Waktu menunjukkan hampir pukul tiga sore, ketika mahasiswa dari berbagai jurusan mulai berdatangan satu per satu, memenuhi auditorium. Hari ini merupakan hari yang mendebarkan bagi Abimanyu, sebab dokumenter yang telah ia susun selama beberapa bulan terakhir akhirnya akan dipertontonkan di depan banyak orang.
Mulai banyak kursi-kursi yang terisi, dan Abimanyu memilih untuk duduk di kursi paling belakang, bersama Andin, Kirana, Rafa, dan Hilmy. Jantungnya berdetak dua kali lipat lebih cepat, ketika lampu-lampu gantung di ruangan itu mulai meredup, dan obrolan-obrolan yang tadi terdengar kini berubah menjadi bisikan lirih. Di samping sebuah layar berukuran besar, seorang dosen pembimbing berdiri sambil memegang mikrofon, dan memberi sambutan untuk orang-orang yang hadir di sana.
“Berikut ini adalah sebuah karya dari mahasiswa perfilman, Saudara Abimanyu Widjaya. Sebuah dokumenter lintas disiplin, kolaboratif, dan menyentuh. Mari bersama-sama kita saksikan sebuah perjalanan yang direkam dan dikemas dengan begitu hangat, yang diharapkan bisa menyentuh hati dan memberikan kita sebuah pelajaran hidup. Sebuah dokumenter ... berjudul Unframed.”
Suara tepuk tangan memenuhi seluruh auditorium. Abimanyu mencengkeram lututnya, sambil memejamkan mata dan diam-diam berdoa, agar dokumenternya disukai oleh semua orang yang berada dalam auditorium ini.
Lampu auditorium mati sepenuhnya. Layar besar yang berada di depan banyak orang itu masih tampak gelap. Lalu, terdengar suara tawa beberapa orang dari pengeras suara.
Hal pertama yang terlihat dalam layar adalah suasana Ruang Temu. Hilmy mengiringi nyanyian Rafa dengan gitar, Andin membuat segelas kopi, Sera tertawa bersama Kirana, dan Jonathan yang berusaha menutup lensa kamera Abimanyu yang sedang merekam wajahnya.
Layar kembali gelap selama tiga detik, lalu muncul latar warung Mang Udin. Gorengan bertumpuk di satu piring, mie instan, Hilmy yang sedang menikmati sate usus. Lalu, terdengar suara Rafa, “Eh, stop makan, Hil. Kamera nyala, tuh!” dan mereka berdua menoleh ke kamera, sebelum akhirnya melambaikan tangan.
Video beralih pada Rafa dan Sera yang sedang duduk di taman kampus, dengan beralaskan tikar kecil. Mereka menggambar pada sketch book masing-masing, sambil sesekali berbincng santai.
Layar kembali gelap, kemudian muncul footage berisi Rafa dan Hilmy sedang bernyanyi di sebuah ruang tamu. Andin, Kirana, Sera, Jonathan, dan Abimanyu tertawa sambil bertepuk tangan untuk mereka berdua.
Lalu, suara tawa dari video memudar. Ruang auditorium kembali sunyi, sebelum akhirnya muncul sebuah video yang menampilkan mereka bertujuh berdiri berjajar di pinggir pantai, sambil saling merangkul satu sama lain. Layar kembali gelap perlahan, menyisakan suara deburan ombak yang sedikit demi sedikit mulai lirih.
Sebuah tulisan muncul dalam layar gelap:
“Kita semua menyimpan rahasia. Namun, tidak selamanya kita bisa menyimpannya sendirian ....”
Layar kembali menyala.
Kirana sedang berjalan masuk ke sebuah bangunan dengan tulisan Rumah Aman di depannya. Tanaman-tanaman tumbuh terawat di beranda rumah, anak-anak kecil berlarian.
Dika muncul pada layar.
Ia tertawa sebentar. “Saya pernah mikir, kalau mantan napi nggak akan punya masa depan. Tapi, Pak Jatmiko mengajarkan pada saya untuk nggak menyerah.”
