Aku itu tipe orang yang kalau ke warteg aja butuh waktu sepuluh menit buat milih lauk. Bukan karena pilihannya susah, tapi karena aku harus memastikan sayurnya segar, sambelnya merahnya pas, dan ayam gorengnya tidak terlalu kering. Kadang, abangnya udah berdiri di belakang sambil nahan sabar, dan aku masih berkutat antara telur balado atau tempe orek. Ujung-ujungnya? Nasi putih doang, sambel dikit. Terlalu ribet, bahkan buat diri sendiri.
Dan di situlah aku sadar, jadi aku itu ribet. Tapi anehnya, aku suka.
Dulu, aku pernah nyoba hidup "lebih gampang". Ikut-ikut aja sama saran orang. Pakai baju yang lagi tren biar kelihatan update, ngikutin gaya hidup minimalis padahal hatiku penuh sentimen, bahkan sempat ngepret rambut biar keliatan edgy. Tapi yang aku rasakan cuma satu: lelah pura-pura cocok. Rasanya kayak pakai sepatu kekecilan. Awalnya terlihat keren, tapi lama-lama jempol berontak. Dan hidup yang harusnya jadi perjalanan menyenangkan, malah jadi parade rasa sesak.
Sampai akhirnya aku mikir: Kenapa sih aku harus nyusahin diri jadi orang lain, padahal jadi diri sendiri aja udah cukup ribet?
Contoh paling gampang adalah soal cara aku menanggapi masalah.
Kalau orang lain bilang, “Sudahlah, jangan dipikirin.”
Aku?
“Gimana nggak kepikiran? Kan aku yang ngalamin!”
Aku tuh overthinker kelas berat. Bukan level mikirin ‘besok makan apa’, tapi level mikirin:
“Kalau aku tadi jawab ‘terserah’ dengan nada yang salah, dia bakal sakit hati nggak, ya?”
“Kenapa aku diketik ‘hehe’ doang di chat? Itu artinya dia sebel atau emang lagi hemat huruf?”
Iya, aku tahu itu capek. Tapi aku juga tahu, itu bagian dari aku.
Kadang aku membayangkan, gimana ya kalau aku punya versi diri yang lebih simpel?
Mungkin aku akan jadi orang yang bisa jawab “nggak papa kok” dan emang beneran nggak papa. Bukan yang jawab “nggak papa” tapi malamnya denger lagu sendu sambil liatin langit-langit kamar. Mungkin aku akan jadi tipe yang posting di Instagram tanpa mikir caption-nya harus ngena atau enggak. Atau yang bisa bilang “iya” tanpa mikir 700 kemungkinan setelahnya. Tapi kemudian aku mikir lagi—kalau aku sesimpel itu, mungkin aku nggak akan jadi aku. Aku nggak akan nulis cerita seperti ini. Aku nggak akan nemuin kekonyolan yang sering jadi bahan ketawa sendiri di kamar.
Dan jujur aja… aku nggak pengen kehilangan versi ribet ini.
Pernah suatu hari, aku diskusi sama teman soal kepribadian.
Dia bilang, “Lo tuh orangnya terlalu mikir, terlalu sensitif. Coba lebih santai. Biar gampang hidupnya.”
Aku cuma senyum. Karena aku tahu, jadi santai itu bukan fitur default-ku. Itu butuh upgrade. Butuh latihan.
Dan aku juga tahu, jadi sensitif bukan berarti aku lemah. Justru aku bisa menangkap hal-hal kecil yang orang lain mungkin lewatin. Kayak ketika teman cerita sambil nyengir, tapi matanya beda. Aku tahu dia pura-pura bahagia.
Atau ketika keluarga bilang, “Kamu sehat, kan?” Aku bisa tangkap nada khawatir di balik tanya itu. Dan itu bukan kelemahan. Itu kekuatan. Walau sering bikin capek juga sih.
Salah satu kebiasaan ribetku adalah: nggak bisa langsung bilang “enggak”.
