Loading...
Logo TinLit
Read Story - Unframed
MENU
About Us  

Andin— Going Far To Heal

Satu jam yang lalu, Andin mengirimkan sebuah pesan untuk Abimanyu. Ia berkata dalam pesan itu, bahwa dirinya ingin menyampaikan sesuatu, dan meminta Abimanyu untuk datang ke ruang temu. Jadi, Abimanyu langsung berganti pakaian dan menyalakan mesin motornya, untuk menemui sang kekasih hati.

Andin baru saja membersihkan mesin espressonya, ketika bel di atas pintu Ruang Temu berdenting, dan Abimanyu muncul dengan senyuman manisnya. Gadis melambai, kemudian memberitahu Abimanyu untuk menunggu sebentar, sebab ia masih harus menyelesaikan pekerjaannya.

Sepuluh menit membiarkan Abimanyu menunggu di salah satu kursi, Andin akhirnya berjalan mendatangi laki-laki itu. Namun, alih-alih berbicara, Andin justru membiarkan keheningan panjang menemani mereka. Ia terus memperhatikan Abimanyu yang kini sedang menggeser foto-foto yang ada di galeri ponselnya. Sesekali, senyuman Abimanyu merekah. Dan ketika itu, Andin menyadari bahwa ia telah mencintai lelaki dihadapannya begitu besar.

“Bi ...” Akhirnya, Andin berbicara. “Aku udah berpikir beberapa bulan terakhir, tapi aku justru nggak punya keberanian untuk kasih tahu kamu.”

“Soal?”

“Aku berencana ambil S2 Psikologi Klinis. Di Berlin.”

Senyuman Abimanyu perlahan memudar. “Baru rencana? Atau kamu kasih tahu aku ini karena kamu udah daftar di sana?”

“Selama aku berpikir beberapa bulan terakhir, itu baru rencana. Sebulan lalu, aku ikut test salah satu universitas di Berlin. Dan tadi pagi aku dapat kabar kalau aku lolos tahap pertama.”

“Pergi aja kalau gitu,” sahut Abimanyu lirih. “Aku nggak akan membatasi dan menahan kamu untuk ngejar apa yang udah jadi mimpimu.”

“Kamu bakalan nungguin aku, kan?” tanya Andin dengan suaranya yang bergetar.

“Meski aku nungguin kamu, nggak akan ada jaminan kita bisa sama-sama terus.”

Andin menggigit bibirnya. Sementara di hadapannya, Abimanyu menatap kosong pada meja yang memisahkan mereka berdua. Kemudian, Abimanyu kembali mengalihkan pandangannya pada Andin. Ia menatapnya begitu lama, seolah ingin menyimpan pendar mata Andin dalam ingatannya.

“Kamu tahu nggak, Din? Waktu kecil, aku paling suka ngelihat Mama dan Papa sholat maghrib berjamaah di rumah. Meski aku belum tahu bacaan sholat waktu itu, aku selalu ada di belakang Papa untuk jadi salah satu makmumnya.”

Abimanyu tersenyum pasi, lalu melanjutkan ucapannya. “Mereka masih ngelakuin hal itu sampai sekarang. Dan dulu, sebelum sama kamu, aku sempat berpikir, kalau aku akan membangun keluarga yang sama hangatnya kayak mereka. Yang selalu sholat bareng pas maghrib, meski salah satunya capek karena baru aja pulang kerja.”

“Setelah sama kamu, aku berpikir apakah aku masih bisa melanjutkan mimpi-mimpi soal keluarga hangat itu. Dan semakin aku cari jawabannya, aku semakin bingung. Aku kayak berputar-putar di jalan yang sama.”

“Aku nggak pantes diperjuangkan ya, Bi?”

Abimanyu menggeleng, lalu kembali tersenyum. “Kamu sangat pantas buat diperjuangkan, Din. Tapi ini bukan soal itu. Aku nggak mau ngambil kamu dari Tuhan-mu. Aku tahu, papamu memeluk agama yang sama dengan aku. Aku tahu, kamu akan menjadikan alasan itu untuk berpindah. Tapi, Din, itu bukan dari hatimu. Aku nggak mau kamu melepas kepercayaanmu cuma karena pengen terus sama aku.”

“Jadi kita sampai disini aja?” Andin bertanya soal itu tanpa air mata. Ia masih tampak tersenyum di hadapan Abimanyu, seolah mengatakan hal menyakitkan seperti itu bukanlah apa-apa untuknya. “Kamu mau kita putus sekarang, Bi?”