“Selama bisa merenungkan kesalahan dan mau berubah ke arah yang lebih baik, saya rasa setiap orang punya kesempatan yang sama untuk menata masa depan.”
Lalu, video wawancara Alfan dan Dika muncul bergantian. Tentang bagaimana mereka masuk penjara, bagaimana kehidupan mengajarkan mereka untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Layar meredup, latar berganti dengan suasana Ruang Temu— kafe milik Andin. Ia sibuk dengan mesin espresso, lalu duduk di sudut ruangan dengan sebuah buku di pangkuannya.
“Sebenarnya, gue buka Ruang Temu karena belakangan ini lagi susah banget cari kafe yang tenang buat ngerjain tugas, atau selesaikan deadline kerjaan.”
“Terus, bagian sudut ini sengaja aku bikin senyaman mungkin, biar mereka yang suka baca, bisa ambil buku yang mereka suka di rak ini, terus baca di sofa yang gue dudukin ini sambil minum kopi.”
Setelah video berisi wawancara Andin di Ruang Temu diputar hingga selesai, gambar beralih pada Sera yang sedang berlarian di bibir pantai bersama Rafa dan Hilmy. Instrumen musik bernada minor menjadi latarnya.
Kemudian, gambar dalam video bergoyang sebentar. Rafa muncul dengan kemeja biru dan kacamata yang menghiasi wajahnya. Setelah meletakkan kamera di sudut yang rendah, Rafa duduk dan berdeham sebentar.
Melihat video yang kini sedang berjalan di layar, Andin dan Kirana tampak terkejut. Mereka menoleh pada Abimanyu, seolah menuntut jawaban. Namun, alih-alih menjelaskan, Abimanyu justru hanya tersenyum.
Sejujurnya, Abimanyu juga tidak mengetahui bahwa Rafa mengambil rekaman yang berisi monolognya sendiri. Tepat lima hari sebelum Abimanyu menyerahkan hasil akhir dokumenternya pada dosen pembimbing, tiba-tiba Rafa mengirimkan sebuah video pada email Abimanyu.
“Hai, gue Rafa.”
Tepat ketika suara itu terdengar dari pengeras suara, Abimanyu dan yang lainnya kembali memusatkan perhatian mereka pada layar di depan sana.
“Gue adalah mahasiswa Seni Rupa, yang kebetulan ikut andil dalam penyusunan dokumenter ini.” Rafa terdiam sejenak, sambil tampak berpikir. “Kalau ditanya soal diri gue sendiri, sejujurnya gue nggak tahu jawabannya akan seperti apa. But, Let me show you what on my mind.”
“Gue adalah anak terakhir dari sebuah keluarga perantauan. Orang tua gue berasal dari Surabaya. Mereka pindah ke Jakarta setelah menikah, dan fokus untuk mengembangkan usaha keluarga di sini. Dengan latar belakang itu, gue dan kakak perempuan gue satu-satunya, sering ditinggal pergi ke luar kota.”
“Kami lebih sering diasuh pembantu dan sopir yang udah bekerja di rumah bahkan sebelum gue dilahirkan. Suatu hari, sopir lama kami tiba-tiba memutuskan untuk mengundurkan diri, dan digantikan oleh sopir baru. Tiga bulan pertama, semuanya berjalan lancar.”
“Sampai di bulan keempat,” Rafa tampak meremat jemarinya. Ia menghela napas berkali-kali, lalu video sempat terjeda beberapa saat. Hingga akhirnya, Rafa kembali terlihat di layar.
“Di bulan keempat, kakak perempuan gue mendapat kekerasan seksual dari sopir baru kami. Nggak ada yang tahu saat itu, karena kakak kami ketakutan. Kejahatan sopir baru itu, baru terungkap setelah Papa memeriksa CCTV yang berada di garasi rumah. Tapi, waktu itu kakak gue udah nggak ada. Dia memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri.”
Auditorium dipenuhi dengan suara bisik-bisik yang terdengar prihatin.
