Loading...
Logo TinLit
Read Story - HABLUR
MENU
About Us  

Suatu benda memiliki kecenderungan untuk mempertahankan keadaannya, baik itu bergerak ataupun diam.

***

"Kena, deh!" 

Tawa Rimba meledak, membuat cewek yang duduk di depannya terdiam beberapa detik. Seperti mengerti, mata bening sang korban meneliti sekitar. Kepala kecil berambut ikal itu bergoyang, berusaha menelaah maksud perkataannya.

Kali ini, guru biologi tidak masuk ke kelas. Tugas yang diberikan adalah membaca bab dua tentang Organisasi Tingkat Jaringan. Hari Kamis besok, akan diadakan praktikum untuk mengamati struktur jaringan tumbuhan. Jadi guru meminta murid hari ini belajar sendiri agar ketika di lab langsung praktik saja.

Tidak mendapat jawaban atas keanehan yang ada, Ruby lalu berdiri. Mungkin cewek itu merasakan ada sesuatu yang basah dan lengket di bagian belakang rok. Kepala itu menoleh. Sosok yang berjarak tiga puluh senti dari tempat Rimba duduk itu terlihat diam, dan kaku saat melihat yang ada di kursinya. Cocok seperti patung hidup. Kulit yang pucat dengan badan kurus juga aura dingin yang tidak bersahabat menambah kesan anak itu lebih cocok menjadi pajangan di etalase daripada menjadi manusia.

Seringai tercetak dari bibir Rimba. Dia baru saja menuangkan minyak sayur pada bangku yang ada di depannya, sebelum penghuninya duduk. Hasilnya? Rok korban basah, lengket dan menjijikkan, nggak bangetlah. Dengan sengaja Rimba memilih minyak bukan air, supaya lengket dan tidak cepat kering.

Sorak-sorai di kelas dari penghuni belakang ikut memanas-manasi kejadian. Membuat Ruby membalikkan badan, menghadap Rimba yang berpura-pura serius membaca buku.

"Gaskeun, Liv! Gaskeun!" teriak seseorang dari pojok yang bersilangan darinya. 

Diselingi ucapan yang lain. "Tabok, Liv! Tabok!"

"Jangan kasih ampun!" tambah yang lain memanasi.

Si Olive melirik mukanya yang tidak tertutup buku. Dalam hati, Rimba menghitung detik-detik dimana sosok pendiam itu akan berubah menjadi Medusa. Tangan kanannya mengetuk meja dengan santai.

Satu. 

Dua.

Tiga.

Namun yang terjadi, Rimba hanya mendengar helaan napas saja. Si Olive alias Manekin Hidup di depannya itu membuka tas, mengeluarkan baju olahraga yang sudah dipakai pada pelajaran pertama tadi. Cewek itu mengusap roknya dengan baju olahraga lalu ditaruh di bangku untuk menutupi minyak yang ada. Dengan tidak memedulikan cairan yang menetes dari rok, Ruby keluar dari pojok dan menukar bangkunya dengan bangku kosong di samping kemudian duduk lagi tanpa komentar seakan tidak terjadi apa-apa. Anak aneh itu kembali memasang earphone dan mengabaikan dunia.

"Yah, gagal ini mah, Rim! Stok sabar Olive sekontainer gue rasa!" Orang yang tadi berteriak memanasi kejadian menjadi kecewa.

"Jangan salah lo, kadang yang diem-diem gini malah SUS. Orang psycho itu nggak banyak omong," tambah yang lain, membuat Rimba meletakkan bukunya. "Hati-hati lo, Rim. Buruan lunasin utang-utang kalo ada, jangan lupa minta maaf dulu sama seluruh keluarga, terus selalu aktifin GPS hape lo biar gampang dilacak."

"Nah, iya! Pikir-pikir lagi kalo mau beli bakso atau nasi goreng yang lewat depan rumah apalagi kalo penjualnya nggak familiar. Kalo udah terlanjur beli, suruh orang lain ikut cicipin. Siapa tau lo diracun," sela yang lain.

