Setiap partikel menarik partikel lain di alam semesta dengan gaya tarik yang sebanding dengan massa mereka.
***
"Ruby? Lo kenapa?" tanya Rimba takjub saat melihat Ruby menoleh kepadanya dengan hujan air mata. Tanpa menjawab, Ruby hanya terisak.
Semua kekalutan Rimba lenyap dan tangannya bergegas memeluk Ruby tanpa rencana. Cewek itu tidak menolak, malah menenggelamkan kepala di rengkuhannya. Rimba kemudian menepuk-nepuk bahu Ruby agar tenang. "Gue di sini, lo nggak sendiri."
Ruby melepas pelukannya. Cewek itu seperti tersadar bagaimana reaksi lepas tubuhnya ketika mendapat pelukan Rimba. Saat itu, mungkin Ruby benar-benar blank dan sekarang, kepala cewek itu tertunduk, tak sanggup melihat Rimba lagi. "Sori...."
Rimba tertawa pelan dan terdengar menghela napas. "Anything for you, Princess."
Rimba mengamati cewek yang sedari siang dia cari-cari. "Muka lo pucet, deh. Lo sakit? Lo ngapain di sini?" tanya Rimba memeriksa keadaan Ruby. Muka cewek itu terlihat pias dengan kemerahan di mata dan hidung, efek habis menangis mungkin? Namun membuat kadar menggemaskannya naik beberapa kali lipat. Jika saja Rimba tidak sadar, mungkin cewek ini akan diculik dan dibawanya pulang.
Ruby bercerita singkat bahwa ia sudah hampir tiga hari di rumah sakit ini. Keadaan mendesak buatnya lupa membawa dompet dan ponsel. Cewek itu bahkan kebingungan bagaimana cara pulang ke rumah tanpa merepotkan orang lain. Baru saja ia akan meminta bantuan perawat untuk pesankan layanan ojek online.
Rimba mendengar semua penjelasan itu tanpa berkedip. Ia suka melihat Ruby berbicara panjang seperti ini. Cewek itu tanpa sadar kadang terengah, seperti ikan yang sedang bernapas. Dalam hatinya tertawa, jodoh sering kali sangat lucu, dikejar dia hilang, dibiarkan malah bertemu lagi. "Terus sekarang, gimana? Mau pulang?" tanyanya.
Ruby mengangguk.
"Gue anter, yuk."
Ruby diam dan terlihat berpikir. Rimba menariknya ke parkiran tanpa menunggu jawaban. "Udah jangan kebanyakan mikir, biar Akang Rimba yang anter."
Iya, Ruby tahu kalau Rimba cuma bergurau. Tapi... Tapi... Kenapa dia senang diolok seperti tadi? Dengan lelucon norak, garing, penuh modus, ngalus ala ABG labil. Ia bahkan diam-diam tidak keberatan digandeng Rimba selama menuju parkiran. Tubuhnya terasa melayang-layang. Makin lama, Rimba makin berbeda dengan Rimba yang diketahuinya dahulu. Dalamnya Hutan memang sulit ditebak, ya?
Karena kali ini Ruby memakai celana, ia tidak keberatan naik motor Rimba yang sebenarnya lebih cocok dibawa off road.
Rimba membuka telapak tangannya ke Ruby, agar menjadi tumpuan untuk naik. Bukannya menggenggam tangan Rimba, Ruby malah memegang lengannya dan naik ke motor. Gagal pemirsa, gagal! Padahal kalau tangannya tadi digenggam Ruby, tidak ingin dia lepaskan sepanjang jalan. "Udah?"
"Ng... Ini, nggak ada pegangannya, ya?"
Cewek itu bertanya polos membuat Rimba tertawa di balik helm. Tas punggungnya sudah diletakkan di depan, jelas sekali kode yang ada supaya cewek itu tinggal memegang pinggangnya saat butuh pegangan. Rimba menarik tangan Ruby, menempelkan di pinggang. "Pegangan di sini."
Tangan Ruby tertarik kaget, menghindari kontak fisik. Cewek itu malah memilih menaruh tangannya di bahu Rimba, membuatnya menggeliat.
"Jangan di bahu, gue gelian."
