Loading...
Logo TinLit
Read Story - Finding My Way
MENU
About Us  

“Norek!” todong Zean membuat Medina mengernyit heran. “Kirimin norek kamu sekarang!”

 

“Apa, Kak?” tanya Medina berharap sedikit penjelasan. Setelah hening yang sangat panjang, tiba-tiba Zean mencetuskan kata itu, tentu membuat Medina bingung.

 

“Norek, Beb! Nomor rekening,” terang Zean setelah menepuk jidat.

 

“Buat apa?” Medina masih tidak mengerti. Sepertinya—lagi-lagi—terlambat makan membuat otaknya semakin lambat mengelola informasi. Menghabiskan waktu seharian ini dengan mengemil dan minum soda membuat perutnya begah dan perih.

 

“Aku mau transfer utangku kemarin, Medina Sayaaang.” Zean gemas. “Sejuta setengah, loh, itu! Jangan bilang kalau kamu sudah nggak butuh duit,” ledeknya.

 

Bibir Medina membulat, sebulat tahu dadakan Bang Fikri langganan Cessa yang mangkal di pinggir jalan depan sekolah. “Kalau cash aja ada nggak, Kak?” Kalau via transfer, Medina khawatir ketahuan mamanya ke mana larinya uang yang dia curi itu. Bukan tidak mungkin dirinya akan makin dicecar dengan segudang pertanyaan yang membuat kepala pening dan otak jadi buntu.

 

Siapa Zean? Ada hubungan apa kamu sama dia? Untuk apa uang itu sebenarnya? Sama Zean, kenal di mana? Apa Zean teman satu sekolah? Zean ini cowok apa cewek? Belum apa-apa, pertanyaan-pertanyaan itu sudah berputar sengit bak gasing dalam benak Medina. Ditambah sorot tajam Latifa yang menghunus layaknya sebuah pedang, Medina tidak yakin apa dia sanggup sekali lagi menghadapi tekanan. Hukuman yang sedang dijalani saat ini saja nyaris membuatnya gila. Jika sampai papa dan mamanya kembali memberi hukuman, Medina tidak tahu apa bisa dia menjaga kewarasannya yang sudah tersisa endapan saja.

 

“Kalau mau uang tunai, pulang nanti kita mampir ke ATM dulu, ya?” tawar Zean.

 

“Siap, Bos!” Medina mengembuskan napas lega. Setidaknya satu masalah sudah menemukan solusi. Semoga setelah ini dana di rekeningnya bisa dicairkan tanpa proses interogasi lagi.

 

“Kalau dipikir-pikir, kamu gini kenapa jadi mirip sama mamamu, ya? Masalahnya, segala transaksi sudah dipermudah dengan adanya m-banking dan uang digital. Eh, kamu malah minta tunai. Apa nggak jadi sama kolotnya kalian berdua?”

 

Tidak ingin menjelaskan secara rinci alasan di balik keputusannya, Medina hanya mengulum senyum. Walau di lubuk hati terdalam Medina tidak terima disama-samakan dengan Mama, dia memilih diam saja. 

 

Oh, big no no! Kami beda, ya! Kurang lebih begitu protes yang disuarakan hati Medina. 

 

“Langitnya makin gelap, Beb. Kayaknya mending kita pulang sekarang. Takut kalau terjebak hujan lagi kayak tempo hari.”

 

Medina segera bangkit dan membersihkan roknya yang kotor oleh butiran pasir. Tidak lupa helm yang tadi ditinggalkan kembali dipasangkan ke kepalanya. Baru mengayun langkah sekali, perutnya bergemuruh tak tahu malu. Medina tercenung, bergeming untuk sesaat. Cewek itu berharap Zean tidak mendengar jerit pilu cacing-cacing di perutnya barusan. 

 

“Sebelum ke ATM kita mampir makan dulu, deh! Aku traktir. Nggak jauh dari sini ada warung sate yang bumbu kacangnya enak banget,” cetus Zean tak acuh.

 

“Sate ayam, Kak?” tanya Medina sekadar memastikan. Yang Medina takutkan, Zean mengajaknya makan sate kelinci atau sate buaya. Jelas dia tidak sanggup memakannya. Jangankan masuk ke perutnya, melewati tenggorokan saja belum tentu bisa 

 

“Iya, sate ayam bukan soto ayam, Medina. Aku baru tahu kalau kelaparan bisa bikin gangguan pendengaran,” cetus Zean.

 

Hawa panas seketika memerahkan pipi Medina. Daripada menyahut, cewek itu memilih diam dan pura-pura tidak mendengar ucapan Zean barusan. Dia putuskan mengayun langkah lebar-lebar mendahului Zean menghampiri si kuda besi nan gagah tapi tidak bisa bergerak sendiri. 

