Loading...
Logo TinLit
Read Story - HABLUR
MENU
About Us  

Fenomena tekanan merupakan akibat dari adanya dorongan pada benda dengan arah yang tegak lurus.

***

Rimba percaya, bukti itu perlu. Meski dua hari ini sudah ada bukti tersirat yaitu Ruby menghindar. Namun, ia perlu kumpulkan bukti-bukti lain. Ibaratnya Shinichi Kudo, Rimba perlu menginvestigasi. Itu juga yang mengantar Rimba sampai di depan rumah Ruby, siang ini. Tak peduli ponselnya bergetar dari tadi karena ditelepon oleh anggota Pasuspala yang lain. Lagi pula, Rimba sudah izin tidak ikut memantau latihan panjat, kok.

Rumah Ruby sepi. Taman berumput di depan rumah masih tertata dengan beberapa bunga-bunga. Cukup rapi, untuk rumah tanpa sentuhan tangan seorang Ibu. Ia coba menghubungi Ruby kembali, ponsel cewek itu masih tidak aktif. Dengan segenap keteguhan hati dan kebulatan tekat, Rimba turun dari motor, badan kokohnya menghampiri pintu. Diketuknya pintu itu berkali-kali, tidak juga ada jawaban. Ia mendesah agar tidak kesal, jangan-jangan Manekin Hidup itu lagi dengar musik pakai earphone

Masih berusaha sabar, Rimba mengetuk kembali, kali ini dengan memanggil Ruby. Siapa tahu ada keajaiban? Misalnya earphone cewek itu lepas, panggilannya terdengar lalu cewek itu menghambur ke pintu dan menyambutnya. Oh, tidak. Ini bukan halusinasi, toh tidak ada yang tidak mungkin terjadi di dunia. 

Kenyataannya, sabar sampai jempol melebar, tetap tidak ada juntrungan. Ia menendang pintu rumah dengan kesal. Gitu amat, sih, Liv! Amat aja nggak gitu!

Saat menunduk, Rimba menangkap sesuatu yang aneh. Bercak cokelat di lantai granit. Ia terbiasa melihat itu. Cowok tinggi itu berlutut, menggosok bercak yang ada. Benar dugaannya, itu darah kering.

Rimba terhenyak. Apa Ruby sakit? Atau geng yang kemarin itu membalas dendam?

Rimba mendadak gelisah. Memang sih Ruby bisa bela diri, tapi kalau dibekap banyak orang kan jadi nggak bisa melawan. Atau bagaimana kalau Ruby dihipnotis? Rimba bertambah kalut. Terpikirnya hal-hal aneh yang mengerikan, misalnya Ruby disekap di tempat gelap dan jauh, ponsel cewek itu dimatikan agar tidak bisa dilacak keberadaannya lalu orang tuanya diminta tebusan. Ya ampun, Ruby!

Ia meraih ponsel dengan cepat untuk mencari lokasi kantor polisi terdekat, tetapi panggilan dari nomor penting yang tertera di layar membuatnya mau tak mau mengangkat telepon.

"Halo, Pa..." jawabnya datar dan mendengarkan instruksi yang diberikan.

***

Setelah membuka pintu kokoh yang ada, Rimba lantas menuju ke Sekretaris dan memberitahu bahwa ia disuruh menghadap Lintang. Sekejap, Sekretaris sudah membukakan pintu lapis kedua untuknya. Aroma kayu cedar menyeruak ke penciuman Rimba, mengembalikan ingatan masa lampau. "Mas sudah ditunggu Bapak," ucap Sekretaris dengan hormat. 

Rimba masuk ke ruangan yang dahulu sering didatangi ketika kecil. Ia bahkan lebih sering tidur dan bermain di sini daripada di rumah. Saking jarangnya berjumpa dengan orang tua, Rimba kecil memilih bermalam di ruang kerja Lintang, menanti kapan papanya datang dan sempatkan diri bermain dengannya. 

Ruangan ini masih bersih, luas dan kaku. Pendingin udara bekerja keras membuat ruangan menjadi sejuk, menghalau panas yang datang dari luar melalui kaca-kaca besar di sisi ruangan. Di tengah ruangan, ada satu set sofa mewah berwarna merah marun, dan di sana, tidak hanya ada Lintang, juga ada Nabila, Opa dan Omanya. Orang-orang yang membuat rumah sakit menjadi sebesar dan sesukses ini. Meski ada harga yang mesti dibayar, kurangnya waktu bersama dirinya.

