Mom always reminds me that I'm diamond. Diamond cannot be destroyed.
***
Hujan.
Ruby menghentikan langkah dan merapat ke koridor sekolah. Hari ini, ia lupa membawa jaket atau payung. Jika ada nilai sempurna untuk hari yang sial, mungkin Ruby akan melabeli hari ini adalah hari paling tidak beruntung selama hidupnya. Setelah dilabrak Cleopatra, tidak dibela Rimba, ia juga mesti menghadapi tuduhan dari Bu Hartini. Entah mengapa, Ruby merasa aneh dengan hidupnya, masalah datang seperti serangan rudal di medan perang: tak henti-henti.
Apakah ini terjadi karena ia sudah tidak ada pelindung lagi? Hanya orang kecil yang seorang diri. Kata 'gembel' dan 'tidak setara' yang dilontarkan Cleopatra memenuhi kepalanya. Berulang kali Ruby coba lupa, tetapi masih saja ada. Iya sih, dia memang bukan siapa-siapa. Bukan seperti mereka yang memiliki rumah mewah, mobil mencolok dan gaya hidup selangit. Ruby tahu, kok.
Di sekolahnya yang merupakan sekolah negeri favorit dan berada di lingkungan elite ini, kalangan atas memang banyak. Dia beruntung masuk ke sini karena sistem domisili. Kawasan rumahnya masuk ke dalam hitungan radius dekat dengan sekolah walaupun jauh secara perjalanan karena jalurnya memutar. Yang dekat dengan sekolahnya adalah beberapa perumahan mewah, orang kaya banyak di sekolahnya. Akan tetapi, tidak semua sombong seperti Cleopatra.
Ruby tahu Naraya itu tajir melintir, rumahnya besar dan sangat mewah. Ia pernah lewat rumah itu tepat ketika mobil cewek tersebut berhenti dan hendak masuk di depan pagar. Namun, ketika di sekolah, Naraya tidak memperlihatkan statusnya.
Begitu juga Rimba, semenjak menginap di kamar jaga perawat, Ruby akhirnya tahu apa yang dimaksud dengan Pure Blood. Itu adalah istilah untuk anak dari sepasang dokter. Namun, dia juga baru tahu mengapa Mbak Tri berkata kalau Rimba itu Extra Luxury Authentic Blood. Hal itu karena tidak hanya ayah dan ibu Rimba saja yang berprofesi sebagai dokter, kedua kakek dan nenek Rimba juga berprofesi dokter. Bukan dokter biasa, melainkan deretan dokter subspesialis yang memiliki kedudukan tinggi, mulai dari pemilik rumah sakit, mantan Menteri Kesehatan hingga Dekan Fakultas Kedokteran. Akan tetapi, Rimba tidak pernah menyombongkan hal tersebut dan cowok itu mau berteman dengan siapa saja yang dianggapnya asyik.
Setelah perkataan Cleopatra tadi, ia tersadar kalau Rimba ataupun Naraya bukan sekelas dengannya. Tak pantas berteman dengan dia.
Kaki hujan semakin deras, tempias sampai ke muka Ruby. Ia menengadah, menahan mata yang membasah. Selama ini hartanya yang ada memang hanya keluarga, kedua orang tua.
Ruby mendesah. Ia rindu Gamal dan Mentari. Saat ini, rasanya ingin sekali dipeluk oleh mereka. Sakit sekali ternyata merindu, ketika tahu tidak akan lagi pernah bertemu, yang ada hanya harapan-harapan palsu.
Tenggorokannya terasa tercekat lebih perih. Ia mengulurkan tangan, membiarkan telapaknya dibasahi hujan. Sekolah sudah kosong, tak berpenghuni. Ia pulang paling sore, hari ini. Kosong dan gelap, sama seperti hidupnya.
Sepi.
Dingin.
Kelam.
Ruby mulai menutup mata, mencoba meresapi hujan dari celah jari. Ia majukan badan agar terkena basah sehingga tidak ada yang tahu kalau ia menangis. Tidak manusia, tidak juga hewan atau tumbuhan. Ia ingin menangis tanpa siapa pun tahu. Lelah sekali rasanya, dadanya terasa terimpit, dan ia perlu mengeluarkan sesak yang ada.
