“Kalau croissant ini mahasiswa seni, dia pasti sering dapet nilai A,” komentar Sera sambil mengunyah croissant dengan isian cokelat yang baru saja disajikan Andin di Ruang Temu pagi itu. “Lapisan-lapisannya rapi, detail, dan aromanya bikin siapa aja yang ada di ruangan ini tuh jadi laper.”
Kirana berdecak sambil menggeleng berkali-kali. “Lo emang lagi laper aja, Ser. Gue setuju croissant Andin dan sepupunya emang nggak pernah gagal, tapi lo tuh tempe dicelupin ke selai coklat juga bakalan doyan!”
Tawa mereka pecah bersamaan. Udara pagi ini memang sangat cocok untuk menikmati segelas kopi dan sepotong croissant. Karena itu, Andin mengundang semua temannya untuk datang ke Ruang Temu pagi ini. Ia ingin memberitahukan pada mereka, bahwa kafe yang sudah lama ia persiapkan ini, akhirnya akan resmi dibuka.
“Eh, ngomong-ngomong, soal ring yang lo omongin sama kita waktu itu gimana, Ran? Lo udah beli kacamatanya, kan?” tanya Andin.
“Hmmm ...” Kirana menyeruput kopinya sebentar. “Udah, tapi kayaknya kita nggak usah ke sana, deh.”
“Yah ... kenapa? Gue udah sempet bilang sama Rafa, dan dia nggak keberatan kalau emang itu bakalan ngebantu buat dokumenter Abim.”
“Gue takut, ah. Lagian belum tentu juga kita bisa dapat narasumber, kan? Mending yang pasti-pasti aja."
“Lo yakin nggak jadi?” tanya Andin. “Terus kacamata yang udah lo beli gimana?”
“Yakin seribu persen! Soal kacamata, nanti gue jual lagi deh di grup jual-beli.”
“Yeuuu, dasar labil! Untung gue belum kasih tahu Abim soal ring itu! Terus lo mau cari narasumber lain?”
Kirana mengangguk. “Nanti gue coba cari-cari. Kalau oke, gue kabarin Abim.”
Tepat setelah Kirana mengatakan itu, keempat laki-laki yang mereka tunggu akhirnya datang bersamaan. Dari dalam Ruang Temu, suara tawa Rafa samar-samar terdengar. Sepertinya Hilmy lagi-lagi mengeluarkan candaan recehnya. Dari mereka bertujuh, satu-satunya manusia yang bisa tertawa kencang dan menerima candaan bapak-bapak ala Hilmy hanyalah Rafa. Tidak ada lagi selain dia.
Dan di tengah kekehan Rafa yang semakin jelas ketika Jonathan mendorong pintu Ruang Temu, diam-diam Sera bersyukur sebab salah satu sahabatnya itu kini tampak baik-baik saja.
“Pagi, Chef!” kata Hilmy dengan suara keras, sambil menempelkan dua jarinya pada pelipis.
Mendengar sapaan Hilmy, Andin jelas terkekeh. “Chef apaan? Gue cuma manggang, yang bikin resepnya tetep sepupu gue,” katanya.
Ketika Hilmy duduk di seberang Sera, Rafa justru mengambil tempat tepat si samping gadis itu. Sementara Abimanyu duduk di samping Jonathan, sambil merebahkan kepala pada punggung sofa.
“Mau bikin pengumuman apa, sih, Din?” tanya Rafa. “Padahal tinggal ngomong di grup chat aja, ngapain kita pake harus datang ke sini?”
“Tau, tuh! Mana gue baru tidur jam 4 subuh tadi, gara-gara nge-game sama Hilmy!”
“Itu sih salah lo, Jo!” Abimanyu memukul pelan bahu Jonathan setelah menegakkan tubuhnya. “Jangan nge-bully pacar gue lah, lo pada!”
Mendengar itu, para gadis tertawa pelan. Keempat laki-laki yang kini berada di ruangan yang sama dengan mereka, persis seperti anak TK yang sedang berdebat.
“Oke, oke. Sekarang dengerin gue!” Kata Sera, sambil berepuk tangan berkali-kali. “Gue ... akhirnya ... BAKALAN BUKA KAFE INI SECARA RESMI!"
“Lah, bukannya udah buka?” tanya Rafa, yang kemudian disambut anggukan oleh Jonathan dan Hilmy. Kini mereka bertiga kompak menatap ke arah Andin.
“Kalian emang nggak perhatian banget sama gue, ya?!” protes Andin. “Jelas-jelas yang bisa keluar-masuk nih kafe cuma kalian, buat nyobain menu-menu yang lagi gue bikin! Tau ah, kesel gue!”
“Mati kita,” bisik Jonathan, sementara Hilmy dan Rafa kompak mengibaskan tangan mereka tepat di depan leher.
“Tau dong, Din,” sahut Hilmy pada akhirnya. Ia mencoba untuk membujuk Andin. “Jadi kapan bukanya? Mau bikin acara kayak gimana? Mau gue bikinin selebaran terus gue sebar ke seluruh penjuru kampus, nggak?”
“Seluruh penjuru Jakarta juga gue jabanin, Din,” kata Rafa, kemudian Jonathan dan Hilmy mengangguk bersamaan.
“Tau, ah! Jelasin, Beb. Capek aku ngomong sama mereka,” kata Andin pada Abimanyu, lalu ia beranjak menuju mesin espresso.
“Ngambek beneran dia Bim?” bisik Hilmy.