"Belantara Rimba sudah datang rupanya. Ayo, silakan duduk," sapa Opa. Lelaki tua itu masih gagah di umur yang hampir tujuh puluh tahun. Gurat-gurat yang ada dan rambut yang memutih tidak mencoreng wibawa yang dia punya. 

Tanpa suara, Rimba duduk di sisi sofa yang kosong. Ia dapat mendeteksi mengapa sampai dipanggil ke ruangan Kepala Rumah Sakit yang terletak di lantai paling atas bangunan. "Rimba nggak bisa lama-lama. Ada apa?" tanyanya tepat sasaran. 

Opa terkekeh. Rimba memang benar-benar garis keturunannya, lugas dan tanpa basa-basi. Sekretaris mengetuk dan masuk, menyajikan lima cangkir teh untuk mereka, kemudian beringsut keluar. Opa menunjuk cangkir teh di meja. "Minum dulu, biar rileks. Sudah lama tho kita nggak berkumpul lengkap begini?"

Tentu saja! Rimba menggeram dalam hati. Ia lupa kapan terakhir berkumpul lengkap. Bahkan saat lebaran, Lintang bisa tidak di rumah karena jadwal operasi yang padat atau Nabila mendadak meninggalkan rumah ketika dapat kabar pasiennya membuat rusuh. Ia sudah terbiasa hidup sendiri. Rimba meraih cangkir teh, berusaha menghormati Opa, menyesap sedikit teh beraroma pepermin. Dia mencoba untuk santai, walaupun tahu apa yang sedang dihadapi. 

"Begini..." Oma mulai membuka suara. "Papamu tadi bilang, kalau Rimba tidak mau masuk kedokteran, ya? Boleh Oma tahu alasannya kenapa?"

Ini lagi. Ini lagi. Poin ini akan dibahas terus sampai Rimba menyerah dan menurutinya. Rimba sudah ingin memuntahkan kembali tehnya.

"Guru biologi kamu juga telpon mamamu. Katanya kamu dipilih buat olimpiade biologi. Dari situ saja sudah kelihatan, kalau kamu itu cukup berkompeten." Oma memandang cucu satu-satunya. Tak ada jawaban, sosok itu hanya menundukkan muka.

"Kami bersusah payah membesarkan Pelita Bangsa bukan tanpa tujuan. Selain agar bisa menolong orang-orang, juga sebagai wadah berkarya anak cucu kami kelak."

Rimba menelan ludah dengan susah payah. Aroma pepermin terasa pedas, tertelan sampai ke hatinya.

"Tapi, rasanya... hati kami ini sedih. Mendengar cucu kebanggaan kami malah tidak ingin menjadi dokter. Cucu yang kami harap dapat melanjutkan perjuangan kami." Oma mulai berkaca-kaca. Tangan wanita itu digenggam Opa.

"Bukan tidak percaya sama orang lain. Namun, alangkah baiknya jika generasi kita sendiri yang meneruskan menjadi pimpinan. Mempelajari dan menguasai segala seluk beluk rumah sakit agar tidak disalahgunakan oleh orang lain yang cuma mau mengambil keuntungan pribadi." 

Nabila mulai mendekati Oma, mengusap-usap bahu, berusaha menenangkan mertuanya yang sudah menitikkan air mata. 

"Dengar, Rimba?" Sosok berjas yang sedari tadi duduk di sofa tunggal akhirnya angkat bicara. Selama ini, setiap kali membahas tujuan dan jurusan selepas SMA, mereka kerap kali berselisih paham. 

"Apa kamu tega melihat Oma kamu menangis seperti ini?" tanya Lintang pelan dan santai sambil melepas jasnya. Kontras dengan Rimba yang sudah mengetatkan rahang, melawan ketidaksukaan dalam hati. 

"Pertimbangkan baik-baik, Rimba. Masa depanmu memang pilihanmu, tapi orang tua juga membantu mengarahkan pilihan itu. Karena kami lebih tahu, kami sudah lahir lebih dahulu."

Sial. Itu lagi. Lahir lebih dahulu, lebih dahulu paham, lebih dahulu makan asam garam kehidupan, lebih dahulu mengerti, lebih dahulu tahu. Ia sudah puas mendengar kata-kata itu. Dengan segala kemuakan yang bercokol, Rimba mengangguk-angguk tak menjawab, hanya mengangkat kedua tangan pertanda cukup. Cukup untuk pembahasan kali ini. Cukup untuk selalu memaksanya mengambil jurusan kedokteran. Cukup! Toh, dia masih kelas sebelas. "Akan Rimba pertimbangkan. Rimba permisi dulu."