Mungkin hujan akan lebih mengerti dirinya dari siapa pun di dunia. Mungkin langit lebih menyayanginya daripada makhluk yang berotak dan berhati tapi tidak berempati. Meski kaki-kaki air itu terasa merajam, ia tidak peduli. Isak mulai lolos dibasuh hujan yang mengusap tangisnya berkali-kali. Ia masih ingat bagaimana tuduhan Bu Hartini tadi. Hanya karena nilainya sempurna lebih daripada Rimba, lantas dituduh semena-mena.
Tadi setelah selesai ujian terakhir, Ruby melangkah ke kantor guru. Ia dipanggil oleh Bu Hartini. Panggilan ini terasa mengejutkan untuknya. Apakah ia akan remedial kembali? Akan tetapi, bukankah sudah diumumkan kalau UAS kali ini tidak ada remedial?
Ruby bingung, rasa-rasanya ia berusaha menjawab dengan baik dan benar. Bahkan sampai tiga kali mengecek ulang semua jawaban sebelum dikumpul. Kakinya mendekat ke meja Bu Hartini. Wanita itu memicing melihatnya. "Iya, Bu? Ibu memanggil saya?"
"Duduk, Ruby." Ajakan itu membuat Ruby mengangguk. Sang guru di hadapan menyerahkan sebuah kertas. Lembar jawaban UAS miliknya. Ruby mengerutkan alis ketika melihat nilainya yang sempurna. Maksud Ruby, jika ia bernilai sempurna kenapa dipanggil juga?
"Kamu pasti heran kenapa Ibu panggil kamu," ulas Bu Hartini diiringi anggukan Ruby. Mata wanita itu menyerang tepat ke iris matanya. "Ibu meminta kejujuran kamu, Ruby. Semua jawaban esai di lembar jawaban ini persis kata-katanya dengan yang ada di buku."
Sebuah buku dibuka Bu Hartini tepat di bagian halaman yang juga ditandai Ruby di bukunya. Ruby masih tidak mengerti maksud Bu Hartini dan menunggu Ibu itu untuk berbicara lagi. "Tidak ada bedanya, Ruby. Semua penjelasannya sama persis. Kamu ... menyontek?!"
Tuduhan barusan terasa meninju dadanya tepat di ulu hati, membuat Ruby terkesiap. "S-saya?"
"Iya, saya mencurigai kamu menyontek, Ruby. Bahkan Rimba saja tidak mendapat nilai 100 untuk UAS kali ini. Sebelum masalah ini menjadi panjang, lebih baik kamu jujur ke saya. Kamu menyontek?!"
Ruby menggeleng cepat, pedih sekali dituduh seperti itu.
Ibu itu terlihat tersenyum dengan senyum sangsi. "Baik, kalau begitu. Saya minta kamu kerjakan kembali UAS ini. Silakan buktikan kepada saya kalau kamu tidak menyontek kemarin."
Sebuah kertas kosong dengan selembar soal UAS diulurkan Bu Hartini kepadanya. Ruby menerima meski dadanya makin bergolak. Ia menarik napas panjang dan dalam, berusaha berkonsentrasi. Butuh tiga puluh menit bagi Ruby menyelesaikan semua soal yang ada. Ia juga memeriksa kembali lembar jawabannya dan menyerahkan ke Bu Hartini yang sedari tadi mengawasi langsung.
Mata Bu Hartini membandingkan dua lembar jawaban miliknya, lantas menggeleng-geleng. "Ruby, yang kamu tulis di lembar ini dan lembar satu lagi semuanya sama. Titik komanya juga sama. Kok bisa? Kamu bawa sontekan?"
"Saya nggak menyontek, Bu. Saya memang belajar dari buku itu." Ruby menunjuk buku yang dibuka Bu Hartini.
"Manalah mungkin bisa sama persis?! Saya bukan orang yang bisa kamu tipu-tipu. Jelas-jelas kamu langganan remedial. Kok bisa tiba-tiba melejit begini? Lebih baik kamu jujur dengan saya. Saya ini wali kelas kamu."