Alih-alih segera menjawab, Abimanyu justru bergeming. Ia menatap lurus pada mesin esspreso yang telah mati. Pada etalase pastry yang telah kosong, juga pada sticky note yang pernah ia tempel pada lemari pendingin. Lalu, ia mengangguk pelan.

“Aku akan jadi orang yang berdoa paling keras untuk keberhasilan kamu, Din,” kata Abimanyu setelah lama terdiam. “Aku tahu kamu selalu bisa dapetin apa yang kamu mau. Dan untuk S2 itu, semoga tes selanjutnya juga berjalan mulus, ya.”

“Bi,” Andin menghela napas panjang. “Kita selesai?”

“Kabarin aku kalau kamu udah harus berangkat ke Berlin. Terus ini kafe gimana? Sepupu kamu yang ngelanjutin? Sayang banget kalau ditutup, Din. Udah mulai rame, kan?”

“Abim, jangan mengalihkan obrolan.”

“Aku minta maaf,” kata Abimanyu. “Aku pengecut, ya? Aku nggak berani melangkah lebih jauh, ya? Tapi, Din, demi kebahagiaan dan masa depanmu yang lebih baik, aku nggak keberatan untuk jadi manusia paling pengecut di kehidupan ini.”

Andin berusaha sekuat tenaga untuk menahan butiran hangat yang memaksa keluar dari matanya. Ia terus menghindari mata Abimanyu, sebab ia tahu, begitu dirinya menatap mata itu, Andin tidak akan pernah sudi untuk melepaskan laki-laki di hadapannya ini.

“Din,” Abimanyu memanggil dengan suara lirih. “Jangan terjebak dalam hubungan yang salah lagi, ya. Aku bakalan selalu berdoa, semoga hidupmu punya akhir yang bahagia.”

Menjelang tengah malam, Abimanyu meninggalkan Andin duduk sendirian di Ruang Temu. Menggigil di tengah pupusnya harapan yang mati-matian selalu Andin pupuk setiap hari selama beberapa tahun terakhir.

“Kamu bikin aku sadar, kalau kadang perpisahan adalah cara tebaik untuk menghargai cinta yang pernah tumbuh subur, Bi. It’s not a goodbye, it’s a see you again.”

***

Jonathan— Of Fights and Forgiveness

Di dalam gang kecil di pinggiran Jakarta, sebuah toko kelontong berdiri sederhana. Di dalamnya, mama Jonathan sedang sibuk menata rak, sementara Jonathan duduk di beranda rumah sambil menyusun buku keuangan.

Dari hasilnya menjadi petarung di arena itu, Jonathan bisa membuka sebuah toko kelontong untuk mamanya, juga menyewa sebuah kios yang ia gunakan untuk membuka bengkel kecil-kecilan di dekat tempat tinggal barunya. Tidak, ia tidak akan membanggakan soal itu. Bagaimanapun, perbuatannya tidak dapat dibenarkan. Namun, hidup harus terus berjalan, dan Jonathan harus terus mencari cara untuk bertahan hidup bersama Mama. Jadi, Jonathan menggunakan uang itu untuk memulai usaha kecil. Usaha yang dibangun dengan uang haram, katanya.

Ia membuka bengkel dibantu oleh Alfan, yang tadinya juga pernah bekerja di bengkel. Sejak insiden Jonathan yang datang ke Rumah Aman sambil menangis, mereka menjadi sangat dekat. Jonathan masih sering mengunjungi rumah aman, dan kini ia merasa seolah menjadi bagian dari tempat itu.

“Jo, nanti tolong antar Mama ke pasar, ya. Mama mau coba resep kue bolu yang dari temen kamu itu. Siapa namanya? Dinda?”

Jonathan terkekeh sebentar, lalu menutup buku keuangannya. “Andin, Ma. Pacar Abimanyu itu.”

“Ah, iya, Andin. Nanti kalau bolunya berhasil, kamu kirim buat Andin sama Kirana, ya. Sekalian ajakin Kirana ke sini. Dia pengen belajar masak asem-asem katanya.”

Jonathan mengangguk, masih dengan senyum di wajahnya.

Kirana sering datang ke rumahnya. Membawa masakan dari rumah, atau sekedar menghabiskan waktu untuk bercengkerama bersama mama Jonathan di ruang tamu. Atau, mengunjungi Jonatan di bengkel hanya untuk mengantar minuman dingin untuknya dan Alfan.

