Loading...
Logo TinLit
Read Story - Unframed
MENU
About Us  

Dalam kurun waktu kurang dari satu bulan, mereka kembali lagi merasakan dinginnya bangku ruang tunggu rumah sakit.

Di dalam ruangan, Andin dan Kirana setia menemani Sera. Gadis yang kini pergelangan tangannya dibalut oleh perban itu, terbaring di ranjang rumah sakit dengan tatapan kosongnya. Tangannya menggigil, tapi tidak satu pun dari tubuhnya yang terlihat benar-benar hidup.

Andin duduk di samping ranjang sambil menggenggam tangannya. “Ser, kalau butuh apa-apa bilang sama gue, ya. Sama Kirana juga,” kata Andin lirih, tapi tidak ada jawaban dari Sera. Ia masih setia menatap pada langit-langit ruangan itu. Sementara itu, Kirana tampak sibuk dengan ponselnya entah untuk apa. 

Di luar ruangan, Rafa duduk dengan tubuhnya yang bergetar. Abimanyu mencoba untuk memberinya ketenangan dengan merangkul bahunya. Di sampingnya, Hilmy tidak mengatakan apa-apa. Sementara Jonathan yang baru saja datang setelah mendapat telepon dari Abimanyu, berjongkok di depan Rafa sambil menepuk-nepuk pelan punggung tangan milik Rafa, berharap bisa memberinya sedikit ketenangan.

Di tengah dinginnya suasana lorong rumah sakit itu, seorang wanita dengan jubah dokter datang menghampiri mereka.

“Di sini ada keluarga Nona Sera?” tanya dokter itu, pada keempat laki-laki yang duduk di ruang tunggu.

“Saya keluarganya,” kata Rafa setelah ia berdiri cepat.

“Mari, ikut saya.”

Karena Abimanyu tahu kondisi Rafa, ia tidak membiarkan temannya itu pergi menemui dokter sendirian. Sambil merangkul bahunya, Abimanyu menemani Rafa untuk mengikuti langkah dokter wanita itu. Hingga pada satu ruangan yang berada di ujung koridor, mereka dipersilakan unuk masuk dan duduk.

“Sebelumnya, terimakasih karena telah membawa pasien secepatnya ke sini,” kata dokter di hadapan mereka. “Berkat itu, kita bisa segera melakukan visum dan hasilnya keluar dengan maksimal.”

Rafa dan Abimanyu mengangguk bersamaan.

“Dari hasil visum Nona Sera, kami menemukan beberapa luka fisik.” Dokter itu menunjukkan beberapa lembar foto pada Abimanyu dan Rafa. “Satu di area pelipis kanan, satu di tulang pipi kanan, bekas cengkeraman kuat di kedua bahunya, dan satu lagi di belakang kepalanya.”

“Lalu ...” Dokter itu melanjutkan, meski sempat terjeda untuk mengambil napas. “Kami menemukan luka-luka bekas penetrasi paksa. Secara medis ... ini memenuhi kriteria kekerasan seksual.”

Tak ada yang bersuara. Baik Abimanyu ataupun Rafa, keduanya terbungkam. Di bawah meja, Rafa mulai melukai ujung-ujung jari tangannya dengan kukunya sendiri. Menyadari hal itu, Abimanyu menggenggam tangan Rafa untuk menyalurkan kekuatan.

“Saya sudah menghubungi salah satu dokter pskiatri untuk memeriksa kondisi psikologis pasien. Maaf karena kami harus menyampaikan berita seperti ini.”

Setelah mengangguk dan berterimakasih, Abimanyu membawa Rafa untuk keluar dari ruangan itu. Di ruang tunggu, Andin dan Kirana telah bergabung bersama Hilmy dan Jonathan. Mereka menoleh bersamaan ketika Rafa dan Abimanyu mendekat, dan memberi tatapan seolah menuntut untuk segera menyampaikan apa yang baru saja dokter katakan.

Tepat ketika Rafa telah berdiri di dekat Jonathan, ia terduduk sambil meremat kepalanya. Air mata Rafa keluar begitu banyak, tapi ia menahan sekuat tenaga agar tidak ada teriakan dari mulutnya. Jadi untuk menenangkan Rafa, Jonathan merengkuh tubuh bergetar itu.

Melihat itu, Hilmy mendekat pada Abimanyu. “Kenapa, Bim? Sera kenapa?” tanya Hilmy dengan suaranya yang bergetar.

“Dia diperkosa,” kata Abimanyu lirih. Setelah mengatakan itu, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Tidak ada yang mampu bersikap biasa-biasa saja ketika mendapat kabar mengejutkan semacam ini. Hilmy perlahan terduduk di lantai sambil menutup mulutnya. Ia berusaha begitu keras untuk menahan tangisnya, meski matanya telah memerah dan urat-urat pada pelipisnya terlihat sangat jelas. Hilmy seolah lupa bagaimana caranya bernapas.

