Kamu pernah nggak sih, ngaca… lalu diem sebentar… terus mikir, “Kok aku begini banget, ya?”
Mukamu sih masih sama. Tapi rasanya pengen bilang, “Sori, ini siapa ya? Kok kayaknya bukan orang yang aku bayangin akan jadi aku di umur segini?”
Itu sering banget aku alami.
Dan lucunya, itu kejadian bukan cuma waktu aku gagal. Tapi juga waktu semuanya baik-baik saja.
Pernah suatu malam aku lagi scroll komentar di salah satu postinganku.
Ada satu akun, nggak tahu siapa, namanya random kayak password WiFi tetangga: “Xx_melatibiru_universe88_xX”.
Komentarnya cuma:
“Maaf ya, aku nggak suka gaya kamu.”
Awalnya aku mau bales:
“Sama, aku juga kadang nggak suka gaya aku sendiri.”
Tapi akhirnya nggak jadi.
Karena… ya buat apa juga.
Komentar itu bikin aku mikir, “Kok bisa ya orang nggak suka sama aku padahal aku aja belum tentu suka sama aku?”
Jadi diri sendiri itu katanya keren.
Tapi dalam praktiknya? Capek, Bro.
Soalnya, yang namanya “diri sendiri” itu kadang nggak selalu enak dilihat.
Kadang aku cerewet banget, sampai aku sendiri capek.
Kadang aku diem banget, sampai aku pikir aku udah jadi tembok.
Kadang aku terlalu sensitif.
Kadang aku terlalu cuek.
Kadang aku terlalu takut buat berubah.
Kadang aku malah berubah terlalu cepet sampai nggak kenal siapa aku.
Dan semua “kadang” itu bikin aku bingung:
Sebenarnya yang bener tuh aku yang mana?
Lucunya, orang lain cuma lihat satu sisi. Mereka lihat kamu ketawa, terus bilang, “Ih, seru banget sih kamu.” Padahal kamu ketawa karena lagi nahan nangis.
Atau mereka lihat kamu diam di tongkrongan, terus mikir kamu sombong.
Padahal kamu diem karena otakmu lagi buffering mau bilang apa. Mereka bilang kamu manis kalau ngalah. Tapi nggak tahu kalau kamu ngalah karena takut ditinggal. Mereka bilang kamu terlalu sensitif. Tapi nggak tahu betapa kerasnya kamu mencoba nggak peduli.
Kadang aku mikir:
Orang yang nggak suka aku itu wajar.
Tapi mereka belum tentu tahu, aku juga sering bingung mau suka diri aku yang mana.
Waktu aku kecil, aku mikir orang dewasa itu keren.
Tahu apa yang mereka mau.
Punya rencana hidup.
Bajunya matching.
Senyumnya tenang.
Tapi sekarang aku di sini.
Dewasa.
Dan sering nanya ke diri sendiri,
“Ini beneran jalan yang mau aku tempuh, atau cuma ngikutin arus aja?”
Kadang aku pengen protes ke versi kecil diriku:
“Nih, liat sendiri. Dewasa itu bukan soal tahu mau apa, tapi lebih ke: tahu mau makan apa malam ini.”
Dan bahkan…
Itu pun sering bingung.
Ada masa-masa aku ngerasa nggak pengen ketemu siapa-siapa.
Karena aku takut jadi beban.
Aku takut kalau aku muncul, orang-orang bakal mikir,
“Duh, kenapa dia lagi?”
Aku pernah nggak ngangkat telepon karena ngerasa suaraku pasti ganggu.
Nggak bales chat karena ngerasa jawabanku nggak penting.
Nggak datang ke undangan karena ngerasa keberadaanku nggak ditungguin juga.
Itu bukan karena aku sombong.
Tapi karena aku nggak yakin aku cukup baik buat ada di sana.
Dan kamu tahu yang paling berat?
Bukan saat orang lain nggak percaya sama kamu.
Tapi saat kamu sendiri nggak percaya sama dirimu.