Dia menoleh ke Ruby, cewek ini sepertinya memang tidak tahu cara dibonceng orang lain. "Ya udah, kalo nggak mau. Pegang tali tas gue aja."
Benar saja, dalam diam, cewek itu menggenggam dua tali tasnya yang ada di kiri dan kanan punggung. Rintik hujan pelan-pelan turun dari langit malam. Angin berembus dingin. Rimba menambah kecepatan motornya, memotong jalanan, membuat mereka meliuk zig-zag. Mungkin ketakutan yang membuat Ruby akhirnya mencengkram pinggang kemeja sekolah Rimba. "Pelan-pelan," pinta Ruby.
"Mau hujan, Liv."
"Lo orang apa kambing? Takutnya sama hujan." Ruby menggerutu. Ia sama sekali tidak suka orang yang kebut-kebutan di jalan, membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Rimba tersimpul, untunglah helm menutupi bibirnya yang sedari tadi tertarik. Takutnya sama lo, Liv! Takut jauh darimu! Eh?! Rimba menggeleng-geleng, berusaha mengusir jawaban bodoh yang datang. Atas permintaan Ruby, ia pun menurunkan kecepatan. Hujan akhirnya turun dan membasahi mereka berdua. Membuat mereka kuyup sesampainya di rumah Ruby.
Darah kering masih ada di lantai rumah itu, bahkan terlihat cukup banyak setelah Ruby membuka pintu. "Sori, kotor, gue bersihin dulu, ya. Oh, iya, bentar sekalian gue ambilin handuk."
Rimba menahan tangan Ruby. Badan cewek itu bahkan sudah bergetar. "Belakangan aja bersihinnya. Lebih baik lo mandi, ganti baju. Nanti lo sakit."
Ruby bergegas masuk, tak lama datang lagi membawa kaus dan handuk. "Lo juga ganti baju, deh. Ini pake baju gue dulu, tapi gue nggak ada bawahan yang cukup buat lo, nggak papa?"
Rimba tertegun, lalu mengangguk, meraih pemberian Ruby.
"Itu kamar mandinya. Gue bilas di kamar."
Setelah itu Ruby meninggalkannya. Sebenarnya Rimba membawa kaus dan celana training karena hari ini jadwal latihan panjat dan tadinya Rimba ingin memanjat. Yah, sebelum tadi siang akal sehatnya hilang dan malah tersesat ke rumah Ruby. Eh, tetapi tawaran memakai kaus Ruby tentu tidak dapat ia tolak. Sulit, Bro! Sulit! Anggap saja dia tidak membawa baju ganti, beres.
Rimba memutuskan untuk numpang mandi di sini, mandi beneran bukan mandi bebek. Dia yakin Ruby mengizinkannya menyentuh sampo dan sabun yang ada. Dia basuh seluruh tubuh agar penat, kesal dan semua yang kotor-kotor lenyap.
Rimba memandang jeli kaus pemberian Ruby sebelum dipakainya. Selain kaus ini terasa harum pewangi pakaian khas Ruby, yang membuat Rimba senang lainnya adalah gambar dan tulisan lucu di depan kaus. Semeru: Sedih Melihat Dia Dengan Yang Baru. Rimba tersenyum geli, ada-ada saja.
Saat Rimba keluar kamar mandi, Ruby sudah ada di dapur. Cewek itu mencepol tinggi rambut ikalnya, tengkuk mulusnya terekspos. Rimba berdeham, merasa tenggorokannya sangat kering. Apa tadi yang dia pikir? Tengkuk mulus? Astaga, pikiran macam apa ini? Bisa-bisanya pemikiran seperti itu lewat di kepalanya.
"Kenapa?" Ruby menoleh, melihatnya terdiam di depan kamar mandi. Cewek itu menyerahkan kantong plastik sebagai tempat baju basahnya.
"Boleh minta minum?" Jelas Rimba memerlukan siraman di kerongkongan.
"Oh, sori-sori. Ini." Ruby menarik kursi dan memberikan segelas air kepadanya. "Gue lapar, tapi kalo makan-makanan yang berat bakal lama. Soalnya bahan-bahan masih beku semua."
"Jadi gimana?" Rimba juga kelaparan, waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam.