Jonathan tidak pernah terburu-buru dalam hubungan itu. Ia membiarkan kapal mereka melaju perlahan, menerjang setiap ombak yang datang. 

“Gue nggak bisa menjanjikan apa-apa buat lo, Ki. Tapi gue janji, selama gue mampu, gue akan mengusahakan kebahagiaan lo— kebahagiaan kita berdua.”

***

KIRANA – The Quiet Path

Kirana tidak teburu-buru untuk memilih jalannya. Ia mengerti, bahwa hidup yidak harus selalu berlari kencang. Terkadang, yak kita butuhkan hanyalah duduk tenang, menarik napas dalam-dalam, lalu mendengarkan suara hati yang selama ini tenggelam dalam kebisingan dunia luar.

Sejak dokumenter itu selesai ditayangkan, Kirana lebih sering terlihat di Rumah Aman. Tempat yang awalnya hanya menjadi lokasi observai untuk tugas akhir mereka. Namun, kini rumah itu menjelma menjadi tempat untuknya belajar tentang bagaimana hidup berjalan. Tentang keberanian, tentang kehilangan, juga tentang bagaimana sebuah luka tidak bisa disembuhkan dengan teori dari buku-buku tebal yang ia pelajari, melainkan dengan kehadiran.

Setiap sore, Kirana datang membawa buku-buku cerita anak, krayon, atau sekedar makanan ringan. Terkadang, Kirana duduk di beranda, membaca dongeng untuk anak kecil yang tinggal di Rumah Aman. Atau, terkadang Kirana duduk bersama para penghuni wanita, sambil memperhatikan mereka membuat keripik tempe. Di hari lain, Kirana akan duduk berdua bersama Dika atau penghuni lain, untuk mendengar cerita mereka.

Kirana juga sering mengunjungi Jonathan. Menemani mamanya bercengkerama, atau menemaninya berbelanja persediaan toko kelontong yang mulai habis.

Ia tidak lagi menuntut jawaban pasti atas hubungan mereka. Ia tidak lagi meminta kejelasan. Kirana hanya ingin berjalan bersama sejauh mungkin, sambil bergandengan tangan dan saling menguatkan. Kirana begitu bangga pada Jonathan, sebab laki-laki itu mau merenungkan kesalahannya, dan berubah menjadi seseorang yang lebih baik.

“Gue nggak akan kemana-mana, Jo. Jadi kalau lo butuh seseorang untuk berbagi cerita, atau sekedar nemenin lo makan sate padang di pasar Santa, gue akan jadi satu-satunya orang yang selalu siap untuk itu.”

Sambil menatap langit sore yang kemerahan, Kirana menyadari bahwa ia mungkin belum tahu langkah mana yang harus ia ambil untuk masa depannya. Namun, ia tahu bahwa di tempat ini— di antara orang-orang yang memilih untuk tetap bertahan meski pernah patah, Kirana menemukan sebagian dari dirinya kembali.

***

SERA – The One Who’s Still Healing

Sera masih berada di tempat yang sama. Rumah sakit jiwa yang dulu hanya ia kunjungi sebagai relawan, kini menjadi tempat ia belajar menjadi manusia baru. Manusia yang kembali utuh, meski pernah pecah berkeping-keping.

Pagi-pagi sekali, Sera duduk di pinggir ranjang, sambil menatap pada langit yang dibingkai oleh jendela kecil berterali. Ia belum sepenuhnya pulih. Masih ada malam-malam penuh mimpi buruk, masih ada suara-suara yang membuatnya ingin lenyap. Namun, kini ia tidak lagi melawan semuanya sendirian.

Setiap Sabtu, Kirana datang membawakan cat air dan kanvas kecil untuknya. Mereka melukis bersama di bawah pohon flamboyan yang bunganya mulai berguguran. Mereka tidak pernah bicara apa-apa. Membiarkan kesunyian panjang berada di tengah-tengah mereka, sambil terus menyelesaikan gambar yang telah mereka mulai.

