Udara malam di Ruang Temu hari ini terasa lebih hangat, meski pendingin ruangan dinyalakan pada angka delapan belas derajat. Pada sofa panjang di dekat rak buku, Andin melipat kakinya, sambil memainkan dedotan dalam gelas kopi yang sudah tersisa esnya. Abimanyu duduk tak jauh darinya, memandangi layar laprop yang nyaris tidak tersentuh sejak tadi. Hilmy bersandar pada punggung sofa, sementara Kirana duduk di lantai yang beralaskan karpet sambil memeluk bantal sofa.
Gelas kopi mereka sudah nyaris kosong, Ruang Temu juga telah tutup sejak tiga puluh menit yang lalu, tapi tak satu pun dari mereka yang berniat untuk beranjak dari sana.
“Terus Jonathan gimana, Bi?” tanya Andin setelah meletakkan gelas kopinya di atas meja.
“Dia di rumah aku sama mamanya, paling nggak sampai Jo dapet kontrakan yang sesuai budget dia. Untungnya mama papaku juga nggak keberatan.”
“Ngomong-ngomong soal Jonathan, gue bener-bener minta maaf, Bim,” ucap Kirana lirih. “Kayaknya semua ini berantakan gara-gara gue, deh. Kalau aja malam itu gue nggak setuju sama ajakan Bang Ipul—”
“Nggak ada siapa yang salah atau siapa yang bener, Ran,” sela Andin. “Kita tuh selama ini cuma terlalu banyak nyimpen rahasia. Nggak mau cerita karena nggak mau membebani yang lain. Nggak mau cerita karena malu.”
“Padahal temen tuh ada emang buat berbagi beban, kan?” lanjut Kirana. “Terus kenapa harus malu sama hidup kita? Kejadian-kejadian yang ada dalam hidup kita semua yang ada di sini, dalam hidup Sera, Rafa, bahkan Jonathan, itu ada di luar kendali kita.”
“Gue setuju,” kata Hilmy. “Harusnya dari awal kita saling terbuka soal hidup masing-masing.”
Hilmy terkekeh sebentar. “Lucu, ya? Awalnya gue nggak mau Abimanyu nyorot kehidupan pribadi kita. Tapi sekarang, gue justru pengen bilang makasih, karena dia udah kasih kita ruang buat saling terbuka.”
“Rafa gimana, Hil?” tanya Abimanyu setelah menutup layar laptopnya.
“Gue belum tahu kabarnya, Bim. Tapi gue harus minta maaf sama dia. Gue tahu malam itu dia lagi nggak stabil. Gue juga mau minta maaf karena udah berbagi soal hidup dia ke kalian semua.”
“Gue salah nggak, sih?” tanya Hilmy setelah menghela napas panjang. “Tiba-tiba gue takut Rafa bakalan benci sama gue karena udah ngasih tahu kalian soal cerita yang udah mati-matian dia simpen.”
“Lo udah ngelakuin hal yang bener,” kata Kirana sambil menepuk pelan lutut Hilmy. “Rafa harus belajar membuka diri, kalau dia mau beneran sembuh.”
“Terus Sera gimana? Tumben dia nggak ikut kesini?”
Tepat setelah Andin melontarkan pertanyaan itu, ponsel milik Hilmy berdering. Lalu setelah melihat layar ponselnya, Hilmy tersenyum begitu lebar sambil menunjukkan layar itu pada teman-temannya satu per satu.
“Halo?” Hilmy mengangkat telepon itu dengan nada riang yang dibuat-buat. Namun, meski panggilan itu telah berjalan selama lima belas detik, Sera tidak mengatakan apa-apa di seberang sana. “Lah, kepencet apa ya?”
“Udah tidur kali dia,” kata Andin. “Terus HP-nya kesenggol tangan.”
“Masa, sih?” Hilmy menekan tombol pengeras suaranya. “Halo? Yuhuu? Seraaa? Spaaadaaaa?”
Tak lama, terdengar suara gemeresak. Suara seperti isak tertahan terdengar jelas, lalu Sera menangis kencang dan berteriak.
“Hilmy!”
Itu adalah satu-satunya suara yang terdengar dari sambungan telepon itu. Sera memanggil Hilmy dengan suara nyaring yang memilukan. Ia meraung tanpa ada yang tahu apa yang sedang terjadi.
“Ser? Halo? Lo kenapa? Lo di mana?” Hilmy berdiri cepat. “SERA! Jawab gue!”
Lalu, sambungan telepon itu mati. Mereka semua yang ada di Ruang Temu, berjalan cepat menuju mobil milik Kirana tanpa aba-aba, seolah langkah mereka memiliki satu komando yang sama.
“Lo tahu rumahnya, Hil?” tanya Kirana cemas, sementara Hilmy mengangguk cepat.
Kirana melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, hingga tak butuh waktu lama untuk mereka sampai di depan rumah Sera. Setelah bergegas turun, Abimanyu dan Hilmy mencoba untuk mendobrak pintu rumah itu bergantian.
Namun, meski telah berkeliling ke seluruh rumah, tidak seorang pun bisa menemukan Sera.
