Loading...
Logo TinLit
Read Story - HABLUR
MENU
About Us  

Berawal dari ledakan besar yang berada dalam keadaan sangat padat dan suhu yang tidak terbatas.

***


"Woy! Pak Iksun nggak masuk!" ujar ketua kelas diikuti seruan gembira satu ruangan. Kecuali Ruby, tentunya. Cewek dengan earphone tersumpal di telinga itu, melirik kelakuan penghuni kelas yang lain. Apa cuma dia yang kecewa?

Murid bagian belakang kelas bahkan bernyanyi-nyanyi riang. Bagi mereka, terbebas dua jam dari deretan rumus fisika perlu dirayakan. Pasalnya, meski pendingin udara bekerja normal, tetap saja kumpulan teori beserta hitungan dan juga kedisiplinan Pak Iksun membuat otak matang, berasap dan kebas. Apalagi tidak ada murid yang bisa selamat dari pertanyaan spontan yang dilontarkan di tengah-tengah penjelasan. Yang tidak bisa menjawab akan malu karena cincin batu akik bapak itu akan mendarat di ubun-ubun.

Jelas berita barusan adalah anugrah di siang bolong nan panas. Bahkan ada yang berakting melakukan sujud syukur di lantai depan. Murid yang seperti itu dipastikan belum selesai mengerjakan tugas yang semestinya dikumpul barusan.

Beberapa orang yang tadi duduk dengan baik mulai berpencar masuk ke kumpulannya. Mungkin para murid berpikir setelah lepas dari fisika yang seharusnya membebani otak, tentu tidak salah jika santai sejenak dengan bercerita bersama sahabat atau tiduran di meja sambil membuka ponsel.

"Tapi ... ada tugas dari Pak Iksun. Kerjain latihan soal halaman 150. Dikumpul besok," tambah ketua kelas yang membuat rasa senang para murid menjadi sumpah serapah.

Beberapa murid bergegas membuka halaman yang dimaksud. "Demi apa disuruh kerjain dua puluh soal esai?! Yang minggu lalu aja gue nggak kelar-kelar kalo nggak dicontekin Rimba!" pekik seseorang siswa yang duduk di belakang.

"Demi ... kian dan terima kasih!" sahut yang lain mulai misuh-misuh. Mengiringi ketidakterimaan seisi kelas, penghuni meja belakang mulai bersenandung sambil menepuk-nepuk meja, bergendang dan menyanyikan cacian yang diplesetkan.

Mendengar itu, penghuni kelas ikut tertawa dengan gubahan lagu yang ada. Namun, bagi Ruby, itu sama sekali tidak lucu. Gendangan itu sangat tidak mencerminkan kelas 11 IPA-1. Ketika orang berpikir kelas nomor urut satu adalah kelas yang berisi kumpulan anak pintar dengan keinginan belajar tinggi dan tingkat kedisipilinan yang memadai, sejatinya 11 IPA-1 tidak semengesankan itu. Memang di kelas ini ada sang Peringkat Satu Paralel yang nilai rapornya memecah rekor tetapi itu tidak serta merta membuat kelas yang berada di ujung lantai dua menjadi bonafide.

Rimba, sang Peringkat Satu Paralel yang ketika berjalan menuai lirikan kagum atas prestasinya malah menjadi salah satu orang yang bergendang sambil menepuk-nepuk meja belakang.

Iya, bergendang sambil nyanyi 'Uia Uia' dengan komplotannya. Tak lama mereka tertawa keras, membuat kelas semakin gaduh. 

Ruby mendesah dalam hati, sepertinya ia salah masuk kelas. Ini bukan kelas IPA tetapi pasar pagi. Telinganya masih memakai earphone seperti biasa, tetapi kericuhan mereka menembus fitur noise-cancelling yang ada. Ya Tuhan, tolong Ruby enyahkan makhluk berisik dari kelas! Setidaknya itu doa dia siang ini dan bunyi ketukan sepatu segera menjawab doa Ruby barusan.

