Pernah nggak, kamu ngerasa hidup kamu kayak jalan kaki di treadmill? Capek, keringetan, tapi tetap di tempat.
Aku sering. Bahkan terlalu sering.
Setiap ada yang nanya, “Tujuan hidup kamu apa?”
Aku langsung pengen pura-pura jadi patung dan berharap mereka pergi.
Soalnya, aku nggak tahu jawabannya. Beneran.
Orang-orang di sekitarku kayaknya punya semua jawaban itu. Ada yang mau jadi direktur, ada yang pengen punya 3 cabang usaha di usia 30, ada yang ngotot nikah sebelum umur 25 karena katanya “biar anaknya bisa jadi sahabat.”
Sementara aku?
Aku cuma punya dua hal yang pasti dalam hidup:
1. Cemilan selalu bikin suasana jadi lebih baik.
2. Mie instan nggak akan pernah mengkhianati perasaan.
Jujur aja, aku pernah coba punya tujuan hidup yang keren.
Tahun lalu, aku bikin vision board. Iya, kayak yang viral-viral di TikTok itu.
Ditempelin gambar-gambar rumah minimalis, foto orang kerja sambil senyum di laptop, terus gambar cowok dan cewek romantis lagi piknik—biar vibes-nya positif.
Satu bulan kemudian, kertas itu copot gara-gara lem tembaknya kalah sama angin kipas.
Sama kayak semangatku yang ikut rontok.
Aku sadar, mungkin bukan karena aku nggak punya impian. Tapi karena aku terlalu sering dibanding-bandingin sama “versi ideal” dari diriku sendiri yang belum tentu pengen aku jadiin nyata.
Dulu, waktu kecil, setiap orang tanya, “Mau jadi apa kalau besar nanti?”
Jawabanku selalu beda. Kadang dokter, kadang astronot, kadang penyanyi, kadang pemilik warnet.
Dan tiap kali aku jawab, semua orang senyum dan bilang, “Wah, hebat!”
Tapi sekarang, kalau aku jawab, “Aku belum tahu sih, tapi yang penting aku bisa makan tiga kali sehari,” ekspresi mereka berubah.
Ada yang kasihan, ada yang nahan tawa, ada juga yang langsung nyuruh ikut seminar motivasi.
Padahal aku cuma jujur.
Kenapa ya, makin besar kita malah makin dituntut untuk tahu segalanya?
Makin dewasa, harus makin punya “arah.” Padahal kadang yang aku butuhin cuma duduk di teras sambil makan kacang kulit, dengerin hujan, dan mikir, “Yaudah, nanti juga jalan sendiri.”
Yang bikin aku bertahan sejauh ini bukan karena tujuan hidup, tapi karena hal-hal kecil.
Kayak:
..Nemu keripik favorit diskon.
..Nonton ulang film lama dan tetap ketawa di bagian yang sama.
..Beli gorengan dan dapet bonus satu.
..Temen yang tiba-tiba ngechat cuma buat bilang, “Lagi kangen kamu.”
Aku sadar, hal-hal kecil itu justru yang jadi jangkar.
Nggak harus selalu spektakuler.
Kadang cuma butuh satu plastik makaroni pedas buat ngerasa hari ini masih layak dijalani.
Tapi tentu aja, ada hari-hari di mana aku overthinking.
“Kalau aku terus gini, gimana nanti?”
“Orang lain udah sejauh itu, aku masih di sini-sini aja.”
“Gimana kalau aku ternyata hidup cuma buat jadi figuran di cerita orang lain?”
Dan biasanya, saat-saat kayak gitu terjadi pas malam, ketika semua udah tidur, dan aku sendirian di kamar sambil makan biskuit.
Lucunya, biskuit itu rasanya kayak bahu buat bersandar. Nggak ngomong apa-apa, tapi nemenin.
Kadang aku mikir, mungkin tujuan hidupku sekarang bukan buat jadi luar biasa, tapi buat belajar nerima bahwa biasa pun nggak apa-apa. Ada satu momen yang bikin aku mikir lebih dalam.
Waktu itu aku lagi di angkot, duduk di pojok, dengerin lagu mellow lewat earphone, sambil mikir, “Hidup ini mau ke mana sih?”
Tiba-tiba ibu-ibu di sebelahku nyolek.
“Mas, ini udah sampai, lho.”
Aku bengong.
Ternyata, aku kelewat dua halte dari tujuan.
Saking sibuknya mikir hidup, aku malah lupa aku udah di dalamnya.
Ironis, ya?
Hidup itu kadang gitu. Kita sibuk banget mikirin arahnya, sampai lupa nikmatin perjalanannya.
Padahal kadang, nikmatnya ada di momen-momen kecil yang kita lewatin gitu aja.
Aku bukan orang yang punya rencana lima tahun ke depan.
Tapi aku tahu besok aku pengen beli tahu isi di warung depan.
Dan mungkin, itu cukup untuk sekarang.
Karena mungkin hidup itu bukan soal seberapa cepat kita sampai, tapi seberapa sering kita berhenti sejenak dan bilang ke diri sendiri, “Kamu hebat, udah bisa bertahan sampai sini.”
Aku pernah bilang ke temenku, “Aku takut hidupku nggak berarti.”
Dia jawab, “Lha, emangnya cemilan nggak berarti? Padahal dia yang sering nyelametin mood kamu.”
Dan aku ketawa. Karena iya juga.
Mungkin aku belum jadi siapa-siapa. Tapi aku udah jadi seseorang yang bisa bikin orang lain ketawa, jadi tempat curhat temen yang patah hati, dan jadi pribadi yang (walau kadang malas), tetap bangun tiap pagi dan coba jalani hari.
Dan itu berarti.
Jadi, buat kamu yang lagi ngerasa kosong, ngerasa belum punya arah, ngerasa stuck dan bingung...
Kamu nggak sendirian.
Kita semua pernah ada di titik itu.
Dan nggak apa-apa.
Kamu boleh istirahat.
Boleh mikir pelan-pelan.
Dan sambil mikir, makan cemilan. Siapa tahu jawabannya datang pas kamu ngunyah.
Karena hidup itu kayak ngemil. Kadang nggak sadar udah setengah bungkus. Tapi setidaknya, selama prosesnya, kita sempat ketawa, sempat ngerasa enak, dan sempat lupa kalau hidup itu kompleks.
Jadi kalau sekarang kamu belum tahu tujuan hidupmu, tapi kamu tahu snack favoritmu, tempat nyamanmu, dan orang-orang yang bikin kamu merasa cukup...
Itu juga bentuk arah.
Bukan semua orang harus tahu mau ke mana, kadang cukup tahu kenapa kita masih mau jalan.
Dan buatku, jawabannya: karena masih ada cemilan. Dan harapan kecil. Dan tawa-tawa receh di tengah hari yang capek.
Dan itu cukup.