Ruby membuka kulkas dan mengamati isinya. "Internet, mau?"
"Internet?" tanya Rimba tidak paham.
"Indomie telur kornet," tambah Ruby sambil mengeluarkan mi instan, telur dan kornet juga sawi hijau. "Eh, gue mau nambahin cabe rawit. Lo suka apa nggak kalo pedas?"
"Boleh." Rimba mendadak kekurangan kosa kata. Langkahnya mendekati Ruby yang mulai merebus air di panci. Sebenarnya ia ingin membantu tapi tidak tahu bisa membantu apa, cewek itu terlihat sangat cekatan dan tidak memerlukan bantuannya. "Lo biasa masak sendiri, ya, Liv?"
Hanya anggukan yang keluar dari kepala Ruby. Tangannya merajang bawang, membelah cabe rawit menjadi dua bagian dan membelah tomat menjadi enam bagian. Rimba hanya mengawasi saja. Ia takut apa yang diperbuatnya malah mengacaukan Ruby memasak. "Nggak nyangka gue, orang kayak lo bisa masak," gumamnya.
"Lo kebanyakan nuduh orang yang bukan-bukan," sahut Ruby pelan. Di panci, bahan tadi sudah bercampur dengan telur dan kornet, lalu Ruby memasukan mi dan terakhir bumbu dituangnya saat mi sudah masak. Harum mi instan membuai udara.
Dua mangkok Indomie telur kornet berhiaskan sawi dan cabe rawit tersaji di meja. Terlihat sederhana, tetapi sangat mewah bagi Rimba. Ia mencicipi sedikit kuahnya. Enak!
Cewek cantik dan masakan enak, keniqmatan yang HQQ. Benak Rimba mendadak alay. Tanpa sadar, ia menandaskan mi sampai titik terakhir.
"Kurang, nggak?" Sepertinya Ruby memperhatikannya yang makan tanpa jeda.
Kurang! Pengin lebih banyak dan lebih lama. Rimba berdeham. "Nggak, kok. Tapi beneran, enak banget makanya gue habisin sampe licin."
"Thanks. Jadi tersanjung gue." Cewek itu mengibas tangan di depan bibir, kepedasan. Duh, Rimba cobaan apa lagi ini? Bibir Ruby tampak lebih merah dari biasanya.
"Anything for you, Princess." Ia mengulang kalimat yang diucapkan di rumah sakit tadi. Sayangnya tidak berefek apa-apa kepada orang di sampingnya.
"Hobi atau bakat?"
"Apanya?"
"Ngegombalnya."
"Mana ada gue ngegombal." Rimba membela diri. "Lo kayaknya kurang tidur, deh. Lingkar mata lo keliatan hitam."
Ruby hanya menghela napas sambil meneguk minum. "Gimana bisa tenang kalau setiap gue tidur mimpi mereka dan waktu gue bangun dapetin kalo bokap gue masih aja ada di dalam ICU."
Rimba terlihat memperhatikan mukanya lekat-lekat, seperti menelaah kata-katanya. "Bangun?" tanya Rimba. "Lo tidur di rumah sakit?"
Kalau saja Ruby tidak sedang berusaha menghilangkan rasa pedas yang menjalar di bibir, tentu akan dicubitnya si Rimba. Bukankah sudah diceritakannya bagaimana kondisi Gamal? Kalau dia tidur di rumah, nggak mungkin ponselnya tidak aktif berhari-hari, 'kan? Ia mengisi segelas air lagi dalam gelas yang kosong. Kali ini, Ruby menuang lebih banyak air hangat sehingga pedas mereda. "Kayaknya gue udah cerita deh, Rim."
"Jadi, lo tidur di mana?" Rimba memang tidak tahu, saat Ruby menjelaskan dia hanya memperhatikan cara cewek itu berbicara.
"Di mana-mana," jawab Ruby asal. "Sering di bangku taman, sih."
"Makanya punya hape itu dibawa, Olive. Kalo tau lo di rumah sakit kan gue bisa bantu."
Ruby menyengir waktu mendengar decakan Rimba. "Ya, maaf, namanya khilaf. Eh, BTW, gue boleh tanya nggak?"