“Sejak saat itu, gue hidup dalam trauma yang sangat dalam.” Rafa menggulung kedua lengan kemejanya, hingga menampakkan bekas-bekas lukanya. “Ini adalah bentuk pelarian gue, ketika suara-suara dalam kepala gue mulai mengganggu. Tapi, gue nggak mau datang ke tenaga profesional, karena gue nggak mau dianggap gila.”
“Tapi, setelah bertahun-tahun, sekarang gue memberanikan diri untuk ambil langkah itu. Nggak semua orang yang datang ke psikolog itu gila. Nggak semua trauma dan gangguan pikiran yang kita punya bisa kita atasi sendiri. So, if you don’t want to ruined someone life, kalau lo nggak mau menghancurkan temen-temen lo dengan trauma yang lo punya, go get the psikolog. Trauma kita itu tanggung jawab kita. Jangan biarkan orang lain ikut masuk ke dalam kekacauan hidup kita.”
“Kalau lo yang nonton video ini punya masalah yang sama kayak gue, gue harap lo juga menemukan keberanian yang sama dengan gue, untuk menyembuhkan luka dan trauma itu dengan cara yang benar.”
Layar kembali meredup, instrumen lirih masih terdengar.
Lalu, Jonathan muncul dalam video. Ia duduk di sebuah kursi yang berada di ruang tamu.
“Hai, gue Jonathan. Gue adalah mahasiswa Kriminologi yang baru aja dikeluarkan dari kampus karena terlibat dalam kegiatan tinju ilegal.”
Layar menampilkan video pertandingan Jonathan yang sempat bocor, hingga terdengar suara riuh beberapa saat dalam auditorium.
“As you can see, semua orang pasti menganggap gue rebel. Gue nggak meminta kalian, atau siapapun membenarkan atau mengerti apa yang gue lakukan. Karena gue mengakui bahwa itu sepenuhnya salah.”
Jonathan menunduk sebentar, lalu kembali menatap kamera. “Gue terjebak dalam masalah pelik, yang nggak gue temui jalan keluarnya. Sampai akhirnya, gue menemukan pekerjaan itu. Bertanding dan ditonton ratusan orang, tanpa ijin resmi.”
“Tapi, sekarang gue paham, kalau sebenarnya jalan keluar yang gue butuhkan cuma rangkulan orang-orang di sekitar gue. Sayangnya, saat itu gue terlalu takut dan malu untuk meminta rangkulan itu. Dan ... beginilah jadinya. Gue justru menemukan jalan— yang gue pikir merupakan jalan keluar, tapi justru jalan menuju kehancuran.”
“Mungkin ini terdengar kayak basa-basi, atau omong kosong yang keluar dari mulut gue. Tapi, kalau kalian sedang ada di situasi yang sulit, tlong cari teman untuk berbagi hal itu. Mungkin masalah kita nggak akan langsung selesai, tapi setidaknya, kita nggak akan terjebak dalam jalan yang salah.”
“Gue nggak pernah bangga dengan apa yang udah gue lakuin. Dan gue harap, hal-hal bodoh dan buruk ini akan berhenti di gue.”
Video beralih pada Jonathan yang duduk bersama Alfan di Rumah Aman. Mereka berada di sebuah bangku kayu, sambil menikmati kopi hitam yang asapnya masih terlihat mengepul. Sesekali, terdengar kekehan dari keduanya.
“Lo juga harus ingat, seberat apapun masalahnya, itu bukan akhir dunia. Akan selalu ada jalan keluar di setiap kesulitan.”
Layar menampakkan video Jonathan dan mamanya yang sedang menyirami tanaman di rumah barunya. Lalu, footage Jonathan ditutup dengan pelukan hangat dari mamanya.
Latar berganti. Gerimis tampak turun pada taman sebuah rumah sakit jiwa. Dalam video itu, Hilmy berdiri membelakangi layar, di bawah pohon flamboyan. Ia menatap kejauhan. Pada bunga-bunga yang bergoyang karena tetesan gerimis, pada burung-burung yang terbang rendah, pada seorang perempuan yang baru saja berjalan masuk sambl bergandengan tangan dengan perawat.