"Rimba! Kami belum selesai bicara." Lintang mulai meradang.

"Rimba nggak mau mengambil waktu kalian yang sangat berharga untuk mendiskusikan hal remeh begini. Rimba sudah mengerti, nanti akan Rimba putuskan."

Rimba meninggalkan ruangan yang digadang-gadang hebat menurut sebagian orang. Ia berjalan tanpa arah, turun melalui lift sampai lantai dasar. Kepalanya semakin penuh dan dia kalut dengan pikirannya sendiri sehingga tanpa sadar menabrak seseorang.

"Maaf." Suara itu seperti dikenalnya. Rimba menoleh kepada orang yang ditabraknya. Cewek itu sudah berjalan lagi. Ruby, iya itu Ruby. Tidak salah lagi.

***

Orang bilang, panik bisa membuat otak tidak bisa berpikir jernih. Tepat sekali! Siapa yang bilang gitu pertama kali? Mau Ruby tanya berapa nomor sepatunya. Nggak, bukan mau ngasih sepatu, hanya mau membuat penelitian, 'Analisis Nomor Sepatu Terhadap Tingkat Kejeniusan Seseorang'.

Hari sudah siang, perut Ruby mulai perih. Ia baru merasa lapar di hari ketiga. Ruby baru menyadari saat di rumah sakit, ternyata ia tidak membawa ponsel dan dompet, dua elemen penting di zaman ini. Bisa sih menumpang untuk telepon teman atau saudara di bagian administrasi dengan sedikit meminta tolong, tapi siapa saudara dan temannya? Tidak ada. Saat ini, Sensei dengan keluarganya sedang berkunjung ke Jepang untuk persiapan kuliah Yuriko. Lalu?

Rimba.

Nama itu datang kemudian. Ya ampun! Ruby sudah ingin berguling di taman depan ketika menyadari kebodohan lain. Dia tidak hafal nomor ponsel Rimba. Ruby merutuk dalam hati. Minta tolong sama siapa lagi, dong? Masa minta tolong ke kantor polisi? Kan jauh.

"Kue, Neng?" Seorang Ibu yang di sebelah Ruby menawari biskuit kepadanya. Mereka sama-sama menunggui pasien penghuni ruang kaca. "Nungguin siapa, Neng?"

"Papa saya, Bu." Setelah dipaksa-paksa, Ruby mengambil dua keping biskuit. Lumayan untuk mengganjal perutnya yang mulai unjuk rasa. "Ibu nunggu siapa?"

"Anak Ibu." Ibu itu menyodorkan air mineral kemasan gelas kepadanya. Ruby menilik sekilas, peralatan si Ibu cukup lengkap seperti mau piknik. Ada tikar, keranjang plastik yang berisi buah, biskuit dan minuman, ada juga bantal yang kalau pagi dilipat-lipat dan dimasukkan ke dalam tas. Begitulah penunggu pasien ICU, tidak ada ruangan khusus untuk beristirahat. 

Mungkin tahu kalau Ruby memperhatikannya, Ibu itu berkata lagi,

"Maklum ya, Neng. Udah kayak pindahan, kalo malem malah udah kayak orang jalanan."

Senyum kaku Ruby terkembang, mencoba menghargai ajakan bicara Ibu itu.

"Neng, kalo malam, tidur di samping saya aja. Nggak papa. Daripada di bangku taman, sakit. Saya bawa bantal dua, kok." Ibu itu lalu menyerahkan koran ke Ruby. "Ini koran buat tambahan alas Eneng nanti malam."

Ruby berdeham menyadari ternyata masih banyak orang baik di dunia. Ia menerima koran yang diberikan, tak lupa berterima kasih. Tanggal di sudut kanan atas koran dilihatnya, tanggal kemarin, mungkin bisa dibaca-baca nanti sambil membunuh waktu. Ruby lalu terlibat pembicaraan ringan dengan wanita baik yang memberinya biskuit sampai sore datang dan wanita itu permisi akan bergantian dengan suaminya. Dalam hati Ruby mulai berkomentar, kalau semua bisa gantian jaga lantas ia bergantian sama siapa?

