Abimanyu menghentikan motornya tepat di depan pintu gerbang rumah Jonathan, sebab ia sempat ragu-ragu untuk masuk ke dalam sana. Namun, setelah mengesampingkan segala perasaannya sendiri, ia memutuskan untuk tetap masuk ke pada halaman rumah itu. Ia harus meminta maaf pada sahabatnya itu, dan memperbaiki hubungan pertemanan mereka.
Ketika melangkah menuju beranda rumah, Abimanyu mendapati bahwa pintu rumah itu sedikit terbuka. Ia sudah mencoba untuk menekan bel, tapi tidak ada yang keluar dari dalam sana. Jadi, dengan gerakan ragu, Abimanyu mencoba untuk mendorong perlahan pintu yang berada tept di hadapannya itu. Dan ketika akhirnya ia bisa melihat dengan leluasa ke dalam rumah, ia hanya menemukan ruang tamu yang kosong dan sepi.
“Jo?” panggil Abimanyu pelan. “Tante?”
Tidak ada jawaban di sana, meski Abimanyu telah mengulang panggilannya.
Ia baru saja berniat untuk berbalik dan pergi dari sana, ketika telinganya menangkap suara teriakan seorang perempuan dari dalam rumah. Jadi tanpa berpikir panjang, Abimanyu berjalan cepat untuk masuk ke rumah Jonathan.
“Apa kubilang?! Kamu terlalu memanjakan anak itu!”
Tubuh Abimanyu menegang. Ia jelas mengenali suara yang baru saja didengar.
“Mana dia sekarang?! Bukannya cari cara untuk memperbaiki kesalahannya, dia malah keluyuran nggak jelas!”
Abimanyu mempercepat langkahnya sambil terus mencari darimana suara barusan berasal. Lalu ketika ia menginjakkan kakinya di dapur, ia bisa melihat dengan jelas ayah Jonathan sedang menarik rambut istrinya, sambil memberinya tamparan keras.
“Tante!” Abimanyu menubruk laki-laki itu tanpa aba-apa.
Dorongan Abimanyu cukup kuat untuk membuatnya limbung hingga ia melepaskan tangannya dari rambut istrinya.
“Udah cukup, Om. Om pengen Tante mati dengan cara begini?!” Abimanyu menatap nyalang laki-laki yang kini tampak begitu marah itu.
“Apa-apaan kamu?! Kenapa kamu masuk ke rumah saya seenaknya?!”
Alih-alih menjawab, Abimanyu justru menunduk untuk membantu ibu Jonathan bangkit dari lantai dapur. “Kalau Om nggak mau berhenti nyiksa Tante, saya bakalan telepon polisi!”
Laki-laki itu terkekeh, lalu ia menatap Abimanyu tajam. “Anak kemarin sore kayak kamu mau coba-coba mengancam saya?!”
“Ini bukan sekedar ancaman,” kata Abimanyu sambil membalas tatapan laki-laki di hadapannya tak kalah nyalang. “Om pikir saya nggak berani melaporkan soal ini?”
Mata mereka bertemu, saling menatap seperti dua serigala yang siap menyerang kapan saja. Namun, akhirnya laki-laki itu menyerah. Ia keluar meninggalkan rumah itu dengan umpatan kasarnya. Lalu, ia membanting pintu depan dengan begitu keras.
Suara debaman pintu itu menyisakan sepi di dalam rumah itu. Abimanyu memapah ibu Jonathan yang kini menangis, dengan wajahnya yang babak-belur. Tidak ada yang bisa Abimanyu lakukan, sebab ibu Jonathan menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Jadi ia mengobati luka-luka itu, dengan alkohol dan obat seadanya.
Sementara itu, Jonathan kini sedang duduk terpekur di sudut ruang tamu Rumah Aman milik Pak Jatmiko. Ia telah berada di sana berjam-jam, dan belum mau berbicara dengan siapapun. Pak Jatmiko dan yang lainnya, tidak mau memaksa Jonathan untuk berbicara, sebab mereka tahu, Jonathan sedang tidak dalam keadaan baik.
Hingga ketika Dika duduk di sampingnya, Jonathan mulai menunjukkan reaksinya. Ia menoleh pada Dika dengan matanya yang merah.
“Mas Jo kenapa?” tanya Dika pelan. “Kalau mau cerita, cerita aja. Saya nggak keberatan meski ceritanya panjang.”
“Gue ... gue ngebayangin wajah bokap gue tiap kali tidur. Gue ngebayangin tangan gue ada di leher dia. Gue selalu ngebayangin bunuh dia.”
Jonathan mengatakan itu dengan suaranya yang bergetar. Siapapun yang berada di ruangan itu pasti tahu, bahwa kini Jonathan sedang sangat rapuh. Bahan Alfan, laki-laki yang dikenal dingin pada sekitarnya, melangkahkan kakinya untuk duduk di hadapan Jonathan, ketika ia mendengar ucapan barusan.
“Gue bener-bener pengen dia mati,” kata Jonathan lagi dengan pandangan kosongnya. “Gue beneran pengen dia lenyap dari bumi, biar nyokap nggak menderita lagi.”
“Dan lo pikir, setelah dia mati lo bakalan lega?” tanya Alfan dengan suara yang tak kalah datar dari milik Jonathan. Ia duduk lebih dekat, lalu menepuk pelan lutut Jonathan. “Lo sayang sama nyokap lo, kan?”
Jonathan mengangguk, lalu cepat-cepat menyeka air matanya yang baru saja menetes.
