"Haiii... Hafaaa!"
Suara nyaring itu memecah ketenangan yang perih. Aku yang baru saja selesai menyapu halaman langsung menoleh, sedikit terkejut. Di balik pagar, Sarah berdiri dengan senyum lebarnya yang khas—cerah, seperti matahari pagi setelah hujan.
“Wa’alaikumsalam,” gumamku pelan. Nada suaraku sengaja kubuat menyindir sambil meletakkan sapu ke sudut dinding. Entah kenapa, salamnya yang selalu tak lengkap itu selalu sukses bikin aku geli... dan sedikit kesal.
Tanpa menunggu izin, Sarah membuka pagar dan masuk begitu saja, seolah-olah rumah ini miliknya. Tak cukup sampai di situ, dia mulai mengetuk-ngetuk pintu rumah dengan gaya lebay, seperti anak kecil yang tak sabar menunggu pintu dibuka.
"Eeeh, maaf!" katanya sambil nyengir lebaran. Sama sekali tidak terlihat merasa bersalah.
"Gue mau ajak lo jalan. Tapi lo nggak boleh nolak, ya! Wajib ikut!" katanya semangat. Mata berbinar seperti baru saja memenangkan undian berhadiah.
Aku mengerutkan dahi.
"Main ke mana sih, pegal-pegal gini? Sumpah, kepala gue lagi penuh. Lo nggak lihat, jalanan luar udah macet banget."
Sarah manyun.
"Ih, lo tuh... Ini weekend, Fa! Ayolah, sebentar doang. Janji. Lo tuh butuh refreshing, serius."
Aku menatapnya curiga.
"Lo mau ketemu sama Leo ya? Jujur aja."
Wajah Sarah langsung memerah seperti kepiting rebus. Cengengesan.
"Kaaaaan, bener." Aku memutar bola mata.
"Gue jadi nyamuk dong."
Aku masuk ke rumah, melepas sandal, dan berjalan ke ruang tamu. Sarah mengekor di belakang seperti bayangan.
"Enggak! Beneran enggak! Ada Vicky juga, kok!" ucapnya cepat, seolah sudah menyiapkan pembelaan.
"Malah dia yang nyuruh gue ajak lo. Katanya, sekalian aja ngajak Hafa jalan."
Langkahku terhenti. Aku menoleh pelan, menatap dari balik bahu.
"Ngapain Vicky ngajak gue?"
Sarah nyengir, bahunya terangkat asal.
"Mana gue tau? Mungkin dia kasihan kali ngelihat lo murung terus di rumah."
Aku membayangkannya. Mungkin... ada benarnya juga.
Beberapa hari ini, dunia terasa seperti ruang kosong—dingin, sepi, dan sunyi.
Aku butuh udara. Butuh tawa. Walau hanya sebentar.
Pandangan mataku beralih ke dapur, memastikan ayah sambungku tidak sedang mencari alasan untuk marah. Aku melangkah pelan ke ruang tengah, tempat televisi bersuara keras tapi tak ada percakapan. Sosok lelaki itu duduk di sofa, menatap layar tanpa ekspresi.
"Yah... aku boleh keluar sebentar?" tanyaku hati-hati, seperti sedang melangkah di atas pecahan kaca.
"Jangan lama-lama." Jawabnya datar, tanpa menoleh sedikit pun.
"Iya." Suaraku serak.
Aku kembali ke ruang tamu. Sarah masih duduk santai di sofa, menampar-nepuk pahanya sambil bersiul tak jelas.
"Oke. Gue ikut. Tapi kalau lo dan Leo mulai peluk-pelukan depan gue, sumpah gue jalan kaki pulang."
Sarah tertawa keras.
"Astaga, Fa! Lo kayak nenek-nenek! Santai aja, gue jaga sikap kok."
Aku menggeleng pelan, lalu masuk ke kamar.
Kutanggalkan pakaian rumah dan memilih blus longgar berwarna putih bersih, dipadukan dengan rok plisket navy. Jilbab segi empat warna senada kuikat rapi. Aku menatap pantulan diriku di cermin—rambut tersimpan rapi di balik jilbab, wajahku sedikit pucat, tapi cukup.