 

Mulut Medina terus bungkam, mengunci rapat-rapat mulutnya bahkan hanya sekadar untuk menguap atau bersendawa. Hingga sepuluh menit berlalu, saat Medina menyadari sesuatu. “Tadi kita lewat jalan ini juga nggak, sih, Kak?” Rumah-rumah kayu dengan pagar berupa tanaman yang rata-rata hanya setinggi dada orang dewasa di sepanjang kanan dan kiri jalan mengundang rasa penasaran Medina. Sama sekali tidak terlihat pohon-pohon besar yang sebelumnya mereka lalui. Sepasang mata merah menyala yang menyorotnya minggu lalu juga tidak tampak. 

 

“Nggak,” sahut Zean singkat. 

 

Ada jalan alternatif, tapi kenapa Zean memilih melewati hutan? “Kak Zean sengaja ngerjain aku, ya?” tanya Medina dengan nada sedikit tinggi karena emosi. Galak tawa Zean menjawab pertanyaan Medina. 

 

“Ah, Kak Zean nyebelin!” pekik Medina geram sambil memukuli punggung Zean dengan membabi buta. Medina menyesal telah berbaik sangka. Tuduhan yang mati-matian ditahan untuk dilemparkan pada Zean, nyatanya memang fakta tak terbantahkan.

 

“Aduh, sakit!” rintih Zean saat telapak tangan Medina menghujani punggungnya. Zean pasrah dipukuli karena tidak bisa melarikan diri. “Eh eh eh, nanti kita jatuh, woy!” teriaknya saat motor yang mereka tumpangi mulai oleng. Tidak berapa lama tawanya kembali terdengar. 

 

“Kak Zean nyebelin!”

 

-***-

 

Kelezatan sate ayam yang Zean bilang terbukti bukan sekadar janji manis belaka. Medina makan dengan lahap hingga piringnya bersih tanpa sedikit pun noda. Meskipun cukup segan, kali ini dia memilih untuk mengesampingkan rasa malu. Perutnya wajib diprioritaskan. Daripada dia pingsan karena kelaparan. Tidak cuma membuat malu, tapi juga membikin susah Zean. Dengan sedikit improvisasi dan modifikasi, Medina bahkan menciptakan pepatahnya sendiri: malu-malu saat kelaparan, siap-siap pingsan di jalan. Tidak dapat dibayangkan, malunya pasti membekas selama hayat dikandung badan.

 

“Mau tambah?” tanya Zean saat melihat Medina celingukan seperti tengah mencari-cari sesuatu. 

 

“Nggak, sudah cukup ini.” Medina diam lagi. Dipandanginya wajah Zean yang duduk di hadapan bersekat meja kayu yang dilapisi karpet bermotif papan catur. Mecondongkan sedikit tubuhnya, Medina lantas berbisik, “Aku kebelet pipis.”

 

Zean menyeringai. Yang dia pikirkan tadi ternyata salah. “Kayaknya di sini nggak ada toilet, deh!” Warung makan ini sangat sederhana. Jangankan toilet, mencuci peralatan makan dan minum saja di bawah tenda darurat dan menggunakan air seadanya.

 

Debas keras terlepas dari mulut Medina. Dia tampak sekali kecewa. Bahunya langsung merosot lesu. 

 

“Masih bisa ditahan nggak?” Zean mulai panik. Bagaimana kalau Medina mengompol seperti anak TK? Kalau sudah di ujung tanduk, hal itu tampaknya sangat mungkin terjadi.

 

“Masih,” sahut Medina ragu. Dua detik kemudian cewek itu cepat-cepat menambahkan, “Tapi nggak bisa lama-lama.”

 

“Kalau gitu kita cabut sekarang aja. Beberapa meter lagi ada SPBU. Kamu bisa ke toilet sementara aku ke ATM center buat ngambil duit.”

 

Tanpa basa-basi atau menunggu Zean bicara lagi, Medina langsung berdiri. “Ayo!” ajaknya dengan semangat menggebu.

 

Zean dan Medina kembali melanjutkan perjalanan. Mereka singgah di pom bensin seperti yang Zean janjikan. Usai menuntaskan hajatnya alias memenuhi panggilan alam, Medina kembali mendatangi Zean. Rupanya lelaki itu sudah lebih dulu menyelesaikan urusannya. “Nih!” Lima belas lembar uang seratus ribuan diserahkan pada Medina. “Lunas, ya!” Begitu katanya. 

 

“Senang bertransaksi dengan Anda,” balas Medina. Mereka sama-sama tertawa. 

 

Meski tidak tahu apa pekerjaan Zean, Medina senang cowok itu sudah punya penghasilan sendiri. Dengan begitu Zean tidak perlu mengharapkan belas kasihan dan uluran tangan kedua orang tuanya lagi. Zean bisa dengan bangga menunjukkan bahwa dia mandiri. Zean kuat berdiri tegak di atas kaki sendiri tanpa campur tangan ayah-bundanya yang sudah tidak lagi peduli.