Ruby diam terpaku. Dia tidak tahu bagaimana lagi menjelaskan kepada wanita itu bahwa dia memang tidak menyontek.
"Ini terakhir saya meminta kamu jujur, Ruby. Sebelum saya meminta putar ulang CCTV yang ada. Jika sampai saya minta CCTV berarti kamu harus berurusan dengan guru BK."
Ruby menatap muka wali kelasnya itu. Suara orang itu sama dengan suara yang mengungkit anak teroris di sekolah. Kenapa Bu Hartini tendensius sekali kepadanya? Dadanya terasa terhantam batu dan dia hanya bisa mengulas senyum pahit, pasrah saja saat wanita itu bilang akan memproses semua kecurigaannya ini.
Ia mengusap mukanya, menghapus basah yang ada karena hujan dan tangisan. Kejadian tadi masih saja terbayang di pelupuk mata. Bahkan setelah memiliki nilai sempurna pun ia mendapat masalah. Memang Ruby tempatnya di bawah. Andai bisa, ia ingin kembali seperti dulu saja. Ruby yang biasa-biasa saja, tidak mendapat nilai sempurna, tidak kenal Rimba dan tidak dibenci Cleopatra. Namun, bisa minta ke siapa hal ini? Doraemon dan mesin waktu cuma ada di televisi.
Ruby mengembus napas lagi, terang di bawah lampu sorot bukanlah dunianya. Ia berjalan menerobos hujan, membiarkan badannya menjadi kuyup. Ruby perlu menenangkan diri dari semua hal aneh yang ada dalam hidup, tak peduli badannya menjadi menggigil.
Hujan benar-benar terasa membasuh sedihnya. Ia menatap rinai yang jatuh sangat rapat. Tak ada senja yang indah sore ini. Hari meredup dengan langit yang menangis keras. Mungkin ada tiga kilometer Ruby berjalan sendiri. Sesekali ada yang melihatnya dengan pandangan ganjil, tetapi Ruby benar-benar masa bodoh. Ia merasa sangat rapuh dan ingin bersandar. Ia ingin hujan mengabulkan segala doanya dan memberikan pelukan.
"Everything is gonna be alright, By."
Ruby tiba-tiba teringat perkataan Rimba. Cowok itu pernah hadir saat Ruby ingin sekali dipeluk. Dia mengibaskan kepala agar ingatan tentang Rimba terlontar, tetapi bukannya lupa, Ruby malah didera-dera suara Rimba.
"Gue di sini, lo nggak sendiri."
Ruby juga teringat perkataan Rimba saat dirinya menangis. Matanya menatapi jalanan sekitar rumah. Sekilas bayangan ia bermandikan hujan berdua Rimba lewat begitu saja, membuat bibirnya bergetar.
Hujan belum reda sesampai Ruby di rumah. Ia berjalan di tengah rumah dengan tetesan air dari seragamnya, sama seperti tetesan minyak yang dituang Rimba pada roknya. Ketika ia menoleh ke meja makan, ia seperti menemukan bayangan tawa jail Rimba meminta air.
Secepat kilat Ruby meraih handuk dan menenggelamkan kepalanya di bawah handuk. Benar ancaman Rimba saat itu, dia tersesat terlalu jauh dan tidak mudah untuk mencari jalan keluar. Seperti membayangi, kenangan Rimba datang dari berbagai penjuru. Saat dijaili, saat berani membalas ucapannya, saat tertawa bersama dan saat cowok itu ada di sela-sela sedihnya.
Ruby duduk dalam diam. Tangannya menarik laci meja belajar, mengeluarkan lipatan kain berwarna merah. Slayer yang tidak diketahuinya milik siapa. Mungkin besok akan dititipkan kepada Untung saja, siapa tahu ada yang benar-benar kehilangan. Ruby tahu bagaimana susahnya mengikuti pelantikan hanya untuk mendapatkan sepotong benda itu.
Apa slayer ini punya Rimba?