"Apa?" Rimba menaikkan alis tebalnya. Ia seperti terjangkit virus serius. Virus ingin memandangi Ruby dalam waktu yang lama, apalagi bibir merah itu. Duh!
Ruby menyeringai. "Lo kenapa dipanggil kambing kalo lagi di kantin?"
Tawa hangat Rimba lepas, membuat Ruby lupa kalau di luar sedang hujan dan suasana terasa dingin. Dapur ini bersebelahan dengan taman terbuka, dinginnya hujan tentu terasa.
"Gue kalo di gunung males mandi." Rimba mengakui sebuah rahasia yang hanya diketahui anak Pasuspala.
Ruby membalas pengakuan itu dengan terkekeh-kekeh. Mata madunya menyorot lucu. "Ah, iya. Kena hujan aja lo takut."
"Gue nggak takut, ya," balas Rimba. "Cuma hujan pertama dari musim kemarau itu nggak bagus."
"Ini bukan hujan pertama kayaknya. Udah beberapa kali," jawab Ruby sambil mencibir seolah-olah menertawakan bagaimana tadi Rimba takut kehujanan. "Bilang aja lo takut hujan."
"No!" Rimba bersikeras, memang kenyataannya dia tidak takut. "Cuma tadi kalo kehujanan, kita bisa sakit."
"Halesaaaan." Ruby tertawa meremehkan. Tatapan tajam Rimba merajamnya, tidak terima direndahkan. Ruby sedikit demi sedikit bisa membaca karakter Rimba setelah sekian lama berinterasi. Cowok ini bisa merendah dan meninggi kapan pun dia mau. Namun, yang kemudian terjadi, tawanya perlahan hilang. Perutnya terasa teraduk saat mendengar kalimat Rimba, dan sorot mata memuja.
"I like your smile."
Jarak yang tercipta semakin tipis, hela napas cowok itu terasa di muka Ruby.
"May I?" tanya Rimba, membuat Ruby refleks memundurkan kepalanya.
"May I ... ask for a glass of water?"
Astaga, saking kagetnya debar jantung Ruby mendadak seperti balap kuda, berlari-lari dan melompat, terpacu entah karena apa. "Ambil sendiri," jawabnya ketus.
Jujur, Ruby pikir Rimba tadi hendak menci... Argh! Untuk mengatakannya saja ia malu. Tapi kalau itu benar terjadi, Ruby akan menimpuk gelas yang berada di genggamannya. Rimba sih, bikin kalimat yang ambigu. Rimba bangun dan menuju dispenser, menekan tombol biru. Sekilas, Ruby seperti melihat cowok itu tersenyum jail akan reaksinya tadi. Resek!
Hujan sudah mereda, hanya titik-titiknya menyapa dedaunan yang sedang beristirahat karena dipanggang matahari seharian. Udara sejuk, cocok untuk bersantai setelah lelah dari segala rutinitas. Rimba suka sekali suasana sehabis hujan seperti ini, sejuk dan hening, mengingatkannya kepada puncak pegunungan.
"Pas banget, udah reda. Bisa SMP gue, Sudah Makan Pulang." Rimba tertawa. "Gue pulang, ya. Lo istirahat, gih."
"Oke, gue mau ke rumkit lagi." Ruby mencuci dua buah mangkok dengan cepat dan meletakkan di rak piring. Cewek itu mengantar Rimba sampai ruang tamu.
"Ngapain ke rumkit?"
"Patroli," pungkas Ruby. Matanya memandang Rimba dengan malas seolah berkata jangan-sok-nggak-tahu-deh.
"Oh... Kirain jaga malam." Rimba tertawa lagi. "Lo beneran mau ke rumah sakit?" tanya Rimba serius.
"Nggak. Gue bercanda biar lucu kayak Sule," sahut Ruby dengan muka selurus kardus. Mimiknya menjelaskan bahwa ia tidak sedang bercanda. "Ya udah, pulang gih. Makasih ya udah anter pulang, tadi. Hati-hati."
"By..." Rimba yang merasa diusir lalu memanggil cewek yang sudah akan masuk ke kamarnya. Ruby menoleh. "Gue anter aja ke rumkit. Searah sama rumah gue."
"Hah?" Ruby merasa ada yang aneh dengan kalimat Rimba tapi apa ya?