"Kalo pulang sekolah, jangan langsung pulang ke rumah, mampir ke kantin dulu buat mastiin kalo lo nggak diikutin." 

"Gue ingetin aja nih, ya. Kurang-kurangin pergi sendirian keluar rumah kalo nggak perlu. Misalnya ban motor lo kempes di jalan, jangan pernah berhenti di tempat sepi." Yang lain bersemangat menambahi.

"Terus ... jangan percaya kalo dikasih permen sama orang yang nggak lo kenal. Apalagi yang tiba-tiba negor sok akrab." Sahutan makin menjadi.

"Bener! Ini jurus terakhir nih, ya. Jangan lupa siapin kresek di kantong lo. Kalo udah mepet banget, dan lo nggak bisa kabur. Tiup tuh kresek gede-gede sampe terbang terus ketawain kreseknya. Dijamin, dia mikir lo udah nggak waras." Gelak penghuni belakang lepas.

Rimba terkekeh sambil mengumpat komplotannya. Kalau perkataan adalah doa, anak-anak itu bukan sedang mendoakan ketidakselamatan dia, 'kan? Matanya  kembali memandang punggung di hadapan. Gadis kidal itu terlihat sedang menulis, tidak mendengarkan rentetan ejekan yang membuat kelas menjadi ramai. Tangan kiri gadis itu sesekali mengetukkan pensilnya ke meja, seperti berpikir.

Ini adalah kali ketiga Rimba mengerjai cewek itu. Seolah kucing yang memiliki sembilan nyawa, Ruby tetap selamat meski terjerat. Ruby masih saja tidak ambil pusing dengan cibiran orang yang menertawakannya. Hal tersebut membuat Rimba semakin penasaran, mengerjai Ruby sampai cewek itu menyerah dan meminta maaf atas pengaduan tempo hari. Sayangnya, sosok itu bertingkah biasa saja. Ini membuat Rimba berpikir bahwa guyonan penghuni belakang kelas bisa jadi ada benarnya. Ruby yang terlalu statis mirip ciri-ciri pengidap antisosial. Tingkahnya yang terlampau pendiam bahkan terlihat tidak marah sedikit pun karena peristiwa tadi sebenarnya berpotensi mengerikan. Rimba tidak bisa menebak apakah Ruby sedang memanipulasi diri atau tidak. Siapa yang tahu kalau cewek itu benar-benar merencanakan pembunuhan kepadanya?

Rimba menutup buku biologi yang sedari tadi dibaca. "Bosen gue. Kayak apaan aja kali belajar melulu."

"Ya, situ enak sekali lihat hafal. Lah, otak gue yang seperempat ini susah masuknya. Udah kepenuhan." Untung, teman sebangku Rimba mengomentari kalimatnya.

"Sok serius lo. Kantin, yuk." Rimba menutup buku Untung, mengajaknya turut serta.

Cowok yang sama-sama botak di sampingnya berdesis. "Ogah! Lo mah ngajakin gue cabut mulu, tapi nilai lo tetep bagus sementara nilai gue hancur lebur! Dunia emang nggak adil."

"Kenapa lo jadi nyalahin dunia?" Alis Rimba yang dari sananya sudah terlihat menyatu itu tampak berkerut. Dia menertawai sahabat juga saudara seangkatannya di Pasuspala. "Yang iyanya lo belum nemu gaya belajar lo yang pas. Cari dulu, kenalin dulu diri lo gimana. Udah ah, gue ke kantin dulu." Rimba meminta Untung untuk keluar sebentar karena dia ingin berlalu. "Jangan merindukanku, Rodolvo."

"Najis! Jaga bicaramu, Antonio!" balas Untung, membuat Rimba terkekeh.

Ketika melewati Ruby, ia berkata sambil melambai, "Dadah, Olive. Udah nggak usah ngoyo, lo nggak akan bisa melampaui gue."

Sontak kata 'Huuuu' dari penghuni belakang mengiringi kepergian Rimba, dan Ruby masih tidak terpengaruh, matanya terus menatap buku. Telinga itu selalu ditempeli alat pendengar musik sehingga Rimba dan lainnya juga tahu, bahwa ucapan mereka tidak akan didengar atau digubris sang Manekin Hidup.