Di dekat pintu ruang rawat, Kirana dan Andin menangis sambil berpelukan untuk saling menguatkan.

Hingga tak lama, seorang wanita dengan jubah dokter keluar dari ruang raawat Sera. Ia menatap satu per satu teman-teman Sera yang ada di ruang tunggu itu. Dan seolah mengerti perasaan mereka, dokter itu menepuk pelan pundak Andin dan Kirana bergantian.

“Pasien menunjukkan gejala umum trauma berat, disertai disosiasi dan ketidakmampuan merespons lingkungan,” kata dokter itu, ketika semua orang telah terlihat lebih tenang. “Untuk pemulihan jangka panjang dan kebaikan pasien, kami akan memberikan rujukan ke rumah sakit jiwa. Fasilitas pemulihan trauma di sana jauh lebih baik dan memadai.”

Hilmy mengepalkan tangannya. “Nggak ada cara lain, Dok? Dia nggak bisa dirawat di rumah?” katanya, dengan suara bergetar yang begitu ketara.

“Hil,” panggil Abimanyu lirih. Ia menepuk pundak Hilmy pelan. “Kita harus serahkan Sera sama tenaga profesional. Kita semua pengen bantu Sera, tapi kita nggak tahu gimana cara yang bener.”

“Benar,” kata dokter itu. “Melihat bagaimana Nona Sera melukai pergelangan tangannya cukup dalam, kami menarik kesimpulan bahwa dia mencoba untuk mengakhiri hidupnya. Kita semua tidak mau mengambil resiko, kan? Jadi pilihan yang terbaik adalah memindahkan Nona Sera ke rumah sakit jiwa sampai kondisi psikologisnya membaik.”

Rafa masih duduk di lantai rumah sakit tanpa mengatakan apa-apa. Rasanya seperti ia sedang mengalami hal serupa untuk kedua kalinya. Dan sama seperti sebelumnya, Rafa tidak bisa melakukan apa-apa kecuali tunduk pada keadaan.

“Bawa dia ke tempat itu,” Rafa berkata lirih pada Jonathan. “Rasanya kayak lagi ngebuang dia nggak sih, Jo?”

Jonathan menggeleng. “Itu pilihan yang jauh lebih baik daripada nggak ngelakuin apa-apa dan pasrah ngelihat dia kayak gini, Raf.”

Sementara itu, di dalam ruangan, Sera memejamkan matanya. Setetes air mata mengalir melalui pelipisnya, memberikan sedikit rasa hangat di tengah menggigilnya tubuh tak berdaya itu.

***

Sera pasti tidak akan pernah menyangka, bahwa ia kembali ke rumah sakit jiwa Sumber Harapan sebagai salah seorang pasien. Ia sangat mengenal tempat ini. Tempat yang belakangan sering ia kunjungi bersama Rafa, untuk menjadi relawan yang memberikan terapi melukis untuk beberapa pasien.

Hidup memang lucu, ya? Ia akan membawamu ke tempat-tempat atau kejadian-kejadian yang bahkan tidak pernah ada dalam bayanganmu sebelumnya. Sama seperti Sera, yang kini berdiri kaku di sebuah ruang observasi. Ia tidak pernah menyangka bahwa hidup akan membawanya terpuruk sejauh ini. 

Sera berjalan pelan menuju ranjang yang berada di bagian tengah. Di ranjang kiri, seorang perempuan yang lebih tua darinya terus menggumam pelan tanpa henti. Di ranjang kanan, seorang gadis seusianya menangis tersedu memunggungi ranjang milik Sera. Pada ranjang yang berada di tengah-tengah itu, Sera membaringkan tubuhnya dan menatap lurus pada langit-langit ruangan itu.

Ia tidak tahu kemana hidup akan membawanya setelah ini. Dalam lamunannya itu, Sera tiba-tiba mengingat dinginnya es krim yang ia makan di minimarket jalan Mahakam bersama Hilmy. Rasanya, ia masih bisa merasakan tetesan-tetesan es krim itu meleleh pada jemarinya. Lalu, suara lagu cinta dari mulut Hilmy tiba-tiba menggema di kepalanya, bercampur dengan suara tawa teman-temannya di Ruang Temu. Sera tersenyum sebentar, sebelum akhirnya sebuah suara masuk ke dalam pikirannya.

Suara Om Willy.

“Katanya, ibumu nggak keberatan asal dia bisa tinggal di rumah mewah dengan mobil mahal yang berjajar di garasi. Om nggak akan tinggalkan ibumu.”

Napas Sera tersengal.

“Nggak pa-pa, Sera. Kamu bukan anak kecil lagi. Kamu sudah dewasa, sudah waktunya melakukan hal-hal menyenangkan begini.”

