Loading...
Logo TinLit
Read Story - Unframed
MENU
About Us  

“Setelah dilakukan peninjauan mendalam terhadap insiden penyebaran kekerasan dan keterlibatan dalam kegiatan ilegal, maka diputuskan bahwa mahasiswa Kriminologi atas nama J.A.P. dan mahasiswa Teknik Elektro atas nama S.K. diberhentikan secara tidak hormat, terhitung sejak pengumuman ini dibuat.”

Hari bahkan masih cukup pagi, tapi bisik-bisik telah terdengar begitu riuh nyaris di setiap sudut kampus. Para mahasiswa sedang membahas sebuah tangkapan layar pengumuman dari broadcast resmi fakultas, yang baru saja diposting ulang oleh salah satu akun base kampus. Postinganan tersebut jelas mengundang ratusan komentar dari para mahasiswa.

‘@anyaa_w: wah, Bang Ipul DO juga?’
‘@istrinyaJenoLee: kasian Jonathan nggak sih? Dia korban juga kan ini jatuhnya?’
‘@ini_ani: mengurangi beban kampus wkwk keputusan bagus’
‘@syaaa: guys, be kind ya. Pasti berat buat mereka berdua’
‘@ryo_sakil: yang tadi bilang jonathan korban, coba baca beritanya kemarin. Nggak ada yang maksa dia jadi jagoan cuy. Kemauan dia sendiri itu’

Abimanyu menggulir satu per satu komentar-komentar pada postingan itu, dan membiarkan dadanya terasa nyeri setiap kali ia menemukan komentar kebencian yang dilemparkan pada Jonathan. Tidak bisa dipungkiri, bahwa dirinya begitu merasa bersalah. Abimanyu yang memulai proyek dokumenter ini, dan dirinya pula yang menyeret teman-temannya untuk masuk ke dalamnya. 

Sama seperti Abimanyu, Kirana tidak mengatakan apa-apa setelah membaca postingan itu, dan komentar-komentar di dalamnya. Sejak datang ke Ruang Temu, ia hanya duduk sambil terus menatap layar ponselnya. Kirana juga turut menyalahkan dirinya atas insiden ini. Seandainya malam itu ia tidak datang. Seandainya sejak awal ia tidak menerima tawaran dari kakak tingkatnya itu.

“Whatever will be, will be. Kalian nggak harus terus-terusan merasa bersalah atas apa yang menimpa Jonathan, Guys.” Andin baru saja mendatangi meja Abimanyu dan Kirana dengan membawa dua gelas kopi. “Gue tahu ini berat buat semua orang. Buat Jonathan, buat kalian berdua. Tapi apakah dengan meratapi yang udah terjadi bakalan bikin keadaan membaik?”

“Aku tuh mulai mempertanyakan apa tujuan dokumenter ini dibuat,” kata Abimanyu. Kini ia menatap Andin dengan pandangannya yang terlihat lelah. “Aku mulai mikir kalau yang dibilang Jonathan itu bener, Din. Kayaknya dalam kepala aku cuma ada konten-konten yang harus aku rekam buat dokumenter itu, sampai aku mengabaikan perasaan temen-temenku sendiri.”

“Aku tanya deh, sama kamu. Dari awal, kamu emang mau ngulik soal kehidupan pribadi kita sejauh ini?” tanya Andin, kemudian dijawab gelengan lemah oleh Abimanyu.

“Sekarang gue tanya sama lo, Ran. Lo sengaja datang ke ring itu dan ngilangin rekamannya buat ngejatuhin Jonathan?” Kali ini ia bertanya pada Kirana, dan dijawab dengan gelengan.

“Gue yakin nggak ada satu pun dari kita bertujuh yang pengen salah satu terpuruk. Kita tuh cuma jelek di komunikasi aja,” lanjut Andin. “Daripada terus-terusan buang waktu dengan rasa bersalah, mending kita fokus sama Jonathan. Gue yakin ini sama sekali nggak gampang buat dia, jadi kita nggak boleh biarin dia terpuruk sendirian. Come on, Guys. Jalan Jonathan masih panjang, dan kita masih bisa perbaiki itu pelan-pelan.”

“Disaat-saat kayak gini, kita harus saling menguatkan. Buat terus sama-sama nemenin pemulihan Sera, buat terus sama-sama bantu Jonathan bangkit. This too shall pass. Kita harus percaya itu.”