***

"Kamu anak KIR, 'kan?" tanya Bu Hartini, guru biologi, menyelisik sosok Ruby. Pulang sekolah, ia dipanggil ke ruangan guru karena mendapat remedial untuk ulangan biologinya. 

Pelan, Ruby mengangguk. Bu Hartini mengusap rambutnya yang bersanggul. "Baru ini saya ketemu anak KIR yang remedial biologi," ujarnya santai. Namun, kalimat itu sukses menghantam kesadaran Ruby, membuatnya menggigit ujung bibir tanpa sengaja.

"Saya malu mengakui anak didik saya ada yang seperti ini." Bu Hartini menghela napas sembari membenarkan kacamata. "Coba kamu tanya kepada teman-teman yang lain. Bagaimana cara mereka bisa memahami pelajaran. Atau cara mengajar saya yang salah?"

Ruby bergumam tidak enak hati. "Nggak, Bu. Memang salah saya. Nanti saya akan belajar lebih giat." Meski sebenarnya Ruby memang tidak memahami penjelasan Bu Hartini yang dinilainya terlalu cepat dengan suara nyaris seperti tikus terjepit. Namun, ia tidak mungkin frontal mengatakan itu.

"Kamu duduk di depan Rimba, 'kan?

Pertanyaan Bu Hartini dijawabnya dengan mengangguk. Ingin sekali dia bilang kepada wali kelas sekaligus pembina KIR-nya bahwa cowok itu belakangan mengganggu ketenangannya. Akan tetapi ...

"Kamu seharusnya tanya ke dia. Bagaimana cara supaya bisa sepintar dia? Atau sekalian ikut belajar kelompok bersama dia. Saya lihat kamu terlalu pendiam. Sesekali berbaurlah dengan yang lain."

Ruby kembali mengangguk-angguk seperti patung anjing di dashboard mobil. Jujur, ia malas sekali berurusan dengan orang seperti Rimba dan komplotan penghuni belakang kelas.

"Belajarlah yang benar, bikinlah bangga orang tuamu. Tidak ada orang tua yang tidak bangga atas prestasi anaknya di sekolah apalagi kalau nilainya sempurna semua seperti nilai Rimba," tambah Bu Hartini menutup pembicaraan, membuat jantungnya terasa terimpit.

Ruby mengedipkan mata berkali-kali, berusaha meredamkan gelisah. "Kalau begitu, saya permisi dulu, Bu," ujarnya sembari berdiri dan hendak berlalu.

"Rok kamu kenapa?" 

Ruby buru-buru menutupi roknya dengan buku panjang yang dibawa. "Anu, Rimba yang buat, Bu."

Bu Hartini menggeleng tidak percaya. "Rimba? Manalah mungkin?"

Ruby mundur dengan muka kecut. Sedari tadi, ia ingin secepatnya hengkang dari sana. Bu Hartini tentu tidak akan percaya jika itu hasil perbuatan Rimba, 'kan?

Peringkat Satu Paralel itu selamanya akan menjadi anak kesayangan Bu Hartini. Dia yang hanya debu-debu antariksa ini bisa apa?

Apa orang hanya dielu-elukan ketika berada di atas saja? Karena Rimba nomor satu, lantas berarti dia hebat, dia segalanya seperti pusat tata surya? 

Ruby menarik bibir datar, harusnya dia maklum karena dunia hanya menilai seseorang dari kasta. Sudahlah, lebih baik ia pulang karena pahanya sudah terasa sangat lengket. Semoga tukang ojek tidak protes dengan roknya yang berminyak ini.

***

Setelah mengganti seragam dengan baju rumah, Ruby bergegas mengoleskan sabun cuci piring ke pakaiannya yang berminyak. Dia pernah membaca kalau noda minyak akan mudah larut dengan sabun pencuci piring. Setelah noda itu larut, ia lantas membilas berulang kali dan merendam dengan detergen lalu menuju ke dapur, memasak nasi, mengeluarkan ikan yang tadi pagi diturunkan dari freezer ke chiller, juga kangkung yang sudah dipetik. Tangannya cekatan membersihkan dan meracik bumbu, kemudian menggoreng ikan dan menumis sayur.