Sera menutup mata, hingga kerutan-kerutan muncul begitu jelas di sekitarnya. Suara tamparan menggema di kepalanya. Suara ranjang tua berdecit. Suara menjijikkan Om Willy. Suara resleting terbuka.

Sera menarik rambutnya, dan terus memukul kepalanya.

“Diam! Diam! PERGI!!!”

Lalu, Sera berteriak sangat keras. Teriakan yang mampu merobek hati siapa saja yang mendengarnya.

“Biarkan aku mati!”

Tiga orang perawat masuk ke ruangan itu, memegangi tubuh Sera, mengikat kedua tangan dan kakinya ke tepian ranjang, lalu memberinya suntikan penenang. Dalam hitungan detik, Sera kembali memejamkan matanya, dengan sisa air mata yang menetes membasahi telinga dan terusmengalir menjamah leher belakangnya.

Sera sedang kalah dalam pertarungan hidupnya ....

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Let me be cruel
4786      2637     545     
Inspirational
Menjadi people pleaser itu melelahkan terutama saat kau adalah anak sulung. Terbiasa memendam, terbiasa mengalah, dan terlalu sering bilang iya meski hati sebenarnya ingin menolak. Lara Serina Pratama tahu rasanya. Dikenal sebagai anak baik, tapi tak pernah ditanya apakah ia bahagia menjalaninya. Semua sibuk menerima senyumnya, tak ada yang sadar kalau ia mulai kehilangan dirinya sendiri.
Weak
251      202     1     
Romance
Entah sejak kapan, hal seromantis apapun kadang terasa hambar. Perasaan berdebar yang kurasakan saat pertama kali Dio menggenggam tanganku perlahan berkurang. Aku tidak tahu letak masalahnya, tapi semua hanya tidak sama lagi. Kalau pada akhirnya orang-orang berusaha untuk membuatku menjauh darinya, apa yang harus kulakukan?
Lost & Found Club
363      302     2     
Mystery
Walaupun tidak berniat sama sekali, Windi Permata mau tidak mau harus mengumpulkan formulir pendaftaran ekstrakurikuler yang wajib diikuti oleh semua murid SMA Mentari. Di antara banyaknya pilihan, Windi menuliskan nama Klub Lost & Found, satu-satunya klub yang membuatnya penasaran. Namun, di hari pertamanya mengikuti kegiatan, Windi langsung disuguhi oleh kemisteriusan klub dan para senior ya...
RUANGKASA
42      38     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
Veintiséis (Dua Puluh Enam)
813      449     0     
Romance
Sebuah angka dan guratan takdir mempertemukan Catur dan Allea. Meski dalam keadaan yang tidak terlalu baik, ternyata keduanya pernah memiliki ikrar janji yang sama sama dilupakan.
Arsya (The lost Memory)
711      529     1     
Mystery
"Aku adalah buku dengan halaman yang hilang. Cerita yang tercerai. Dan ironisnya, aku lebih paham dunia ini daripada diriku sendiri." Arsya bangun di rumah sakit tanpa ingatanhanya mimpi tentang seorang wanita yang memanggilnya "Anakku" dan pesan samar untuk mencari kakeknya. Tapi anehnya, ia bisa mendengar isi kepala semua orang termasuk suara yang ingin menghabisinya. Dunia orang dewasa t...
Le Papillon
3113      1229     0     
Romance
Victoria Rawles atau biasa di panggil Tory tidak sabar untuk memulai kehidupan perkuliahannya di Franco University, London. Sejak kecil ia bermimpi untuk bisa belajar seni lukis disana. Menjalani hari-hari di kampus ternyata tidak mudah. Apalagi saat saingan Tory adalah putra-putri dari seorang seniman yang sangat terkenal dan kaya raya. Sampai akhirnya Tory bertemu dengan Juno, senior yang terli...
Jam Terus Berdetak
133      120     1     
Short Story
Dion, seorang pemuda yang berencana menjual lukisannya. Sayangnya, ia terlambat datang ke tempat janji bertemu. Alhasil, ia kembali melangkahkan kaki dengan tangan kosong. Hal tidak terduga justru terjadi pada dirinya. Ketika Dion sudah berpasrah diri dan mengikhlaskan apa yang terjadi pada dirinya.
Nina and The Rivanos
10226      2470     12     
Romance
"Apa yang lebih indah dari cinta? Jawabannya cuma satu: persaudaraan." Di tahun kedua SMA-nya, Nina harus mencari kerja untuk membayar biaya sekolah. Ia sempat kesulitan. Tapi kemudian Raka -cowok yang menyukainya sejak masuk SMA- menyarankannya bekerja di Starlit, start-up yang bergerak di bidang penulisan. Mengikuti saran Raka, Nina pun melamar posisi sebagai penulis part-time. ...
KETIDAKBAHAGIAAN
496      357     0     
Short Story
seorang siswa penyendiri yang terlihat paling cuek namun dia-lah yang paling perhatian. Esa