Kalau ada yang ngajak ketemu, aku butuh waktu 5 menit buat mikir alasan nolak. Bukan karena nggak mau, tapi karena aku takut nyakitin hati. Bahkan ke orang yang dulu pernah ghosting aku!
Kadang aku bikin skenario:
“Kalau aku bilang nggak bisa hari ini, tapi dia lihat aku update story lagi ngopi, gimana ya?”
“Kalau aku nolak sekarang, nanti dia ngajak lagi nggak, ya?”
“Kalau aku ngajak pindah hari, dia pikir aku annoying nggak?”
Padahal solusinya gampang: jujur aja. Tapi buat orang sepertiku, jujur itu kayak naik rollercoaster tanpa sabuk pengaman. Seru, tapi deg-degan.
Tapi tahu nggak bagian paling absurd dari jadi aku?
Aku suka semua keribetan itu.
Aku suka ketika aku butuh waktu lama nulis caption karena pengen tiap kata punya rasa. Aku suka ketika aku ngulang-ulang lagu yang sama karena merasa liriknya lagi ngobrol langsung ke hatiku. Aku suka ketika aku ngerasa nggak bisa dijelasin pakai satu kata, tapi seribu cerita. Aku suka ketika aku sadar: aku memang ribet, tapi aku juga penuh warna. Dan warna itu… bukan buat menyenangkan semua orang. Tapi cukup untuk bikin hidupku sendiri jadi lebih hidup.Aku pernah coba berubah. Ngeredam sisi-sisi ribetku. Jadi lebih “netral”. Lebih aman. Lebih kalem.
Tapi hasilnya? Aku kayak kehilangan sinyal dari dalam diri sendiri.
Ternyata bukan aku yang salah, tapi ekspektasi orang yang terlalu sempit. Dunia sering pengen kita jadi versi sederhana yang bisa dipahami semua orang. Padahal kadang, kita perlu ruang untuk jadi rumit. Untuk nggak langsung dimengerti. Untuk bisa dijelajahi pelan-pelan.
Dan dalam proses itu, kita bisa ketemu dengan orang-orang yang nggak pengen kita berubah. Yang bilang:
“Lo ribet, tapi itu lo banget. Dan itu asik.”
“Lo mikirin hal-hal kecil yang orang lain anggap remeh, dan itu bikin lo istimewa.”
“Gue seneng denger cerita lo, walau kadang suka muter dulu kayak nonton film drama Korea 16 episode.”
Mungkin, yang kita butuh bukan perubahan, tapi penerimaan.
Bukan jadi orang baru, tapi nyaman dengan diri sendiri—yang kadang rempong, kadang berantakan, kadang absurd, tapi jujur. Dan ternyata, makin aku nerima diriku, makin banyak yang nerima juga. Karena energi tulus itu nular. Orang bisa lihat mana yang palsu, mana yang memang dari hati.
Aku pernah bilang ke diriku di depan cermin,
“Kamu nyebelin sih. Tapi kamu juga lucu. Dan aku… sayang sama kamu.”
Rasanya aneh. Tapi juga… hangat.
Akhirnya aku sadar, jadi diri sendiri itu nggak selalu harus jadi gampang. Kadang, justru dengan segala keribetan dan keanehan, kita jadi punya cerita. Punya gaya. Punya daya tarik yang nggak bisa disalin. Karena hidup ini bukan soal jadi orang yang paling “mudah dipahami”. Tapi soal jadi versi diri yang paling jujur, walau butuh waktu buat bisa nyaman dengannya.
Dan kalau ada orang yang bilang aku ribet?
Aku cuma jawab:
“Iya, aku ribet. Tapi ini hidupku. Dan aku suka.”
Dan semoga kamu juga begitu.
Menjadi diri sendiri memang ribet. Tapi kalau bukan aku, siapa lagi yang bisa jadi aku dengan sepenuh hati?