Terkadang, Sera menatap Hilmy yang duduk sendirian di bangku taman rumah sakit, dari jendela kamarnya. Ia memperhatikan laki-laki itu menulis dalam buku catatannya, melipat kertas-kertas menjadi sebuah bintang kecil dan dimasukkan ke dalam sebuah stoples, atau sekedar duduk diam sambil memperhatikan pohon-pohon yang berjajar rapi di sekitarnya. Sera tidak pernah tahu mengapa laki-laki itu selalu ada di tempat yang sama setiap hari. Apakah ia juga seorang pasien yang sedang berjuang sama seperti Sera? Tidak tahu. Sera tidak pernah tahu mengapa Hilmy selalu berada di sana.

Pernah suatu hari, Sera sedang berjalan di koridor rumah sakit menuju taman. Di salah satu bangku di ujung koridor, Hilmy sedang duduk sambil menuliskan sesuatu pada buku catatannya, sama seperti biasa. Namun, ketika menyadari keberadaan Sera, Hilmy justru segera bangkit dan berjalan dengan terburu-buru. Sera yang menyadari bolpoin milik Hilmy jatuh, segera mengambilnya dan mengejar Hilmy ke taman.

“Permisi.” Sera menepuk pundak Hilmy dengan wajah datarnya waktu itu. “Punya kamu. Tadi jatuh.”

Namun, Sera kembali dibuat heran oleh laki-laki yang berdiri dua langkah di hadapannya itu. Alih-alih segera menerima bolpoin yang Sera sodorkan, ia justru tersenyum dengan mata sedihnya yang berkaca-kaca.

Sera tidak tahu mengapa laki-laki itu terlihat begitu sedih. Namun, sera berdoa, semoga kesedihan yang sedang mampir ke dalam hidup laki-laki itu akan segera berganti menjadi kebahagiaan, seperti pelangi yang datang setelah hujan.

***

RAFA – The Boy with Bruised Colors

Orang tua Rafa telah memutuskan untuk lebih sering tinggal di rumah untuk menemani anak mereka satu-satunya. Sejak menemukan Rafa menangis dengan lengannya yang penuh sayatan, mereka menyadari bahwa Rafa juga rapuh sama seperti mereka berdua, bahwa Rafa juga kehilangan. Namun, yang membedakan Rafa dari kedua orang tuanya adalah, Rafa tidak pernah mencari seseorang untuk disalahkan atas kematian Reyna. Tidak seperi mereka yang menyalahkan Rafa hanya untuk membuat hati mereka sedikit membaik.

Tidak seperti dulu yang selalu menutup rapat jendela dan tirai di kamar Reyna, kini Rafa justru membuka jendela itu lebar-lebar. Lalu, ia akan duduk di sana sambil melukis di atas sebuah kanvas. Potret Reyna yang sedang tersenyum manis, dengan garis-garis lembut dan warna-warna hangat.

Setelah begitu lama, hari ini akhirnya Rafa berhasil untuk menyelesaikan lukisan itu. Ia memperhatikan potret Reyna begitu lama, lalu tersenyum setelahnya. Sebelum beranjak pergi dari kamar Reyna, ia menuliskan sesuatu pada bagian bawah lukisan itu. Sebuah tulisan menggunakan pena berwarna putih, “Untuk kamu yang telah pergi lebih dulu. Maaf, karena aku baru memiliki keberanian untuk melihatmu utuh hari ini.”

Rafa telah memberanikan diri untuk menemui psikolog.

Pertemuan pertama membuatnya gemetar dan nyaris membatalkan janji temu. Namun, ia menguatkan diri, dan tetap duduk di hadapan seorang psikolog yang memiliki senyum hangat. Lalu, dua hari setelahnya dia datang lagi, dan lagi. Pada pertemuan kelima, ia berkata, “Saya nggak mau menyerah kayak kakak saya. Tolong bantu saya.” Dia mengatakan hal itu sambil berderai air mata.

Beberapa minggu kemudian, Rafa mengirimkan sebuah video pendek pada Abimanyu. Sebuah rekaman pribadi yang ia buat sendiri di kamar, direkam dengan kamera ponselnya.

Lalu, video itulah yang Abimanyu masukkan ke dalam dokumenter dan mengejutkan teman-temannya yang lain. Rafa  tahu, luka yang sudah terlanjur lama berarang dalam diri tidak akan sembuh dengan mudah. Namun, setidaknya sekarang ia telah menemukan keberanian untuk hidup berdampingan dengan luka itu, sambil berusaha merawat dan menyembuhkannya.