Thanks, Din. Lo bener, ini bukan saatnya buat kita berlarut-larut sama penyesalan dan rasa bersalah.”

“Wah ...” kata Abimanyu detelah terdiam cukup lama. “Aku udah pacaran bertahun-tahun sama kamu, tapi masih aja amaze sama kedewasaanmu.” Lalu, ia menggeleng dramatis sambil bertepuk tangan pelan.

Di tengah obrolan itu, suara lonceng di atas pintu kafe berbunyi, tanda ada seorang pelanggan yang datang. Namun, ketika mereka bertiga akhirnya menoleh ke arah pintu, yang mereka dapati adalah sosok Jonathan yang berdiri sambil tersenyum tipis. Sudah tidak ada lagi perban yang menggantung di bahunya, sudah tidak ada lagi luka dan lebam yang tertoreh di wajahnya.

“Kenapa kaget banget kayak habis ngelihat hantu gitu?” katanya, sambil berjalan menuju meja teman-temannya.

“Jo? Are you akay?” tanya Andin, tepat ketika Jonathan duduk di samping Abimanyu.

“Never better.” Jonathan menghela napas panjang. “Wah, gue bakalan kangen ngampus bareng kalian.”

Sorry,” sahut Abimanyu. “Harusnya dari awal gue—”

“Ini kesalahan gue sendiri, Bim,” potong Jonathan. “Gue yang memutuskan untuk masuk ke arena itu. Lo, Kirana, dan siapapun dari temen-temen gue, nggak ada yang bersalah dari kejadian ini.”

“Gue juga minta maaf,” kata Kirana lirih. “Harusnya dari awal gue kasih tahu kalau kacamata itu hilang.”

Jonathan mengangguk sambil tersenyum. “Dimaafkan,” katanya. “Udah, ah! Gue ke sini, tuh mau ngasih tahu kalian ini.”

Kemudian, Jonathan mengeluarkan sebuah map dari dalam tasnya. “Gue habis dari kantor polisi, laporin Papa. Dokumennya udah lengkap. Hasil visum Mama, salinan laporan dari pihak rumah sakit, semuanya udah masuk ke kepolisian. Tapi gue mau minta tolong sekali lagi, Bim, boleh nggak?”

Sejujurnya, Kirana, Andin, dan Abimanyu tidak mengerti, dari mana Jonathan mendapatkan kekuatan sebanyak itu. Hari ini pengumuman soal dikeluarkannya Jonathan dari kampus baru saja disebar, tapi ia justru terlihat jauh lebih tegar dan bahagia dari sebelumnya.

“Boleh, Jo. Lo butuh apa?” tanya Abimanyu.

“Tanda tangan saksi, Bim. Gue udah tanda tangan, tapi butuh satu saksi lagi. Lo waktu itu ngelihat bokap lagi nyiksa nyokap gue, kan? Tapi kalau lo mau, jadinya harus datang ke kantor polisi, sih. Gimana?”

“Gue jabanin!” seru Abimanyu. “Lo minta gue buat konferensi pers juga gue jabanin!”

Jonathan tergelak, disusul oleh tiga temannya.

“Makasih, Bim, lo udah nyelametin mama gue hari itu. Sampein makasih gue juga ke orangtua lo karena udah mau nampung gue dan Mama beberapa hari terakhir. Gue udah bilang langsung sih, tadi pagi sebelum pindah. Tapi boleh tolong sampein lagi, nggak?”

Abimanyu mengangkat dua jempolnya sambil tersenyum lebar.

“Lo jadinya pindah ke mana, Jo?” Kali ini Andin yang bertanya.

“Nanti gue kasih tahu alamatnya di grup chat, sekalian undang kalian selametan di kontrakan. Biar Hilmy sama Rafa yang mimpin pengajiannya.”

“Waaah,” Kirana menggeleng. “Bisa-bisa, sepanjang pengajian mereka cuma muter-muter di surat Al-Ikhlas sama An-Naas doang itu, mah!”

Mereka kembali tertawa bersamaan. Meski perjalanan mereka belum usai, meki masih akan banyak jalan terjal yang menunggu di depan sana, mereka memilih untuk memberi ruang pada harapan.

Untuk sekali lagi, mereka memilih jalan yang berat dengan bertahan ....

*** 

Langit telah sepenuhnya gelap, ketika Jonathan memarkirkan sepedanya di kawasan pasar Santa. Ia membawa Kirana ke salah satu penjual sate padang dengan tenda yang cukup besar, hingga mampu menampung banyak sekali pembeli.