Tak lama, nasi sudah selesai dimasak. Harum nasi, ikan goreng dan tumis kangkung membumbung di dapur yang sekaligus berfungsi sebagai ruang makan. Ia juga mengeluarkan cabai, bawang, tomat lalu mengulek sambal terasi, kesukaan Gamal. Berharap papanya bisa pulang lebih cepat dari jadwal dinas yang ada.

Semenjak Mentari tidak ada, Ruby berperan sebagai pengganti mama di dapur. Mentari sempat mengajarkan beberapa masakan kepada Ruby saat SMP. Untuk masakan rumahan yang mudah, Ruby menguasainya. Namun, jika agak sulit, biasanya Ruby akan mengintip resep melalui Cookpad.

Kali pertama Ruby memasak sendiri di dapur tanpa Mentari, ia menangis, membuat ayamnya gosong dan sayurnya tidak ada rasa. Segala perkataan dan obrolan mereka di dapur selalu teringat oleh Ruby. Karena itu juga ia sampai tidak ke dapur selama sebulan. Akan tetapi, lama kelamaan, Ruby sadar bahwa ia harus ikhlas. Tangisan tidak akan mengembalikan yang sudah pergi dan ia hanya bisa menitip doa kepada langit agar Mentari berbahagia di sana.

Ruby menata masakannya dalam diam. Ia menyendokkan nasi ke piring dan memulai makan sendirian. Ditekannya sedih yang masih berdenyut di satu titik. Napasnya menghangat, kehilangan itu terasa masih perih.

Ruby memejam, kembali ingat satu kalimat petuah Mentari. Tidak boleh menangis di depan nasi. Setelah berdoa dalam hening, ia memulai makannya tanpa suara.

Seandainya Mentari masih ada, Ruby mungkin bisa bercerita tentang segala gangguan Rimba, dan mamanya itu bisa memberi dia jalan keluar menghadapi Rimba yang tingkahnya makin kelewatan.

Seandainya Mentari masih ada, Ruby juga bisa bertanya tentang perkataan Rimba dan Bu Hartini tadi siang. Bagaimana caranya menjadi pintar? Ia sudah rajin tetapi rajin saja tidak serta merta membuatnya menjadi pintar, apalagi sampai gelar juara jatuh kepadanya. Apakah Mentari akan tetap membanggakan dia sebagai anak seperti saat dia kecil dahulu? Ruby ingat, saat kecil dahulu, kedua orang tuanya selalu bilang 'tidak apa-apa jika tidak menjadi juara'.

Ia juga ingin bertanya kepada Mentari, apakah salah jika kejujuran kita membahayakan orang lain? Sepertinya ia membahayakan Rimba sehingga anak itu sangat antipati kepadanya.

Ruby menyelipkan rambut ke belakang telinga, berusaha singkirkan pengandaian-pengandaian barusan yang membuat rasa kehilangan naik satu tingkat dari biasanya. Secepat kilat, ia selesaikan makannya. Ruby sadar daripada berkhayal lebih baik ia membereskan rumah, menyapu dan mengepel. Agar ruangan menjadi bersih dan harum ketika Gamal pulang.

Semua pekerjaan rumah sudah diselesaikan dengan tepat waktu, Ruby merebahkan diri di kasur untuk membaca sekaligus memutar musik instrumental. Memang benar kata Rimba, ia tidak punya teman. Perbedaan fisik yang signifikan dengan yang lain menuai ejekan. Kulit yang terlalu pucat, rambut yang ikal, tangan yang kidal, badan yang kurus membuat orang-orang menjulukinya Olive Oyl.

Tidak tersinggung, dahulu, Ruby masih mau menoleh jika dipanggil Olive. Baginya itu seperti doa, siapa tahu kelak ia akan dipertemukan dengan pahlawan yang siap sedia menolong seperti Popeye. Namun, semenjak kematian Mentari, ia tidak menggubris lagi panggilan itu. 