***

HILMY – Still Watching from Afar

Diantara semua yang terjadi, mungkin Hilmy adalah yang paling banyak diam. Ia tidak pernah benar-benar bercerita tentang beban yang ia pikul. Tentang perasaan gagal sebagai seorang anak, tentang ketakutannya melihat orang-orang di sekitarnya tumbang satu per satu.

Namun sejak Unframed diputar, sejak ia melihat kembali wajah-wajah yang ia sayangi di layar itu, Hilmy merasa menemukan kembali tujuannya. Ia tidak bisa menyembuhkan semua orang, tapi ia bisa menemani mereka. Ia mulai menulis pada buku catatan yang selalu dibawa kemana-mana. Tentang cintanya, tentang persahabatannya. Tentang teman-teman yang diam-diam selalu ia bawa dalam doanya setiap malam.

Hilmy tidak pernah mendekat pada Sera, sebab ia tidak ingin melihatnya menjerit seperti waktu itu. Bahkan sampai saat ini, jeritan itu masih terasa mengiris hatinya hingga menjadi bagian paling kecil.

Ia hanya akan duduk di bangku taman, sambil menunggu Sera keluar untuk berjemur. Atau, memperhatikan dari kejauhan ketika Sera sedang berjalan-jalan di koridor rumah sakit. Kadang, ia menunggu Kirana keluar sambil membawa kabar soal Sera. Sesekali, Hilmy menitipkan secarik kertas pada resepsionis. Kadang kertas itu berisi puisi yang ditulis berantakan, atau sebuah gambar bunga. Atau ... sekedar tulisan ‘aku merindukanmu’.

Suatu hari, ia terkejut ketika Sera berjalan cepat dan menepuk punggungnya dari belakang. Kala itu, ia cepat-cepat pergi sebab tidak ingin membuat Sera takut dengan keberadaannya. Namun, yang terjadi justru diluar dugaannya. Sera menyapanya dengan pendar mata paling asing yang pernah ia lihat. Meski begitu, Hilmy sangat bersyukur, sebab Sera tidak lagi takut berada di dekat laki-laki.

Meski Sera tidak mengenalinya, meski ia tidak bisa melihat cahaya pada matanya seperti dulu, tidak apa-apa. Hilmy tetap bersyukur untuk itu. Karena artinya, Sera sudah berjalan satu langkah lebih dekat.

Hanya satu langkah yang begitu pelan, tapi tidak apa-apa.
Hilmy akan menunggu sebanyak apapun yang dibutuhkan.
Untuk Sera, untuk cintanya.

***

ABIMANYU – The One Who Held the Frame

Abimanyu menonton ulang dokumenter itu dari laptopnya, persis seminggu setelah pemutaran resmi. Tidak ada riuhnya suara tepuk tangan, tidak ada lampu yang menyorot ke arah panggung. Hanya dirinya sendiri, headphone yang menyumpal kedua telinganya, dan layar kecil di meja kamarnya.

Ia kembali melihat satu per satu footage yang dulu ia rekam dengan tangannya sendiri. Setiap tawa, setiap tangis, setiap bisik pelan yang terekam. Kini rekaman itu terasa seperti milik banyak orang. Kemarin, dosen pembimbingnya menawarkan Abimanyu untuk mendaftarkan Unframed ke festival dokumenter mahasiswa tingkat nasional. Namun, ia tidak akan mengambil langkah sendirian. Ia akan membawa seluruh orang yang terlibat dalam dokumenter itu, dan berjalan bersama sambil saling merangkul.

Hubungannya dengan Andin telah benar-benar berakhir. Dan seolah menarik diri, Andin tidak lagi pernah terlihat di Ruang Temu. Bahkan di grup chat yang berisi mereka bertujuh, Andin tidak pernah hadir meski untuk membaca pesan-pesan mereka.

Pada akhirnya, Abimanyu menyadari bahwa hidup selalu perihal datang dan pergi. Beberapa orang tidak bisa terus tinggal dalam hidupmu, melainkan harus disimpan dalam hati. Dalam diam, dalam kesunyian, dan dalam kenangan yang terkadang bisa menyakitkan, meski begitu indah.