Ada rasa hangat kecil yang mulai tumbuh.
Mungkin... sore ini, aku bisa sedikit bernapas.
---
Aku tidak tahu apa sebenarnya niat Sarah, tapi yang jelas—aku kesal. Sangat kesal.
Tadi dia bilang kami akan ke mal. Itu sebabnya aku mengenakan blus putih bersih dan rok midi yang sedikit formal, lengkap dengan flat shoes favoritku. Tapi kini, aku berdiri kikuk di depan stadion utama , tempat orang-orang berlarian dengan pakaian olahraga yang menyerap keringat dan semangat.
“Benar-benar ya, lo Sarah!” gerutuku tajam, menatap sebal.
Sarah hanya cengengesan. "Maaf, Fa. Ternyata Leo ngajaknya ketemu di sini. Katanya dia ada tanding sepak bola. Stadion lagi buka, jadi kita bisa sekalian nonton," jelasnya dengan nada enteng, seolah-olah tidak menyadari kekonyolannya.
Aku hadir. “Gue gak mau ahh!”
Tanpa pikir panjang aku berbalik, bersiap meninggalkan tempat itu. Tapi baru beberapa langkah, tangan Sarah menarikku dengan cepat.
"Eiiitts, tunggu dulu! Bentar aja kok! Udah terlanjur sampai, masa gak masuk sekalian."
Belum sempat menolak, ia tertarik dan menyeretku masuk sambil berlari kecil. Aku mendesah panjang. Kadang-kadang, Sarah itu seperti badai kecil—tidak bisa dihentikan.
Stadion sore itu agak lengang. Matahari mulai tenggelam di ujung barat, menyisakan semburat jingga di langit. Di luar lapangan, hanya ada aku dan Sarah. Tak ada kerumunan penonton. Tak ada pertandingan. Hanya suara langkah kami yang menggema.
“Mana orangnya?” tanyaku heran, menoleh ke kanan dan kiri. Tidak ada Leo. Tak ada siapa pun.
Sarah yang tadinya berada di sampingku tiba-tiba menghilang. Sekejap saja.
“Sarah?” Aku memanggil pelan. Tidak ada jawaban.
Panik mulai merambat di dadaku. Aku melangkah cepat, mataku menyapu sekeliling. “Sarah, lo dimana sih?” Suaraku mulai gemetar. Stadion sebesar ini... dan aku sendirian?
Tiba-tiba suara dari atas tribun menggema.
“Aku di sini, Fa!”
Aku mendongak dan melihat Sarah berdiri di deretan kursi paling atas. Ia tersenyum—senyum yang seharusnya mencurigakan sejak awal.
“Hafa, lihat belakang lo!”
Saya spontan menoleh.
Seseorang berdiri di belakangku. Nafasku tercekat.
“Hafa…” suara itu lembut, dan tangan yang terulur membawa sebuket bunga. Buku bunga mawar, cantik sekali. merah muda, putih, dan ungu muda—disusun rapi dan dibungkus dengan pita emas.
"Vicky?"
Aku sontak kaget. Dadaku berdegup tak karuan.
Dia tersenyum, ragu-ragu, tapi matanya menatap ke dalam. “Ini… buat kamu.”
Aku menatap bunga itu, lalu menatap Vicky. “Ini maksudnya apa ya?” tanyaku bingung. “Aku gak lagi ulang tahun. Gak ada lomba juga...”
Vicky menghela napas pelan. “Gue kasih lo bunga bukan karena lo ulang tahun atau menang lomba.”
Aku mengernyit. “Terus?”
Dia melangkah sedikit lebih dekat. “Gue suka sama lo sejak pertama kali lihat lo di sekolah.”
Suasana tiba-tiba hening. Hanya suara daun kering ditiup angin di sudut lapangan.
“Aku tahu, lo lagi gak baik-baik aja,” lanjutnya. “Tapi…boleh gak gue isi hati lo yang kosong itu?”