"Gue anter, Ruby."
"Hah?" Benar, ada yang janggal di telinganya. Sejak kapan Rimba memanggilnya dengan nama asli?
"Hah-hah mulu kayak tukang keong. Siapin deh keperluan lo, bawa jaket juga." Rimba kembali duduk sambil menunggu Ruby. Ia berencana mau kembali ke rumah lebih malam, biar langsung tidur. Bila perlu tidak usah ketemu Lintang agar pembahasan yang tadi tidak terbahas lagi. Kalau didesak terus, bisa-bisa Rimba jadi salah satu pasien Nabila.
Ruby keluar dari kamar dengan tas punggung yang terlihat penuh. Cewek itu menolak dibantu bawakan tasnya. Rimba menjalankan motor dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, mereka membicarakan apa pun dan Rimba baru tahu kalau Ruby ternyata menyukai musik-musik indie.
Waktu terasa berjalan sangat cepat jika ia bersama Ruby. Tanpa terasa mereka sudah sampai kembali di rumah sakit. Rimba juga sempat menjenguk Gamal, kondisi Pria itu memang sangat lemah.
"Rim, udah malem. Lo balik, gih." Ruby menowel lengannya. "Kok bengong?"
"Ah, enggak." Rimba tersadar dari lamunan. Ia tidak mungkin bilang kalau papa Ruby tadi tipis kemungkinan untuk pulih, 'kan? Ia dapat melihat harapan besar dari mata Ruby, bagaimana gigihnya keinginan Ruby agar pria itu bisa kembali seperti sedia kala. Anak piatu di sampingnya pastilah berusaha kuat tanpa ibu. Jika sampai kehilangan ayah juga, bagaimana? Rasanya ia ingin sekali mengusap rambut Ruby dan memeluknya, agar lupa kenyataan yang ada. Namun, berusaha ditahannya.
"Lo udah ngantuk?" tanya Rimba. Ia melirik jam tangan hitamnya, pukul setengah sepuluh malam.
"Lumayan."
Rimba mengajak Ruby berjalan menyusuri koridor, tampak pengunjung mulai meninggalkan rumah sakit karena jam besuk sudah habis. "Tunggu sebentar di sini," pintanya.
Atas permintaan Rimba, Ruby berdiri bersandar sebuah tiang. Matanya mengamati apa yang sedang Rimba lakukan. Cowok itu datang ke meja perawat dan mengajak perawat jaga berbicara. Tak lama, seorang perawat yang lebih tua menghampiri Rimba dan mereka bercakap lagi, terlihat lebih akrab. Lalu tangan Rimba mengayun untuk memanggilnya, membuat Ruby berjalan mendekat.
"Ini. Ruby namanya," ujar Rimba sambil menarik sejumput rambutnya. Ruby masih tidak mengerti apa yang Rimba perbuat, sampai sosok itu mengajaknya berjalan ke sebuah lorong yang sepi dan menunjuk sebuah ruang tersembunyi.
"Di mana ini?" Ruby merasa was-was. Rumah sakit sudah sunyi, apalagi daerah yang mereka datangi. Jangan-jangan Rimba mau nge-prank.
Rimba mengetuk pelan dan membuka pintu putih setelah ada sahutan dari dalam. Kedatangan cowok membuat beberapa perawat kontan berdiri tegak dan kaku, seperti patung. "Maaf, ganggu. Saya titip teman saya, Ruby, buat tidur di sini, boleh?" tanya Rimba sopan. Beberapa perawat yang ada di dalam ruangan mengangguk.
"Kasih tahu ke yang lain juga ya kalo Ruby ikut tidur di sini, Papanya lagi di ICU." Rimba menjelaskan tanpa ditanya, dan lagi-lagi perawat yang ada mengangguk-angguk.
Ruby merasa sedikit aneh. Ia menarik Rimba sedikit menjauh dari pintu yang otomatis tertutup sendiri. "Lo ngapain?"
"Nanti malam, lo tidur di situ aja sama mereka. Gue udah minta izin, kok. Daripada tidur di bangku atau di lantai. Oke?"
"Ih, jadi ganggu mereka nanti." Apa-apaan coba si Rimba ini? Ruby jelas tidak enak sama perawat yang ada di sana.