Matanya tak sengaja melihat buku Rapijali pemberian Rimba. Diraihnya buku ketiga yang sudah selesai dibaca saat menunggu papa di ICU. Benar kata buku ini, Ada banyak manusia dalam hidup kita. Tapi, tidak semua punya kekuatan untuk bikin kita patah hati. Kira-kira, orang seperti apa yang punya kekuatan begitu?
Bunga pemberian Rimba juga ada, sudah kering tetapi masih ada di vas, belum Ruby buang. Bunganya memang sudah mati, kenangannya masih hidup membuat dadanya berdenyut-denyut.
Hujan masih saja deras. Hujan di akhir tahun memang datang menambah suram. Ruby membuka jendela dan duduk di kusen, menatap hujan yang masih basahi taman gelap di luar sana.
Apa yang terjadi pada hidupnya memang tidak bisa diprediksi. Ruby sudah pasrah bagaimana Bu Hartini kepadanya. Ia akan terima jika Ibu itu bersikeras tidak percaya. Begitu pun dengan Cleopatra, terserah cewek itu saja, toh antaranya dengan Rimba memang tidak ada apa-apa. Namun, mengapa rasanya kesal sekali tidak dibela Rimba? Sedangkan cowok itu selalu bilang akan bersamanya dan dia tidak sendiri.
Ruby sebal dengan ingatan auditory-nya saat ini. Ia bergulat dengan perasaannya sendiri yang runyam. Ruby tidak pernah punya dendam atau benci dengan siapa pun. Dari kecil, ia tidak suka bermasalah dengan hatinya.
Satu sisi, ia benar-benar marah sama Rimba. Namun, sisi lainnya, ada keinginan tertawa bersama lagi. Cowok asing itu orang pertama di luar keluarganya yang menghadirkan banyak tawa. Cowok itu pernah membuatnya bisa memercayai orang lain. Kehadiran Rimba membuatnya tidak terlalu terpuruk selama Gamal di ICU.
Apa dia harus memberi Rimba waktu untuk berbicara? Tetapi untuk apa? Papanya juga sudah tiada. Dijelaskan atau tidak oleh Rimba, tidak akan pernah mengembalikan Gamal lagi kepadanya. Ia ingat bagaimana tatapan Rimba belakangan ini kepadanya. Mungkin saja cowok itu sudah lelah atas usaha selama ini sehingga memilih balik mengabaikannya. Bukankah kesabaran seseorang memiliki batas? Apalagi untuk orang seperti Belantara Rimba yang selalu dinomorsatukan. Rimba pasti jemu dengannya.
Ruby memandangi mawar yang sudah cokelat dan mengering. Seandainya Mentari masih ada, tentu enak sekali membagi gundah gulana. Ruby tidak tahu apa yang harus diperbuatnya sedangkan Rimba lagi-lagi menginvasi kepalanya.
Ucapan dan tindakan pemuda itu sering kali hadir di ingatan, menyebalkan sekaligus menyenangkan, membuat sedih juga membuat senang. Dan satu yang harus Ruby akui meskipun dia diam selama ini. Dia menginginkan lagi saat-saat bersama Rimba.
Benar-benar halusinasi tingkat tinggi, jelas-jelas cowok itu sudah bersama Cleopatra. Ruby menggosok-gosok kepalanya yang masih basah setelah berganti baju. Tak mau berlama-lama terpaku akan pikiran abnormal, ia menuju kamar papa, mengambil kursi dan mulai meraih koper di atas lemari. Ia tahu Gamal selalu menyimpan dokumen penting di dalam sebuah koper tua berbahan kulit, berwarna cokelat. Setahun yang lalu, surat-surat tentang kematian Mentari juga disimpan di situ.
Kali ini, Ruby harus mengurus semuanya selain surat keterangan kematian dari rumah sakit yang sudah ada. Ada banyak surat yang harus Ruby urus, mulai dari surat keterangan ahli waris, surat kuasa ahli waris dan juga akte kematian.