Suaranya lirih, tapi tulus. Vicky bukan tipe orang yang banyak bicara. Tapi hari ini... dia berdiri di tengah stadion kosong, dengan bunga di tangan, dan hati di dada yang tak ragu diserahkan padanya.
Aku membayangkannya. Dunia seolah berputar lambat. Ada rasa hangat, sekaligus bingung dan canggung. Saya tidak bisa menerima dia, jelas-jelas kami berbeda keyakinan. Yang jelas aku belum siap untuk memulai hubungan dengan siapa pun.
Dan dia... mungkin belum tahu apa yang sebenarnya ada di dalam hati ini.
“Gue hargai semua yang lo lakuin ini. Terima kasih banget tapi gue gak ada perasaan apa-apa sama lo.” Ucapku, aku merasa tidak tega tapi, aku sama sekali tidak mau memberi harapan apapun.
Vicky menghembus napas pelan. Raut wajahya kecewa, “Hmm, gue paham, Fa.” Ia melihat lebi dalam “Apa gak pernah ada sedikit kesempatan buat gue?” lebih lanjutnya.
“Maaf, Ky. Gue belum siap untuk sekarang ini.” Aku sangat berusaha melihat Vicky sudah dengan wajah yang tidak baik-baik saja.
“Kita jadi teman aja yaa?” ucapku, aku berusaha tetap semangat dan tersenyum hangat padanya
“Percayala, jodoh itu gak akan kemana kok. Lagian kita masih sekolah dan masih banyak yang harus kita kejar dan lo siswa terpintar di kelas, gue gak mau mau karna cinta mempengaruhi diri lo buat belajar.” Aku memegang bahunya. Meyakinkan dirinya untuk tidak larut dengan kekecewaan.
Vicky mengangkat kepalanya dan memberi senyuman. aku sulit mengartikan senyuman itu tapi aku berharap dia mengerti.
“Gue akan berusaha. Tapi lo juga harus semangat ya, Fa?”
“Baiklah…” ucapku setuju.
Setelah kurang lebih satu jam di stadion bersama Vicky, kami pun berniat untuk pulang. Dan sebelum itu kami harus mencari sarah dan Leo dulu. Kami mencari sekitaran tapi nihil. Mereka gak ada.
Hpku berbunyi. “Sara” nama yang tertera pada panggilan itu.
“Di mana kamu, Rah?”
Terdengar suara cengengesan di balik telfon itu
"Maaf ya! Gue sama leo udah duluan. Cari makan berdua. Kalau lo mau pulang minta vicky yang antarin ya."
"Ha? Lo serius, Ra. Tega bener lo yaa!" jawabku kesal. Aku menggenggam hp itu kuat.
"Pliss jangan marah ya. Lagian udah jadiankan sama Vicky?"
Aku tidak menjawab, aku takut jika jawaban itu akan mengecewakan Vicky lagi.
“Ya udah deh. Gue pulang sendiri.”
Lalu aku mematikan sambungan telfon.
Aku menoleh ke Vicky untuk pamit. “Ky, gue pulang duluan ya. Gue gak bisa lama-lama, ayah gue bakal marah nanti.”
Vicky menariknya dengan lembut. “Boleh aku antar?” tanyanya
“Gak usah, aku bisa sendiri pakai ojek online.”
“Pliss, ini semua rencana gue dan sebagai permintaan maaf gue atas Sara tadi gue mau antar lo pulang.”
“Baiklah.” Aku gak bisa menolak.
Kami pun berjalan menuju parkiran, rasanya sangat canggung padahal biasanya kami sering berdebat di kelas.
Cuaca sore ini mendung dan sudah mulai gelap. Jalanan macet dan memakan waktu untuk segera sampai ke rumah.
Sesampainya di rumah, suasana sudah gelap. Lampu-lampu rumah menyala samar, dan suara TV dari ruang tengah terdengar samar-samar. Aku turun dari motor pelan, membetulkan kerudungku yang sempat tertiup angin.
“Makasih ya, Ky… udah anterin gue,” ucapku sambil tersenyum kecil ke arah Vicky.
Dia mengangguk pelan. “Hati-hati masuknya. Kalau dimarahin, bilang aja gara-gara macet.”