"Nggak, nggak akan ganggu. Emang lo suka gangguin orang tidur?" Mata Rimba menatap matanya, Ruby menggeleng. "Ya udah, numpang tidur doang. Kan ada beberapa ranjang di sana."
Rimba menarik Ruby lagi ke ruangan tadi. "Gue balik, ya. Lo masuk, buruan. Awas aja kalo sampe gue tau lo tidur di luar."
Ruby masih tidak mengerti, alisnya mengkerut seperti cacing melata, tetapi karena lelah dan mengantuk, ia mengiakan saja omongan Rimba barusan, dan syukurlah cowok itu pergi setelah ia masuk ke ruangan.
Ruby berdiri tegang di balik pintu, matanya menyapu sekitar. Ruang selebar kira-kira 4x6 meter yang didominasi warna putih ini memiliki tiga tempat tidur, dua sofa kecil, dan sebuah meja. Dia dapat melihat ada kaca besar di samping pintu, juga perlengkapan bersolek, ada sisir, juga ada wewangian di sana. Dia ada di ruang apa?
"Sini, Mbak. Jangan sungkan," ajak seorang perawat. Ada dua perawat di dalam ruangan ini. "Mbak di kasur yang pojok aja, ya." Perempuan itu lalu menunjuk ranjang yang masih rapi, perlakuannya membuat Ruby segan.
"M-maaf, jadi ngerepotin dan ngeganggu."
"Nggak papa, Mbak. Seneng kok bisa membantu," jawab perawat itu. "Saya juga cuma numpang memeriksa penampilan aja. Kalo Mbak ngantuk, tidur aja, ya. Paling nanti malam, saya numpang rebahan sebentar."
Dengan mengangguk sopan, Ruby beringsut menuju ranjang yang ditunjuk, menaruh tas sekolah di bawah ranjang tinggi khas rumah sakit. Setelah ditinggal perawat tadi, Ruby memberanikan diri untuk bertanya dengan perawat yang lain. "Ini ruang apa, Mbak?"
"Ini ruang istirahat untuk perawat, Mbak. Bisa untuk mandi, tidur sebentar atau shalat."
Jawaban itu membuat Ruby hampir terlonjak tidak percaya, rupanya ruang seperti ini ada. Ia pikir seorang perawat dan dokter yang berjaga tidak boleh beristirahat selain hanya duduk di kursinya. "Oh, ada ya. Kirain harus selalu standby."
"Yang standby memang harus ada, Mbak. Ruangan ini buat jaga-jaga kalau kami ada yang ngantuk berat, atau sakit. Nggak semua rumah sakit ada sih. Kebetulan di Pelita Bangsa, ada ruang begini. Owner kami pengertian." Perawat itu melepaskan topi dan menggerai rambut panjangnya, berbaring di ranjang sebelah Ruby.
"Anak saya mau tumbuh gigi, rewel semalaman sampai pagi, jadi saya agak ngantuk. Untungnya teman-teman bisa ngerti," tambahnya lagi. "Mbak, siapanya Mas Rimba?"
"Mbak kenal temen saya tadi?" Ruby yang sudah duduk di ranjangnya tidak jadi merebah, kaget menerima kenyataan Rimba dikenal perawat bertubuh semampai yang sudah menarik selimut.
Perawat itu tertawa kecil sambil melirik temannya yang sedang berkaca. "Siapa sih yang nggak kenal Mas Rimba di rumah sakit ini?"
Teman sang perawat itu juga tertawa sambil mengangguk, "Dia famous, Mbak."
"Oh, ya?" Ruby menjadi tertarik. Kantuk yang menggantung di matanya menjadi sedikit hilang. "Kok bisa? Dia pasien di sini, dulu?"
Kedua perawat itu menggeleng dan seperti tidak percaya mendengar pertanyaan Ruby. "Mbak nggak tahu Mas Rimba siapa?"
"Anak dokter di sini?" Ruby sedikit yakin dengan tebakannya. Asumsi Ruby, biasanya kalau anak di bawah umur dikenal oleh sejumlah pekerja di satu tempat, pasti orang tuanya bekerja di tempat yang sama.
