Kalau hidup adalah film, maka aku mungkin adalah karakter figuran yang tiba-tiba dikasih monolog, terus viral. Tapi bukannya karena bijak—lebih karena semua orang kasihan dan ngakak bareng-bareng. Soalnya aku pernah benar-benar ngerasa jadi diri sendiri banget, saking jujurnya... sampe ditolak pinjol.
Iya, ditolak. Sama aplikasi pinjaman online.
Bayangin, kamu udah jujur ngisi data penghasilan, ngisi nama lengkap, KTP discan, selfie sambil megang KTP yang bikin muka kayak ketahuan bohong waktu SD—eh hasilnya, “Maaf, pengajuan Anda ditolak.”
Padahal aku pikir, ini zaman katanya menghargai kejujuran. Kenapa malah aku yang jujur jadi susah dapet limit? Apa sistem AI-nya terlalu jujur juga buat bilang, “Mas, kamu kayaknya butuh dipeluk, bukan dipinjemin uang.”
Tapi dari situ aku sadar: kadang jadi diri sendiri itu memang bikin kita harus ketawa getir sambil rebahan di kasur, mikirin kenapa jujur malah nggak mempan. Aku coba tanya ke temen, si Dani—yang entah kenapa limit pinjolnya bisa sampai sepuluh juta padahal kerjaannya main Mobile Legends doang.
Dani bilang, “Lu terlalu apa adanya, Bro. Di dunia ini, jujur itu kayak iklan, harus dibungkus dulu. Biar laku.”
Aku sempat mikir, apa benar ya? Apa hidup ini sebenarnya audisi panjang buat jadi versi ‘terbaik’ yang bukan kita? Apa hidup ini cuma soal siapa yang bisa ngasih impresi, bukan yang jujur apa adanya?
Suatu hari aku iseng buka catatan harian yang pernah kutulis waktu kuliah—sebuah masa di mana aku pernah percaya bahwa “jadi diri sendiri itu keren.” Di salah satu halamannya, aku nulis: “Kalau orang lain jadi berlian, aku akan tetap jadi batu kali yang sabar.”
Lucu juga. Sekarang bahkan batu kali pun bisa disemen dan dibentuk jadi dekorasi rumah minimalis. Sedangkan aku? Masih belum punya rumah.
Kadang aku bingung, jadi diri sendiri itu sebenarnya konsep atau jebakan? Soalnya, semua orang bilang, “Be yourself, be authentic,” tapi dunia nyata lebih sering kasih contoh kalau yang “jadi-jadian” malah lebih disukai. Kayak konten prank—yang palsu malah trending.
Tapi aku juga sadar satu hal: jadi diri sendiri itu bukan soal ditolak pinjol atau enggak. Bukan soal limit saldo, tapi soal limit kesabaran kita dalam menerima kenyataan—bahwa diri kita kadang nggak sesuai ekspektasi orang lain, bahkan diri sendiri.
Aku pernah mau coba jadi “orang lain” selama seminggu. Gaya berpakaian diganti, cara ngomong disesuaikan, status di media sosial diatur supaya kelihatan produktif, pakai quotes bijak tiap pagi.
Tiga hari pertama, lumayan. Like naik, chat masuk, bahkan ada yang tiba-tiba ngajak ngopi padahal biasanya ngacangin.
Hari keempat, aku mulai capek. Capek pura-pura seneng, capek nahan nggak ngeluh, capek update story pagi-pagi padahal bangun jam sebelas. Hari kelima, balik lagi ke celana pendek belel dan hoodie favorit. Muka lecek, tapi hati plong.
Lucunya, waktu aku mulai nerima kalau aku ya memang gini adanya—dengan semua keanehan, kekacauan, dan selera musik yang ngaco—malah makin banyak orang yang bilang, “Eh, lu sekarang lebih asik, ya.”
Aku nggak tahu itu pujian atau kode keras buat bilang, “Akhirnya lu berhenti sok keren.”
Tapi yang jelas, mungkin jadi diri sendiri itu bukan tentang gimana caranya kita bisa disukai semua orang. Mungkin itu tentang ngerasa damai walaupun cuma disukai sama tiga orang: mama, sahabat kita yang sama-sama aneh, dan kita sendiri.
Kembali ke soal pinjol, akhirnya aku dapet juga limit—setelah pakai email baru, sedikit “menghias” penghasilan, dan upload selfie yang kelihatan lebih profesional (pakai filter, tapi jangan bilang siapa-siapa). Ironis, ya? Jadi diri sendiri ditolak, jadi “sedikit editan” malah di-approve.
Tapi bukan itu poinnya.
Poinnya, aku belajar bahwa hidup bukan cuma soal jujur atau bohong. Tapi soal memilih mana yang harus kita pertahankan, dan mana yang cukup dijadikan pelajaran.
Kalau semua orang bisa jadi diri sendiri sepenuhnya, mungkin dunia ini isinya orang-orang jujur tapi sering ngambek. Tapi karena kita hidup di dunia nyata, kadang kita memang harus kompromi—bukan pura-pura, tapi pinter-pinter menempatkan diri.
Di akhir hari, aku selalu percaya satu hal: kalau kamu capek karena berusaha jadi orang lain, itu wajar. Tapi kalau kamu capek jadi diri sendiri, itu bukan berarti kamu gagal. Mungkin kamu cuma lagi butuh istirahat. Sama kayak HP—walaupun asli dan original, tetap perlu di-charge.
Dan kalau kamu pernah ditolak pinjol gara-gara terlalu jujur, ingatlah: mungkin Tuhan lagi bilang, “Udah, jangan ngutang dulu, nabung aja pelan-pelan.”
Toh, jadi diri sendiri itu juga investasi. Emang hasilnya nggak langsung cair tujuh hari kerja, tapi hatimu bisa lebih lega. Dan kalau ada yang bilang, “Kok kamu gitu banget sih?” Jawab aja: “Emang gini adanya. Tapi aku lucu, kan?”
Akhirnya, meski dunia nggak selalu ngerti, aku tetap milih buat jadi diriku sendiri—dengan segala kekurangan, tapi juga keunikan yang nggak bisa dicicil lewat pinjol.
Kalau kamu juga ngerasa kayak aku, mari sini. Duduk bareng. Kita bukan gagal. Kita cuma manusia biasa... yang tahu cara ketawa, bahkan saat limit pinjol ditolak.