“Orang yang gue rawat, sedang berjuang di tempat ini,” kata Hilmy, ketika ia telah duduk di lobi rumah sakit. Ia menghela napas sejenak. “Gue percaya kalau dia akan menemukan kesembuhannya di sini, dan memenangkan semua perang yang ada di dalam kepalanya.”
“Untuk kalian yang juga sedang berjuang, kalian harus ingat bahwa pasti ada seseorang yang sedang mendoakan kemenangan kalian. Seseorang yang diam-diam memberi kalian semangat dan kekuatan, meski dari jarak yang jauh.”
“Kalian nggak pernah benar-benar sendiri.”
Video beralih pada Hilmy yang sedang duduk di bangku taman yang basah. Di pangkuannya, ada sebuah buku catatan yang bertuliskan, “Untuk Sera, perempuan hebat yang aku sayangi sepenuh hati ....”
Layar kembali menggelap.
Lalu, perlahan menyala.
Abimanyu berdiri sendirian di Ruang Temu yang kosong. Kamera statis. Tidak ada musik latar. Ia menatap lensa.
“Awalnya, gue bikin dokumenter ini untuk tugas akhir. Untuk sebuah nilai sempurna yang gue kejar. Untuk nunjukin kalau gue bisa jadi film maker yang kompeten.”
Ia menunduk, memainkan jemarinya, lalu menghela napas yang terdengar berat.
“Tapi, semakin jauh ngerejam, gue semakin sadar, kalau gue bukan lagi bikin karya. Gue lagi menyaksikan luka-luka orang-orang yang gue sayang terbuka perlahan.”
Layar menampilkan Sera yang tertawa bersama Andin dan Kirana dan Abimanyu yang sedang mengotak-atik kamera. Lalu, terlihat Abimanyu, Hilmy, Rafa, dan Jonathan yang duduk di warung Mang Udin sambil menikmati gorengan dan es teh.
“Mereka bilang, kamera gue bisa jadi alat untuk menangkap realita. Tapi, realita yang benar-benar penting kadang justru nggak bisa direkam. Tangisan di kamar waktu kita overthinking tengah malam, rasa takut yang datang ke kita pas bangun tidur, sampai suara riuh di dalam kepala yang nggak pernah berhenti.
Abimanyu menghela napas panjang.
“Jadi, dokumenter ini bukan lagi tentang mencari ‘sudut pandang lain’ dari orang-orang yang ada di dalamnya.”
“Ini tentang keberanian mereka— kita semua, untuk tetap hidup walau dalam kekhawatiran. Untuk tetap berjalan, walau kaki mulai berdarah-darah. Untuk tetap percaya, walau kadang hidup mengecewakan.”
Layar kembali menampilkan mereka bertujuh yang berdiri di bibir pantai. Instrumen lirih kembali mengalun.
“Gue, lo— kita semua, bukan orang-orang yang sempurna. Kita bukan orang-orang yang paling kuat yang ada di hidup ini. Tapi, kita harus belajar satu hal. Bahwa dalam hidup, kita nggak perlu buru-buru untuk mencapai garis finish. Dalam hidup, yang paling penting adalah kita nggak pernah menyerah, seburuk apapun keadaannya.”
Layar gelap, lalu sebuah teks kembali muncul, “Unframed: Untuk semua orang yang pernah patah. Tapi tetap bangun pagi-pagi dan mencoba lagi.”
Lampu auditorium kembali menyala terang, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang beranjak pergi. Karena dalam ruangan sunyi itu, mereka seolah baru saja menyaksikan hidup mereka sendiri. Tanpa bingkai, tanpa sebuah filter.
Lalu, sebuah tepuk tangan terdengar begitu kencang, disusul dengan tepuk tangan riuh dari seluruh orang yang ada dalam ruangan itu.