Sesosok guru berjalan menuju kelas mereka. Karena pintu terletak di ujung, bayang itu terlihat lebih dahulu dari jendela-jendela besar yang mengarah ke koridor. Gendangan sontak berhenti. Semua sibuk kembali duduk ke kursi masing-masing. Tidak sedikit yang bertabrakan, saking buru-burunya. Begitu pun Rimba, saat dia akan melompat menuju tempat duduknya di pojok, kursi yang akan dilompatinya keburu diisi empunya kursi. Rimba sudah akan menghadiahkan jitakan ke sahabatnya itu. Akan tetapi, ketukan hasil dari sepatu runcing itu sudah ada di depan pintu dan membuka pintu kelas mereka. 

Wanita itu membetulkan kacamata sebelum masuk, memperhatikan murid yang berpura-pura mengerjakan latihan soal sesuai perintah ketua kelas. "Rimba, kenapa kamu masih berdiri di situ?" tanya Bu Heny, guru BK yang terkenal teliti dan galak. 

Orang yang tertangkap basah belum duduk di kursi lantas menggaruk kepala botaknya yang mulai ditumbuhi rambut. Dengan santai, cowok berkulit kecoklatan itu memutari lorong di antara bangku-bangku dan memasuki lorong paling pojok, menuju tempat duduknya berada. Bu Heny berjalan di tengah kelas. Bunyi sepatu yang khas membuat murid menegang. "Pak Iksun hari ini tidak dapat mengajar. Sudah diberi tugas dari Pak Iksun?" tanyanya.

Ketua Kelas menjawab, "Sudah, Bu."

"Lalu, apa yang membuat keributan di kelas ini? Apa bisa selesai jika kalian mengerjakannya pakai mulut?" tanya Bu Heny dengan tegas.

Semua mendadak menunduk sok sibuk. Seolah bukan menjadi oknum yang menciptakan keributan. Seolah dari tadi hanyalah duduk baik dan mengerjakan soal. Seolah pertanyaan Bu Heny bukan ditujukan kepadanya.

"Ada yang bisa menjelaskan kenapa kelas ini jadi ribut? Kalian tahu? Kelas sebelah terganggu. Saya harap kalian bisa memberi contoh yang baik sebagai kelas unggulan." Bu Heny terlihat menunggu jawaban sambil melipat tangan. Ruby memperhatikan gerak wanita itu dengan saksama. Sayangnya, itu kesalahan fatal. Di saat yang lain membuang pandangan dengan berakting rajin, Ruby malah menatap mata Bu Heny. Kontak mata itu membuat pertanyaan tertuju kepadanya. "Kamu." 

Mata Ruby mengerjap, dan mulai tersadar. Sambil menundukkan kepala, tangannya menarik ujung kabel earphone yang tergantung di telinga, memastikan bahwa wanita itu memang menunjuknya. Seolah mengerti pertanyaan di benak Ruby, Bu Heny mengulang perkataannya, "Iya, kamu yang rambutnya keriting. Bisa jelaskan kenapa kelas kamu ini ribut sekali? Siapa yang membuat keributan tadi?"

Ruby menelan ludah. Dia paling tidak suka disebut keriting, dan dirinya sebisa mungkin menyingkirkan keberatan yang berontak barusan. Tidak semua orang tahu bedanya rambut bergelombang, ikal, dan keriting. Yah, dia bersedia melupakan kesalahan wanita itu tetapi tidak bisakah Bu Heny bertanya kepada yang lain? Murid di kelas ini ada dua puluh lima orang.

Mata Ruby mulai melirik ke kiri karena kanannya dinding. Dia memerlukan bantuan ide untuk menjawab, tetapi semua seolah tuli, tidak peduli bagaimana dia harus menjawab pertanyaan itu. 

Bu Heny menuju ke meja guru, membuka denah kelas, di buku itu tertulis nama siswa dan posisi duduknya. "Ruby Andalusia. Bisa beritahu saya, siapa yang ribut di kelas kamu? Atau kamu yang saya bawa ke ruang BK."

