Surat Madu dari Lelaki Biasa
Malam masih lelap saat Dawn melangkah keluar dari tempat kru reality show bermalam. Tak ada lampu jalan yang menyala di lereng itu, hanya cahaya rembulan yang menyelinap dari balik awan. Ransel kecil tergantung di bahunya, berisi air minum, senter, dan secarik kertas yang dilipat rapi. Kertas itu akan ia tinggalkan—untuk tiga makhluk yang diam-diam mengintai dan menjaga dari balik nalar manusia: Rai, Vidi, dan Jenni.
Ia tahu mereka bukan manusia biasa. Ia mencium aroma mereka seperti mereka mencium aromanya: madu hangus, campuran manis dan bahaya. Namun ia tak gentar.
---
Perjalanan Menuju Dentar
Dawn menyusuri jalan setapak menuju hutan yang disebut-sebut dalam mitos lokal sebagai “Tanah Larangan Waktu.” Hutan Dentar bukan sekadar rimbunan pohon. Ia adalah ruang antara—di mana waktu bisa tercekat, dan masa lalu bisa berbicara dalam bisikan.
Langkah demi langkah, Fajar merasa seperti sedang membuka kenangan yang bukan miliknya. Aroma akar basah, daun terbakar, dan... darah tua. Sesekali tanah di bawah kakinya berdenyut pelan, seperti napas makhluk yang tertidur di kedalaman bumi.
Di pertigaan pohon beringin tua, Dawn berhenti. Ia meletakkan surat yang dilipat dua kali, menempelkannya di balik papan peringatan yang nyaris tak terbaca: “Jangan masuk kecuali kau tahu siapa dirimu.”
---
Isi Surat Dawn (ditulis tangan, dengan tinta beraroma madu ringan):
> Untuk kalian bertiga—
Aku tahu kalian bukan manusia biasa, sama seperti kalian tahu aku bukan sekadar kru tambahan.
Jangan buru-buru menebak siapa aku. Aku pun masih mencarinya.
Tapi satu hal yang pasti: di dalam Dentar, ada rahasia tentang klan kalian. Tentang masa lalu yang bahkan mungkin kalian sengaja lupakan. Dan… tentang seseorang yang dulu pernah mencintai vampir, tapi memilih menjadi manusia.
Aku ke sana bukan untuk mengungkap rahasia kalian. Aku ke sana untuk mengingat siapa aku sebenarnya.
Jangan ikuti aku terlalu cepat. Jika kalian masuk sebelum waktunya, hutan ini bisa mengubah bentuk kalian selamanya.
Jika aku tidak kembali sebelum bulan mati, bakar surat ini.
D.
---
Catatan Tambahan di Balik Surat
Terselip sebuah kertas kecil lain, bertuliskan:
> "Vidi, kalau kamu yang baca duluan: jangan cium surat ini terlalu dekat. Itu bukan aroma madu biasa."
---
Setelah meninggalkan surat itu, Dawn melangkah lebih dalam ke Dentar. Ranting-ranting membisikkan nama-nama yang bukan miliknya. Udara makin padat, dingin seperti napas kenangan. Ia tahu, apa pun yang menantinya di tengah hutan ini... tidak akan membiarkannya kembali dalam keadaan yang sama.
Dawn di Dalam Dentar
Langkah Dawn makin berat saat memasuki jantung Hutan Dentar. Waktu terasa mengambang. Tak ada suara jangkrik, tak ada angin, hanya keheningan yang menggantung seperti tabir tipis. Akar-akar menggeliat seperti ular tidur, dan pepohonan menjulang seperti para penjaga yang melupakan cara bicara.
Ia menyentuh pohon pertama yang berlubang seperti mata, dan seketika tubuhnya bergetar. Bayangan menyeruak dari balik pikirannya: gambaran kilat—seorang perempuan vampir bergaun kuning yang menari sambil menangis, dan seorang lelaki dengan mata seperti milik Dawn, berdiri mematung di kejauhan.
“Kau datang juga,” bisik suara dari balik dedaunan.
Dawn tak kaget. Ia hanya menoleh perlahan. Sosok yang keluar dari semak bukan manusia. Tapi bukan pula vampir. Sosok itu tinggi, matanya kosong seperti arang basah, dan di dadanya tergantung kalung berbentuk tetesan madu membeku.
"Kamu Penjaga Dentar?" tanya Dawn.
Sosok itu tidak menjawab. Ia hanya menunduk dan mengangkat tangan kirinya—di telapak tangannya, tergurat simbol menyerupai akar dan matahari.
"Kau membawa darah yang dulu dibuang," katanya.
"Dan niat yang belum sempat dimakamkan."
Dawn merasa detak jantungnya melambat. Setiap kata yang diucapkan sosok itu seperti menekan tombol dalam tubuhnya—membuka ingatan yang bukan miliknya, tapi mengalir dalam darahnya.