Ia harus menutup rekening atas nama Gamal, mengurus pensiun, asuransi dan lain-lain. Ia memang berkabung, sedih, tidak percaya tetapi ia juga sadar kalau ia tidak bisa tenggelam selamanya. Ia sudah tidak punya siapa-siapa. Lantas siapa lagi yang bisa dipercayanya selain dirinya sendiri? Harus percaya dengan tonggak yang mana selain percaya sama kakinya sendiri? Untung saja dalam pengurusan ada Pak RT dan RW berjanji akan membantunya yang tidak begitu paham mengenai semua ini.
Ruby menekan tuas di kanan dan kiri koper, ia ingat kode koper tersebut. Setumpuk dokumen menyembul seperti mengucapkan salam kepadanya. Perlahan Ruby meraih kertas-kertas itu, membacanya satu per satu.
Surat dari maskapai penerbangan yang menyatakan Mentari sebagai salah satu korban kecelakaan pesawat, surat kematian dari kelurahan, surat ahli waris dari pengadilan yang menerangkan dirinya dan Gamal sebagai ahli waris juga akte kematian Mentari. Ia beranjak membaca surat-surat lainnya. Bibirnya tersenyum kecil menemukan buku nikah orang tuanya. Ibunya itu terlihat klasik dan cantik dalam foto di buku tersebut.
Mata Ruby menyipit, menemukan setumpuk dokumen lain. Di kertas-kertas itu menuliskan nama orang yang tidak dikenalnya.
Sashenka Zenya Sakharov.
Ini nama Mama? Nama yang cantik, batin Ruby. Selama ini dia hanya tahu nama panggilan mamanya saja yaitu Sasha. Itu pun dia tahu saat mama bertemu teman-teman lamanya.
Sedari kecil, ia hanya tahu nama mama Mentari Mahameru. Entah mengapa Mentari tidak pernah menceritakan ihwal pergantian nama.
Tangannya membuka dan membaca dengan teliti dokumen yang ada. Tak lama, Ruby menemukan foto usang. Foto keluarga, sepertinya keluarga mama. Ia membalik foto, di balik foto ada tulisan nama-nama orang yang ada. Ia juga menemukan nama kakek dan neneknya. Ruby bahkan sampai mengeja nama kakeknya tersebut.
Keingintahuan segera membuat Ruby meraih ponsel, mengetikkan nama tersebut di mesin pencarian. Keluarlah foto sang kakek dan artikel berbahasa Rusia dengan alfabet Kiril. Beruntunglah ia sempat diajari Mentari dan sering diajak berbahasa Rusia sebagai bahasa rumah antar mereka berdua, sehingga tidak merasa kesusahan membaca bahasa yang dianggap sulit di dunia.
Setelah membaca dengan perlahan, Ruby tersenyum. Pantas saja Mentari sering frontal, rupanya sang kakek juga aktivis HAM pada masanya. Kakek sempat melawan kepemimpinan Stalin dan dipenjara. Meski itu berarti pemberontak, Ruby tetap bangga. Ketika seseorang percaya atas sesuatu yang dianggap benar dan memperjuangkannya, bagi Ruby itu adalah hal yang keren. Karena mungkin ia belum bisa sehebat itu, karena ia mungkin akan memilih diam dan menepi —tidak melawan arus atau mengikutinya.
Perlahan, Ruby membuka dan menyortir dokumen yang ada. Ponselnya berdering, tak ada nomor penelpon di layar. Sang penelpon memakai private number dan diabaikannya.
Kartu keluarga, akte kelahiran, akte kematian dan surat-surat yang dirasanya penting dijadikan satu. Ruby menemukan sebuah agenda lama dan dibukanya. Ternyata itu adalah agenda mama.
Ponselnya masih berdering-dering. Ruby memutuskan untuk mengangkat telpon.
"Halo..." Penelpon di seberang tidak ada suara. "Halo?" sahut Ruby lagi.
Ia menoleh ke layar, panggilan masih berlangsung. "Halo..."
Tidak ada suara. Ketika Ruby ingin mematikan panggilan, terdengar denting piano dari penelepon. Masih tanpa suara, hanya nada dari permainan piano. Dalam diam, Ruby mendengar lagu itu sambil membaca isi agenda. Mentari menuliskan namanya dengan Рубин. Agenda itu tidak berisi tentangnya saja, tetapi sesuatu yang disebut Mentari sebagai mereka.