Demi seluruh penghuni Pluto! Mantra apa yang harus dia baca agar bisa bersembunyi dari tatapan tajam itu? Ruby berharap sapu terbang benar-benar ada dan menariknya pergi dalam kondisi terpojok seperti ini. Dia berulang kali mengusap hidungnya yang mendadak gatal. Jika saja pertanyaan tadi tidak melibatkan penghuni kelas, pasti bisa dijawab.

Selain tatapan Bu Heny, beberapa murid juga menoleh ke bangkunya. Sama tajam dan menyiratkan bahasa yang Ruby mengerti. Awas aja kalo lo sebut nama gue! Begitulah kira-kira Ruby mengartikan tatapan mereka. Meski berusaha tenang, tak urung keringat dingin mulai datang ke pelipis Ruby, berkumpul di anak rambutnya yang spiral. Kulit pucatnya makin memucat. 

Alis wanita bertubuh mungil itu terangkat, tampak sangat menunggu jawaban Ruby. "Siapa yang tadi gendang-gendang? Saya dengar lho." Bu Heny berjalan masuk ke lorong dan berdiri di pinggir mejanya yang berada pada baris kedua dari belakang. Wanita itu bahkan menduduki bangku kosong di samping Ruby. "Siapa? Jujur...." 

Kepala Ruby tertunduk. Dia juga dapat merasakan meja belakang mendorong bangkunya sebagai kode. Nasibnya benar-benar gawat seperti telur di ujung tanduk, tanduknya antelop. Seumur hidup dia tidak pernah berurusan dengan ruang BK. Kalau sampai papanya dipanggil karena perihal ini, Ruby tidak dapat bayangkan bagaimana raut kecewa orang yang satu-satunya masih ada di dalam hidupnya. Usaha papanya, kerja kerasnya siang malam menjadi sia-sia. 

Seketika, terlintas petuah Sensei di kepala Ruby. Jiwa seorang Samurai, menjunjung tinggi kebenaran. Jadi, Ruby hanya perlu jujur akan kebenaran. Papanya juga pernah bilang kalau bangga memiliki anak yang jujur. Kejujuran memang pahit tetapi yang manis belum tentu baik, bukan? Demi kejujuran dan kebenaran, Ruby terpaksa membuka suara.

"Rimba," cicitnya sangat pelan dan terserang penyesalan atas ucapan barusan, tetapi kata-kata tidak dapat ditarik kembali.

Bu Heny segera bangkit dan menoleh ke belakang Ruby. "Rimba, ikut Ibu ke ruang BK, sekarang." Wanita itu berjalan maju dan hendak meninggalkan kelas. "Yang lain, kerjakan latihan soalnya. Ketua Kelas, jika ada yang ribut tolong dicatat namanya dan kasih ke saya," titahnya lagi.

Guru itu masih bersedekap di pintu kelas karena yang dipanggil tidak beranjak. "Ayo, Rimba. Saya tunggu."

Dengan enggan, Rimba bangkit hendak keluar kelas. Ruby dapat mendengar decaknya saat melewati lorong dan ketika sampai di pintu, tatapan tajam cowok itu terarah kepadanya. Tidak pernah dalam sejarah, Ruby melihat mata Rimba semengerikan tadi. Cowok  itu sangat humoris, biasanya.

Dia sempat tertegun sesaat sampai mereka benar-benar pergi, lalu memilih untuk segera mengembalikan pandangan ke buku dan berusaha mengerjakan soal fisikanya.

Setelah kepergian Bu Heny, kelas menjadi hening, hanya bisik-bisik sesekali terdengar. Ketika bisikan sudah menjadi agak keras, ketua kelas langsung berdeham. Seolah mengingatkan yang lain kalau dia punya kuasa untuk mencatat perbuatan buruk seperti malaikat dan yang lain adalah arwah yang sebentar lagi melewati jembatan pertanggungjawaban Shiratal Mustaqim. Berangsur bisikan hilang, penghuni kelas gentar.

