Senin pagi datang dengan langit yang cerah, tapi hatiku tetap terasa kelabu. Hari ini pembagian rapor. Semua siswa berkumpul di sekolah, kebanyakan ditemani oleh orang tua mereka. Sementara aku… lagi-lagi datang sendiri.
Aku berdiri sejenak di depan gerbang sekolah, menutup teman-teman yang melangkah masuk sambil menggandeng tangan ibu atau ayah mereka. Ada yang terlihat bahagia, ada juga yang risih. Aku hanya menarik napas dalam, lalu melangkah perlahan menuju taman kecil di samping lapangan.
Aku duduk di bangku panjang yang masih lembap oleh embun pagi. Ponselku kubuka, berharap ada pesan dari Sarah.
“Harusnya dia udah nyampe,” gumamku sambil melirik jam tangan. Lima menit. Sepuluh menit. Tapi Sarah tak juga muncul.
Tiba-tiba, suara dari pengerasan suara sekolah menggema.
“Seluruh siswa dimohon segera berkumpul di lapangan untuk acara Pembagian rapor dan pengumuman prestasi semester ini.”
Aku berdiri pelan. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Bukan karena tegang menunggu nilai, tapi karena perasaan kosong yang tiba-tiba datang.
Kami semua berkumpul di lapangan. Barisan siswa berjajar rapi. Ada yang bisik-bisik gugup, ada yang menanti hasil rapor dengan antusias. Aku hanya diam, berdiri paling ujung. Berbagai kata dari kepala sekolah, perwakilan guru, hingga OSIS berlalu tanpa benar-benar kudengar.
“Juara ketiga dari kelas XI DKV 2… Hafanisa.”
Aku langsung berpaling cepat. Hah? Itu... namaku?
Beberapa teman menampar tangan. Aku bengong beberapa detik sebelum perlahan melangkah maju. Kakiku terasa berat. Serius? Aku?
Semester lalu aku cuma masuk sepuluh besar. Sekarang... tiga besar?
“Alhamdulillah,” bisikku pelan saat menerima piala dari kepala sekolah. Tanganku gemetar. Rasanya seperti mimpi.
Kupandang piala itu. Hangat. Ada rasa bangga yang perlahan tumbuh di dada. Mungkin ini hasil dari malam-malam penuh begadang, tangis diam-diam, dan belajar sambil menahan lapar.
Tapi kebahagiaan itu hanya sebentar.
Saat kembali ke barisan, mataku spontan mencari sosok Vicky. Dia berdiri di barisan laki-laki, memegang piala juara umum.
Aku sempat melirik, berharap setidaknya dia tersenyum atau sekadar mengangguk.
Tapi tidak. pandangannya lurus ke depan, dingin. Sepertinya aku tak ada di sana.
“Lo masih marah ya, Vik?”
Aku menunduk. Dada ini mulai sesak. Aku tidak mengerti kenapa semuanya harus berubah begini. Aku cuma jujur. Aku tidak pernah bermaksud menyakiti siapa pun.
---
Acara selesai. Aku kembali ke taman tempatku duduk pagi tadi. Sendiri, memeluk tas, lalu membuka ponsel. Mencari nama Sarah.
Nomornya tidak aktif.
Aku gagal.
“Mana dia…”
Baru saja mau menelpon lagi, ponselku bergetar. Nama Sarah muncul di layar. Aku langsung angkat.
“Sarah?” suaraku lirih tapi penuh harap.
“Fa…” terdengar terdengar lelah. “Maaf ya… gue nggak bisa ke sekolah tadi.”
“Kenapa? Kamu sakit?”
“Ngak… Gue pindah, Fa.”
Aku membayangkannya. Otakku butuh waktu mencerna kata-katanya.
“Lo... pindah?”
“Ayah gue dipindah kerja ke Australia. Kita semua ikut. Gue mulai sekolah di sana semester depan.”
Aku membeku.
“Lo serius?” tanyaku pelan.
“Gue juga nggak pengen. Tapi ini keputusan keluarga. Gue bahkan nggak sempat pamit ke siapa-siapa.”
