Ada masa di hidupku di mana aku bisa senyum lebar banget di foto, padahal habis nangis semalaman. Mata masih sembap, tapi filter Instagram bekerja keras seperti krim mata impian emak-emak.
Itu bukan aku yang bahagia. Itu aku yang pandai akting.
Dan jujur aja, capek.
Salah satu skill paling sering dipakai di zaman sekarang adalah: memanipulasi ekspresi wajah.
Lagi bete? Senyum.
Lagi sedih? Senyum.
Lagi pengen tidur tapi diajak hangout? Senyum juga, tapi sambil ngantuk.
Apalagi kalau udah sampai sesi selfie bersama.
Wajahku bisa senyum 34 kali dalam 10 menit, tapi dalam hati aku kayak lagi antre BPJS jam 5 pagi—panas, capek, dan nyaris menyerah.
Yang paling lucu adalah ketika teman-teman pada bilang:
“Eh, kamu tuh selalu ceria, ya!”
“Aku tuh suka lihat kamu. Positif vibes banget.”
“Kamu tuh kayak nggak pernah sedih.”
Padahal... ya Tuhan, kalau mereka tahu berapa kali aku nangis diem-diem di toilet kantor.
Berapa kali aku pura-pura sibuk main HP supaya nggak ikut pembicaraan yang bikin kepala meledak.
Berapa kali aku jawab,
“Aku baik-baik aja kok,”
...padahal pengen jawab,
“Aku capek. Tolong beliin aku cilok dan peluk aku bentar.”
Tapi yah, budaya kita memang begitu, kan?
Bahagia itu harus kelihatan. Bahkan kalau perlu, disaksikan orang banyak.
Kita diajarkan buat jadi "kuat", padahal kadang kita cuma pengen jadi "nyaman".
Dan yang lebih parah, kita mulai menyangka bahwa orang lain benar-benar seceria selfie mereka.
Padahal belum tentu. Bisa jadi, selfie itu diambil setelah pertengkaran hebat. Atau setelah menangis satu jam. Atau... ya, cuma pengalihan biar nggak mikir terlalu keras tentang hidup.
Aku pernah ada di masa itu.
Pura-pura kuat.
Pura-pura bahagia.
Pura-pura ngasih “motivasi” ke orang lain, padahal diri sendiri bingung hidup ini arahnya ke mana.
Ada satu kejadian yang bikin aku sadar, ini semua... konyol.
Waktu itu aku lagi di sebuah acara reuni kecil. Teman-teman sibuk selfie, update story, caption penuh semangat dan nostalgia.
Aku senyum. Ikutan.
Lalu pas lagi ambil minum sendirian di dapur rumah teman, aku lihat wajahku di kaca kulkas:
Datar. Kosong. Letih.
Kayak nasi kering yang lupa diangkat dari magic com.
Itu pertama kalinya aku ngerasa,
“Loh, aku siapa, ya?
Kenapa aku bisa terlihat senang banget, tapi nggak ngerasain apa-apa?”
Setelah itu aku mulai melakukan satu hal yang langka:
jeda.
Aku nggak selalu ikut selfie grup.
Aku mulai jujur kalau aku nggak pengen pergi.
Aku mulai posting story tanpa harus kelihatan 'sempurna'. Kadang malah cuma foto gelas teh dengan caption:
“Hari ini nggak pengen ngapa-ngapain.”
Dan anehnya?
Respons-nya malah hangat.
Ada yang bilang,
“Sama, aku juga. Aku capek.”
“Makasi udah jujur. Aku kira aku sendirian.”
“Kok aku ngerasa ini mewakili aku banget, sih?”
Dari situ aku belajar satu hal penting:
Kita nggak sendirian. Kita cuma sering sok kuat bareng-bareng.
Kita ngeluh dalam hati, tapi senyum di kamera.
Kita hancur di kamar, tapi ceria di caption.
Kita pengen diem, tapi merasa harus tetap menghibur.
Padahal... ya nggak harus. Nggak ada aturannya juga.
Bahagia itu bukan sesuatu yang harus diumumkan terus-menerus.
Kadang, bahagia itu justru datang ketika kita nggak perlu pura-pura.
Ketika kita bisa bilang,
“Hari ini aku sedih.”
“Hari ini aku pengen tidur aja.”
“Hari ini aku nggak bisa ikut senyum-senyum manis.”
Dan itu valid.
Itu manusiawi.
Kita hidup di zaman di mana selfie dianggap bukti hidup bahagia.
Padahal, kalau kamu tanya hatinya, mungkin dia akan jawab:
“Aku cuma pengen diterima.”
“Aku nggak pengen bikin orang khawatir.”
“Aku takut kalau kelihatan rapuh.”
Tapi, kamu tahu nggak?
Ketika kita jujur tentang rasa lelah dan kesedihan, justru di situ kita kelihatan kuat.
Karena nggak semua orang berani jujur.
Ada masa ketika aku ngerasa harus jadi lucu terus.
Bercanda di tongkrongan, jadi ‘badut’ di grup, ngasih quotes lucu tapi dalem di story.
Sampai akhirnya aku sadar,
kok badutnya sedih, ya?
Kayak Joker, tapi versi yang tetap ngutang pulsa dan makan mie instan tengah malam.
Dan waktu aku mulai bilang,
“Hari ini aku nggak bisa jadi lucu dulu, ya.”
Ternyata nggak apa-apa.
Nggak ada yang marah.
Nggak ada yang nge-judge.
Malah banyak yang bilang,
“Gue juga. Kita istirahat bareng, yuk.”
Karena ternyata, banyak dari kita yang hidup di bawah tekanan untuk selalu kelihatan “oke”.
Padahal nggak ada manusia yang “oke” setiap hari.
Ada hari di mana kita luar biasa.
Ada hari di mana kita bangun aja udah prestasi.
Ada hari di mana kita senyum, bukan karena bahagia... tapi karena udah kebiasaan.
Jadi mulai sekarang, aku bikin aturan sendiri:
1. Kalau capek, nggak selfie.
2. Kalau lagi sedih, boleh bilang.
3. Kalau cuma mau tidur seharian, nggak perlu rasa bersalah.
4. Kalau bahagia beneran, baru share. Tapi tetap, secukupnya.
Karena ternyata...
hidup lebih ringan kalau nggak harus pakai topeng setiap saat.
Dan buat kamu yang juga pernah pura-pura bahagia demi konten,
aku ngerti rasanya.
Aku tahu itu bentuk bertahan.
Aku tahu kadang kita cuma nggak pengen ditanya-tanya.
Tapi semoga kamu tahu juga:
kamu berhak istirahat.
Kamu berhak nggak selalu tampil “baik-baik saja”.
Kamu nggak harus selfie untuk membuktikan bahwa kamu kuat.
Karena kekuatan sejati...
kadang justru terlihat saat kita berani menurunkan senyum palsu, dan bilang pelan:
“Aku manusia. Aku capek. Tapi aku masih di sini.”
Dan itu, menurutku, jauh lebih keren daripada semua filter Instagram.
Hidup ini bukan panggung yang harus selalu kita isi dengan akting.
Kadang, cukup duduk di pinggir panggung,
tanpa makeup,
tanpa lighting,
tanpa senyum palsu.
Lalu berkata,
“Hari ini, aku cuma mau jadi aku.”
Dan itu... sudah lebih dari cukup.