Dia, Permata Mirah Delimaku, Рубин.
Dari awal dia lahir, kami mengamati setiap detik pertumbuhannya. Kami mengamati dia mulai berbicara. Kami mengamati dia belajar berjalan. Kami mengamati dia berkembang.
Aku mendapati dia seperti dewi yang kami puja dan kami harapkan. Dia benar-benar cinta damai. Рубин tumbuh dengan damai di rumah yang nyaman, di lingkungan yang penyayang, di suasana yang tenang.
Рубин tidak suka cari huru-hara, pengalah, enggan menonjol. Tipikal Gamal sekali. Рубин cenderung menghindari konflik, tidak mudah beradaptasi sama keadaan yang tidak biasa.
Namun, semakin dia besar muncul kekhawatiran terdalamku atas sifatnya itu. Рубин tidak bisa terus begini. Karena nantinya dunia tidak selalu damai dan dia tidak bisa terus menghindari konflik yang datang. Dia tidak bisa seterusnya menjauhi masalah. Dia harus belajar untuk menghadapinya, kalau tidak dia tidak akan bisa menghadapi masalah yang ada di hidupnya.
Dunia dipenuhi kemungkinan-kemungkinan. Sekolah bisa saja tidak nyaman nantinya, teman-teman yang tidak bersahabat, guru yang subjektif, lingkungan yang tidak nyaman pasti akan dirasakannya.
Rumah yang bisa berubah sepi, sekitar yang tidak peduli bisa menderanya.
Mungkin juga ia akan tersandung masalah dalam asmara. Mungkin juga ia dirundung duka saat berkeluarga. Semua bisa saja terjadi dan dia tidak bisa lari begitu saja. Рубин harus belajar menyelesaikan masalahnya.
Kami memasukkannya aikido untuk basic skill belajar menghadapi masalah dan cara mengelola emosi. Supaya Рубин belajar tentang proses yang tidak mudah, tidak instan, tentang terus berlatih dan berusaha untuk bisa dapatkan apa yang dia mau. Capek, kesal, tidak enak harus dijalani. Nanti dia yang akan merasakan sendiri hasil dari usaha kerasnya.
Рубин harus tahu bahwa permata tidak akan langsung menjadi permata. Dia harus melalui proses di dalam perut bumi, melewati tekanan untuk mengasahnya agar berkilau. Jika tidak, tidak ada bedanya dia dengan batu lain. Karena itulah permata yang berkilau akan tetap menjadi permata sekalipun jatuh di lumpur.
апрель, 2014 (April, 2014)
Сашенька (Sashenka)
Tangis Ruby menitik lagi, diiringi alunan piano bersuara sedih. Pantas saja mama selalu bilang, "Yang membedakan permata dengan batu lain adalah tingkat tekanan yang mengubahnya."
Ternyata ini arti dari kalimat itu. Ruby menyudahi panggilan. Ia tidak ingin tangisnya didengar siapa pun. Seketika ia merasa bodoh atas kelakuannya selama ini. Pantas saja ia selalu mengingat Rimba, ia tidak pernah menyelesaikan masalah yang ada dan lari begitu saja. Padahal hati kecilnya ingin diyakinkan, ia ingin dijelaskan dan ia ingin bisa mengerti.
Ruby sudah menggenggam ponsel dan hendak mengirim pesan ke Rimba, saat pintu rumahnya terketuk.
Aku tahu setiap langkahku akan menuntun dua orang tersayang masuk ke lubang yang sama. Namun, sudah kuputuskan. Mereka tidak boleh menyentuh kami.
Lebih baik aku yang maju dan Gamal menjaga Рубин untukku.
ноябрь, 2023 (November, 2023)
Сашенька
Sebelum Ruby menutup buku, ia sempat membaca kalimat pendek di agenda itu. Pendek tetapi terasa menyesakkan. Karena tahun yang tertulis adalah tahun di mana Mentari pergi selamanya dari hidupnya.