darah vampir yang kau tutupi dengan kepolosan."
> "Aku kekuatanmu. Kecepatanmu. Ketakutan yang kau pendam sejak kecil saat kau pertama kali mencium bau madu dari darahmu sendiri."
Dawn menggenggam liontin.
> "Kau bukan aku."
> "Kau adalah rasa yang aku punya... tapi tak mau aku warisi."
---
Pertarungan Tanpa Sentuhan
Bayangan menyerang—bukan dengan fisik, tapi dengan memori.
Setiap kata, setiap ejekan, membuat Dawn melihat kilasan saat dia dikucilkan manusia, ditolak oleh manusia yang ia cintai, dan disebut ‘aneh’ oleh semua tempat yang ia datangi.
> "Terimalah aku, atau hilang."
Cermin pecah di belakang mereka.
Dari pecahannya, muncul wajah ibunya… Alice, memanggil tanpa suara.
Di belakangnya… bayangan Jenni.
---
Pilihan Dawn
Dawn berlutut. Dunianya mulai runtuh. Tapi dari dalam liontin, suara lembut terdengar:
> "Kalau kau tak tahu siapa dirimu, buatlah keputusan: bukan untuk siapa kamu lahir, tapi untuk siapa kamu bertahan."
Dawn berdiri, menatap bayangannya dan berkata:
> "Aku bukan kamu. Aku bukan mereka. Aku... Dawn."
Ia melangkah ke arah cahaya—dan bayangannya memudar menjadi asap, seperti madu diuapkan.
---
Akhir Ujian — Awal Pintu Kembali
Ruang putih pecah menjadi ribuan tetesan. Dawn jatuh ke dalam gelap…
dan bangun di tepi danau dalam Dentar. Pintu keluar terbuka.
Tapi… seseorang berdiri di tepi danau. Wajahnya tersembunyi.
Mantan suami Alice. Manusia beraroma madu.