"Ruby?" Sebuah suara memanggilnya. Ia menoleh. "Eh, bener Ruby. Ngapain di sini?"

Kursi roda Naraya maju ke arah Ruby. Ia memperhatikan muka yang tirus dan sedih, juga mengintip ruang kaca di belakangnya. Seolah mengerti, ia bertanya, "Siapa yang di ICU, By?"

"Papa, Kak," jawab Ruby pelan.

"Hah! Bokap lo kenapa?" pekik Naraya kaget. Cewek itu lantas membekap mulutnya sendiri. "Sori, sori, kelepasan. Kenapa bokap lo?"

Ruby hanya menarik garis lurus di bibir, tidak tersenyum, tidak juga menangis. Hambar. "Kecelakaan," pungkasnya, tanpa ingin menambahi penjelasan apa pun.

Kakak kelas berseragam sekolah itu lantas mengangguk. "Oh, kecelakaan. Lo yang sabar ya. Eh, lo nggak sekolah?"

Rupanya Naraya mengamati Ruby yang tidak memakai seragam. Kali ini, Ruby menggeleng. "Mau nungguin Papa. Takut waktu Papa bangun, Ruby malah nggak ada."

Dengan paham, kepala Naraya naik-turun lagi. "Iya, sih. Tapi jangan lama-lama izinnya. Bokap lo juga pasti sedih kalo lo nggak sekolah."

"Iya, Kak."

"Berdoa aja, By." Naraya memandang kembali ICU yang ditakuti semua orang. "Gue pernah dua bulanan jadi penghuninya," gumamnya pelan. "Tapi... Tuhan selalu punya keajaiban."

Tangan Naraya kemudian menepuk pundak Ruby, menyalurkan kekuatan.

Cowok yang sedari tadi diam di belakang kursi roda, kemudian ikut berkomentar, "Iya, benar. Yang penting selalu didoain. Dikirim dari mana pun, doa selalu sampai ke tujuan."

Mata Ruby refleks berkaca-kaca mendengar ucapan Renard, pacar Naraya. Ada haru dan lega bersamaan.

"Kamu... Jadi sedih kan dia," sahut Naraya mencubit tangan Renard. Cowok itu mengaduh pelan.

"Tapi benar yang kubilang, 'kan?" tukas Renard tidak terima. "Based on true story soalnya," tambahnya kemudian mengerling kepada Naraya, dibalas dengan cubitan lagi.

Ruby melihat pasangan itu dengan sedikit tersenyum, terhibur akan kehadiran keduanya. "Kakak ngapain di sini?"

"Gue? Oh, gue mau terapi, By." Naraya menunjuk kakinya. "Biar bisa jalan lagi, biar bisa lari, naik gunung, manjat dinding..." Celotehan cewek itu berhenti ketika pacarnya menjewer. "Ih, kenapa, sih? Salah mulu Adek di mata Abang."

Sang cowok hanya menjentik kening Naraya tidak menjawab, tapi Naraya seperti mengerti apa maksud pacarnya. Ruby suka melihat mereka berdua sedari kelas sepuluh. Mereka memang tidak seperti couple goals yang selalu romantis tetapi interaksinya alami dan apa adanya. Duh, Ruby jadi iri, jadi pengin punya ....

"Eh, Nama lo bagus, deh. Ruby, permata merah delima. Gue pengin ah punya anak cewek dinamain Ruby atau Safir. Cakep gitu. Sebenarnya permata hijau juga cakep ya, tapi kalo dinamain Zamrud kayak band nanti."

Sumpah, demi Pluto! Ruby tidak menyangka Naraya bisa seluwes ini bercerita kepadanya. Bagaimanapun Ruby ingat, teman sekelasnya ada yang pernah disemprot Naraya karena kepergok membicarakan di belakang. Selama ini yang Ruby ketahui, Naraya itu orang yang tak tersentuh dan kali ini, sisi lain kakak kelasnya itu terlihat.

"Dulu, gue pernah pengin namain anak dengan nama Hujan atau Senja. Tapi sekarang, bejibun nama itu. Hujan, Senja, Bulan, Bintang, Langit, Mentari, Pelangi apa lagi? Guntur, Angkasa. Mainstream deh pokoknya. Gue pengin nama yang khas," ungkap Naraya panjang.

"Renard dong, cuma satu di dunia! Khas banget," potong cowok kebule-bulean itu bangga. Tak lama, terlihat lagi balas membalas cubitan atau getokan di kepala. Pasangan yang absurd.