---
Kilasan Masa Lalu:
Dalam benaknya, Dawn melihat adegan asing:
Seorang vampir wanita muda berwajah seperti Jenni, tapi rambutnya putih.
Ia jatuh cinta pada manusia—seorang tabib dari utara yang memilih mencabut taringnya demi hidup biasa.
Mereka membuat perjanjian: satu generasi kelak, darah mereka akan kembali ke Dentar.
Tapi klan vampir tidak mengizinkan. Sang tabib menghilang, dan perempuan itu dikurung dalam "Ruang Madu"—ruang yang hanya bisa dibuka oleh keturunan darah campuran.
---
Dawn terhuyung.
“Jadi… aku bukan siapa-siapa… tapi juga bukan bukan siapa-siapa.”
Penjaga Dentar mengangguk.
“Kau adalah pertanyaan yang ditinggalkan oleh cinta yang gagal.”
Dawn mengangkat wajahnya.
“Kalau begitu, tunjukkan jalanku.”
Sosok itu menunjuk ke arah danau berkabut.
“Kunci masa lalu dan jawaban masa depan… terkunci dalam Ruang Madu.”
---
Sementara itu, di luar Dentar—saat pagi menjelang—Vidi menemukan surat Fajar.
Ia menyeringai, lalu berkata ke Jenni dan Rai:
“Dia masuk duluan. Gila.”
Jenni: “Kita harus nyusul.”
Rai: “Atau kita kehilangan dia… dan jawabannya.”
Ibu dan Anak yang Tak Pernah Diakui
Hujan turun pelan malam itu, seperti rintik yang tahu diri. Dawn duduk di beranda rumah tua di tepi bukit, menatap lampu kota di kejauhan yang kabur oleh kabut. Di sampingnya, seorang wanita berdiri membelakanginya, rambutnya panjang dan gelap, mengenakan mantel wol usang. Wajahnya mirip Jenni, tapi lebih tenang, lebih matang, dan... lebih lelah.
“Kamu tetap memilih jalan itu?” tanyanya lirih.
Dawn tidak menjawab. Ia tahu pertanyaan itu tidak butuh jawaban.
“Dentar bukan tempat untuk anak manusia, apalagi... anak sepertimu.”
Wanita itu berbalik. Matanya cokelat keemasan. Sama seperti mata Dawn dan malam itu, untuk pertama kalinya, Dawn memanggilnya bukan dengan “Tante.”
“Ibu…”
Wanita itu terdiam sejenak. Lalu mengangguk, pelan—seperti mengakui sesuatu yang telah ia simpan seumur hidup.
---
Percakapan Rahasia Darah
Dawn: “Kalau aku setengah vampir… kenapa aku tidak pernah haus darah?”
Ibu: “Karena darahmu tidak menerima warisan taring. Tapi kamu menerima warisan yang lebih berbahaya: madu.”
Dawn: “…Apa maksudnya?”
Ibu: “Di dunia vampir, madu bukan pemanis. Ia simbol dari rasa yang tidak boleh ada: cinta, keinginan menjadi manusia, dan pengkhianatan terhadap klan.”
Dawn: “Dan kamu pengkhianat itu.”
Ibu: (tersenyum getir) “Aku perempuan yang jatuh cinta. Dunia menyebutku pengkhianat.”
Ia lalu menyelipkan sepotong liontin dari tulang pohon madu, bentuknya seperti tetesan air.
**“Kalau kau masuk ke Dentar, kamu akan ditantang oleh tiga hal:
1. Ingatan yang bukan milikmu,
2. Makhluk yang ingin mengambil darah campuranmu,
3. Dan… dirimu sendiri, yang tidak mau mengakui siapa kamu.”**
Dawn: “Lalu apa yang harus kulakukan?”
Ibu: “Kalau kau dengar suara yang memanggilmu dari tanah, jangan jawab.
Kalau kau mencium aroma yang sangat kau rindukan—itu jebakan.
Dan kalau kau melihat aku di dalam sana… jangan peluk aku. Itu bukan aku.”
Dawn menunduk. Hujan makin deras, tapi tidak ada yang bergerak dari tempat mereka duduk.
“Kalau aku berhasil keluar?”
“Kau tidak akan sama lagi.”
“Dan kalau aku gagal?”
“Aku akan menunggu. Di ujung hutan. Dengan madu yang kubuat sendiri.”
---
Akhir Flashback: Kembali ke Langkah Pertama
Dawn membuka matanya kembali di bawah langit hutan Dentar. Flashback itu bukan mimpi, tapi kenangan yang ia simpan rapi. Ia meraba liontin di sakunya.
Hutan mulai berbisik. Dan seperti yang ibunya bilang, aroma madu yang sangat dikenalnya mulai memenuhi udara—hangat, menenangkan, dan mematikan.
Dawn tersenyum tipis.
“Baiklah. Tunjukkan padaku siapa aku sebenarnya.”