Air mataku jatuh. Tak bisa kutahan. Tanganku gemetar.
“Jadi... kita nggak bakal sekelas lagi?”
“Iya. Maaf banget, Fa. Lo sahabat terbaik gue selama ini.”
“Lo juga... Gue nggak siap."
“Gue nangis waktu bilang ini ke lo. Tapi lo harus janji… tetap kuat. Lo tuh cewek paling tangguh yang gue kenal.”
Aku tersenyum sambil mengusap air mata.
“Gue bakal kangen banget…”
“Gue juga. Tapi kita masih bisa chat, video call. Ceritain semua hal baru ke gue, ya?”
“Iya. Lo juga jaga diri.”
“Dan… Fa?”
“Iya?”
“Selamat, ya... Rangking 3. Gue bangga banget.”
Aku memejamkan mata, menahan sesak yang datang lagi.
“Gue bisa kayak gini juga karena lo, Sar.”
“Oke, nanti gue telepon lagi, ya. Bye.”
“Bye.”
Telepon terputus.
Aku masih duduk di taman. Piala itu tergeletak di sampingku. Tapi rasanya kosong. Hampa.
Hari ini aku naik panggung menerima piala. Tapi juga kehilangan seseorang yang sangat berarti. Aku bangga... sekaligus patah.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama… aku merasa sendirian lagi.
---
Langit yang Tak Lagi Sama
Langit sore menggantung sendu, seolah tahu hatiku sedang kehilangan. Sepulang dari sekolah, aku berjalan kaki seperti biasa. Tapi kali ini, rasanya lebih sepi. Lebih sunyi. Lebih hampa.
Sarah… dia benar-benar pergi.
Bukan berarti aku tak punya teman lain. Tapi Sarah berbeda. Selama dua tahun, dia adalah tempatku bersandar. Dia tahu kapan harus diam, kapan harus menghibur. Dia paham aku—tanpa perlu banyak bicara.
Sekarang aku sendiri. Lagi.
Aku menarik napas panjang, mencoba menata ulang hati yang kembali diacak-acak oleh kehilangan. Aku harus kuat. Aku harus tetap berdiri. Ini bukan pertama kalinya aku ditinggal.
Aku sudah belajar menjadi perempuan mandiri. Dan aku akan terus belajar menjadi perempuan berprestasi, meski berkali-kali jatuh.
Sesampainya di pangkalan angkot, aku duduk di bangku tua. Angin sore menyibakkan rambutku. Jalanan padat, suara klakson bersahutan, orang-orang berlalu-lalang dengan ritme hidup masing-masing.
Lalu... mataku menangkap satu sudut di seberang jalan.
Sebuah kafe mungil, dengan kaca bening.
Di dalamnya... Ayah.
Dan... Tante Rani.
Mereka duduk berdampingan. Tertawa. Ayah menatapnya dengan pandangan yang dulu hanya kubaca di wajahnya saat memandang almarhumah Ibu.
Tawanya menusuk telinga. Mereka terlihat begitu nyaman. Begitu... dekat.
Langkahku spontan menyeberang. Nafasku memburu. Aku tak peduli tatapan orang-orang.
“Ayah?” seruku tajam.
Ayah menoleh. Tatapan kami bertemu. Ia membeku. Tante Rani tersentak, buru-buru merapikan jilbab yang tak kusut sedikit pun.
“Kamu… ngapain di sini?” Ayah terdengar gugup. Ia bangkit, hendak menggenggam tanganku. Tapi aku menghempasnya.
Aku berdiri tegak di depan mereka.
“Aku yang seharusnya tanya, Ayah. Ngapain duduk berduaan sama istri orang, hah?!”
Tante Rani tertunduk. Ayah menatapku, wajahnya pucat.
“Ini… nggak seperti yang kamu kira.”
“Emang aku kira apa?! Aku liat sendiri! Kalian mesra! Kalian tertawa! Mau aku rekam biar Ayah bisa nonton sendiri nanti?!”
Tante Rani buru-buru berdiri. “Sudahlah... aku pulang dulu. Maaf…”
“Jangan pernah datang ke rumah lagi!” teriakku lantang. “Kamu pengkhianat!”
