Rumah sakit jiwa Sumber Harapan berdiri gagah di ujung jalan kecil yang dikelilingi pohon flamboyan. Cat dindingnya putih bersih— sepertinya mereka baru saja mengecat ulang seluruh tembok rumah sakit ini, mengingat bagaimana aroma cat masih tercium dimana-mana. Di sebuah pos penjagaan yang terletak di dekat gerbang, seorang satpam mengangguk sopan sambil menyapa Abimanyu dan Andin yang berjalan masuk.
Masih kurang sepuluh menit dari jadwal janji temu mereka dengan Sera dan Rafa, jadi Andin dan Abimanyu memilih untuk berjalan santai melewati taman yang berada di tengah-tengah bangunan rumah sakit itu. Hujan yang mengguyur semalaman, masih menyisakan air yang menetes dari ujung-ujung dedaunan. Meski begitu, terlihat beberapa pasien yang sedang duduk di bangku-bangku taman yang basah itu. Satu orang menatap lurus dengan pandangan kosong, dua orang sedang berbincang hingga sesekali terdengar suara tawa dari mereka, dua orang lainnya tampak sedang berebut sebuah bola. Di samping dua orang yang sedang berebut itu, ada dua perawat yang sedang berusaha untuk memisahkan mereka.
Di ujung taman menuju sebuah lorong yang akan membawa mereka ke aula, ada seorang pasien yang tiba-tiba datang dan memandangi mereka. Andin dan Abimanyu menghentikan langkah dan mencoba menyapa perempuan muda itu.
“Hai,” kata Andin dengan senyum ramahnya. Sementara perempuan di hadapannya, membalas senyum Andin tak kalah ramah. Tak lama, pasien itu memeluk lengan Abimanyu dan menyandarkan kepalanya disana.
Tidak sampai disitu, pasien perempuan itu menghirup aroma parfum yang menempel pada jaket Abimanyu dalam-dalam. Kemudian, ia mendongak dan kembali tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku kangen aroma parfummu. Aku juga udah nungguin kamu lama banget di sini. Kata orang-orang kamu nggak akan pulang, tapi aku tahu mereka bohong. Sekarang aku bisa kasih tahu ke semua orang, kalau kamu udah di sini, sama aku lagi.”
Abimanyu dan Andin jelas mengernyit heran. Tak satupun dari keduanya yang mengenali siapa perempuan yang kini melingkarkan kedua tangannya pada lengan Abimanyu. Hingga tak lama, ada seorang perawat yang berjalan cepat dengan wajah paniknya.
“Aduh, maaf, Mas,” kata seorang perawat itu. “Ayo, nggak boleh begitu. Nggak boleh peluk orang sembarangan.” Ia berusaha melepaskan tangan si pasien dari Abimanyu.
Pasien bernama Sekar itu akhirnya melonggarkan pelukannya pada tangan Abimanyu. Ia menatap Abimanyu cukup lama, hingga perlahan senyumnya mulai menghilang. Lalu, Sekar menunduk begitu dalam. “Maaf,” katanya, “tadi aku sempat mikir kalau kamu suamiku. Aroma parfum kalian mirip. Maaf.”
Setelah itu, Sekar berlalu pergi meninggalkan Abimanyu dan Andin, dengan bergandengan tangan bersama sang perawat. Mereka berjalan masuk menuju aula yang akan dipakai sebagai tempat terapi seni. Abimanyu menatap punggung sekar yang menjauh, lalu menarik napas panjang yang terasa sesak. Ada rasa asing yang sulit dijelaskan jauh di dalam dadanya. Bingung, iba, dan takut— sebab membayangkan betapa tipisnya garis antara rindu dan delusi. Di sampingnya, Andin tidak mengatakan apa-apa. Abimanyu tahu, perasaan gadis itu pasti sama sesaknya dengan miliknya.
Setelah bermenit-menit terdiam di posisinya, Abimanyu mengajak Andin untuk kembali berjalan menuju aula. Sera dan Rafa sudah berada di sana, menyiapkan beberapa peralatan yang akan digunakan oleh pasien, dibantu oleh tiga orang perawat. Ketika Andin dan Abimanyu melangkah masuk ke aula, Sera menoleh dan berlarian kecil untuk menyapa mereka berdua.
“Biasanya yang ikutan terapi seni ada tujuh orang, tapi kali ini cuma tiga, karena empat lainnya nggak memungkinkan untuk ikut.” Sera menggandeng tangan Andin untuk berjalan ke tengah-tengah aula. “Mereka yang ikut terapi ini, dipilih berdasarkan rekomendasi dokter dan perawat. Yang dipilih adalah pasien-pasien yang udah cukup kooperatif dan bisa komunikasi dua arah.”