“Kamera tidak pernah bisa menyembuhkan. Namun, dengan cinta yang cukup, kamera bisa menjadi jendela untuk melihat satu sama lain apa adanya.” —Abimanyu, Unframed 2025—

***

Pada minggu sore yang begitu mendung, Abimanyu, Hilmy, Jonathan, Rafa dan Kirana kembali. Tidak di kampus, tidak di warung Mang Udin, tidak juga di Ruang Temu. Namun, di pinggir pantai yang sama, tempat dimana mereka pernah berdiri berjejer bersama Sera dan Andin, sambil saling menggenggam tangan. Mereka menikmati udara pantai sambil membiarkan oksigen memasuki tiap inci dari paru-paru. Mengenang beberapa hal yang terjadi belakangan ini, sambil saling menguatkan untuk terus berjalan.

Sementara di Rumah Sakit, Sera duduk sendirian di taman. Ia memegang sebuah selembar kertas bergambar bunga daisy, yang bertuliskan, ‘aku merindukanmu’.

Dengan tenang, Sera menutup matanya sambil menghela napas panjang. Lalu, ia berkata lirih, “Gue juga, Hil. Gue juga kangen sama lo ....”

Di kehidupan ini, tidak ada yang sempurna. Tidak semua luka telah sepenuhnya sembuh. Namun, nyatanya kita masih ada di sini, menyusun kembali kepingan hidup sambil berharap semoga kepingan itu akan kembali utuh. Bahkan dalam sebuah novel romansa pun, tidak semua pemeran menemukan kebahagiaannya.

Untuk semua orang yang pernah patah,
Untuk yang sedang belajar dan berjuang untuk bangkit perlahan,
Untuk yang memilih tetap tinggal, meski dunia memaksa untuk menyerah.

Terimakasih, dan maaf.

Terimakasih karena telah bertahan sejauh ini,
dan maaf karena mungkin aku telah membuatmu menangis di sela-sela cerita ini.

Unframed, selesai.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Atraksi Manusia
463      342     7     
Inspirational
Apakah semua orang mendapatkan peran yang mereka inginkan? atau apakah mereka hanya menjalani peran dengan hati yang hampa?. Kehidupan adalah panggung pertunjukan, tempat narasi yang sudah di tetapkan, menjalani nya suka dan duka. Tak akan ada yang tahu bagaimana cerita ini berlanjut, namun hal yang utama adalah jangan sampai berakhir. Perjalanan Anne menemukan jati diri nya dengan menghidupk...
Premium
RARANDREW
18677      3460     50     
Romance
Ayolah Rara ... berjalan kaki tidak akan membunuh dirimu melainkan membunuh kemalasan dan keangkuhanmu di atas mobil. Tapi rupanya suasana berandalan yang membuatku malas seribu alasan dengan canda dan godaannya yang menjengkelkan hati. Satu belokan lagi setelah melewati Stasiun Kereta Api. Diriku memperhatikan orang-orang yang berjalan berdua dengan pasangannya. Sedikit membuatku iri sekali. Me...
Solita Residen
1458      807     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...
TANPA KATA
18      17     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
Switch Career, Switch Life
351      295     4     
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri. Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya. Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...
The pythonissam
384      301     5     
Fantasy
Annie yang harus menerima fakta bahwa dirinya adalah seorang penyihir dan juga harus dengan terpaksa meninggalkan kehidupanannya sebagai seorang manusia.
Me vs Skripsi
1853      764     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
Detik Kesunyian
433      323     3     
Short Story
Tuhan memiliki beribu cara untuk menyadarkan kita. Entah itu dengan cara halus, kasar, bahkan menampar. Tapi peringatan itu yang terbaik, daripada Tuhan mengingatkanmu dengan cara penyesalan.
HABLUR
677      344     6     
Romance
Keinginan Ruby sederhana. Sesederhana bisa belajar dengan tenang tanpa pikiran yang mendadak berbisik atau sekitar yang berisik agar tidak ada pelajaran yang remedial. Papanya tidak pernah menuntut itu, tetapi Ruby ingin menunjukkan kalau dirinya bisa fokus belajar walaupun masih bersedih karena kehilangan mama. Namun, di tengah usaha itu, Ruby malah harus berurusan dengan Rimba dan menjadi bu...
Taruhan
51      48     0     
Humor
Sasha tahu dia malas. Tapi siapa sangka, sebuah taruhan konyol membuatnya ingin menembus PTN impian—sesuatu yang bahkan tak pernah masuk daftar mimpinya. Riko terbiasa hidup dalam kekacauan. Label “bad boy madesu” melekat padanya. Tapi saat cewek malas penuh tekad itu menantangnya, Riko justru tergoda untuk berubah—bukan demi siapa-siapa, tapi demi membuktikan bahwa hidupnya belum tama...