Aku adalah orang yang kalau lagi di tongkrongan, bisa dibilang cukup ramai.
Bisa bikin teman ketawa, bisa ngelucu dadakan, bahkan kadang jadi MC dadakan di ulang tahun yang nggak direncanakan.
Tapi begitu pulang ke rumah, lepas celana jeans dan ganti daster, semua tawa itu langsung menguap.
Yang tersisa cuma satu: otak yang mulai ngebahas hal-hal yang nggak ditanyain.
^"Tadi aku terlalu bawel nggak, ya?"
^"Kok tadi dia diem pas aku ngomong? Apa aku nyebelin?"
^"Kenapa aku ngomong itu sih? Aduh, kenapa nggak diem aja?"
^"Apa mereka sebenarnya nggak suka aku ikut?"
Dan selamat datang di dunia overthinking, tempat di mana bahkan ekspresi orang saat garuk-garuk kepala bisa ditafsirkan sebagai tanda bahwa mereka ilfeel sama kita.
Lucunya, banyak orang nggak tahu sisi ini dari aku.
Karena yang mereka lihat selalu:
“Aku yang ceria.”
“Aku yang suka becanda.”
“Aku yang selalu punya bahan ngobrol.”
Padahal kenyataannya, begitu aku sendiri...
Pikiranku kayak grup WhatsApp keluarga: rame tapi isinya absurd dan bikin stres.
Suatu malam, aku nonton ulang video aku sendiri yang lagi ngelawak di ulang tahun teman.
Semua orang ketawa. Aku juga ketawa—pas di video.
Tapi saat itu aku sedang duduk sendiri di kamar, dengan mata yang udah capek dan hati yang nggak tahu kenapa… hampa.
Tiba-tiba muncul satu kalimat di kepala:
“Aku capek jadi lucu, kalau yang aku rasain sebenarnya sedih.”
Overthinking itu kayak sahabat toxic.
Dia nemenin kamu terus, tapi bikin kamu ngerasa kecil, bodoh, dan nggak cukup.
Kamu bisa keliatan bahagia di depan orang lain, tapi di dalam pikiranmu, kamu lagi ngebedah ulang semua percakapan dari tiga hari yang lalu.
"Aku bales 'haha' doang, terlalu dingin nggak ya?"
"Aku ngomong 'iya sih' pas dia cerita, dia mikir aku nggak peduli nggak ya?"
"Aduh, aku lupa bilang makasih! Dia pasti ngerasa aku nggak sopan!"
Dan overthinking itu nggak kenal waktu.
Lagi makan—muncul.
Lagi nonton—muncul.
Lagi mau tidur—muncul, dan dia bilang,
“Eh, inget nggak kejadian 2017 yang bikin kamu malu?”
Aku pernah duduk sendirian di angkot, ngebayangin ekspresi orang-orang waktu aku ngomong satu hal yang agak nggak nyambung di tongkrongan.
Rasanya malu banget.
Padahal mereka semua ketawa saat itu.
Mereka mungkin bahkan udah lupa.
Tapi otakku belum.
Dan itu yang melelahkan.
Aku sempat mikir, mungkin aku lebay.
Terlalu sensitif.
Tapi ternyata, banyak orang juga mengalami hal yang sama.
Mereka yang ketawa keras di tongkrongan,
Yang keliatan pede banget di depan umum,
Yang bisa ngelawak dan bikin semua orang nyaman…
Kadang mereka juga yang paling sering mempertanyakan dirinya sendiri.
Karena untuk bisa bikin orang lain nyaman, mereka harus terus menyesuaikan diri.
Dan setiap penyesuaian itu kadang mengikis keaslian diri mereka sendiri.
Aku mulai belajar satu hal penting:
Jadi orang yang lucu, bukan berarti nggak boleh sedih.
Jadi orang yang menyenangkan, bukan berarti selalu baik-baik saja.
Dan overthinking bukan sesuatu yang harus disembunyikan.
Itu bagian dari diriku.
Bagian dari kamu juga, mungkin.
Suatu hari, aku ngobrol sama sahabatku, si Fani.