Andin mengangguk pelan, sambil memandang satu per satu pasien yang kini duduk bersila di lantai. Mereka tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing. Di sisi kiri ada satu laki-laki yang tampak antusias menggambar sebuah pola pada kertas yang sudah disediakan, di sisi kanan ada satu laki-laki lain yang sedang menatap kosong pada kertasnya, dan di bagian tengah, ada Sekar yang masih sibuk menata pensil warna di mejanya. Disampingnya, Rafa duduk sambil tersenyum memperhatikan tangan Sekar yang sedang sibuk itu.
“Rafa emang selalu dekat sama pasien, Ser?” tanya Abimanyu. Ia telah menyalakan kamera dan menyorot semua pasien yang duduk di hadapannya.
“Kita emang selalu berusaha buat dekat sama pasien, Bim. Biar mereka percaya kalau kita nggak berbahaya untuk mereka, dan mau gabung sama kita di aula ini.” Sera menghela napas panjang sambil terus menatap ketiga pasien itu. “Butuh wawancara sama gue atau Rafa, nggak?” katanya lagi.
“Boleh,” sahut Abimanyu. "Sama lo aja, Rafa kayaknya lagi asik sama mereka."
Setelah mendapat anggukan Sera, Abimanyu menepi untuk duduk di dekat pintu aula. Sementara itu, Andin memiih mendatangi salah satu suster untuk menanyakan beberapa hal yang berkaitan dengan penelitiannya.
“Udah cantik belum gue?” tanya Sera setelah duduk di hadapan Abimanyu, dan merapikan rambutnya.
“Cantik,” kata Abimanyu. “Tapi lebih cantik Andin, lah,” katanya, kemudian mereka tertawa pelan.
“Ini santai aja, ya, Ser. Nggak perlu terlalu formal, gue nggak mau dokumenter ini jadinya kaku.”
Sera mengangguk singkat.
“Oke. Kamera, rolling. Dokumen delapan belas Mei. Pertama, perkenalkan diri lo,” kata Abimanyu.
Sera berdehem sebentar. “Halo! Gue Sera, mahasiswi Seni Rupa. Saat ini, gue lagi ada di semester tujuh, dan lagi sibuk mempersiapkan ide lukisan yang bakalan gue pajang di pameran tugas akhir nanti. Selain itu, beberapa waktu belakangan gue sering datang ke rumah sakit jiwa Sumber Harapan, untuk jadi relawan terapi seni."
"Gue nggak menganalisa soal gambar yang para pasien buat," lanjut Sera, "gue cuma mengarahkan mereka dan ngajarin gimana cara pakai alat-alat gambar yang ada. Gimana cara pakai cat air, kapan harus pakai pensil warna, kapan harus pakai crayon. Gitu-gitu, deh. Oh iya ... selain gue, ada satu lagi mahasiswa seni yang jadi relawan. Namanya Rafa, tapi sekarang dia lagi sibuk mendampingi pasien."
“Bisa ceritain, nggak, kapan pertama kali kalian jadi relawan di rumah sakit ini?”
“Hmmm …” Sera tampak berpikir sebentar. “Sekitar dua bulan lalu, mungkin? Waktu itu ada salah salah satu kenalan Rafa— yang akhirnya gue kenal juga, nawarin kita buat jadi relawan di sini. Bantu para perawat buat terapi seni gitu, deh. Karena kita tahu nggak semua rumah sakit jiwa mau nerima relawan dari luar, gue rasa itu kesempatan bagus. Jadi kita memutuskan untuk bergabung.”
“Apa yang pertama kali lo pikirkan ketika ngelihat pasien-pasien di sini?”
“Takut,” kata Sera, kemudian ia tertawa pelan. “Pertama kali sampai di sini, ada salah satu pasien yang lari dari ruang isolasi. Gue nggak tahu gimana ceritanya dia bisa kabur, tapi dia ngamuk-ngamuk parah sampai ngelukain salah satu perawat di sini. Hari itu gue mikir kalau perawat dan dokter di sini, tuh, adalah super hero. Karena meskipun hari itu tangan mereka luka karena serangan pasien yang kabur dari ruang isolasi, mereka nggak mundur, loh. Mereka tetap deketin si pasien, dan sebisa mungkin ngebujuk pasien itu sambil terus memastikan kenyamanannya terjaga.”
“Waktu akhirnya ada dua perawat yang berhasil megangin pasien itu, gue pikir semuanya bakalan selesai disitu. Ternyata nggak. Pasien itu justru ngegigit bahu dokter yang berusaha kasih dia suntikan penenang. Tapi coba tebak apa yang terjadi? Dokter itu justru senyum sambil bilang, ‘nggak pa-pa, kalau dengan gigit saya bisa bikin kamu lebih tenang, gigit aja lebih keras.’ Gue nangis waktu itu. Cengeng, ya?” Sera kembali tertawa di ujung kalimatnya.