"Nama Mama Ruby, Mentari, Kak." Sepasaran apa nama tersebut, tetap menjadi  kebanggaan buat Ruby. "Mentari Mahameru," tambahnya pelan. Ruby tidak berniat untuk bercerita sih, hanya ingin memberitahu saja.

"Lha, lo anaknya Mema? Astaga. Kok gue baru tahu, sih?" Naraya memindainya. "Oh iya, pantes ya kulit lo pucet banget. Gue pikir kulit lo begini karena waktu nyokap lo hamil kebanyakan minum susu kedelai. Mitosnya sih gitu." Sosok itu tertawa sampai kursi rodanya ikut bergoyang. "Nama Mahameru cakep tuh. Pengin namain Rinjani tapi udah banyak juga yang pakai. Sebenernya nama si Kambing bagus sih. Belantara Rimba. Wuih, gahar. Tapi nanti dibilang ngefans lagi sama itu Kambing. Kan males gue."

Seketika Ruby mengingat Rimba. "Kak, maaf, boleh pinjam hape buat telpon Rimba?"

***

Tadi, dengan bekal ponsel Naraya, Ruby berusaha menghubungi Rimba. Sekali, dua kali, tiga kali, tidak diangkat. Pupus harapannya meminta tolong Rimba. Harus bagaimana lagi dia? Senja sudah bertamu dan petang akan segera berganti malam, Ruby bingung caranya pulang. Ia kemudian meraih koran pemberian ibu tadi. Wanita itu belum datang kembali. Hanya dia dan Ibu itu yang setia menunggu di depan ruang ICU, lainnya hanya menengok sesekali lantas pulang.

Dibacanya perlahan berita-berita yang ada. Tentang bahaya pergeseran tanah di pemukiman hasil timbunan rawa, tentang vlogger yang selingkuh, tentang artis yang tertangkap sedang mengonsumsi narkoba. Ia masih membaca setiap berita satu per satu dari helai-helai koran. Matanya terpancang pada satu berita kecil di halaman delapan.

DIDUGA TERORIS, SEORANG PRIA DITEMBAK OTK

Tangan Ruby bergetar tidak terima. Apa-apaan papanya dituduh teroris? Belum lagi di situ ada foto Gamal dengan berdarah-darah yang diambil ketika sampai di IGD. Ia meremas koran itu, geram. Siapa sih reporternya? Kenapa tidak memiliki etika dan kode etik jurnalistik?!

Tidak, Gamal bukan teroris! Papa pencinta damai, bagaimana bisa menjadi peneror? Lagi pula, sebelum menuduh seharusnya temukan bukti dahulu. Tidak ada bom, tidak ada senjata, tidak ada mesiu di rumahnya. Bongkar saja, sana.

Televisi di depan meja perawat menyiarkan berita tentang Gamal juga, Ruby sudah mau kehabisan napas menontonnya. Susah sekali untuk tenang ketika kenyataan mengimpitnya kiri dan kanan. Papanya masih di ICU, berita-berita yang tidak sedap tentang Gamal tayang di mana-mana. Ruby gamang, air mata sudah di ujung. Ia menunduk, menyeka agar buliran itu tidak menjadi parah.

Kuat, kuat, kuat. Ruby menghela napas berkali-kali, berusaha sugesti pikirannya sendiri. Hari ini, satu kenyataan menyadarkannya bahwa ia tidak punya siapa-siapa. Tidak ada saudara, tidak ada teman dekat. Cangkang yang ia punya melindunginya dan membuatnya tidak tersentuh dari dunia luar. Namun, juga memenjarakannya dalam dunia bernama sepi.

Ruby bangkit menuju perawat jaga, berniat meminta tolong untuk pesankan ojek online dan akan dibayarnya sesampai ke rumah nanti. Hatinya sakit sekali. Ia ingin menangis keras-keras, mengeluarkan kesedihannya sampai lega. Ia ingin dipeluk, tidak tahu oleh siapa. Hanya untuk menenangkannya bahwa ia tidak sendiri di dunia. Setelah itu, ia akan berusaha bangkit lagi, membuktikan kepada Gamal dan Mentari kalau permata merah mereka tidak akan pernah pecah.

