Loading...
Logo TinLit
Read Story - Finding My Way
MENU
About Us  

“Papa mau kamu kasih hape kamu ke Papa sekarang, Medina.” Tangan kanan Luthfi terulur dengan telapak menghadap ke langit-langit. Tatapannya tetap teduh, tetapi penuh ketegasan dalam sorot matanya.

 

“Nggak!” bantah Medina dengan dagu terangkat tinggi, menantang tatapan papanya. “Kenapa segala hape lagi yang mau disita, sih, Pa? Yang tadi belum cukup? Padahal aku sudah kembalikan uang Papa. Aku juga bakal kembalikan uang yang tempo hari aku pinjam dari Mama. Cash. Langsung lunas.” Tersisip nada jemawa dari nada bicaranya.

 

“Ini bukan semata soal uang, Medina. Ini soal tanggung jawab dan kedisiplinan.” Luthfi mengatur napas, menjaga intonasi serta tutur katanya agar ketegangan ini tidak semakin meluas dan merembet ke mana-mana.

 

“Lah, itu bentuk tanggung jawab Medina, Pa.” Medina mengotot.

 

“Juga kedisiplinan, Medina!” Luthfi memberi penekanan pada kata kedua ucapannya. Berat menahan amarah yang telanjur membuncah. Namun, lelaki itu sadar dia punya andil besar atas perubahan sikap sang anak. 

 

Medina menggeleng keras, kukuh menolak titah papanya. “Medina nggak akan kasih hape Medina ke Papa apa pun yang terjadi,” kilahnya. Hatinya keras karena tumpukan rasa kecewa. Meskipun selama ini terus menimpakan kemarahan pada ibunya, tapi Medina sadar betul Luthfi juga sama bersalahnya dengan Latifa. Kedua orangtuanya bersalah karena tidak berusaha bertahan, menjadikan dirinya dan Santi korban atas keegoisan mereka.

 

“Papa minta serahkan hape kamu sekarang.”

 

“Kalau aku bilang nggak, Papa mau apa?”

 

Perdebatan sengit antara ayah dan anak pun pecah. Sama sekali tidak bisa dihindari. Luthfi dengan sikap tegas ikut menjatuhkan hukuman pada Medina yang sudah melanggar batasan-batasan dan aturan yang sudah ditetapkan oleh mantan istrinya. Sudah sejauh ini jaraknya dengan Medina. Sudah sebegitu asing Medina di matanya.

 

Tidak hanya lima lembar pecahan seratus ribuan yang barusan dikembalikan Medina, fakta bahwa anak gadis kesayangannya telah mencuri dari sang ibu pun baru Luthfi ketahui. Hal itu menjadi tamparan keras baginya. 

 

Luthfi benar-benar terpojok. Lelaki itu merasakan kepalanya berdenyut hebat seolah ada bom waktu di balik tempurung kepalanya dan sebentar lagi bom itu akan meledak. Berbagai spekulasi pun bermunculan. Tamparan selanjutnya yang berhasil melumpuhkan kepongahannya. Dari mana uang itu berasal dan apa yang anak bungsunya lakukan di luar sana? 

 

Perceraiannya dengan Latifa menyebabkan anak-anaknya tidak mendapat perhatian yang utuh. Perpisahan itu membuat mereka tidak hanya berjarak secara fisik, tapi juga psikis. Tamparan ketiga membuat Luthfi lunglai. 

 

Medina mengentakkan sebelah kakinya. Dengan wajah yang mendongak makin tinggi, dia berseru, “Aku benci Papa!” Sepasang matanya menatap nyalang. 

 

“Istighfar, Medina. Istighfar, Nak,” bisik Luthfi sedih.

 

Tidak puas melihat Luthfi yang tertunduk menunjukkan sisi lemahnya, dengan lantang Medina kembali berteriak, “Papa berubah, sudah nggak asyik kayak dulu. Kenapa sekarang Papa sama menyebalkannya kayak Mama? Padahal aku cuma mau dimengerti, Pa! Aku capek hidup kayak boneka yang nggak punya hak bicara dan diatur segala-galanya. Aku juga kesepian. Aku butuh kehadiran Papa, tapi Papa nggak pernah ada. Kalian memang nggak sayang aku. Papa sama Mama sama-sama mementingkan diri sendiri.”