Dia tahu aku suka overthinking, dan dia bilang sesuatu yang cukup menyentuh:
“Nggak apa-apa mikir banyak hal, asal jangan sampai kamu jadi lupa sayang sama diri kamu sendiri.”
Aku diem.
Karena kalimat itu sederhana, tapi kena banget.
Selama ini aku terlalu fokus mikirin pandangan orang, sampai lupa nanya ke diriku:
“Kamu baik-baik aja nggak?”
“Kamu butuh dipeluk nggak?”
“Kamu capek ya jadi orang yang selalu ngerti semua orang?”
Dan kamu tahu nggak yang lebih lucu dari overthinking?
Berusaha menenangkan overthinking dengan overthinking juga.
Contohnya kayak gini:
"Aku pasti nyebelin deh tadi…"
→ "Tapi masa sih nyebelin? Tadi dia ketawa kok."
→ "Tapi bisa aja dia ketawa sopan aja, pura-pura…"
→ "Tapi kenapa aku mikir sejauh ini sih? Aduh aku kenapa sih gini banget?"
→ "Nah, aku overthinking lagi nih. Aku bener-bener parah deh."
Dan ujung-ujungnya?
Kamu overthinking karena kamu overthinking.
Siklus setan.
Tapi aku mulai latihan.
Pelan-pelan.
Aku mulai belajar nggak langsung percaya sama semua isi kepalaku sendiri.
Karena kadang pikiran bisa bohong.
Bisa berlebihan.
Bisa terlalu jahat ke diri sendiri.
Jadi setiap muncul pikiran kayak:
“Aku nyebelin deh.”
Aku tanya balik,
“Emang kenapa? Apa buktinya? Emang semua orang harus suka?”
Atau saat aku mikir:
“Aku harusnya diem aja tadi.”
Aku jawab,
“Nggak juga. Kamu cuma ngomong. Wajar. Manusia.”
Dan ternyata, ngobrol sama diri sendiri dengan lebih lembut itu bisa bikin tenang.
Aku juga mulai coba sesuatu yang baru.
Yaitu… jadi jujur sama teman.
Pas aku lagi bareng mereka, terus tiba-tiba aku overthinking, aku bilang aja,
“Eh maaf ya kalau aku tadi terlalu heboh. Aku kadang suka mikir berlebihan.”
Dan mereka jawab,
“Lah, biasa aja kali! Lucu kok. Santai aja.”
Dan tahu nggak?
Itu kayak air di padang gurun.
Sesederhana itu, tapi menyelamatkan banget.
Kadang kita cuma butuh diyakinkan.
Dan nggak apa-apa minta diyakinkan, asal kita juga tetap belajar buat pelan-pelan yakin sama diri sendiri.
Jadi, kalau kamu adalah orang yang suka tertawa di depan tapi overthinking di dalam,
Kalau kamu sering merasa harus jadi orang yang menyenangkan padahal lagi pengen diem aja,
Kalau kamu capek banget mikir semua kata-kata yang kamu ucapkan…
Duduk bentar.
Tarik napas.
Dan bilang ke diri sendiri:
“Nggak semua orang harus suka aku.
Nggak semua hal harus sempurna.
Dan aku tetap layak dicintai, bahkan kalau aku nggak lucu hari ini.”
Jangan terlalu keras sama diri sendiri.
Karena kamu udah cukup baik, cukup perhatian, cukup hangat.
Dan kalaupun kadang kamu ngerasa kacau…
Itu manusiawi.
Itu kamu.
Dan itu tetap oke.
Tertawa itu bagus.
Tapi jangan lupa, kamu juga boleh nangis. Kamu boleh istirahat.
Kamu boleh bilang, “Aku capek jadi kuat. Aku capek mikir semua hal.”
Dan kita di sini, bareng-bareng,
Belajar jadi manusia yang bisa ketawa dan bisa jujur sama rasa takutnya.
Karena hidup ini bukan soal tampil sempurna,
Tapi soal bisa bilang:
“Aku mungkin masih overthinking,
Tapi aku juga sedang belajar tenangin diri.
Dan itu udah jadi pencapaian.”