Di dunia ini, ada dua tipe orang:
1. Yang hidupnya seperti sinetron striping.
2. Yang hidupnya seperti kasur empuk—kalem, anteng, dan selalu memanggil pulang.
Aku? Aku masuk tipe kedua. Yang kalau disuruh milih antara ikut keributan grup WhatsApp atau rebahan dengan mata setengah merem—aku akan pilih yang kedua. Karena jujur aja, aku lebih rela kehilangan update gosip ketimbang kehilangan waktu tidur siang.
Teman-temanku sering bilang aku ‘kurang update’. Padahal bukan kurang, aku memang nggak terlalu minat. Aku nggak ngerti kenapa orang bisa ribut soal siapa yang ghosting siapa, siapa yang unfollow siapa, atau siapa yang ganti foto profil tapi caption-nya pakai kutipan dari lagu galau.
Yang aku tahu pasti: kalau aku nggak tidur cukup 8 jam, aku bisa sedih beneran.
Salah satu temanku, sebut saja namanya Vina, tipe orang yang hobi banget drama. Kalau pagi aja udah cerita,
“Eh, tau nggak sih, tadi aku mimpi dikejar mantan!”
“Terus tadi waktu aku story, dia lihat! Kayaknya dia masih sayang deh!”
Aku, sambil ngunyah roti bakar dan belum terlalu bangun dari mimpi sendiri, cuma bisa jawab,
“Mungkin dia juga baru bangun dan lagi iseng scroll.”
Tapi Vina nggak puas. Dia percaya semuanya punya makna tersembunyi.
Mantan lihat story? Pertanda.
Langit mendung? Pertanda.
Lagu sedih muncul di shuffle? Pertanda besar.
Aku?
Pertanda aku harus tidur lagi.
Jujur aja, dulu aku sempat ngerasa aneh.
Kenapa aku nggak semeleleh itu kalau liat mantan?
Kenapa aku nggak bisa ikutan merasa deg-degan tiap liat gebetan update story?
Kenapa aku lebih milih ngatur jam tidur daripada ngatur hati?
Tapi lama-lama aku sadar, ini bukan soal aku kurang peka. Ini soal aku tahu kapasitas.
Aku tahu, kalau aku mulai larut dalam drama, aku nggak bisa fokus ke yang penting. Kayak jaga kesehatan mental, pekerjaan, atau sekadar... makan tepat waktu.
Ada suatu masa, aku sempat coba ikutan jadi “drama-friendly”. Biar nyambung ngobrol. Biar nggak ketinggalan topik. Aku coba stalking mantan, baca caption mantannya pacar temenku, bahkan ikut debat receh di kolom komentar akun gosip.
Hasilnya?
Capek.
Pusing.
Dan... gagal tidur siang.
Waktu itu aku bilang ke diri sendiri,
“Bukan berarti kamu membosankan karena nggak suka drama. Kamu cuma beda prioritas.”
“Dan nggak semua orang harus hidup kayak skrip FTV.”
Tapi lucunya, di tengah semua kesukaan orang terhadap keributan, selalu ada ruang untuk orang-orang kayak aku.
Contohnya, waktu teman-temanku ribut karena ada yang saling sindir di grup, aku justru diminta jadi “penengah”.
Padahal aku sama sekali nggak ngerti masalahnya apa. Aku hanya bilang,
“Mungkin kita semua capek. Gimana kalau break dulu, terus lanjut nanti pas suasana udah adem?”
Dan tahu nggak? Itu berhasil.
Kadang yang dibutuhkan dunia bukan orang yang ikut heboh. Tapi orang yang bisa diem sebentar, tarik napas, dan... tidur.
Tidur itu underrated, tahu nggak?
Waktu kita tidur cukup, kita jadi lebih jernih mikir. Lebih tenang. Lebih nggak gampang tersulut emosi.
Makanya kalau ada yang bilang:
“Kok kamu kayaknya tenang banget sih?”
Jawabanku simpel:
“Soalnya aku tidur 9 jam semalam.”
Waktu hidup mulai ribut, tidur adalah tombol "mute" yang paling murah dan efektif.
Tapi bukan berarti hidupku sepi dari drama, ya.
Kadang, drama itu datang juga. Cuma bedanya, aku memilih untuk tidak selalu ikut main.
Contohnya, ketika ada orang yang tiba-tiba nyuekin aku tanpa alasan. Atau ketika sahabat sendiri tiba-tiba jaga jarak. Atau saat orang tua ngomel karena aku belum juga ‘kelihatan serius’. Dulu, aku akan mikir sampai kepala berat. Sekarang? Aku ambil napas, nonton video kucing di TikTok, lalu... tidur. Nanti pas bangun, siapa tahu solusi udah datang sendiri. Atau... minimal mood-ku udah balik.
Kadang kita berpikir jadi “diri sendiri” harus selalu aktif, cerewet, dan punya banyak cerita.
Tapi ternyata, jadi diri sendiri juga bisa berarti: diam. Menepi. Rebahan. Menolak ikut ribut.
Dan itu sah-sah aja. Bahkan perlu.
Karena nggak semua pertempuran harus dimenangkan dengan argumen. Kadang, yang menang justru yang nggak ikut perang.
Aku jadi ingat satu kejadian lucu waktu kuliah.
Teman-temanku ribut besar karena ada yang nyontek. Grup rame. Ada yang bikin polling. Ada yang left grup.
Aku? Lagi tidur siang.
Pas bangun, grup udah ganti nama jadi “Maaf-Maafan Aja Yuk”.
Aku bahkan nggak tahu drama apa yang terjadi.
Tapi jujur, aku merasa damai. Karena tidur membuatku lepas dari pusaran emosi yang kadang terlalu ribet untuk dimengerti. Dari situ aku belajar, mungkin aku memang bukan bintang utama di panggung kehidupan orang lain. Tapi aku bahagia jadi penonton yang duduk santai, sambil ngemil dan sesekali... tidur.
Hidup ini bukan soal siapa yang paling banyak dramanya. Tapi siapa yang nggak kehilangan akal sehatnya di tengah semua itu.
Dan tidur—buatku—adalah salah satu bentuk self love paling nyata.
Jadi kalau kamu, kayak aku, lebih memilih kasur daripada keributan...
Lebih memilih mimpi indah daripada debat sengit...
Lebih memilih damai daripada ramai...
Selamat.
Kamu bukan membosankan. Kamu cuma tahu cara menyelamatkan diri.
Dan itu bukan kelemahan. Itu keahlian.
Akhir kata, aku punya prinsip:
“Kalau sebuah drama nggak membuatku bahagia, kenapa aku harus ikut main?”
Biarkan dunia ribut. Biarkan orang berlomba jadi paling tersakiti.
Aku? Aku cukup tidur yang nyenyak. Biar bisa bangun dengan hati yang utuh, bukan kepala yang penuh.
Karena kadang, yang paling waras...
adalah mereka yang tahu kapan harus berhenti ikut-ikutan, dan mulai mendengarkan tubuh sendiri.
Termasuk tubuh yang bilang, “Sudah, yuk... bobo dulu.”
Dan kalau nanti kamu bangun,
ceritakan dunia dari versi yang lebih tenang.
Karena bukan berarti kamu diam,
kamu nggak punya cerita.
Kamu cuma sedang menyusun ulang babak,
dengan mimpi sebagai jeda yang paling menyembuhkan.