Video yang ditampilkan pada layar laptop Abimanyu bergoyang selama beberapa detik.
[Dokumen 22 Mei]
“Aku adalah anak dari orang tua yang bercerai. Waktu kecil, aku percaya kalau cinta bisa tumbuh selamanya dengan orang yang sama. Tapi, ternyata aku salah. Untuk menemukan ‘selamanya’ itu, ternyata cinta aja nggak cukup.”
Andin menghela napas panjang, lalu tersenyum. “Dulu aku pernah dengar kalau cinta bisa mengalahkan segalanya. Tapi lagi-lagi, apa yang aku dengar adalah satu hal yang salah. Cinta Papa dan Mama sama besarnya, aku tahu persis soal itu karena aku tumbuh dengan cinta yang begitu penuh, dalam keluarga kami. Tapi, sepertinya mereka lupa, kalau ada banyak hal di dunia ini yang nggak bisa dipaksakan. Cinta nggak bisa mengalahkan takdir Tuhan, nggak peduli seberapa besarnya.”
“Mama dan Papa adalah dua orang yang berbeda kepercayaan. Mereka berdoa dan menyembah Tuhan dengan cara yang berbeda. Sampai usia pernikahan yang ke empat belas, mereka masih yakin kalau perbedaan mereka bukan suatu hal yang besar. Mereka masih yakin, kalau doa dari sepasang tangan yang bertaut dan sepasang tangan yang menengadah akan cukup untuk mempertahankan cinta yang mereka punya.”
Untuk beberapa saat, Andin terdiam. Ia menunduk sambil menggigit bibirnya. Hingga setelah satu helaan napas panjang, ia kembali menatap pada lensa kamera.
“Mereka akhirnya milih untuk menyerah. Mereka tunduk pada takdir yang sejak awal memang nggak pernah berpihak sama mereka. Di usia pernikahan mereka yang ke lima belas, seminggu sebelum aku ulang tahun yang ke sepuluh, Mama dan Papa milih untuk cerai.”
“Mau gimanapun baiknya, nggak ada perpisahan yang menyenangkan. Semua perpisahan akan menyakitkan, terutama untuk anak-anak mereka. Aku dan kakakku hidup berpindah-pindah. Dari rumah Mama, ke rumah Papa. Seminggu di rumah Mama, seminggu di rumah Papa. Kami berdua belajar menerima orang-orang baru. Pasangan baru Mama Papa, anak-anak yang mereka bawa, anak-anak yang lahir dari pernikahan baru itu, dan keluarga besar yang baru.”
Andin tampak mengedipkan matanya berkali-kali, seolah menahan air matanya agar tidak keluar begitu saja.
“Setiap perpisahan meninggalkan luka. Aku nggak bercanda waktu aku bilang kalau aku butuh pertolongan untuk diriku sendiri. Karena aku pun, punya luka dalam diriku. Meskipun sekarang aku udah jauh lebih baik, tapi rasanya masih menyedihkan kalau aku inget soal kedua orang tuaku.”
Lagi-lagi, Andin menghela napas panjang. “Aku seneng waktu pertama kali Abimanyu bilang kalau dia mau bikin dokumenter soal ‘Luka Dalam Diri’, karena aku berharap, dari dokumenter ini kita semua akan sama-sama belajar. Belajar menguraikan luka dan melawan ketakutan. Belajar merangkul kesedihan, dan belajar tertawa untuk hal-hal sederhana ....”
****
Setelah melepas kedua airpods dari telinga, Abimanyu mengalihkan pandangannya pada Andin yang sedang berkutat dengan jurnal dan tumpukan-tumpukan catatannya. Abimanyu ingin membingkai wajah Andin dalam ingatan selama-lamanya. Ia ingin melihat wajah itu sangat lama, hingga waktu mengalah dan membiarkan mereka untuk tetap bersama. Namun, tidak semua ingin bisa didapatkan— Abimanyu tahu persis soal itu.
Abimanyu hidup dengan keyakinan bahwa cinta akan menemukan jalannya. Tak peduli seberapa jauh jaraknya, atau seberapa lama waktu tempuhnya. Ia seolah lupa bahwa tidak semua jalan bisa dilalui. Beberapa terlalu terlalu rumit dan terjal, hingga memaksa untuk berhenti sebelum sampai pada tujuan.