 

“Kamu salah paham, Nak. Papa sama Mama nggak pernah punya maksud seperti itu. Yang harus kamu tekankan dalam diri kamu, apa yang Papa sama Mama lakukan, aturan-aturan yang sudah kami buat semata demi kebaikan kamu. Kami ingin menjaga dan melindungi kamu dari kejam dan bahayanya dunia luar.” Luthfi mencoba memberi pengertian selembut mungkin, walau perasaannya sendiri sudah kacau balau tidak karuan bentuknya. “Papa minta maaf untuk banyak hal. Papa nggak pernah menyangka kalau kamu akan sebegini terluka. Papa nggak pernah berpikir kamu akan sebegini kehilangan. Memang nggak semestinya kamu dan Santi menjadi korban. Papa mohon maaf. Ini semua salah Papa.”

 

“Percuma, Pa. Sudah nggak penting lagi semua alasan itu. Sudah nggak guna kalau Papa baru ngerasa bersalah. Aku bahagia dengan kehidupan aku yang sekarang. Aku sudah membuktikan sendiri kalau selama ini kalian cuma bicara omong kosong. Kalian terlalu banyak mencekoki aku dengan banyak kebohongan dan menakut-nakuti supaya aku terus terpenjara di rumah ini.” 

 

Medina menghela napas panjang. Dia butuh tenaga banyak karena omongannya masih belum selesai. “Kalau nggak salat, kamu bakal masuk neraka, Nak. Kalau nggak ngaji, hatimu bakal suram. Kamu harus pakai jilbab ke mana pun pergi dan membatasi diri dari pergaulan dengan lawan jenis supaya kamu terjaga dan selamat dari fitnah. Bullshit! Papa sama Mama kelewat kocak tau nggak, sih?”

 

Luthfi melongo melihat bagaimana Medina dengan berapi-api terus mencecarnya dengan serentetan kalimat pedas dan tajam. Medina juga dengan sangat fasih mengikuti setiap nasihat yang selalu papa dan mamanya ucapkan.

 

“Papa harus tau, walaupun nggak salat aku tetap bisa hidup normal seperti manusia lainnya. Nggak ada satu hal apa pun yang hilang dari hidup aku. Tanpa jilbab, aku tetap aman di luar sana. Nggak sembarang cowok bisa dekat karena aku punya prinsip. Aku bukan cewek murahan kayak yang kalian pikir! Nilai-nilai di sekolah juga tetap bagus meski aku sudah lama nggak pernah nyentuh Al-Qur’an. Janganlah terlalu kolot menilai dan mengukur segala sesuatu juga mengaitkannya dengan agama.”

 

Berulang kali Luthfi menggumamkan istighfar sambil mengurut dada. Lelaki itu tidak menyangka kalau Medina sudah demikian jauh dari nilai-nilai agama yang selama ini dia dan mantan istrinya tanamkan. Dia menyesal. Dia sangat menyesal.

 

Eling, Nak. Eling,” pinta Luthfi lirih sebelum jatuh terempas di sofa. Kepalanya mau pecah sekarang. Pandangannya kabur oleh genangan air mata. Dadanya juga kian sesak, sepertinya jantungnya sebentar lagi akan berhenti berdetak. Perdebatan ini sangat menguras emosi. “Hati-hati sama omonganmu, Nak. Allah sedang menguji kamu dengan menyodorkan dunia yang nggak akan pernah ada habisnya memberi kesenangan semu. Tanpa kamu sadari, kamu semakin jauh dari Allah. Kita hidup di dunia ini sementara, Nak. Cuma buat mencari bekal hidup di akhirat nanti.”

 

Medina berdecih. “Nggak usah bawa-bawa akhirat, deh, Pa! Kejauhan banget soalnya. Yang lagi kita omongkan itu masa sekarang,” katanya dengan telunjuk mengacung ke bawah.

 

“Papa menyesal nggak memasukkan kamu ke pesantren seperti saran Mama dulu. Kamu—”

 

“Kenapa segitunya peduli sama pendapat Mama sih, Pa? Padahal ngomong aja Mama nggak bisa, tapi reseknya ampun-ampunan. Harusnya, kalian banyak-banyak introspeksi diri. Kalian yang bikin aku jadi pemberontak kayak gini. 

