Kita tumbuh dengan cerita tentang tokoh utama. Pahlawan super yang nyelametin dunia. Perempuan tangguh yang menembus badai. Tokoh utama yang selalu menang di akhir cerita, dapet cinta, dapet kerjaan, dapet rumah subsidi. Tapi... bagaimana kalau kita cuma figuran?
Atau lebih menyedihkannya lagi: cuma cameo. Muncul bentar, ngucap satu kalimat, terus ngilang dari layar kehidupan orang lain. Aku pernah ngerasa kayak gitu.
Datang ke tongkrongan, duduk, ikut ketawa… tapi nggak ada yang nyadar aku diem dari tadi.
Aku pernah ada di keluarga besar, ikut acara makan bareng… tapi yang ditanya kabarnya selalu kakakku. Aku cuma lewat. Kayak asap dapur. Ada, tapi nggak dianggap penting.
Dan lebih pahit lagi, aku pernah ada di hidup seseorang. Temenan, deket, tuker cerita, saling dukung. Tapi pas dia sukses, dia kayak lupa aku pernah bantuin dia ngelewatin malam-malam berat. Aku bukan pemeran utama di hidup dia. Cuma pendukung. Mungkin malah cuma background noise.
Tapi... suatu malam, pas lagi scroll Twitter sambil ngemil keripik, aku nemu satu tweet yang nyentil banget:
"Nggak semua orang ditakdirkan jadi tokoh utama di panggung besar. Tapi semua orang penting di cerita mereka sendiri."
Dan entah kenapa, aku diem. Lama. Keripik di tangan jadi melempem karena aku mikir keras. Mungkin aku memang bukan pemeran utama di hidup orang lain. Tapi aku tetap tokoh yang penting di cerita hidupku sendiri.
Dan itu... valid.
Lucunya, kita sering bandingin hidup kita sama film. Padahal di film aja, ada tokoh-tokoh kecil yang bikin cerita jadi utuh. Inget ibu penjaga warteg di film yang selalu nyediain makanan pas tokoh utama lagi kelaparan?
Atau tukang ojek yang cuma muncul 3 menit tapi nganterin karakter ke titik perubahan besar?
Mereka nggak glamor. Nggak punya background music megah.
Tapi mereka bagian dari perjalanan.
Dan kita... ya bisa jadi mereka.
Tokoh kecil, tapi berdampak besar.
Aku pernah bantuin temen kos bikin tugas tengah malam. Waktu itu dia panik, nggak bisa ngetik cepat, dan hampir nyerah. Aku nemenin dia, nyeduh kopi, dan bacain diktat sambil sok-sokan jadi dosen killer. Tugasnya jadi.
Dia lulus.
Dan sekarang dia kerja di luar negeri.
Aku? Masih di kosan yang sama, sekarang ngelihatin langit-langit kamar sambil mikir, "Eh, dia masih inget nggak ya aku?"
Mungkin nggak.
Tapi aku inget momen itu.
Dan mungkin, di hatinya, aku bukan tokoh utama. Tapi aku pernah jadi salah satu alasan dia bisa jalan terus.
Kita sering ngeremehin kehadiran kita.
Padahal, kadang satu kalimat dari kita bisa jadi titik balik buat orang lain.
Kadang satu pelukan, satu pesan “semangat ya”, satu gelak tawa di momen yang sepi—itu semua punya makna.
Aku pernah kirim chat ke temen yang udah lama banget nggak ngobrol.
Nggak ada alasan spesifik, cuma tiba-tiba kangen dan pengen bilang, “Apa kabar?”
Balasannya datang beberapa jam kemudian.
“Gue nangis baca pesan lo. Lagi di titik paling rendah, dan rasanya kayak semesta ngingetin gue lewat lo.”
Aku cuma duduk di kasur, megang HP, dan bengong.
Nggak nyangka hal kecil bisa begitu berarti.
Padahal, waktu nulis pesan itu, aku juga lagi nggak baik-baik aja.
Ternyata, dua orang yang sama-sama nyaris tenggelam bisa saling jadi pelampung.
Dari sana aku belajar, penting buat tetap jadi diri sendiri.
Meski bukan tokoh utama versi orang lain, kita bisa tetap jadi cahaya kecil.
Bukan sorotan lampu panggung, tapi lampu kamar yang nyala waktu semuanya gelap.
Dan jujur, nggak semua orang nyaman jadi pusat perhatian.
Ada yang lebih senang di balik layar.
Ada yang lebih senang jadi pendengar.
Ada yang lebih senang ngetik caption lucu di IG orang lain daripada posting sendiri.
Dan itu oke.
Hidup ini bukan kompetisi siapa yang paling dilihat.
Tapi siapa yang paling bisa jadi berguna, walau cuma sesekali.
Kayak bumbu dapur: kecil, sederhana, tapi kalau nggak ada, makanan hambar.
Aku mungkin bukan yang paling keren.
Bukan yang paling pinter.
Bukan yang punya banyak pencapaian buat dipamerin di story.
Tapi aku pernah ngerangkul temen yang nangis.
Pernah ngelucu pas suasana tegang.
Pernah ngasih nasi goreng terakhirku buat temen yang belum makan.
Dan itu cukup.
Terkadang kita harus berhenti berharap semua orang lihat kita.
Karena yang lebih penting adalah:
Apakah kita bisa lihat diri kita sendiri?
Lihat bahwa kita bertumbuh.
Bahwa kita pernah lelah, tapi masih jalan.
Bahwa kita pernah patah, tapi masih bisa ketawa.
Bahwa meski sering ngerasa kecil, kita tetap utuh.
Dan yang lebih penting lagi:
Kita bukan cuma penonton dari cerita orang lain.
Kita penulis dari kisah kita sendiri.
Setiap keputusan, setiap langkah, setiap tangisan dan tawa—itu milik kita.
Bahkan kalau nggak ada yang tepuk tangan buat kita, kita tetap pantas bangga.
Karena kita masih ada.
Masih berjuang.
Masih jadi versi terbaik dari diri sendiri—meskipun kadang masih suka salah jalan, dan belok ke arah mantan. (Ups.)
Kalau kamu pernah ngerasa kayak figuran di hidup orang lain...
Ingat ini:
Figuran juga penting.
Tanpa figuran, dunia cerita itu kosong.
Dan di dunia nyata?
Figuran hari ini bisa jadi pemeran utama besok.
Hidup itu berubah. Cerita terus berkembang.
Yang penting, kamu tetap ada.
Tetap hadir.
Tetap berjalan.
Tetap jadi kamu—yang mungkin nggak selalu bersinar, tapi selalu berarti.
Jadi, jangan kecilkan peranmu.
Jangan bandingkan hidupmu dengan highlight orang lain.
Jangan tunggu orang lain validasiin kamu.
Karena cerita ini... milikmu.
Kamu bukan cadangan.
Bukan ekstra.
Bukan hiasan.
Kamu adalah halaman penting di buku yang sedang kamu tulis.
Dan siapapun kamu hari ini—lelah, canggung, bingung, atau bahkan merasa nggak penting—percaya deh: kamu tetap ada di cerita ini.
Dan itu sudah cukup luar biasa.
Refleksi :
Semua orang punya panggungnya sendiri.
Kalau hari ini kamu belum di spotlight, nggak apa-apa.
Mungkin kamu lagi nyiapin peran paling besar nanti.
Dan selama kamu terus hadir di hidupmu sendiri, kamu nggak pernah cuma jadi figuran.
Kamu adalah bintang—versi tenang yang tetap bersinar meski nggak teriak-teriak.