Dua perawat itu berpandangan. "Hm... Iya, sih. Anaknya Dokter Lintang dan Dokter Nabila," jawab perawat yang bercerita tadi. Perempuan itu menghela napas dan mulai memejamkan mata. Ruby dapat melihat jelas kalau perawat itu kelelahan.
Perawat satu lagi yang di depan kaca sedang membenarkan riasan, sepertinya habis shalat. Berbeda dengan temannya, perawat itu agak pendek dan berisi. "Ya udah, gue balik dulu, deh. Duluan ya, Tri," katanya kepada perawat yang sedang berbaring, dibalas dengan anggukan lalu pamitan ke Ruby, "Saya jaga dulu ya, Mbak."
Setelah Ruby mengangguk, suasana menjadi hening. Perawat yang bernama Tri sudah tertidur. Ruby mulai merebahkan diri dan menelaah kejadian hari ini. Syukurlah ada pertolongan tak disangka-sangka, bisa tidur di tempat yang empuk tanpa harus jauh dari Gamal. Beberapa hari belakangan merupakan hari yang cukup melelahkan bagi Ruby, punggungnya juga pegal karena tidur di bangku dan kebanyakan berpikir.
Embusan napas Ruby mulai teratur. Ia sudah merasa nyaman dan baru saja akan bermimpi, tetapi ada suara orang di dekatnya, membuatnya membuka mata. Di ruangan sudah ada seorang perawat membawa tas kecil yang dicangklong di bahu sedang berbicara dengan Mbak Tri yang sudah duduk. Saat Ruby membuka mata sedikit, mereka berdua sedang memperhatikan mukanya. Posisi Ruby memang menghadap ke ranjang Mbak Tri.
"Maaf, Mbak, kalo terganggu." Mbak Tri itu terlihat memukul pelan temannya. Perempuan dengan tas yang sudah ditaruh di sofa juga mengangguk sambil tersenyum kepadanya. Ruby membalas tersenyum tipis lalu menutup mata kembali.
"Lo mau ngapain?" bisik sebuah suara. Suara itu adalah suara yang sama dengan yang menjelaskan ruangan ini tadi, suara Mbak Tri.
"Ya, menurut lo? Ini udah jam dua belas, gue mau pumping. Udah bengkak banget," jawab suara satu lagi juga berbisik.
"Kok nggak di ruang laktasi? Tumben, biasanya lo paling hobi di sana."
"Bosen sendirian terus di sana. Gue tau lo lagi di sini dari Mbak Shinta, makanya gue di sini. Lumayan ada temen ngobrol." Ada suara ritsleting dibuka dan terdengar suara-suara botol plastik beradu.
"Zahra masih ASI?"
"Masih, insya Allah walaupun hasilnya udah nggak sebanyak dulu. Lagian dia sekarang udah makan. Doain Zahra bisa professor ASI, ya." Telinga Ruby mendengar suara getaran benda elektrik yang pelan namun asing. "Eh, itu bener temennya Mas Rimba?"
Ranjang Mbak Tri terdengar ada pergerakan. "Iya, cantik, ya? Gue rasa kalo anak-anak magang tau bakal jadi hari patah hati nasional buat mereka."
"Iya, tumben banget pake dititipin. Spesial gue rasa."
Terdengar tawa pelan dari dua orang, Ruby tahu sedang dibicarakan. Matanya masih menutup, ia ingin kembali tidur tetapi malangnya, telinga miliknya masih saja tajam.
"Cocok kok mereka. Dianya cantik, Mas Rimbanya gagah, MDC lagi."
"Apaan MDC?" Mbak Tri heran mendengar istilah asing barusan.
"Masa Depan Cerah!" Temannya itu terkikik geli. "Siapa yang nggak mau sama Mas Rimba? Pure Blood gitu."
"Pure Blood? Kalo Mas Rimba sih udah bukan Pure Blood lagi. Dia itu Extra Luxury Authentic Blood. Limited Edition Person," jelas Mbak Tri terdengar bersemangat.
Ruby tidak tahu apa itu Pure Blood, apa itu Extra Luxury Authentic Blood. Yang jelas makin lama suara-suara itu makin meredup dengan kesadarannya yang sudah terbang.