Pernah nggak sih kamu buka Instagram, terus scroll explore, dan merasa hidupmu kayak template yang gagal loading?
Sementara orang lain upload foto flatlay kopi dan buku, kamu upload mie rebus dengan tulisan caption, “Makan siang ala anak kos, low budget high sodium.” Atau, pas orang lain bikin konten morning routine yang jam 5 pagi udah jogging dan meditasi, kamu masih merem di kasur sambil debat internal, “Lanjut tidur atau pura-pura hidup hari ini?”
Gini, ya.
Realitanya:
Diri sendiri nggak selalu estetik.
Kadang berantakan, kadang males, kadang ngomong sama diri sendiri pakai nada galak.
Tapi tetap—tetap layak dicintai.
Aku pernah terjebak dalam fase pengen banget jadi versi “aesthetic” dari diriku sendiri.
Bangun pagi pengen langsung journaling, tapi kenyataannya malah scroll HP satu jam. Pengen olahraga, tapi yang bergerak cuma jempol kanan buat ganti lagu. Pengen tampil minimalis, tapi bajuku tetap numpuk dan warnanya tabrakan. Dan yang paling parah, aku pernah ngedit foto selfie selama satu jam, pakai filter, naik-turunin brightness, cropping sudut kiri dikit, biar kelihatan kayak “casual but cute”.
Tapi pas kuunggah ke story, ada temanku yang chat,
“Loh, kamu lagi di mana? Ini filter-nya kayak di Jepang.”
Padahal aku cuma lagi di depan warung dekat kos.
Aku sadar, aku terlalu keras sama diriku sendiri.
Pengen sempurna.
Pengen disukai.
Pengen tampak rapi, teratur, dan menawan dari segala sisi.
Pengen jadi karakter utama di film indie dengan soundtrack mellow dan outfit earth tone.
Tapi kenyataannya…
Aku adalah aku.
Yang kadang bajunya masih disampirin di kursi lima hari,
Yang kadang nangis tanpa alasan di kamar mandi,
Yang kadang senyum-senyum sendiri pas ingat meme receh.
Aku mulai tanya ke diri sendiri:
“Kalau aku harus terlihat cantik terus buat merasa berharga, berarti selama ini aku nyalahin siapa waktu lagi jelek? Diriku sendiri?”
Dan itu jleb banget.
Karena ternyata, kita sering banget mencintai diri sendiri hanya saat dia ‘berfungsi’ dengan baik.
Saat produktif, saat tampil keren, saat kelihatan bahagia.
Tapi begitu dia lelah, nangis, malas, atau nggak sejalan sama ekspektasi…
Kita marah.
Kita caci.
Kita kecewa.
Padahal diri kita juga butuh dipeluk—terutama saat dia sedang tidak tampil estetik.
Ada satu malam, aku lihat diriku di kaca. Mukaku kusut, rambut acak-acakan, mata sembab.
Dan aku cuma bisa ngomong ke pantulan itu,
“Ya ampun, kamu tuh kasihan banget. Tapi kenapa aku malah sering jahat ke kamu?”
Itu jadi malam pertama aku benar-benar minta maaf ke diri sendiri.
“Maaf udah terlalu sering ngebandingin kamu sama orang lain.
Maaf karena aku cuma memuji kamu kalau lagi tampil keren.
Maaf udah bikin kamu terus-terusan merasa nggak cukup.”
Dan kamu tahu rasanya setelah itu?
Lega.
Bukan karena aku langsung berubah, tapi karena untuk pertama kalinya, aku mulai berhenti berperang sama diri sendiri.
Diri kita tuh unik.
Kayak kombinasi playlist acak.
Kadang mellow, kadang dangdut remix.
Kadang bijak, kadang impulsif banget.
Tapi semua itu bagian dari kita.
Dan bagian mana pun—bahkan yang paling kacau sekalipun—tetap layak dipeluk.
Karena cinta bukan soal memilih sisi terbaik saja.
Tapi soal bertahan bersama sisi tergelap dan tetap berkata,
“Kamu tetap berharga.”
Kita ini hidup di zaman visual.
Semuanya harus tampak indah biar dianggap pantas.
Tapi kenyataannya…
Kebahagiaan nggak selalu bisa ditampilkan di kamera.
Kadang bahagia itu sesederhana:
Tidur siang tanpa alarm
Makan nasi padang sambil nonton ulang sinetron
Dengerin lagu lama yang dulu pernah bikin nangis
Atau… pakai baju bolong karena itu paling nyaman
Dan nggak satu pun dari itu bisa ditaruh di explore Instagram.
Tapi semuanya valid.
Karena estetik bukan satu-satunya bentuk kehidupan yang layak dihargai.
Ada satu momen aku ingat banget.
Aku pulang kerja, capek, mood jelek.
Lalu tiba-tiba, aku ketawa sendiri pas lihat bayangan kaki di lampu jalan.
Karena sepatu kanan dan kiri warnanya beda.
Aku salah pakai.
Satu warna hitam, satu biru dongker.
Dan kamu tahu apa yang aku lakukan?
Aku ketawa.
Kenceng banget.
Sampai orang lewat ngeliatin.
Tapi untuk pertama kalinya, aku nggak malu.
Aku merasa,
“Oh, ini sih aku banget. Konyol. Nggak estetik. Tapi nyata.”
Dan itu cukup.
Sejak itu, aku mulai latihan menerima diri sendiri lebih dalam.
Aku mulai berhenti menghapus foto yang nggak sempurna.
Mulai memuji diri sendiri saat berhasil bangun pagi tanpa alarm.
Mulai pelan-pelan meyakinkan diri bahwa aku nggak harus tampil keren untuk dicintai.
Karena cinta yang paling tulus itu datang dari yang nggak peduli kamu pakai apa, pakai filter atau nggak, sukses atau belum.
Cinta itu tetap ada, bahkan pas kamu lagi rebahan sambil makan ciki.
Dan tahu nggak siapa yang harusnya jadi orang pertama yang kasih cinta itu?
Kamu sendiri.
Diri kita mungkin nggak akan pernah jadi sempurna.
Tapi dia berjuang setiap hari.
Dia bangun tiap pagi meskipun berat.
Dia tetap bertahan meski dikecewakan berkali-kali.
Dia tetap berharap, walau sering disakiti.
Dan untuk semua usaha itu—meski hasilnya belum sempurna—diri kita layak banget dihargai.
Jadi kalau hari ini kamu ngerasa berantakan,
Kalau kamu merasa nggak sepantasnya dicintai,
Ingat:
Kamu tidak harus tampak estetik untuk berhak dicintai.
Kalau kamu merasa sendirian, lihat ke kaca.
Ada seseorang di sana yang tetap bertahan bersamamu sejak awal.
Yang selalu jadi saksi jatuh bangunnya kamu.
Yang tetap berdiri meski kamu abaikan.
Peluk dia.
Bilang makasih.
Dan janji, mulai sekarang…
Kamu akan belajar mencintainya, bukan hanya saat dia “layak”,
Tapi juga saat dia sedang lelah, kusut, dan gagal.
Karena cinta yang paling indah adalah saat kamu bisa bilang ke diri sendiri:
“Kamu mungkin bukan versi estetik dari semua orang.
Tapi kamu versi paling nyata dari diriku.
Dan itu sudah cukup.”