“Kalau lo beneran bunuh dia, nyokap lo nggak Cuma kehilangan suaminya, Jo. Dia juga bakalan kehilangan anaknya— kehilangan lo. Dan itu nggak akan selesai sampai disitu.”
Jo menoleh pelan pada Alfan.
“Orang-orang bakalan mulai ngomongin dia dan keluarganya. Di belakangnya, terang-terangan di depannya, di warung, bahkan di masjid. Mereka bakalan bilang, ‘pantes anaknya pembunuh, mamanya begitu’, tanpa punya konteks “begitu” yang mereka maksud itu apa.”
“Selama ini tujuan gue cuma pengen bawa Mama pergi,” kata Jonathan lirih.
“Nah.” Alfan menepuk bahunya pelan. “Itu. Itu satu-satunya hal paling bener yang bisa lo lakuin sekarang. Baea dia peergi, dan kasih dia hidup baru.”
“Gimana kalau bokap gue nyariin nyokap? Gimana kalau dia bisa nemuin tempat tinggal baru kita? Dia cuma bakalan nyiksa nyokap lebih keras lagi.”
Alfan menggeleng. “Nggak akan terjadi kalau lo laporin ke polisi. Kalian punya bukti kuat. Ada lo sebagai saksi, nyokap lo bisa minta visum. Itu bakalan jadi proses yang nggak sebentar, tapi worth to try.”
“Gue emang bajingan, Jo,” kata Alfan lagi. “Tapi gue nggak mau lo jadi kayak gue. Kalau ditanya apakah gue nyesel udah bunuh bokap? Jawabannya nggak, karena dia nggak pantes hidup. Tapi apakah masalah gue selesai? Nggak. Hidup nyokap gue nyatanya masih menderita karena harus kerja jauh ke luar negeri dan harus denger gunjingan orang seumur hidup tentang gue.”
“Kalau lo biarin tangan lo kotor karena ngebunuh dia, dia bakalan menang dan nertawain lo dari atas sana.”
Pak Jatmiko dan penghuni Rumah Aman lainnya yang mendengar seluruh percakapan itu dari ruang tengah, bisa bernapas lega. Selain karena menyadari bahwa Alfan akhirnya menemukan kesembuhan dirinya, kini ia bahkan bisa memberikan petuah-petuah yang menghangatkan hati. Alfan memang berbuat salah dan itu tidak dapat dibenarkan, tapi ia mampu mencegah seseorang terjerumus ke lubang yang sama dengannya.
***
Pukul tujuh malam, Jonathan memasuki halaman rumahnya, dan mendapati rumah itu begitu gelap. Ia segera berlari masuk, dan mencari keberadaan mamanya di setiap sudut rumah. Namun, yang ia temukan hanya pecahan piring yang masih berserakan di dapur, bekas darah yang mulai mengering, dan sebuah ikat pinggang yang tergeletak di lantai. Semua kekacauan itu membuat napas Jonathan tercekat.
“Ma! Ayo kita pergi dari sini!” teriaknya, tapi yang menjawabnya hanya keheningan yang menyesakkan.
Ketika itu, Jonathan merasa bahunya kembali nyeri, seolah tubuhnya sedang mengingat semua pukulan dan amarah yang pernah memenuhi ruangan ini. Ia duduk meringkuk di lantai dapur, persis anak kecil yang tidak tahu kemana harus berlari. Ia membenamkan kepalanya pada kedua tangan yang bertumpu pada lutut. Rumah ini sunyi. Jonathan tidak bisa mendengar apa-apa, kecuali suara nyaring dari dalam kepalanya.
Setelah bermenit-menit berada di posisi yang sama, Jonathan akhirnya mengeluarkan ponsel dari kantong celananya. Benda pipih itu ia biarkan mati sejak sore tadi. Lalu, ia memutuskan untuk menyalakan ponselnya. Tepat ketika layarnya menyala terang, ada satu pesan masuk dari Abimanyu.
[Sorry gue lancang. Tapi nyokap lo sekarang ada di rumah gue. Dia aman.]
Jonathan menutup matanya, dan meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Ia mengisi setiap sudut paru-parunya dan mencoba untuk menetralkan napasnya. Tangannya yang tadi gemetar berangsur membaik. Malam ini ia bisa bernapas lega.
Ia mendapati dirinya masih meringkuk di lantai dapur, ketika suara adzan subuh mulai menggema dari masjid kecil dua blok dari rumahnya. Udara yang masuk dari celah jendela terasa lebih dingin dari biasanya. Di sekelilingnya, sisa kekacauan kemarin masih sama persis.
Dengan gerak lambat, ia berdiri dan berjalan menuju kamarnya. Jonathan membuka lemari, dan mulai memasukkan beberapa baju ke dalam ranselnya. Di sudut lemari, Jonathan menemukan foto keluarganya. Ketika mengambil foto itu, ia masih duduk di bangku SMP. Ia tersenyum manis di tengah ayah dan ibunya. Senyum manis yang tidak pernah berarti apa-apa.
Ia menatap foto itu cukup lama, sebelum akhirnya kembali membiarkan foto itu teronggok di sudut lemari. Lalu, ia menutup resleting ranselnya, dan keluar dari rumah itu dengan derap langkah yang begitu pasti.
Pada akhirnya, ia meninggalkan rumah masa kecilnya.
Rumah yang tidak pernah memberikan rasa aman dan nyaman untuknya.
Jonathan tahu, memulai kehidupan yang baru tidak akan menjanjikannya sebuah ketenangan. Namun, setidaknya ia tidak lagi memilih untuk diam.