“Kalau ngambek beneran, dia nggak akan bikinin kita minuman.” Abimanyu meletakkan ponsel yang sedari tadi ia pegang. “Jadi, Andin mau bikin opening-nya lusa. Pas banget malam Minggu kan itu. Nah, dia mau Rafa sama Hilmy nyanyi sambil diiringin gitar Jonathan. Gue bantuin dokumentasi aja, sih.”
“Sera sama Kirana juga dateng, kan? Andin udah kasih tahu kalian duluan kan, pasti?” lanjut Abimanyu.
“Hah?!” pekik Rafa tepat ketika Kirana hendak membuka mulutnya. “Ini udah Jumat, Bim! Nggak sekalian kalian ngabarinnya besok pagi aja biar kita makin kelabakan?”
“Bentar, bentar, Raf,” putus Hilmy. “Bukan saatnya lo panik. Cepetan buka playlist. Kita harus nentuin mau nyanyi apa, Coy!”
Andin terkekeh dari balik mesin espressonya. Hingga tak lama, ia kembali dengan empat gelas kopi di atas nampan.
“Sorry dadakan,” kata Andin. “Tadinya mau Sabtu depan, tapi ternyata Selasa nanti sepupu gue mau balik ke Aussie. Mau ambil sisa barang yang masih di sana, katanya. Jadi besok aja kita opening, takutnya kelamaan. Sebenernya rencana ini juga udah dari dua hari lalu, tapi gue lupa ngabarin kalian.”
“Tapi kalian pada bisa, kan?” tanya Abimanyu.
“Yah, gue besok ada acara makan malem keluarga,” sahut Kirana dengan wajah sedihnya. “Kalau gue batalin, nyokap pasti marah-marah. Gimana, dong?”
“It’s okay, Ran. Family come first. Tapi kalau misal sebelum jam 11 acara lo udah kelar, dateng ke sini, ya? Please?” kata Andin, lalu dijawab anggukan yang begitu antusias oleh Kirana.
“Udah, kan? Kirana doang yang nggak bisa kan ini?”
Jonathan menggaruk pelipisnya. “Besok gue ada janji, Din. Kayaknya bakalan sampe malem banget, deh. Nggak bisa dibatalin karena penting banget,” katanya ragu.
Sementara di hadapan Jonathan, Andin memicing. “Kalian berdua diem-diem mau lamaran, ya?!”
“SEMBARANGAN!”
Jonathan dan Kirana mengatakan hal itu bersamaan, mengundang tawa dari semua temannya.
Di tengah candaan dan obrolan semua orang yang ada di meja itu, Kirana mengaduk kopinya sambil memandang pada es batu yang berputar-putar di dalam gelas. Ia tidak ingin membohongi Andin, sungguh. Namun, ia tidak bisa mengatakan rencana yang sebenarnya. Bahwa ia telah memiliki janji dengan Bang Ipul. Mahasiswa elektro semester 13, yang terkenal biang masalah di kampus.
Kemarin, laki-laki itu mendekati Kirana ketika ia baru saja membuka pintu mobilnya. “Ada waktu buat ngobrol sebentar? Gue ada info bagus,” begitu katanya.
Lalu, Kirana membiarkan Bang Ipul untuk masuk ke mobilnya, dan duduk di bangku samping kemudi. Untuk beberapa saat, tidak ada yang keluar dari mulut mereka. Bang Ipul masih menatap keluar jendela mobil, sementara Kirana menunggu apa yang akan dikatakan laki-laki itu dengan perasaan yang benar-benar cemas.
“Gue udah dengar soal dokumenter yang lagi lo kerjain bareng temen-temen lo itu,” kata Bang Ipul pada akhirnya.
“Then? Lo mau masuk dokumenter itu, Bang?”
Bang Ipul menggeleng. “Gue ada narasumber bagus,” katanya. “Dia salah satu jagoan di arena tinju yang sering gue datengin.”
“Yang di Senayan itu, Bang?”
“Bukan. Lo nggak akan pernah denger soal arena yang ini.”
Kirana membisu. Ia tidak tahu apa tujuan Bang Ipul memberinya informasi semacam ini, tapi di tengah keterdiaman itu, Kirana merasa bahwa mendapat narasumber dari tempat semacam itu sepertinya akan bagus untuk dokumenter Abimanyu.
“Mau, nggak?” desak Bang Ipul, sebab Kirana terlalu lama diam.
“Gue tanya sama yang lainnya dulu, Bang. Mau gimanapun, kita ngerjain ini kan bareng-bareng. Gue nggak mau ambil keputusan sendiri.”
“Nah, itu dia masalahnya, Kir. Narasumber yang ini dari kampus kita juga. Dia mahasiswa di sini. Katanya dia cuma mau lo yang wawancara langsung. Masalah hasil rekamannya mau lo serahin ke Abimanyu atau nggak, itu nanti lo sendiri yang tentuin.”
“Kenapa gitu, Bang? Kenapa maunya cuma sama gue?”
Bang Ipul mengendikkan bahunya. “Katanya cuma lo yang kelihatan bisa dipercaya. Tenang aja, aman kok. Nanti gue temenin. Nggak di tempat sepi juga." Lalu tanpa menunggu persetujuan Kirana, ia menyodorkan ponselnya. “Tulis nomor lo di sini, nanti gue kirimin alamatnya. Inget, kalau lo mau ketemu narasumber ini, jangan kasih tahu yang lainnya. Kalau lo dateng rame-rame sama mereka, gue jamin narasumber itu bakalan batalin niatnya buat kasih lo info bagus.”
Suara tawa Hilmy yang begitu kencang di Ruang Temu, menyadarkan Kirana dari lamunannya. Sambil menatap temannya satu per satu, Kirana kembali menimbang. Apakah menemui narasumber yang Bang Ipul maksud, adalah keputusan yang baik?