Waktu kecil, aku pernah merasa aneh karena satu hal:
aku nggak suka main bola.
Teman-temanku di kompleks tiap sore teriak-teriak di lapangan kecil pinggir gang, rebutan bola plastik warna oranye yang udah kempes setengah.
Sementara aku?
Di rumah. Main sendirian. Nyoret-nyoret kertas, bikin komik tentang kucing jadi superhero.
Dan setiap kali aku keluar rumah, ada aja yang komentar:
“Kamu kok nggak kayak anak laki-laki pada umumnya, sih?”
“Kamu kenapa sih nggak pernah ikut main?”
“Ih, cowok kok nulis-nulis?”
Aku nggak bisa jawab.
Karena waktu itu, aku belum ngerti juga kenapa aku beda.
Aku cuma tahu...
aku nggak nyaman jadi seperti yang mereka harapkan.
Lama-lama, aku tumbuh dengan dua perasaan yang lucu tapi membingungkan:
1. Aku merasa beda sendiri.
2. Tapi aku juga nggak merasa unik-unik banget.
Kayak duduk di tengah konser dangdut, tapi kupingku cuma nangkep lagu-lagu jazz.
Aku nggak salah tempat, tapi juga nggak sepenuhnya cocok.
Masa-masa sekolah bikin perasaan itu makin terasa.
Waktu anak-anak lain heboh bahas sinetron remaja dan siapa yang pacaran sama siapa, aku malah sibuk mikir:
“Gimana caranya tidur siang di kelas tanpa ketahuan Bu Guru?”
Atau pas semua orang semangat buat ikut ekskul basket, aku malah daftar ke perpustakaan karena katanya bisa pinjam buku sampai lima biji tanpa denda.
Dan setiap kali aku berusaha masuk ke lingkaran mereka, ada suara kecil dalam diri yang bilang:
“Ini bukan kamu.”
“Kamu maksa banget.”
“Mereka ketawa, kamu cuma senyum bingung.”
Aku jadi kayak puzzle yang dipaksa masuk ke tempat yang potongannya beda.
Kadang muat, tapi hasilnya aneh. Nggak pas.
Sampai akhirnya aku berhenti mencoba jadi sama.
Tapi anehnya, aku juga belum sepenuhnya nyaman jadi beda.
Karena jujur aja…
jadi beda itu kadang terasa sepi.
Teman-teman punya topik ngobrol yang sama.
Aku punya pertanyaan-pertanyaan aneh yang nggak berani aku keluarin.
Teman-teman tertawa pada hal yang sama.
Aku ikut ketawa, padahal nggak ngerti lucunya di mana.
Lama-lama, aku jadi punya dua kepribadian:
yang satu buat tampil,
yang satu buat pulang.
Tapi ada satu hal yang menyelamatkanku waktu itu.
Teman yang juga “nggak sama”.
Namanya Yuni.
Dia anak yang sukanya baca buku bekas dan nonton film dokumenter.
Suaranya pelan, langkahnya kayak nggak mau ganggu lantai.
Aku inget banget, waktu anak-anak lain main benteng di halaman, kami duduk di tangga belakang sekolah sambil bahas:
“Kenapa orang dewasa suka bilang ‘nikmati masa muda’, tapi mereka sendiri stres?”
Pertanyaan yang bikin kami ketawa berdua, tapi juga mikir dalam diam.
Yuni adalah orang pertama yang bikin aku merasa:
“Aku nggak sendirian yang ngerasa beda.”
Dan itu... melegakan banget.
Bukan berarti aku langsung jadi percaya diri.
Tapi setidaknya aku tahu,
bahwa perasaan “nggak sama” itu bukan kutukan.
Cuma... sesuatu yang juga dimiliki orang lain, tapi nggak semua orang berani ngomongin.
Seiring waktu, aku mulai ketemu lebih banyak orang kayak aku.
Orang-orang yang juga merasa “nggak sepenuhnya masuk ke kotak.”