Ia mencintai Andin dengan cara yang tenang, tanpa banyak bicara soal masa depan. Sebab ia sendiri tahu, masa depan mungkin tidak pernah memiliki ruang untuk mereka berdua. Terkadang, diam-diam Abimanyu bertanya, mengapa harus Andin? Diantara jutaan atau bahkan milyaran manusia di bumi, mengapa cintanya justru jatuh pada orang yang tidak bisa ia rengkuh sampai akhir? Namun, seiring berjalannya waktu Abimanyu belajar, bahwa mencintai bisa berarti melepaskan. Ia tahu betul, bahwa suatu hari dirinya dan Andin harus berhenti. Berhenti menempuh perjalanan yang bukan ditakdirkan untuk mereka.
Hanya saja, tidak sekarang. Belum. Mereka masih ingin bergandengan tangan di tengah waktu yang terus mendesak. Dan di dalam perjalanan tanpa kepastian itu, Abimanyu tidak pernah berhenti berdoa. Tidak, ia tidak berdoa untuk memiliki Andin selamanya, sebab itu berarti ia harus merebut Andin dari Tuhan-nya. Abimanyu hanya berdoa agar dengan siapapun Andin nantinya, semoga laki-laki itu memiliki cinta yang lebih besar dari milik Abimanyu untuk Andin.
Dalam keterdiaman Abimanyu, Andin menyadari bahwa laki-laki itu telah memperhatikannya begitu lama. Jadi, ia membalas tatapan Abimanyu. Lalu karena Abimanyu tidak mengatakan apa-apa meski Andi telah memberikan tatapan penuh tanya, ia memutuskan untuk mengetuk pelan meja yang mereka tempati.
“Kenapa ngelihatin aku kayak gitu?” Andin bertanya dengan suara yang benar-benar lirih hingga nyaris seperti bisikan, sebab kini mereka sedang berada di perpustakaan
Namun, alih-alih menjawab pertanyaan Andin, Abimanyu justru tersenyum. Lalu, ia menggeleng pelan setelahnya.
“Kamu habis nonton apa, sih?” tanya Andin lagi. “Potongan-potongan wawancara?”
Abimanyu mengangguk, lalu memajukan tubuhnya. Ia bersuara tak kalah lirih dari Andin. “Aku habis nonton ulang rekaman kamu yang kemarin itu. Lagi ngecek ada noise yang ganggu atau nggak.”
“Terus? Aman?”
“Aman,” sahut Abimanyu singkat. “Hati aku yang nggak aman.”
Andin tergelak. Meski suaranya tidak terlalu kencang, tapi cukup untuk membuat beberapa mahasiswa lain yang sedang berada di sana menoleh pada meja mereka berdua.
“Aku serius,” kata Abimanyu lagi. “Dulu, aku pikir kamu cukup bahagia. Aku ngelihat kamu cukup enjoy meski harus tinggal di dua rumah yang berbeda. Mereka juga memperlakukan kamu dengan baik dan hangat. Bahkan aku ngerasa nyaman tiap kali main ke rumah Papa dan Mama kamu. Tapi ternyata menyembuhkan perasaan manusia yang udah terlanjur terluka nggak sesederhana itu, ya?”
“Aku udah cukup bahagia, kok, Bi. Yang ada di rekaman itu kan udah cerita lama. Aku cuma berbagi aja, biar siapapun yang nonton nanti tahu, kalau sesekali ngerasa sedih karena inget sesuatu yang menyakitkan di masa lalu itu nggak pa-pa. Menerima keadaan yang nggak sama lagi emang nggak gampang, tapi mau gimanapun hidup harus tetap berjalan, dan kita nggak bisa terus-terusan tinggal di masa lalu.”
“Andin,” panggil Abimanyu lirih, setelah ia terdiam cukup lama.
“Kamu harus berhenti menghawatirkan hal-hal yang belum tentu terjadi,” sela Andin. Ia tahu, bahwa Abimanyu akan membahas soal hubungan mereka berdua.
Setiap kali mereka berbicara tentang perpisahan orang tua Andin, kepala Abimanyu selalu dipenuhi ketakutan— takut bahwa dirinya akan menjadi penyebab luka baru untuk Andin. Suatu hari, ia pernah berkata pada Andin bahwa berakhirnya masa kuliah nanti, bisa menjadi akhir bagi hubungan keduanya. Dan Andin tidak bisa menyangkal hal itu. Jarak mereka terlampau jauh, dan keduanya tidak memiliki cukup kekuatan untuk menerjang jarak itu.