 

Baiknya Papa juga bilang ke Mama, Mama harusnya banyak-banyak mikir. Kenapa Mama diciptakan cacat? Mama kayak gitu pasti karena Tuhan tau akan secerewet apa dia ngurusin hidup orang. Kecerewetan Mama juga kan yang bikin Papa pergi dari rumah ini?” sela Medina dengan nada bicara semakin tinggi.

 

Meski papanya sudah berulang kali memohon agar dia berhenti bicara, tapi Medina tidak peduli. Dia terus mengeluarkan unek-unek yang selama ini tertahan. Ini benar-benar menyakitkan. Tapi juga sangat melegakan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
DARI NOL KE SERAGAM
147      37     2     
Romance
Aku selalu percaya, jika kita menemani seseorang sejak awal, sejak dia belum punya apa-apa, maka saat dia berhasil kita akan menjadi orang pertama yang ia peluk. Nyatanya, aku salah. Aku bersamanya sejak masih memakai seragam abu-abu putih. Menjadi telinga untuk semua keluhannya, menjadi tangan yang mendorongnya bangkit saat dia hampir menyerah, menjadi bahu yang ia sandari saat dunia teras...
Cinderella And The Bad Prince
3220      1884     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
Bottle Up
3346      1379     2     
Inspirational
Bottle Up: To hold onto something inside, especially an emotion, and keep it from being or released openly Manusia selalu punya sisi gelap, ada yang menyembunyikannya dan ada yang membagikannya kepada orang-orang Tapi Attaya sadar, bahwa ia hanya bisa ditemukan pada situasi tertentu Cari aku dalam pekatnya malam Dalam pelukan sang rembulan Karena saat itu sakitku terlepaskan, dan senyu...
Rumah Tanpa Dede
264      192     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...
Tanda Tangan Takdir
426      323     1     
Inspirational
Arzul Sakarama, si bungsu dalam keluarga yang menganggap status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai simbol keberhasilan tertinggi, selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Kakak-kakaknya sudah lebih dulu lulus CPNS: yang pertama menjadi dosen negeri, dan yang kedua bekerja di kantor pajak. Arzul, dengan harapan besar, mencoba tes CPNS selama tujuh tahun berturut-turut. Namun, kegagal...
Our Perfect Times
2610      1396     8     
Inspirational
Keiza Mazaya, seorang cewek SMK yang ingin teman sebangkunya, Radhina atau Radhi kembali menjadi normal. Normal dalam artian; berhenti bolos, berhenti melawan guru dan berhenti kabur dari rumah! Hal itu ia lakukan karena melihat perubahan Radhi yang sangat drastis. Kelas satu masih baik-baik saja, kelas dua sudah berani menyembunyikan rokok di dalam tas-nya! Keiza tahu, penyebab kekacauan itu ...
Simfoni Rindu Zindy
2295      1379     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...
Ibu Mengajariku Tersenyum
4166      1903     1     
Inspirational
Jaya Amanah Putra adalah seorang psikolog berbakat yang bekerja di RSIA Purnama. Dia direkomendasikan oleh Bayu, dokter spesialis genetika medis sekaligus sahabatnya sejak SMA. Lingkungan kerjanya pun sangat ramah, termasuk Pak Atma sang petugas lab yang begitu perhatian. Sesungguhnya, Jaya mempelajari psikologi untuk mendapatkan kembali suara ibunya, Puspa, yang senantiasa diam sejak hamil Jay...
Public Enemy
1      1     0     
Fantasy
Ziora dianggap orang yang menyebalkan oleh semua orang karena tingkahnya, entah saat di lingkungan rumah atau di lingkungan Kartel sekolah sihirnya. Namun, bagaimana pun sudut pandangnya dan sudut pandang mereka berbeda. Semua hal yang terjadi dan apa yang Ziora rasakan berbeda. Mereka selalu berpikir, dialah dalangnya, dialah pelakunya, tanpa mau mendengarkan penjelasannya. Kenapa ia...
Kenangan Masa Muda
7338      2071     3     
Romance
Semua berawal dari keluh kesal Romi si guru kesenian tentang perilaku anak jaman sekarang kepada kedua rekan sejawatnya. Curhatan itu berakhir candaan membuat mereka terbahak, mengundang perhatian Yuni, guru senior di SMA mereka mengajar yang juga guru mereka saat masih SMA dulu. Yuni mengeluarkan buku kenangan berisi foto muda mereka, memaksa mengenang masa muda mereka untuk membandingkan ti...