Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup ini kayak lomba lari estafet, tapi kamu baru nyari sepatu di rak paling bawah?
Semua orang kayaknya udah tahu ke mana mereka mau pergi. Ada yang udah punya karier cemerlang, gaji UMR naik lima kali lipat, traveling ke luar negeri, atau minimal punya tanaman yang nggak mati dalam seminggu.
Sementara aku?
Aku masih mikir, “Sarapan dulu atau tidur lagi ya?”
Jalan hidupku pelan. Bahkan kadang mandek. Dan yang lebih ironis, aku sering ngerasanya... aku belum siap jalan cepat.
Soalnya?
Aku masih pakai sandal jepit. Yang sebelah udah tipis, yang satunya lagi nyangkut di kaki terus copot kalau buru-buru.
Kadang aku lihat teman-teman seusiaku udah posting foto nikah, punya rumah, punya anak, dan punya asisten rumah tangga. Sementara aku bangga banget karena hari ini berhasil nyuci piring sebelum jam 12 siang. Aku tepuk tangan sendiri, lalu buka YouTube, nonton video kucing melet-melet.
Apa aku iri?
Ya kadang.
Apa aku marah?
Nggak juga.
Tapi jujur aja... aku sering merasa tertinggal.
Kayak semua orang naik kereta cepat, dan aku masih jalan kaki sambil mikir, "Ini jalannya ke mana ya?"
Dulu waktu kecil, kita pikir hidup itu linear.
SD — SMP — SMA — kuliah — kerja — nikah — pensiun — bikin kolam ikan.
Tapi kenyataannya?
Temenku yang dulu duduk paling belakang dan sering ngupil, sekarang udah punya dua anak dan bisnis skincare. Sementara aku masih suka lupa bawa dompet kalau ke minimarket.
Lucunya, semua motivator bilang, “Nggak usah bandingin hidupmu dengan orang lain.”
Tapi... platform sosial media kok isinya perbandingan semua ya?
“Teman kamu beli rumah.”
“Teman kamu liburan ke Korea.”
“Kamu baru bangun jam sebelas.”
Aplikasi-aplikasi itu bikin aku ngerasa kayak tokoh figuran di drama kehidupan orang lain.
Tapi kemudian suatu hari, waktu lagi duduk di teras rumah sambil minum teh manis (yang terlalu manis karena salah tuang), aku lihat tukang becak lewat.
Pelan.
Tapi dia tetap jalan.
Dan tiba-tiba aku mikir...
Bukankah hidup memang kayak gitu?
Nggak semua orang harus ngebut.
Nggak semua orang harus nyampe duluan.
Yang penting kita jalan.
Mau naik motor, mobil, sepeda, atau jalan kaki...
Yang penting: kita tetap bergerak.
Dan soal sandal jepit itu tadi, aku jadi sadar sesuatu.
Sandal jepit itu bukan cuma alas kaki. Dia adalah simbol dari hidup yang sederhana tapi tetap bisa maju. Meskipun copot-copot, meskipun nggak fancy, meskipun kalau hujan jadi licin, tapi tetap bisa dipakai jalan.
Kadang kita terlalu keras sama diri sendiri.
Merasa salah terus.
Merasa lambat itu kegagalan.
Merasa kalau belum punya pencapaian, berarti belum jadi siapa-siapa.
Padahal...
Setiap orang punya kecepatan masing-masing.
Dan nggak semua perjalanan harus terburu-buru.
Aku pernah ngobrol sama teman lama.
Dia cerita, “Gue dulu ngerasa kalah banget sama lo. Lo selalu jadi yang paling aktif, paling banyak ide, paling lucu. Gue cuma penonton.”
Aku kaget.
Karena selama ini, aku justru mikir dia yang hebat.
Dia keliling Indonesia, punya banyak koneksi, dan selalu update.
Ternyata kita sama-sama mikir, kita ini yang tertinggal.
Lucu ya?
Kita sibuk merasa kurang, padahal orang lain justru melihat kita sebagai inspirasi.
Mungkin...
Kita terlalu sibuk ngeliat sepatu orang lain, sampai lupa betapa hebatnya kita bisa jalan sejauh ini meskipun cuma pakai sandal jepit.
Aku belajar untuk pelan-pelan mencintai kecepatan sendiri.
Nggak gampang.
Kadang tetap ngerasa FOMO (Fear of Missing Out).
Apalagi kalau lihat temen udah bisa beliin orangtuanya rumah, sedangkan aku masih nego sama Indomaret buat nambah stamp kalo beli Pop Mie.
Tapi aku mulai belajar bilang ke diri sendiri:
“Pelan nggak apa-apa. Yang penting kamu terus jalan.”
Kadang hidup bukan soal siapa yang sampai duluan.
Tapi siapa yang tetap waras selama perjalanan.
Dan tahu nggak?
Ada hal-hal baik yang cuma bisa kamu temukan kalau kamu nggak buru-buru.
Kayak burung yang nyanyi di pagi hari.
Atau aroma kopi dari warung kecil di pojokan.
Atau obrolan ringan sama ibu kos yang suka ngasih tahu kalau sandal kamu ketuker sama tamunya.
Kalau kamu jalan terlalu cepat, kamu bisa lewatkan semua itu.
Mungkin kamu bukan orang yang kelihatan bersinar.
Mungkin kamu nggak punya pencapaian besar yang bisa dipamerin di media sosial.
Mungkin kamu nggak tahu pasti kamu akan jadi apa 5 tahun ke depan.
Tapi kamu tetap bangun pagi.
Tetap nyuci baju.
Tetap coba tersenyum meskipun capek.
Tetap berusaha baik walau hati lagi sesak.
Dan itu, teman... sudah luar biasa.
Hidup bukan lomba lari. Nggak ada pemenang atau pecundang. Yang ada cuma orang-orang yang terus mencoba. Yang penting bukan seberapa cepat kamu jalan. Tapi seberapa banyak hal yang kamu pelajari sepanjang jalan.
Dan soal sandal jepit?
Suatu hari nanti juga bakal ganti. Mungkin pelan-pelan kamu bisa beli sepatu baru. Atau minimal dapat sandal yang talinya nggak copot.
Tapi jangan tunggu punya sepatu baru buat mulai jalan.
Karena perjalanan paling penting adalah yang kamu mulai dengan apa yang kamu punya.
Akhir kata...
Kalau hari ini kamu masih pakai sandal jepit dan merasa tertinggal, ingat:
Kamu tetap sedang berjalan.
Kamu tetap punya cerita.
Kamu tetap berharga.
Jangan bandingin langkahmu dengan orang yang larinya pakai sepatu olahraga mahal.
Karena kamu nggak tahu medan apa yang udah dia lewati.
Dan dia juga nggak tahu beratnya perjuangan kamu bertahan sejauh ini.
Jadi... terus jalan.
Mau pelan, mau lambat, mau ngos-ngosan.
Asal kamu nggak berhenti, kamu masih di jalur yang benar.
Dan siapa tahu...
Di tengah jalan nanti, kamu ketemu orang lain yang juga jalan pelan sambil pakai sandal jepit.
Lalu kalian jalan bareng.
Saling nyemangatin.
Dan tiba-tiba, perjalanan itu nggak terasa sepi lagi.