Aku tertawa pelan. “baiklah?”
Kami saling bertukar pandang sebentar. Canggung, tapi ada rasa hangat yang menggantung di antara kami. Bukan karena cinta, tapi karena pengertian.
“Gue pulang dulu ya. Sampai ketemu, Fa,” katanya sambil menaiki motornya lagi.
“Sampai jumpa, Ky…” balasku pelan.
Begitu motor Vicky berbalik dan suara mesinnya menjauh, aku menarik napas panjang dan masuk ke rumah.
Langkahku ringan, tapi detak jantungku masih belum normal. Bukan karena deg-degan disukai cowok, tapi karena semua ini... terlalu mendadak.
“Dari mana?” suara berat itu menyambutku dari ruang tengah.
Aku menahan napas, berusaha tetap tenang. “Keluar bentar, Yah. Udah izin tadi.”
Ayahku menoleh, ekspresi tetap datar seperti biasa. "Besok jangan ngeluyur malam-malam. Kamu cewek. Gak usah terlalu bebas."
“Iya...” jawabku pendek, lalu buru-buru masuk kamar sebelum hatiku meledak lagi.
Begitu pintu kamar tertutup, aku duduk di atas kasur. Hening. Gelap. Dan anehnya, aku merasa... lega.
Aku membuka jilbab perlahan, menggantungkannya di sisi lemari. Cermin di meja rias memantulkan wajahku yang kusut dan lelah, mata sembab, pipi kusam, tapi entah kenapa masih ada sisa senyum tipis di sudut bibir. Bukan karena bahagia, tapi lebih pada rasa lega. Malam ini, aku merasa sedikit lebih kuat dibandingkan kemarin.
Suara televisi dari ruang tengah masih terdengar, berganti menjadi iklan yang riuh. Aku tahu Ayah masih di sana, mungkin sambil merokok dan menyeruput kopi hitam seperti biasa. Dulu, suara itu membuat rumah ini terasa hidup, tapi sekarang, rasanya hanya jadi gema kosong dari hidup yang tak sungguh-sungguh ada.
Salsa sudah tidur. Pintu ruangan tertutup rapat. Aku bersyukur karena setidaknya adikku tidak perlu tahu semua beban yang kupikul. Biarlah aku yang menyimpan semuanya. Biarlah malam ini jadi milikku sendiri, tanpa tangis yang harus kusembunyikan, tanpa bentakan yang harus kutahan, tanpa luka baru yang harus kuobati sendirian.
Aku merebahkan tubuh dan menatap plafon sambil napas menarik dalam. Hening, lalu tiba-tiba air mata mengalir begitu saja. Tanpa aba-aba, tanpa suara. Aku tahu tadi aku bilang pada diriku sendiri kalau aku baik-baik saja, tapi kenyataannya, aku belum benar-benar kuat.
Ketukan pelan terdengar di pintu.
Tok... tok...
Aku buru-buru menyeka air mata dan duduk tegak.
"Iya?"
Pintu terbuka sedikit. Wajah Kak Iyem muncul di balik celah, dengan senyum tipis yang terasa seperti pelipur.
“Sudah makan, Nduk?”
Aku menggeleng.
Kak Iyem masuk sambil membawa nampan kecil berisi sepiring nasi dan telur dadar. “Tadi Kakak simpenin.Takut kamu belum makan.”
Aku diam beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Makasih, Kak.”
Ia duduk di ujung kasur, letakkan nampan itu di pangkuanku. “Kamu capek ya?”
Aku kembali mengangguk.
Tak ada tanya lagi dari Kak Iyem. Hanya memunculkan yang hangat dan mengerti, seperti Ibu dulu saat aku menangis di pelukannya. Tangannya menyentuh kepalaku, mengelus pelan, membuatku hampir lupa bahwa dunia di luar masih terasa berat.
“Nanti kalau Kakak nggak di sini lagi, kamu kuat ya?”
Kalimat itu membuat sendok yang hampir masuk ke mulutku berhenti di udara. Aku menatapnya dengan bingung.
“Kakak ngomong apa?”