Tapi hidup terus jalan. Dan meskipun kadang aku malas ketemu aku yang sekarang, aku nggak bisa pindah badan. Mau nggak mau, aku harus belajar berdamai.
Dengan kelemahanku.
Dengan kekacauan di kepalaku.
Dengan luka-luka kecil yang suka nongol tanpa aba-aba.
Aku belajar pelan-pelan.
Belajar ngasih maaf ke diri sendiri.
Belajar bilang “nggak apaB-apa” ke diri yang nangis di balik tawa.
Aku belum hebat.
Masih sering jatuh.
Masih suka malu sama kekonyolan diri sendiri.
Tapi aku mulai bisa bilang:
“Aku nggak sempurna, tapi aku masih belajar.”
Yang nggak suka sama aku, nggak apa-apa. Nggak harus semua orang cocok sama semua orang.
Kayak sarden.
Ada yang suka, ada yang jijik.
Padahal sarden nggak pernah minta disukai siapa-siapa.
Dia cuma pengen bisa dinikmati sama yang mau aja.
Aku juga gitu.
Nggak bisa maksa semua orang suka.
Dan aku juga nggak bisa maksa diriku buat jadi kayak yang mereka mau.
Tapi aku bisa jadi versi terbaik dari aku.
Yang mungkin masih canggung.
Masih overthinking.
Masih suka beli jajanan tengah malam sambil mikir “hidupku ke mana sih ini?”
Tapi tetap berjalan.
Tetap berusaha.
Tetap bernapas.
Aku juga mulai paham, ternyata berdamai dengan diri sendiri itu bukan soal selalu bahagia.
Tapi soal ngerti bahwa sedih, marah, bingunXCg, kecewa—itu semua bagian dari manusia.
Bagian dari aku. Aku belajar untuk pelan-pelan memeluk diri sendiri. Bukan cuma saat berhasil, tapi juga saat gagal.
Karena satu-satunya orang yang selalu ada di hidupku… ya aku sendiri.
Kalau aku terus-terusan marah sama diri sendiri, terus siapa yang akan nolong?
Dan kamu tahu?
Ternyata, semakin aku nerima sisi-sisi aneh dan rapuh dalam diriku, semakin ringan langkahku.
Bukan karena masalahnya hilang.
Tapi karena aku nggak harus pura-pura kuat terus.
Aku boleh jujur.
Boleh takut.
Boleh sedih.
Boleh diam.
Boleh ngakuin bahwa aku masih belajar suka sama aku.
Dan dari situ... aku mulai tumbuh.
Hari ini aku bisa bercermin, dan meskipun belum sepenuhnya puas, aku bisa senyum dikit.
Karena aku tahu,
“Aku memang belum jadi versi terbaikku. Tapi aku bukan versi terburukku juga.”
Aku mulai bisa bilang ke diriku:
“Yang penting, kamu tetap ada.
Yang penting, kamu tetap berusaha.
Dan itu cukup.”
Jadi, kalau kamu lagi ngerasa nggak suka sama dirimu sendiri...
Tenang.
Kamu nggak sendirian.
Kita semua punya masa-masa kayak gitu.
Dan itu nggak bikin kamu jadi manusia yang gagal.
Itu justru bikin kamu jadi manusia yang utuh.
Manusia yang merasa.
Yang mikir.
Yang jujur.
Karena jujur ke diri sendiri itu memang susah. Tapi itu juga yang bikin kamu kuat. Yang nggak suka kamu, nggak apa-apa. Yang ngejek kamu, biarin aja. Yang nggak ngerti kamu, ya mungkin mereka belum siap tahu versimu yang sebenarnya.
Yang penting...
Kamu mulai belajar suka sama dirimu sendiri.
Meski pelan.
Meski nggak tiap hari.
Tapi percaya deh...
Satu hari nanti, kamu akan berdiri di depan cermin, dan bilang: “Ternyata kamu nggak seburuk itu.
Malah… kamu cukup keren juga ya.” Dan saat itu datang, jangan lupa peluk dirimu sendiri.