Orang-orang mulai menoleh. Tapi aku tak peduli. Mataku kini tertuju pada ayah—penuh luka yang tak bisa ia pahami.
“Ayah…” suaraku bergetar. “Apa Ayah pernah pikirin gimana perasaan Ibu Annisa kalau tahu semua ini? Hah?!”
Ayah terdiam. Ia menunduk.
“Kenapa, Ayah? Kenapa tega ngelakuin ini ke keluarga kita? Aku capek pura-pura baik-baik aja. Tapi Ayah malah… tega…”
Air mata mengalir. Kutepis kasar, tapi tangisku tetap pecah di tengah keramaian. Malu, marah, hancur—semua berbaur dalam dada.
Aku berbalik. Meninggalkan ayah yang tak bisa berkata-kata. Tak ada penjelasan. Tak ada permintaan maaf.
Hanya langkahku yang menjauh. Dan suara gemuruh di dadaku yang tak kunjung reda.
Hari ini… aku kehilangan lagi.
Bukan cuma sahabat. Tapi juga kepercayaan.
Kepercayaan pada satu-satunya laki-laki yang dulu kusebut: rumah.
---
Sore itu, langit akhirnya ikut menangis. Hujan turun perlahan, membasahi genting rumah saat aku tiba. Aku berdiri cukup lama di depan pintu, berusaha menenangkan diri sebelum masuk. Aku tidak ingin Ibu tahu bahwa aku baru saja meledak di tengah kota.
Aku melangkah pelan. Ibu Annisa sedang sibuk di dapur, wajahnya hangat seperti biasa. Begitu melihatku, ia tersenyum.
"Hafa, kamu hujan-hujanan? Kenapa nggak pakai payung?" tanyanya sambil buru-buru mengambil handuk kecil dan menyodorkannya padaku. "Sini, keringin dulu."
Aku hanya mengangguk kecil dan menerima handuk itu tanpa banyak bicara. Senyumnya... senyum ibu yang selalu hangat. Senyum yang ingin kulindungi sekuat tenaga dari pengkhianatan ayah.
Aku masuk kamar dan menguncinya rapat. Tasku kulempar ke sudut ruangan, lalu wajahku kutenggelamkan ke bantal. Tangis yang kutahan sejak tadi akhirnya pecah juga.
Tak lama kemudian, ada ketukan pelan di pintu.
“Hafa... ini Ibu. Kamu nggak apa-apa, Nak?”
Cepat-cepat aku menyeka air mata. “Iya, Bu. Aku cuma capek dikit.”
“Kalau butuh apa-apa, panggil Ibu ya. Ibu bikinin sup ayam kesukaan kamu.”
Aku menjawab dengan gumaman samar. Ibu berlalu, tapi suaranya masih terngiang di telingaku.
Kalau saja Ibu tahu..
---
Malamnya, Ayah pulang. Langkahnya terdengar berat dari ruang tamu. Aku menahan diri untuk tidak keluar. Tapi kemudian, pintuku diketuk.
“Hafa, boleh Ayah bicara?”
Aku diam. Ayah membuka pintu perlahan dan berdiri di ambang dengan wajah penuh penyesalan. Ia masuk dan duduk di sisi ranjang, menatapku.
“Ayah tahu kamu marah…”
Aku memalingkan wajah, menatap dinding. “Bukan cuma marah,” bisikku nyaris tak terdengar. “Aku kecewa. Hancur.”
Ayah terdiam. Tangannya mengepal, bergetar.
“Ayah khilaf. Kami cuma ngobrol. Itu nggak seperti yang kamu bayangkan.”
Aku menoleh, menatapnya tajam. “Ayah pikir aku anak kecil? Aku lihat semuanya. Tertawa kalian, cara Ayah menatap dia. Itu bukan sekadar ngobrol.”
Ayah mengusap wajah, suaranya pelan. “Ayah sudah lama merasa kesepian. Ibu kamu... Annisa... dia baik. Tapi hubungan kami sudah nggak seperti dulu.”