Kelengangan itu membuat konsentrasi Ruby berkumpul. Dia tidak sadar sudah tenggelam berapa lama dengan rumus yang membuat dahinya berkerut seperti baju lecek. Buku oretannya pun penuh dengan angka-angka. Merasa perlu istirahat, dia menyandarkan dahi di meja sampai sebuah suara datang, mengejutkannya.

"Pengkhianat. Pantes nggak punya temen."

Badan Ruby menegang. Itu suara Rimba.  Cowok itu memang duduk tepat di belakangnya. Dan kalimat itu adalah kalimat terseram yang pernah Ruby dengar dari mulut Rimba untuknya, hingga ada sebuah kalimat lagi yang tidak kalah menyeramkan.

"Ini Rimba. Lo jangan main-main sama gue, ntar nyasar terlalu jauh. Mencari jalan pulang tidak mudah, Kawan!" ancam Rimba tepat di telinga kiri Ruby. Badan cowok itu rupanya mampir sejenak ke kursi sebelah Ruby sebelum kembali ke kursi miliknya.

Ruby baru menegakkan kepala dari meja setelah mendengar pergerakan kursi belakang. Ada beberapa pasang mata yang memperhatikan ke arah dia dan Rimba yang ada di belakangnya. Lalu tak lama, terdengar suara meja dipukul dengan keras, memecah keheningan yang ada. Tidak sedikit yang terkesiap dan langsung menoleh ke belakang.

"Cepu, nggak cocok ada di SEPATU!" seruan Rimba datang lagi sambil membanting buku ke atas meja.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Smitten Ghost
214      176     3     
Romance
Revel benci dirinya sendiri. Dia dikutuk sepanjang hidupnya karena memiliki penglihatan yang membuatnya bisa melihat hal-hal tak kasatmata. Hal itu membuatnya lebih sering menyindiri dan menjadi pribadi yang anti-sosial. Satu hari, Revel bertemu dengan arwah cewek yang centil, berisik, dan cerewet bernama Joy yang membuat hidup Revel jungkir-balik.
The Last Mission
618      378     12     
Action
14 tahun yang silam, terjadi suatu insiden yang mengerikan. Suatu insiden ledakan bahan kimia berskala besar yang bersumber dari laboratorium penelitian. Ada dua korban jiwa yang tewas akibat dari insiden tersebut. Mereka adalah sepasang suami istri yang bekerja sebagai peneliti di lokasi kejadian. Mereka berdua meninggalkan seorang anak yang masih balita. Seorang balita laki-laki yang ditemuka...
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
1375      788     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...
Andai Kita Bicara
690      522     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Penantian Panjang Gadis Gila
325      245     5     
Romance
Aku kira semua akan baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya hidupku semakin kacau. Andai dulu aku memilih bersama Papa, mungkin hidupku akan lebih baik. Bersama Mama, hidupku penuh tekanan dan aku harus merelakan masa remajaku.
Teman Kecil
380      243     0     
Short Story
Sudah sepuluh tahun kita bersama, maafkan aku, aku harus melepasmu. Bukan karena aku membencimu, tapi mungkin ini yang terbaik untuk kita.
Bisikan yang Hilang
72      65     2     
Romance
Di sebuah sudut Malioboro yang ramai tapi hangat, Bentala Niyala penulis yang lebih suka bersembunyi di balik nama pena tak sengaja bertemu lagi dengan Radinka, sosok asing yang belakangan justru terasa akrab. Dari obrolan ringan yang berlanjut ke diskusi tentang trauma, buku, dan teknologi, muncul benang-benang halus yang mulai menyulam hubungan di antara mereka. Ditemani Arka, teman Radinka yan...
Ghea
479      316     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
Merayakan Apa Adanya
501      361     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Can You Love Me? Please!!
4018      1214     4     
Romance
KIsah seorang Gadis bernama Mysha yang berusaha menaklukkan hati guru prifatnya yang super tampan ditambah masih muda. Namun dengan sifat dingin, cuek dan lagi tak pernah meperdulikan Mysha yang selalu melakukan hal-hal konyol demi mendapatkan cintanya. Membuat Mysha harus berusaha lebih keras.