Ia tersenyum, tapi senyumnya terasa pahit. “Ayahmu bilang... minggu depan Kakak disuruh berhenti kerja di sini.”
Dadaku terasa sesak. Dunia yang tadinya sudah cukup gelap kini terasa semakin pekat.
“Enggak, Kak… jangan pergi…”
Tangannya bergerak mengelus punggung. “Kamu harus kuat, Nduk.Buat Salsa, juga buat kamu sendiri.”
Aku langsung memeluknya erat. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku menangis di pelukan seseorang yang membuatku merasa aman. Dunia boleh sekeras apapun, tapi pelukan Kak Iyem masih bisa membuatku tenang.
“Kalau Kakak pergi… aku sendirian,” bisikku lirih.
"Nggak. Kamu nggak sendiri. Masih ada Allah. Masih ada doa-doa Ibumu yang selalu menyertai. Dan Kakak yakin, akan ada orang-orang baik yang datang dalam hidupmu, meskipun kamu belum tahu siapa mereka sekarang."
Aku hanya bisa menangis. Aku tidak tahu bagaimana menghadapi hari esok. Tapi malam ini, aku tidak mau melepaskan pelukan ini terlalu cepat.
Dan dalam pelukan itu, aku sadar satu hal—kehilangan memang menyakitkan, tapi justru dari rasa sakit itulah seseorang belajar bertahan.
---
Sudah seminggu sejak kebenaran itu terungkap—semenjak Ayah Johan dengan tenang mengakui bahwa ada wanita lain yang telah lama mengisi hatinya. Semenjak itu pula, rumah ini tak lagi sama. Tak ada lagi percakapan hangat, tak ada tawa di meja makan, tak ada sapaan pagi yang dulu selalu terdengar seperti doa.
Aku lebih sering mengurung diri di kamar. Sunyi menjadi teman terbaiknya. Di balik pintu itu, aku tenggelam dalam diam, dalam kekecewaan yang belum bisa ia redakan. Ia menatap langit-langit kamar sambil bertanya dalam hati yang lirih, "Kenapa semua harus berubah secepat ini? Kenapa harus sekarang, saat aku baru saja kehilangan Ibu?"
Di luar kamar, suara langkah kaki Ayah Johan pun makin jarang terdengar. Ia semakin sibuk. Pulang selalu larut malam, dengan alasan pekerjaan. Tapi Aku tahu, atau setidaknya aku merasa tahu mungkin bukan pekerjaan yang membuat ayahku beta di luar rumah, tapi kehidupan barunya. Wanita barunya.
Di rumah, hanya ada Aku, Salsa, dan Kak Iyem—pengasuh sekaligus sosok yang selama ini jadi penenang bagi dua anak yang kehilangan tempat bergantung. Kak Iyem yang dulu sering menyanyikan lagu nina bobo sambil mengayun Salsa, yang diam-diam selalu menyisihkan lauk lebih banyak untukku, yang tahu cara menyapu luka tanpa kata-kata.
Namun di belakangan, suara bentakan sering terdengar dari ruang tengah. Teguran demi teguran dari Ayah Johan kepada Kak Iyem membuat suasana rumah semakin tak nyaman. Dulu, rumah ini terasa hangat meski sederhana. Saat ini, rumah ini dingin meski dindingnya masih sama.
“Saya capek liat kamu males-malesan, kerja tuh yang bener!” suara Ayah Johan menggelegar suatu malam, membuat Salsa membekukan ketakutan dan merapat ke tubuh Hafa.
Kak Iyem hanya menunduk. Tak menjawab. Matanya sembab, tapi ia tahan isaknya di depan anak-anak. Ia tahu, menangis pun tak akan mengubah keputusan majikannya.
Keesokan harinya, Aku duduk di kursi ruang makan dengan wajah lesu. Pikirannya kalut.
"Ayah bilang mulai hari ini Kak Iyem gak kerja lagi di sini," ucapnya lirih pada dirinya sendiri, lebih seperti gumaman yang ditelan angin pagi. Ia tahu, tanpa Kak Iyem, rumah ini akan terasa semakin kosong. Tapi dia juga tahu, dia tidak bisa menentang keputusan ayahnya. Anak sepertinya hanya bisa menurut, meski hatinya menjerit.
