Waktu kecil, hidupku sederhana. Cita-citaku cuma satu: jadi polwan.
Kenapa polwan? Karena seragamnya keren. Sepatunya mengilap. Dan mereka bisa tiup peluit tanpa disuruh siapa-siapa. Ada kekuasaan dalam peluit itu—yang bikin orang berhenti, jalan, atau minggir hanya karena suara “tiiit!” dari bibir yang serius. Aku yang waktu itu belum ngerti apa-apa soal pajak dan surat tilang, ngerasa: wah, ini power sejati.
Aku ingat banget, waktu TK, aku diminta maju ke depan dan ditanya:
“Kalau udah besar mau jadi apa?”
Dan aku jawab dengan penuh semangat,
“Mau jadi polwan, Bu! Biar bisa tangkep maling!”
Padahal yang kupikir maling itu kayak di kartun—pakai baju garis-garis, bawa karung, dan gampang ditangkap. Nggak pernah terpikir bahwa di masa depan, bentuk “maling” itu bisa macam-macam. Termasuk yang mencuri waktu, kepercayaan, atau bahkan... harga diri sendiri.
Namun seiring waktu, hidup ternyata bukan cerita detektif di buku anak-anak. Aku tumbuh. Rambutku makin susah diatur. Logikaku mulai melawan. Dan cita-cita itu mulai bergeser.
Bukan karena aku nggak suka polwan. Tapi karena ternyata... aku lemah dalam pelajaran olahraga. Dan menurut guruku, polwan, itu harus kuat, bisa lari 12 putaran tanpa pingsan, serta tahan ditempeleng kenyataan hidup.
Sementara aku? Lari dua putaran udah mual, dan kalo ditanya, “Masa depanmu mau dibawa ke mana?” aku cuma bisa jawab, “Terserah takdir aja deh.”
Akhirnya, cita-cita jadi polwan mundur pelan-pelan. Diganti impian lain yang lebih fleksibel. Pernah pengen jadi penulis. Pernah pengen jadi astronot. Pernah juga mau jadi tukang bakso, gara-gara pas SD liat abang bakso naik motor sambil nyanyi, hidupnya keliatan bebas dan penuh lagu.
Dan sekarang?
Aku nggak jadi polwan. Tapi aku sering… dipertanyakan.
“Kerjamu apa sih sebenernya?”
“Serius kamu betah kerja begitu?”
“Kamu yakin ini jalan hidupmu?”
Pertanyaan-pertanyaan itu datang dari mana-mana. Dari orang tua. Dari teman lama. Bahkan dari diri sendiri, pas tengah malam saat scroll TikTok tiba-tiba muncul konten motivasi pakai backsound piano sedih.
Awalnya aku tanggapi biasa aja. Tapi lama-lama… capek juga.
Kenapa ya, hidupku selalu harus dijelaskan? Kenapa nggak bisa cukup dengan, “Aku baik-baik aja, kok,” tanpa disambung dengan, “Tapi kenapa kamu belum punya rumah? Belum nikah? Belum jadi kepala divisi?”
Aku kadang ingin tanya balik: kenapa kita harus jadi “apa” terus-terusan? Kenapa nggak cukup jadi “siapa”?
Aku ingat satu momen waktu reuni SMA.
Seorang teman—sekarang kerja di bank dan selalu update soal saham—nanya sambil senyum simpul:
“Lo kerja di mana sekarang?”
Aku jawab, “Masih freelance sih, kadang nulis, kadang ngajar, kadang... rebahan sambil mikir hidup.”
Dia ketawa, tapi agak datar. Terus bilang,
“Wah, lo nyantai banget ya hidupnya.”
Dan aku cuma senyum, padahal dalam hati pengen jawab:
“Nyantai bukan berarti tanpa beban, bro. Kadang aku duduk diem aja, tapi kepala muter kayak kipas angin 4 speed.”