Ada yang suka menyendiri, tapi hatinya hangat.
Ada yang nggak bisa basa-basi, tapi jujurnya menyentuh.
Ada yang diam di tongkrongan, tapi penuh cerita dalam pikirannya.
Dan dari situ aku belajar,
beda itu bukan berarti sendiri.
Nggak sama itu bukan berarti salah.
Tapi tetap, ada momen-momen di mana aku bertanya:
“Apa jadinya kalau aku maksa diri buat jadi kayak mereka?”
“Apa hidupku bakal lebih gampang?”
“Apa aku bakal punya lebih banyak teman?”
Tapi aku juga sadar,
kalau aku maksa jadi “sama”,
aku bakal kehilangan yang paling penting: diriku sendiri.
Dan percaya deh,
nggak ada yang lebih nyesek daripada merasa sendirian dalam keramaian karena kamu pura-pura.
Aku bukan orang yang selalu pede.
Kadang aku juga masih ngerasa canggung kalau kumpul.
Masih suka bingung harus ngomong apa saat semua orang tertawa keras.
Tapi sekarang aku tahu...
aku nggak perlu memaksa diri buat nyatu, kalau ternyata tempat itu bukan buatku.
Aku bisa bikin ruang sendiri.
Ruang kecil, sederhana, tapi nyaman.
Dan mungkin, tanpa sadar, ada orang lain yang juga merasa aneh dan lega nemu ruang itu.
Pernah suatu waktu, aku posting sesuatu di media sosial.
Isinya random banget:
tentang bagaimana aku lebih suka senyap perpustakaan dibanding hiruk pikuk kafe.
Tentang bagaimana aku suka ngobrol dengan satu orang daripada rame-rame.
Dan yang bikin aku kaget adalah…
ada banyak yang balas,
“Sama banget!”
“Aku kira cuma aku yang kayak gitu.”
“Makasi udah nulis ini. Aku jadi nggak ngerasa sendirian.”
Dan waktu itu aku senyum sendiri.
Karena ternyata…
“nggak sama” kita itu bisa jadi jembatan buat orang lain merasa pulang.
Sekarang, aku belajar pelan-pelan untuk berdamai dengan ketidakmiripan.
Aku belajar bahwa jadi berbeda bukan berarti harus dijelaskan terus-terusan.
Bukan sesuatu yang harus dibela atau disetujui semua orang.
Terkadang cukup bilang ke diri sendiri:
“Ini aku. Mungkin aneh buatmu. Tapi ini nyaman buatku.”
“Aku bukan lebih baik, bukan lebih buruk. Cuma… lain aja.”
Dan itu cukup.
Mungkin kamu juga pernah ngerasa kayak gitu:
nggak cocok di tongkrongan,
nggak nyambung di obrolan grup,
bingung harus tertawa di mana dan diem di mana.
Kalau iya, aku cuma mau bilang:
“Kamu nggak aneh. Kamu cuma... kamu.”
Dan itu adalah hal paling keren yang bisa kamu peluk hari ini.
Karena jujur aja,
dunia ini udah terlalu ramai dengan orang-orang yang memaksa jadi versi yang sama.
Kalau kamu bisa bertahan jadi versi asli dirimu,
meskipun itu bikin kamu kadang merasa canggung,
kadang sepi,
kadang bingung,
itu adalah keberanian yang luar biasa.
Jadi, buat kamu yang hari ini masih ngerasa:
“Aku nggak beda sendiri, tapi nggak sama juga…”
Tenang.
Kamu bukan sendirian.
Dan kamu nggak harus selalu cocok di semua tempat.
Karena yang penting bukan seberapa mirip kamu dengan yang lain.
Tapi seberapa damai kamu dengan dirimu sendiri.
Dan percayalah... kadang jadi berbeda itu bukan hambatan.
Tapi cara Tuhan bilang:
“Aku pengen kamu jadi cerita yang nggak ditulis sama siapa-siapa selain kamu sendiri.”