Mustahil memang. Otaknya sering kali memikirkan hal-hal yang imaji. Ia malu untuk menangis, tetapi tangisnya keluar terus tanpa bisa dicegah. Air matanya menganak sungai. Ruby menunduk biarkan rambut menutupi mukanya, sampai-sampai ia menabrak seseorang.

"Maaf," ujarnya. Tanpa memandang muka orang yang ditabrak, Ruby terus berjalan menuju meja perawat. 

Orang itu menarik tangannya, membuat Ruby menoleh ke penarik. Mata Ruby yang sendu dan basah terlihat. Hilang sudah Ruby yang dingin dan apatis, sebuah kamuflase yang sering dipertontonkannya.

"Ruby? Lo kenapa?" 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dialektika Sungguh Aku Tidak Butuh Reseptor Cahaya
484      346     4     
Short Story
Romantika kisah putih abu tidak umum namun sarat akan banyak pesan moral, semoga bermanfaat
Bukan Pemeran Utama
36      35     0     
Inspirational
Mina, Math, dan Bas sudah bersahabat selama 12 tahun. Ketiganya tumbuh di taman kanak-kanak, sekolah dasar, hingga sekolah menengah yang sama. Dalam perjalanan persahabatan itu, mereka juga menemukan hobi yang mirip, yakni menonton film. Jika Bas hanya menonton film di sela waktu luang saat ia tak sibuk dengan latihannya sebagai atlet lari , maka kegandrungan Math terhadap film sudah berubah m...
JUST RIGHT
104      89     0     
Romance
"Eh, itu mamah bapak ada di rumah, ada gue di sini, Rano juga nggak kemana-mana. Coba lo... jelasin ke gue satu alasan aja, kenapa lo nggak pernah mau cerita ke seenggaknya salah satu dari kita? Nggak, nggak, bukan tentang mbak di KRL yang nyanggul rambutnya pakai sumpit, atau anak kecil yang lututnya diplester gambar Labubu... tapi cerita tentang lo." Raden bilang gue itu kayak kupu-kupu, p...
Beloved Symphony | Excetra
1340      575     0     
Romance
Lautan melintang tiada tuturkan kerasnya karang menghadang.
Gilan(G)ia
498      272     3     
Romance
Membangun perubahan diri, agar menciptakan kenangan indah bersama teman sekelas mungkin bisa membuat Gia melupakan seseorang dari masa lalunya. Namun, ia harus menghadapi Gilang, teman sebangkunya yang terkesan dingin dan antisosial.
Gebetan Krisan
505      358     3     
Short Story
Jelas Krisan jadi termangu-mangu. Bagaimana bisa dia harus bersaing dengan sahabatnya sendiri? Bagaimana mungkin keduanya bisa menyukai cowok yang sama? Kebetulan macam apa ini? Argh—tanpa sadar, Krisan menusuk-nusuk bola baksonya dengan kalut.
Tanpo Arang
38      32     1     
Fantasy
Roni mengira liburannya di desa Tanpo Arang bakal penuh dengan suara jangkrik, sinyal HP yang lemot, dan makanan santan yang bikin perut “melayang”. Tapi ternyata, yang lebih lemot justru dia sendiri — terutama dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar villa keluarga yang sudah mereka tinggali sejak kecil. Di desa yang terkenal dengan cahaya misterius dari sebuah tebing sunyi, ...
Kisah Kasih di Sekolah
774      501     1     
Romance
Rasanya percuma jika masa-masa SMA hanya diisi dengan belajar, belajar dan belajar. Nggak ada seru-serunya. Apalagi bagi cowok yang hidupnya serba asyik, Pangeran Elang Alfareza. Namun, beda lagi bagi Hanum Putri Arini yang jelas bertolak belakang dengan prinsip cowok bertubuh tinggi itu. Bagi Hanum sekolah bukan tempat untuk seru-seruan, baginya sekolah ya tetap sekolah. Nggak ada istilah mai...
ONE SIDED LOVE
1513      668     10     
Romance
Pernah gak sih ngalamin yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan?? Gue, FADESA AIRA SALMA, pernah!. Sering malah! iih pediih!, pedih banget rasanya!. Di saat gue seneng banget ngeliat cowok yang gue suka, tapi di sisi lain dianya biasa aja!. Saat gue baperan sama perlakuannya ke gue, dianya malah begitu juga ke cewek lain. Ya mungkin emang guenya aja yang baper! Tapi, ya ampun!, ini mah b...
Di Bawah Langit Bumi
2376      919     87     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...