Memang benar, ia lebih suka diam. Lantas apa itu salah? Apa itu mencurigakan? Bukankah selama ia tidak mengganggu orang, hal itu tidak masalah?

Seperti tadi siang, dalam diam Ruby sebenarnya mendengar. Ruby mendengar semuanya. Ruby tidak menghidupkan musik sama sekali, telinganya ditutup semata-mata hanya untuk mengurangi kebisingan yang ada. Dan Ruby mendengar semua kalimat tentangnya juga pembicaraan Rimba. Candaan yang terlontar masih dianggap biasa, meski tidak diresponnya. Ia bukan orang yang suka mencari-cari masalah. Jika ia mau, omongan orang tentangnya yang menuduh psycho sudah menyulut sumbu emosinya. Namun, apa gunanya menanggapi hal yang tidak bermanfaat?

Mentari selalu mengajarkannya untuk sabar. Seandainya Mama masih ada. Ah, seandainya. Ruby ingin bercerita banyak. Termasuk keinginan yang belakangan berkobar pesat.

Salah satunya, menaklukkan Rimba.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
2045      785     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
GEANDRA
452      364     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
BlueBerry Froze
3436      1071     1     
Romance
Hari-hari kulalui hanya dengan menemaninya agar ia bisa bersatu dengan cintanya. Satu-satunya manusia yang paling baik dan peka, dan paling senang membolak-balikkan hatiku. Tapi merupakan manusia paling bodoh karena dia gatau siapa kecengan aku? Aku harus apa? . . . . Tapi semua berubah seketika, saat Madam Eleval memberiku sebotol minuman.
AraBella [COMPLETED]
37576      3733     13     
Mystery
Mengapa hidupku seperti ini, dibenci oleh orang terdekatku sendiri? Ara, seorang gadis berusia 14 tahun yang mengalami kelas akselerasi sebanyak dua kali oleh kedua orangtuanya dan adik kembarnya sendiri, Bella. Entah apa sebabnya, dia tidak tahu. Rasa penasaran selalu mnghampirinya. Suatu hari, saat dia sedang dihukum membersihkan gudang, dia menemukan sebuah hal mengejutkan. Dia dan sahabat...
Semu, Nawasena
9987      3130     4     
Romance
"Kita sama-sama mendambakan nawasena, masa depan yang cerah bagaikan senyuman mentari di hamparan bagasfora. Namun, si semu datang bak gerbang besar berduri, dan menjadi penghalang kebahagiaan di antara kita." Manusia adalah makhluk keji, bahkan lebih mengerikan daripada iblis. Memakan bangkai saudaranya sendiri bukanlah hal asing lagi bagi mereka. Mungkin sudah menjadi makanan favoritnya? ...
Kacamata Monita
1291      576     4     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
Mikroba VS Makrofag
181      167     0     
Humor
Muka default setelan pabrik, otak kacau bak orak-arik, kelakuan abstrak nyerempet prik ... dilihat dari ujung sedotan atau belahan bumi mana pun, nasib Sherin tuh definisi burik! Hubungan antara Sherin dengan hidupnya bagaikan mikroba dengan makrofag. Iya! Sebagai patogen asing, Sherin selalu melarikan diri dari hidupnya sendiri. Kecelakaan yang dialaminya suatu hari malah membuka kesempatan S...
Warisan Tak Ternilai
625      249     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
SATU FRASA
15863      3350     8     
Romance
Ayesha Anugrah bosan dengan kehidupannya yang selalu bergelimang kemewahan. Segala kemudahan baik akademis hingga ia lulus kuliah sampai kerja tak membuatnya bangga diri. Terlebih selentingan kanan kiri yang mengecapnya nepotisme akibat perlakuan khusus di tempat kerja karena ia adalah anak dari Bos Besar Pemilik Yayasan Universitas Rajendra. Ayesha muak, memilih mangkir, keluar zona nyaman dan m...
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
415      294     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...