“Sekarang gimana? Lo masih takut?”
Sera menggeleng, lalu tersenyum. Butuh beberapa waktu hingga akhirnya Sera membuka mulutnya, setelah menghela napas panjang yang terdengar berat. “Sekarang gue sadar kalau mereka itu nggak menakutkan. Mereka cuma … bingung kali, ya? Kadang, mereka nggak tahu gimana cara menyampaikan apa yang ada di dalam kepalanya. Terus emosi mereka juga bisa meledak tiba-tiba, karena memang lagi nggak dalam kondisi yang stabil.”
“Mereka itu rapuh. Tapi meski rapuh, menurut gue mereka justru hebat dan kuat banget. Mereka milih untuk tetap hidup dan berjuang keras ngelawan hal-hal yang bikin mereka ketakutan. Hebat, kan?” Sera menoleh pada Rafa yang sedang fokus menemani para pasien menggambar. “Mereka tetap mau minum obat, menjalani terapi apa aja yang disarankan dokter dan perawat— itu hebat banget menurut gue. Karena artinya mereka lagi berjuang untuk sembuh.”
Abimanyu mengangguk dari balik kameranya. “Tadi gue sempat dengar lo bilang kalau pasien yang ada di ruangan ini udah dipilih dan direkomendasikan sama para perawat?”
“Betul,” kata Sera yang kini kembali menatap kamera. “Perawat dan dokter milih pasien-pasien yang udah lebih stabil secara emosi, dan udah bisa diajak komunikasi dua arah.”
“Apa manfaat terapi seni ini untuk para pasien yang udah dipilih?”
“Terapi seni, tuh, dipakai untuk menyalurkan perasaan dan emosi mereka. Ada beberapa hal yang nggak bisa kita sampaikan ke orang lain secara langsung, kan? Nah, selain dengan journaling, terapi seni ini bisa jadi salah satu alternatif untuk menguraikan isi kepala yang nggak bisa mereka sampaikan itu."
“Gue boleh tahu, nggak, pasien perempuan itu kenapa?”
Sera menoleh sekilas pada Sekar. “Dua tahun lalu, suami dia jadi salah satu korban kecelakaan pesawat. Waktu itu suaminya ditugaskan untuk ke kantor cabang di luar kota, terus pas perjalanan pulang ke Jakarta, pesawatnya jatuh. Mayatnya belum ditemukan sampai sekarang. Sekar percaya suaminya masih hidup, dan setiap kali lihat laki-laki yang usianya nggak jauh dari suaminya, Sekar bakalan ngira kalau laki-laki itu adalah suaminya yang akhirnya pulang dan nemuin Sekar.”
“Pantesan,” kata Abimanyu dengan suara lirih. “Tadi dia tiba-tiba ngerangkul gue.”
“Oh ya?" tanya Sera sambil terkekeh pelan. "Tapi dia udah so much better, Bim. Udah bisa dibilangin kalau nggak semua laki-laki itu adalah suaminya. Dia juga udah nggak pernah histeris lagi.”
Abimanyu mengangguk pelan. “Kalau dua lainnya? Mereka kenapa?”
“Yang di sebelah kanan Sekar itu, namanya Pak Surip. Dia pasien PTSD[2]. Istrinya meninggal waktu melahirkan anak pertamanya. Dia besarin anak perempuannya sendirian, terus anaknya malah jadi korban pemerkosaan pamannya sendiri, waktu umurnya masih enam tahun. Setelah itu, anaknya dibunuh dan dibuang di semak-semak dekat rumahnya. Rasa bersalah Pak Surip besar banget. Dia ngerasa nggak bisa jaga anak semata wayangnya. Kata beliau, istrinya datang ke mimpinya tiap malam dan marah-marah sampai nyuruh Pak Surip bunuh diri. Tapi kita semua tahu, kalau itu salah satu bentuk trauma dan rasa bersalahnya. Nggak ada orang yang udah meninggal bakalan datengin kita dan nyuruh kita ikutan meninggal, kan?”
"Puncaknya, Pak Surip bener-bener berusaha untuk bunuh diri. Dia melukai pergelangan tangannya. Untungnya, waktu itu ada tetangga yang kebetulan datang ke rumah Pak Surip untuk pinjam tangga. Waktu itu Pak Surip udah nggak sadar dan kehilangan banyak darah. Tapi, Tuhan ternyata pengen Pak Surip terus hidup, meskipun sekarang beliau ada di rumah sakit ini."