“Coba lihat ini, deh,” kata Abimanyu, sambil menyodorkan laptopnya pada Andin. Ia membuka satu folder yang berisi lebih dari seribu foto-foto mereka berdua. Meski sebenarnya, foto Andin sendiri mendominasi isi folder itu. “Kalau nanti satu-satunya yang tersisa dari kamu cuma ini, aku nggak akan biarin siapapun untuk menghapus folder foto ini.”
“Termasuk istri kamu di masa depan?” tanya Andin dengan nada bercanda yang mampu mengiris hati Abimanyu.
“Termasuk istri aku di masa depan."
“Gimana kalau yang ngehapus justru anak kamu?” tanya Andin lagi.
“Aku nggak akan kasih dia uang saku setahun penuh.”
Andin kembali tertawa pelan mendengar jawaban Abimanyu. Namun, ujung tawanya terdengar sedikit bergetar. Setelah menghela napas, ia mengalihkan pandangannya dari Abimanyu. Andin tidak ingin menangis, tidak di hadapannya.
“Denger jawaban-jawaban kamu barusan, kenapa aku justru nggak rela ya, Bi? Ini kita beneran nggak bisa sama-sama terus? Nanti siapa yang bakalan bawa aku ke warung Mas Bro sambil hujan-hujanan pake mantel?”
“Kamu harus dapetin yang jauh lebih baik dari aku, Din. Yang nggak akan biarin kamu kehujanan, dan bisa bawa kamu ke tempat makan yang jauh lebih mahal dari mie ayam Mas Bro.”
“Bi, aku selalu yakin kalau kamu bakalan jadi orang yang berhasil. Kamu nggak akan seterusnya harus berhenti di tengah jalan cuma buat pakai mantel karena tiba-tiba hujan. Aku juga yakin kamu bisa beliin aku makanan yang paling mahal yang ada di Jakarta. Tapi kalau pun nggak bisa, aku nggak masalah asalkan orangnya kamu."
Andin menghela napas, dan menelan kepahitan dalam hatinya sekuat tenaga. "Tapi kenapa nggak bisa, ya, Bi? Kenapa aku nggak bisa sama kamu selamanya? Seterusnya, sampai kalau jalan aku harus pakai tongkat dan rambutku beruban.”
Tidak ada lagi yang terdengar dari meja itu. Mereka berdua terdiam dengan pikiran yang menyalak dalam kepala masing-masing. Seandainya Andin tahu, Abimanyu pun ingin kata ‘selamanya’ berpihak pada mereka berdua.
“Ada tempat yang selalu pengen kamu datengin nggak sih, Din?” tanya Abimanyu tiba-tiba.
Andin kembali menghela napas, sebab pertanyaan Abimanyu barusan seolah dilontarkan untuk menghindari pembahasan soal hubungan mereka lebih jauh.
“Nggak usah ngajakin pergi ke tempat impianku, kalau tempat itu cuma akan jadi tempat terakhir kita berdua. Aku nggak mau menyimpan kamu di kota-kota yang selalu jadi mimpiku, karena itu cuma bakalan bikin aku sedih tiap kali kembali ke sana nanti.”
Jawaban Andin barusan menjadi hal terakhir yang terdengar diantara keduanya, sebab Andinmemilih untuk kembali fokus pada jurnal-jurnal di hadapannya. Ia tidak ingin berbicara lebih jauh, ia tidak ingin Abimanyu mencari-cari kesempatan untuk melepaskannya. Tidak dalam waktu dekat.
Sementara di balik rak yang berada di dekat meja mereka berdua, Kirana dan Jonathan saling memandang satu sama lain sambil menghela napas yang berat. Entah sejak kapan mereka berada di sana. Mungkin sejak Andin membahas soal istri masa depan Abimanyu, atau bahkan sejak Abimanyu mematikan potongan video wawancara Andin.
“Mereka kok bisa ngebahas hal-hal semenyakitkan itu dengan candaan ya, Jo? Bisa-bisanya mereka masih ketawa-ketawa, padahal gue dengernya udah pengen nangis,” bisik Kirana.
“Terus, kalau mereka bahas sambil nangis-nangis, emang keadaan bakalan bisa berubah? Gue tahu kalau Abimanyu pengen sama Andin seterusnya, sama kayak Andin. Tapi dia bisa apa, kalau dia nggak bisa meluk Tuhan yang selalu jadi tempat Andin berdoa?”