“Kau bohong,” suaraku meninggi. “Ibu Annisa selalu berusaha. Dia belajar masak masakan favorit Ayah, dia sabar nunggu Ayah pulang malam. Apa itu nggak cukup?”
Air mataku kembali jatuh. Ayah tertunduk, tak berkata apa-apa.
“Kalau Ayah udah nggak cinta, kenapa nggak bicara baik-baik? Kenapa harus selingkuh? Kenapa harus menghancurkan semuanya diam-diam?”
Tak ada jawaban. Hening menyelimuti kamar, hanya suara hujan di luar yang terdengar, seperti ikut menangisi kebodohan ini.
“Kamu mau bilang ke Ibu?” tanya Ayah akhirnya, pelan.
Aku menatapnya lama. “Aku belum tahu. Tapi yang jelas, Ayah harus berhenti ketemu Tante Rani. Harus putus hubungan itu.”
“Ayah janji,” katanya cepat. “Ayah akan bicara ke dia.”
“Dan Ayah harus minta maaf ke Ibu. Entah bagaimana caranya. Tapi Ayah harus bertanggung jawab.”
Ayah mengangguk perlahan. “Ayah akan coba.”
Aku tak sadar, suara kami tadi cukup keras hingga terdengar ke luar. Tiba-tiba, terdengar suara kecil dari balik pintu, seperti sesuatu yang jatuh. Pintu terbuka perlahan.
Ibu Annisa berdiri di sana.
Matanya membelalak. Tangannya gemetar. Wajahnya pucat, seperti kehilangan semua warna.
“Kamu bilang apa tadi, Hafa?”
Suaranya pelan, tapi tajam.
Aku tercekat. Ayah bangkit tergesa.
“Annisa... bukan begitu maksudnya…”
Ibu mengangkat tangan, menyuruh Ayah diam.
“Aku cuma mau dengar dari Hafa,” ucapnya, pandangannya tak lepas dari mataku.
Aku menelan ludah, lalu mendekat sedikit. Air mata kembali membasahi pipi.
“Ibu... aku nggak sengaja lihat Ayah... siang tadi... di kafe... sama Tante Rani. Mereka duduk berdua... ketawa bareng... dan Ayah nggak menjauh. Ayah biarkan semua itu terjadi...”
Ibu terdiam. Napasnya panjang, seperti menahan badai yang mengamuk di dalam dadanya. Lalu ia menoleh ke arah Ayah, dengan tatapan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Tatapan yang penuh luka dan kecewa.
“Berapa lama?” tanyanya lirih. “Berapa lama kamu kayak gini di belakang aku?”
“Annisa, dengar dulu—”
“Berapa lama kamu menghancurkan kepercayaan aku, Pak?” suaranya meninggi. “Apa aku kurang berusaha jadi istri yang baik? Aku ngalah, aku sabar sama sikap kamu yang makin hari makin dingin. Tapi kamu malah selingkuh?”
“Ibu…” aku mencoba menggenggam tangannya.
Tapi Ibu mundur.
“Maaf, Hafa. Ibu butuh sendiri.”
Air matanya jatuh satu per satu. Ia berbalik dan keluar dari kamar dengan langkah cepat. Tangisnya mulai pecah. Ayah hendak menyusul, tapi aku menahan tangannya.
“Jangan sekarang. Biarin Ibu sendiri dulu…”
Ayah menatapku, matanya mulai basah. Ia duduk lemas di kursi dekat meja belajarku. Udara di kamar terasa berat. Sunyi, tapi menyakitkan.
Seolah semua ini bukan kenyataan, tapi mimpi buruk yang tiba-tiba meledak di ruang kecil ini. Dan kami bertiga hancur dalam kesunyian masing-masing.
---
Tangis Ibu terdengar samar dari dalam ruangan.
Aku duduk memeluk lutut di balik pintu, menatap kosong ke lantai. Ingin rasanya aku masuk dan memeluknya, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi aku tahu, tidak semua luka bisa sembuh dengan pelukan.
Ada luka yang harus dibiarkan berdarah lebih dulu sebelum akhirnya bisa kering dan sembuh perlahan.
Dan malam ini, kami semua berdarah.