Suasana di tempat itu sudah cukup ramai ketika mereka datang, tapi untungnya mereka masih mendapat tempat duduk. Jonathan duduk di kursi plastik merah, dengan kaki kanannya yang bergoyang pelan. Di depannya, Kirana baru saja duduk setelah menaruh totebag bawaannya ke bangku sebelah.

“Gue belum pernah ngajakin lo ke sini ya, Ki?” tanya Jonathan.

“Belum. Kayaknya lo emang jarang deh, ngajakin gue pergi berdua gini.”

Jonathan tertawa pelan. “Kalau lo sama gue, lo cuma akan makan di tempat-tempat sederhana kayak gini, daripada ke tempat-tempat fancy.

“Nggak semua tempat fancy makanannya enak, Jo. Justru makan di tempat kayak gini lebih enak kali, kita nggak perlu pusing baca buku menu yang namanya susah dibaca itu!” sahut Kirana, lalu ia terkekeh.

“Ki,” panggil Jonathan lirih. “Gue tahu, hidup gue berantakan sekarang. Mungkin gue nggak bisa kasih lo sebuah hubungan manis kayak yang lo impikan selama ini.”

Piring-piring plastik kini sudah tersaji di antara mereka. Dua piring sate padang, dua gelas es teh, dan dua bungkus kerupuk jengek kesukaan Jonathan. Di hadapan Jonathan, Kirana tersenyum tipis sambil membuka plastik kerupuk dan meletakkannya ke piring.

“Jadi? Apa inti dari omongan lo barusan?” tanya Kirana sambil mengambil satu tusuk sate dari piringnya.

Jonathan menahan napas sebentar, lalu mengembuskannya perlahan— seolah sedang memilih kata-kata dengan sangat hati-hati. “Gue sayang sama lo, dan gue nggak akan pernah siap ada laki-laki lain yang gandeng tangan lo atau makan sate padang berdua kayak gini,” katanya, yang disambut gelak dari Kirana.

“Gue serius, Ki,” kata Jonathan lagi. “Mungkin lo bertanya-tanya kenapa selama ini gue nggak pernah memperjelas hubungan kita. Dan sekarang, gue harap akhirnya lo tahu jawabannya. Karena hidup gue berantakan.”

“Dua tahun terakhir, gue bertanding di arena itu buat ngumpulin duit. Gue mau bawa Mama keluar dari rumah. Untuk itu, gue butuh duit buat cari tempat tinggal baru dan mencukupi kebutuhan gue dan Mama. Arena boxing itu satu-satunya cara paling cepet buat gue dapetin semuanya.”

“Sekarang gue udah bisa bawa Mama keluar dari rumah. Tapi seperti yang lo lihat, gue dikeluarin dari kampus. Gue nggak tahu gimana hidup gue selanjutnya, tapi gue bakalan tetep memperjuangkan kebahagiaan Mama.”

“Karena itu, Ki,” Jonathan menatap Kirana. Ia bahkan belum menyentuh satenya sedikit pun. “Gue nggak bisa menjanjikan apa-apa buat lo. Gue mungkin nggak akan bisa kasih lo hubungan yang tenang dan bahagia. Jadi kalau suatu saat lo mau menyerah sama gue, gue nggak akan maksa lo buat tetap tinggal.”

Kirana menhela napas panjang, lalu tersenyum setelahnya. “Jo, makan dulu. Kita bahas nanti.”

Setelahnya, tidak ada percakapan lagi di antara keduanya. Bahkan ketika dua piring sate telah tandas dan gelas-gelas es teh mereka telah kosong, mereka masih saling diam.

“Jo,” Kirana akhirnya membuka suara, meski begitu lirih. “Gue suka lo yang sekarang. Lo yang berani cerita soal hidup lo, Lo yang berani jujur soal apa yang lagi lo rasain. Gue mungkin nggak ada di posisi lo, dan gue nggak ngerti persis gimana ketakutan-ketakutan lo selama ini. Tapi gue nggak akan melepaskan tangan lo. Gue akan temenin lo, sesulit apapun jalannya.”

Untuk sejenak, sunyi kembali mendatangi keduanya. Dalam kesunyian itu, diam-diam Kirana terus memperhatkan Jonathan. Laki-laki yang kini berada di hadapannya, terlihat seperti seorang anak kecil yang sedang kehilangan arah jalan pulang. Jadi, Kirana tidak akan terburu-buru untuk menarik tangannya untuk mengajaknya berlari kencang.