Abimanyu sepenuhnya kehilangan kata-kata dalam kepala, sebab ia tidak menyangka bahwa ada begitu banyak hal menyeramkan di dunia ini. Terlalu menyeramkan untuk hidupnya yang terlampau aman dan nyaman. Ia tidak bisa mengatakan apa-apa selain menghela napas panjang yang begitu berat, sambil berpikir apakah orang-orang di sekitarnya juga sedang berperang melawan monster di dalam kepala mereka? Apakah mereka benar-benar baik-baik saja, atau justru sedang bersembunyi di balik topeng kebahagiaan, dan menunggu hingga waktu meledakkan segalanya? Abimanyu tidak tahu. Abimanyu tidak ingin siapa pun yang berada di sekitarnya mengalami hal-hal seberat itu.
“Bim?” panggil Sera, sebab Abimanyu terdiam cukup lama. “Are you okay? Masih bisa lanjut, nggak?”
Namun, alih-alih menjawab, Abimanyu justru tersenyum dan mengangkat ibu jarinya.
“Oke, gue lanjut, ya,” kata Sera, lalu Abimanyu mengangguk. “Yang duduk di sebelah kiri Sekar, namanya Dimas. Dia seusia kita, tapi harus berjuang melawan skizofrenia. Kakek dia dulunya juga pejuang skizo, dan itu diturunkan ke Dimas. Belakangan ini kondisinya lumayan baik. Katanya, dia udah mulai bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang cuma halusinasi. Monster-monster aneh yang sering datengin dia juga udah banyak berkurang, katanya. Tiap kali ada monster baru yang datang, Dimas bakalan ngegambar monster itu dan dia bakalan nulis di bagia bawahnya; ‘kamu cuma ilusi, aku dan Suster Ima yang nyata.”
“Suster Ima?” tanya Abimanyu, yang kemudian dijawab anggukan oleh Sera.
Gadis itu terkekeh sebentar sebelum akhirnya kembali bersuara, “Ada salah satu suster favorit Dimas, namanya Ima. Kalau Dimas lagi mogok minum obat, Suster Ima bakalan maju, dan Dimas langsung minum obatnya tanpa drama lagi.”
“Orangnya lagi di sini sekarang?”
Sera mengangguk, dan menunjuk perempuan cantik yang sedang menjadi narasumber Andin. “Ironisnya, ibunya pernah jadi pasien di sini, Bim. Pasien PTSD juga. Tapi nggak ada yang berani bahas soal itu, jadi gue nggak tahu pasti penyebab trauma ibunya. Katanya, Suster Ima berusaha mati-matian biar bisa kerja dan jadi salah satu perawat di sini. Dia pengen bantu pasien-pasien yang sama kayak ibunya buat sembuh.”
Untuk beberapa saat, mereka berdua terdiam sambil memperhatikan pasien-pasien yang berada jauh di balik punggung Sera. Abimanyu sudah berniat untuk mematikan kameranya, sebelum ia mendengar Sera memanggil namanya lirih, dengan suara yang bergetar. Ia menunduk sambil menautkan kedua tangan hingga buku-buku jarinya memutih. Dan ketika Sera kembali mengangkat kepalanya untuk menatap Abimanyu, ia meneteskan air mata. “Rafa juga sakit.”
Abimanyu jelas terkejut, hingga tidak ada satu pun kalimat atau pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Tangannya bahkan terasa membeku, hingga ia tidak mampu menekan tombol power pada kameranya.
“Enam tahun, Bim.” Sera menghapus jejak air matanya dengan punggung tangan. “Enam tahun gue berusaha sembunyiin ini dari semua orang, termasuk lo. Rafa nggak pengen temen-temennya tahu soal kondisi dia. Tapi gue capek. Gue capek berharap sendirian kalau suatu saat Rafa juga bakalan berdamai dengan hidupnya. Gue juga tahu nggak seharusnya gue bilang hal ini ke lo. Tapi gue nggak bisa lagi meyakinkan diri gue sendiri, kalau gue cukup mampu untuk bikin Rafa bertahan.”
“Gimana kalau gue nggak bisa? Gimana kalau Rafa akhirnya milih buat menyerah karena ketidak mampuan gue? Gue harus gimana lagi?”
Sera berusaha sekuat tenaga untuk menahan tangisnya. Lalu, tepat setelah ia memuntahkan segala kekhawatiran yang ada dalam kepalanya, Rafa berjalan mendekat ke arah mereka berdua, dengan senyumnya yang begitu lebar. Ia berjalan sambil melambaikan tangannya pada Abimanyu, sebab ia memang tidak sempat menyapa ketika Abimanyu dan Andin datang tadi.
"Aduh, sorry banget, Bim. Gue sampe nggak peduliin lo sama Andin sama sekali," katanya, lalu ia duduk di samping Sera. “Udah selesai? Gue juga perlu perkenalan diri, nggak?” tanya Rafa, sebelum akhirnya Abimanyu memutuskan untuk mematikan kameranya.
[2] Post Traumatic Stress Disorder