Di mata banyak orang, hidupku terlihat seperti orang yang "nggak pasti". Tapi buatku, justru aku sedang mencari yang pasti dari segala yang semu.
Ada satu titik di mana aku sempat merasa minder. Setiap liat teman-teman posting pencapaian: naik jabatan, punya bisnis sendiri, buka toko roti, bahkan adopsi kucing ras yang lebih glowing dari wajahku... aku mulai ngerasa kecil. Kecil bukan karena mereka salah. Tapi karena aku membandingkan jalurku dengan jalan tol orang lain.
Padahal aku ini lebih kayak jalan tikus. Kadang sempit. Kadang becek. Tapi selalu nemu jalan keluar, walaupun lewat gang belakang.
Hidupku bukan plot film Marvel dengan CGI keren. Tapi lebih ke komedi indie yang kadang absurd, kadang mellow, tapi jujur dan nyata.
Dan di situ aku sadar, mungkin aku nggak jadi polwan, tapi aku lagi belajar menertibkan isi kepala sendiri—yang kadang lebih ramai dari terminal bus.
Yang paling lucu adalah... orang tuaku juga masih suka tanya:
“Kamu yakin nggak mau ikut tes CPNS aja?”
“Kerja yang pasti-pasti dong. Masa kerja nggak ada gaji tetap?”
Aku pengen jawab:
“Bu, hidup aja nggak tetap. Kadang kita senang, kadang nangis karena liat foto lama. Kadang ngopi semangat, kadang ngopi sambil keringetan karena liat saldo rekening.”
Tapi aku tahu, mereka cuma khawatir. Mereka tumbuh di zaman di mana "aman" berarti punya kantor, seragam, dan slip gaji. Sementara aku... tumbuh di zaman di mana “aman” adalah bisa jadi diri sendiri, walaupun dicibir.
Aku mulai belajar menerima bahwa bentuk kesuksesan itu beda-beda. Ada yang bentuknya mobil baru. Ada yang bentuknya bisa tidur nyenyak. Ada juga yang bentuknya: bisa jujur dengan hidup sendiri.
Dan itu... lebih langka dari kelulusan tes CPNS.
Terkadang, jadi diri sendiri itu memang capek. Apalagi kalau ternyata “dirimu” bukan seperti yang dunia harapkan.
Tapi di situlah lucunya.
Aku jadi sering menemukan tawa-tawa aneh dalam hidupku. Ketika ngelamar kerja ditolak 7 kali berturut-turut, aku ketawa sendiri,
“Mungkin semesta lagi main UNO, dan aku belum dapet kartu ‘Skip’.”
Atau ketika orang bilang, “Kamu kok masih gini-gini aja sih?”
Aku jawab, “Karena aku menikmati fase ‘gini-gini aja’ sebelum masuk fase ‘wah banget’.”
Padahal dalam hati aku juga bingung arah hidup. Tapi lebih baik dibawa senyum daripada stres berkepanjangan.
Sekarang, kalau ada yang tanya, “Kamu masih mau jadi polwan?”
Aku jawab, “Aku nggak jadi polwan. Tapi aku tetap jaga keamanan.”
“Keamanan apa?”
“Keamanan mentalku sendiri.”
Karena jadi diri sendiri itu butuh keberanian. Butuh tenaga. Kadang kayak maraton tanpa sepatu, seperti di Prolog. Tapi setelah semua luka lecet dan kaki pegal, kita sadar... ternyata kita tetap bisa sampai juga ke tujuan. Dengan langkah sendiri. Dengan cerita sendiri. Mungkin aku nggak nangkep maling. Tapi aku berhasil nangkep sisi diriku yang dulu sempat hilang karena berusaha jadi orang lain.
Dan rasanya... itu cukup. Malah, bisa jadi—itulah keberhasilan terbesar dalam hidupku
.“Nggak apa-apa nggak jadi polwan. Yang penting jangan jadi penipu, apalagi nipu diri sendiri.”