“Gue nggak pernah nutup pintu buat lo, Jo. Bahkan meski lo nggak ngetuk pintu itu, gue masih duduk sambil nungguin lo di dalam.”

“Jo,” panggil Kirana lagi, sebab Jonathan terdiam cukup lama. “It’s okay, gue nggak bakalan tinggalin lo, meski dalam keadaan yang paling terpuruk sekalipun.”

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kertas Remuk
139      112     0     
Non Fiction
Tata bukan perempuan istimewa. Tata nya manusia biasa yang banyak salah dalam langkah dan tindakannya. Tata hanya perempuan berjiwa rapuh yang seringkali digoda oleh bencana. Dia bernama Tata, yang tidak ingin diperjelas siapa nama lengkapnya. Dia hanya ingin kehidupan yang seimbang dan selaras sebagaimana mestinya. Tata bukan tak mampu untuk melangkah lebih maju, namun alur cerita itulah yang me...
Bittersweet Memories
47      47     1     
Mystery
Sejak kecil, Aksa selalu berbagi segalanya dengan Arka. Tawa, rahasia, bahkan bisikan di benaknya. Hanya Aksa yang bisa melihat dan merasakan kehadirannya yang begitu nyata. Arka adalah kembarannya yang tak kasatmata, sahabat sekaligus bayangan yang selalu mengikuti. Namun, realitas Aksa mulai retak. Ingatan-ingatan kabur, tindakan-tindakan di luar kendali, dan mimpi-mimpi aneh yang terasa lebih...
Dunia Sasha
6619      2212     1     
Romance
Fase baru kehidupan dimulai ketika Raisa Kamila sepenuhnya lepas dari seragam putih abu-abu di usianya yang ke-17 tahun. Fase baru mempertemukannya pada sosok Aran Dinata, Cinta Pertama yang manis dan Keisha Amanda Westring, gadis hedonisme pengidap gangguan kepribadian antisosial yang kerap kali berniat menghancurkan hidupnya. Takdir tak pernah salah menempatkan pemerannya. Ketiganya memiliki ...
Laut dan Mereka
200      131     0     
Fan Fiction
"Bukankah tuhan tidak adil, bagaimana bisa tuhan merampas kebahagiaanku dan meninggal kan diriku sendiri di sini bersama dengan laut." Kata Karalyn yang sedang putus asa. Karalyn adalah salah satu korban dari kecelakaan pesawat dan bisa dibilang dia satu satunya orang yang selamat dari kecelakaan tersebut. Pesawat tersebut terjatuh di atas laut di malam yang gelap, dan hampir sehari lamanya Ka...
Spektrum Amalia
805      541     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
Monday vs Sunday
216      173     0     
Romance
Bagi Nara, hidup itu dinikmati, bukan dilomba-lombakan. Meski sering dibandingkan dengan kakaknya yang nyaris sempurna, dia tetap menjadi dirinya sendiricerewet, ceria, dan ranking terakhir di sekolah. Sementara itu, Rei adalah definisi murid teladan. Selalu duduk di bangku depan, selalu ranking satu, dan selalu tampak tak peduli pada dunia luartermasuk Nara yang duduk beberapa meja di belaka...
In Her Place
1003      657     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
465      317     0     
Inspirational
Di masa depan ketika umat manusia menjelajah waktu dan ruang, seorang pemuda terbangun di dalam sebuah kapsul ruang-waktu yang terdampar di koordinat 7°49′S 112°0′E, sebuah titik di Bumi yang tampaknya berasal dari Kota Kediri, Indonesia. Tanpa ingatan tentang siapa dirinya, tapi dengan suara dalam sistem kapal bernama "ORIGIN" yang terus membisikkan satu misi: "Temukan alasan kamu dikirim ...
Anikala
1371      599     2     
Romance
Kala lelah terus berjuang, tapi tidak pernah dihargai. Kala lelah harus jadi anak yang dituntut harapan orang tua Kala lelah tidak pernah mendapat dukungan Dan ia lelah harus bersaing dengan saudaranya sendiri Jika Bunda membanggakan Aksa dan Ayah menyayangi Ara. Lantas siapa yang membanggakan dan menyanggi Kala? Tidak ada yang tersisa. Ya tentu dirinya sendiri. Seharusnya begitu. Na...
Musim Panas Jack
641      465     0     
Short Story
Dad is everyone\'s heroes