“Kita ke rumah Rafa,” kata Hilmy, lalu mereka kembali memasuki mobil Kirana.
Sampai di rumah Rafa, seorang wanita paruh baya membukakan pintu untuk mereka. Dan tanpa membuang waktu, mereka menanyakan keberadaan Rafa.
Tak jauh dari mereka, Rafa berdiri dengan hoodie hitam dan rambutnya yang berantakan. “Apa?” tanya Rafa ketus, ketika ia melihat hampir seluruh temannya mendatangi rumahnya bersamaan nyaris tengah malam begini.
“Lo tahu Sera dimana?” tanya Hilmy tanpa basa-basi.
Rafa menggeleng, lalu rautnya berubah cemas. “Dia kenapa?”
“Tadi dia telepon Hilmy sambil teriak-teriak dan nangis. Kita udah ke rumahnya, tapi kosong.”
Rafa tampak berpikir sejenak. “Rumah ibunya,” katanya. Lalu, mereka semua segera berjalan cepat menuju mobil Kirana, termasuk Rafa.
“Yang dia tempati selama ini rumah siapa, Raf?” tanya Andin di tengah perjalanan mereka menuju rumah ibu Sera.
“Rumah neneknya. Waktu neneknya meninggal, dia sempet balik ke rumah ibunya. Sampai pas kita masuk kuliah, dia mutusin buat balik ke rumah itu dan tinggal sendirian. Ibunya sering ganti pasangan, dan Sera muak harus ngelihat itu.”
Setelah penjelasan singkat dari Rafa, tidak ada lagi yang berbicara. Kirana fokus pada jalanan yang berada di hadapannya, Andin menremas ujung jaketnya di samping kemudi, sementara ketiga laki-laki yang berada di bangku belakang hanya menghela napas berkali-kali, sambil berdoa semoga tidak ada hal buruk yang menimpa Sera.
“Lo yakin rumahnya yang ini?” tanya Kirana, ketika ia memarkirkan mobilnya di luar gerbang sebuah rumah yang begitu sepi. Kemudian, Rafa mengiyakan pertanyaan itu.
Mereka turun bersama-sama, dan mengetuk pintu rumah itu berkali-kali. Namun, tidak ada jawaban.
“Sera! Ini gue Hilmy! Lo di dalam, kan?!” teriak Hilmy sambil terus menggedor pintu di hadapannya.
“Kayaknya dia juga nggak di sini, deh,” gumam Kirana lirih.
Mereka hampir saja menyerah dan beranjak untuk pulang, sebelum akhirnya Abimanyu mendapati motor Sera terparkir di samping rumah itu. “Dia di sini!” pekik Abimanyu.
“Dobrak aja,” kata Rafa, yang kemudian dijawab anggukan oleh Hilmy.
Berbeda dengan sebelumnya, kali ini ada tiga orang yang mendobrak pintu itu bersamaan. Hingga dengan sekali hantaman, pintu itu berhasil terbuka paksa.
“Sera! Lo di mana?!” teriak Hilmy.
Pada saat itu, isakan terdengar lebih jelas. Mereka berjalan ke arah dapur, dan menemukan Sera yang tergeletak dengan banyak darah dari pergelangan tangannya. Lebih dari itu, Sera tidak mengenakan pakaian sehelai pun.
Rafa menahan napas. Apa yang ada di depan matanya, mengingatkannya pada masa lalu yang seharusnya sudah ia kubur. Tidak hanya Rafa, semua orang ikut membeku. Hingga akhirnya, teriakan Andin mengembalikan kesadaran mereka.
“Jangan ada yang ngelihat dia!” seru Andin.
Mendengar itu, Rafa, Hilmy, dan Abimanyu mengalihkan pandangan mereka dari Sera, dan membalikkan tubuh mereka. Sementara Kirana, berlari menuju salah satu kamar yang pintunya terbuka lebar dan mengambil sebuah selimut dari sana.
Ia berlari kembali ke dapur untuk menutupi tubuh telanjang Sera. “Bantuin kita bawa dia ke mobil,” kata Kirana.
Hilmy mendekat dan berniat untul mengangkat tubuh Sera, tapi gadis itu justru berteriak histeris.
“Ser, ini gue Hilmy!”
Karena Sera terus berteriak histeris, Rafa ikut mendekat untuk mencoba menenangkannya. Namun sama seperti sebelumnya, Sera masih berteriak ketakutan sambil memukul kepala dengan kedua tangannya. Ia tidak mau didekati Hilmy, Rafa, tidak pula Abimanyu.
“Kita harus bawa dia ke rumah sakit,” sela Abimanyu. “Ambilin dia baju, Din.”
Andin meninggalkan dapur dan berlari menuju kamar-kamar yang berada di rumah itu, untuk mengambil baju. Baju apa saja, yang bisa menutupi tubuh Sera.
“PERGI!” pekik Sera, ketika ia melihat Hilmy, Rafa dan Abimanyu masih berada di dapur.
Hingga akhirnya, tubuh Sera terkulai lemas dan dunia kembali membungkam segalanya.