"Aku harus ngurus Salsa, tapi gimana caranya? Aku sekolah, Ayah kerja lalu siapa yang jagain dia? Siapa yang ngeerti Salsa seperti Kak Iyem?" pikirnya lagi.
Lalu, kenyataan yang lebih pahit datang menampar.
Setelah Kak Iyem pergi, Ayah Johan mulai membawa Salsa ke tempat wanita itu setiap hari. Bukan hanya Salsa, kini giliranku yang diantar ke sekolah oleh Ayah—dengan rute baru yang tak ia inginkan.
Pagi itu, motor tua Ayah berhenti di depan sebuah rumah berpagar putih dengan pot-pot bunga yang tersusun rapi. Tapi tak ada kehangatan dari rumah itu. Justru hawa aneh menyeruak begitu Hafa turun dari motor.
“Nak, turun dulu. Kenalin, ini... Tante Rani. Sekarang dia yang bantuin jagain Salsa,” ucap Ayah Johan sambil tersenyum, seolah semua ini adalah hal biasa.
Waktu seperti membeku. Aku berdiri kaku. Mataku menatap wanita itu yang dengan santai menggendong Salsa seolah tak terjadi apa-apa. Aku ingin marah. Ingin berteriak. Tapi tak ada suara yang keluar. Tenggorokannya kering.
"Wanita itu... yang Ayah pilih setelah Ibu pergi?" batinnya menjerit.
Rasa sesak menjalar dari dada hingga ke ujung jemari. Ia merasa dikhianati, bukan hanya oleh Ayah Johan, tapi juga oleh kenyataan yang terlalu kejam untuk anak seumurannya.
Tante Rani tersenyum canggung. “Hai, Hafa… kamu cantik ya,” ujarnya lembut.
Tapi sepertinya, terdengar seperti kabar duka. Ia hanya menunduk, tak sanggup membalas. Di matanya, wanita itu adalah alasan mengapa ibunya terluka, mengapa rumah ini hancur. Tak peduli betapa lembut senyumnya, luka di hati Hafa terlalu dalam untuk bisa dijembatani oleh kata-kata manis.
Dalam perjalanan ke sekolah, Hafa hanya diam. Ayah Johan berusaha mencairkan suasana.
“Maaf kalau Ayah ngaasih tahu semuanya dengan cara seperti ini. Tapi Ayah juga manusia, Haf… Ayah butuh bahagia.”
Aku menoleh pelan. ternyata kosong, tapi tajam.
"Bahagia? Bahagia yang Ayah maksud itu selingkuhin Ibu waktu dia sakit? Bohongin kami selama bertahun-tahun?" suaranya lirih, tapi menancap seperti pisau.
Ayah diam. Tak menjawab. Matanya menatap lurus ke depan, mencoba tetap tenang meski jelas-jelas kata-kata mengejutkan.
“Gak semua orang bisa punya hak untuk bahagia, Yah. Kadang-kadang, ada yang harus milih jadi kuat supaya orang lain gak bikin hancur,” lanjutku dengan suara yang bergetar. Dia menahan udara dalam kegelapan mungkin. Karena dia tahu, jika satu tetes jatuh, tangis itu akan meluap seperti banjir.
Aku sadar, Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya anak dari seorang wanita yang kini telah tiada. Rumah yang dulu jadi tempat pulang, kini hanya atap yang menampung tubuh, bukan hati.
Sesampainya di sekolah, aku turun tanpa berpamitan. Ayah Johan mengungkapkan kepergiannya dari atas motor, tapi tak ada kata pun yang ia ucapkan. Hanya diam. Seperti biasa.
Aku berjalan masuk ke gerbang sekolah, dengan langkah yang tampak tenang. Tapi di dalam dadaku, badai tak pernah berhenti.
“Mungkin aku hanya numpang hidup di dunia Ayah. Tapi aku janji, aku gak akan numpang gagal dalam hidupku sendiri.”
***