 

Tanpa terasa mereka sudah kembali memasuki wilayah perkotaan. Lalu lalang kendaraan meramaikan malam yang gelap tanpa cahaya bulan. “Pulang malam gini apa nggak bikin mamamu makin marah?”

 

Medina menjawab tanpa berpikir. “Paling-paling kena amuk lagi.” Sudah biasa! 

 

“Tapi mamamu nggak main tangan, kan?”

 

“Maksudnya?” Berlagak bodoh, Medina balas balik bertanya.

 

“Mamamu nggak nyakitin fisik kamu, kan? Yang kayak gitu maksudnya main tangan, Medina Sayang ….”

 

Medina diam, tidak membenarkan, tapi tidak juga menyangkal pernyataan Zean. Karena faktanya selama ini mamanya memang main tangan, walaupun bukan untuk memukulinya. Latifa bicara melalui gerakan kedua tangannya. Latifa yang bisu, tetap saja cerewet di mata Medina. Apalagi suara-suara tidak jelas yang keluar dari mulut perempuan itu saat mengomel. Sangat menyebalkan! Selain sikap otoriter, suara mamanya adalah hal yang paling Medina benci.

 

“Kali ini aku nggak akan ngebiarin kamu pulang sendiri,” tegas Zean. “Kalau nggak mau diantar sampai depan rumah, depan gerbang kompleks pun jadi.” Zean memberi pilihan.

 

Medina tidak menolak kali ini. Dia sudah sangat lelah. Walaupun pada kenyataannya, dia tidak begitu yakin akan bisa langsung berebah nyaman di pembaringan. Medina senang Zean perhatian padanya.

 

Astaghfirullah, Medina! Kenapa baru pulang jam segini? Siapa laki-laki yang sudah mengantarkan kamu tadi?” Lengkingan suara Luthfi membelah kesunyian. Tidak ada Latifa di sana. Tidak ada Santi juga.

 

Medina meneguk ludah. Padahal ini bukan jadwal kunjungan papanya. Cewek itu tidak menyangka akan tertangkap basah. Ini namanya mengatasi masalah dengan masalah!

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tok! Tok! Magazine!
156      137     1     
Fantasy
"Let the magic flow into your veins." ••• Marie tidak pernah menyangka ia akan bisa menjadi siswa sekolah sihir di usianya yang ke-8. Bermodal rasa senang dan penasaran, Marie mulai menjalani harinya sebagai siswa di dua dimensi berbeda. Seiring bertambah usia, Marie mulai menguasai banyak pengetahuan khususnya tentang ramuan sihir. Ia juga mampu melakukan telepati dengan benda mat...
FLOW : The life story
173      156     0     
Inspirational
Dalam riuh pikuknya dunia hiduplah seorang gadis bernama Sara. Seorang gadis yang berasal dari keluarga sederhana, pekerja keras dan mandiri, gadis yang memiliki ambisi untuk mencari tujuannya dalam berkehidupan. Namun, dalam perjalanan hidupnya Sara selalu mendapatkan tantangan, masalah dan tekanan yang membuatnya mempertanyakan "Apa itu kebahagiaan ?, di mana itu ketenangan ? dan seperti apa h...
Monokrom
184      155     1     
Science Fiction
Tergerogoti wabah yang mendekonstruksi tubuh menjadi serpihan tak terpulihkan, Ra hanya ingin menjalani kehidupan rapuh bersama keluarganya tanpa memikirkan masa depan. Namun, saat sosok misterius bertopeng burung muncul dan mengaku mampu menyembuhkan penyakitnya, dunia yang Ra kenal mendadak memudar. Tidak banyak yang Ra tahu tentang sosok di balik kedok berparuh panjang itu, tidak banyak ju...
Sosok Ayah
931      520     3     
Short Story
Luisa sayang Ayah. Tapi kenapa Ayah seakan-akan tidak mengindahkan keberadaanku? Ayah, cobalah bicara dan menatap Luisa. (Cerpen)
Ikhlas Berbuah Cinta
2667      1377     0     
Inspirational
Nadhira As-Syifah, dengan segala kekurangan membuatnya diberlakukan berbeda di keluarganya sendiri, ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di pihaknya, sering 'dipaksa' mengalah demi adiknya Mawar Rainy dalam hal apa saja, hal itu membuat Mawar seolah punya jalan pintas untuk merebut semuanya dari Nadhira. Nadhira sudah senantiasa bersabar, positif thinking dan selalu yakin akan ada hikmah dibal...
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
5641      1819     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
Bifurkasi Rasa
167      142     0     
Romance
Bifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah rasa sesal ini tetap ada, agar aku bisa merasakan kehadiranmu yang telah pergi. --Nara "Kalau suatu saat ada yang bisa mencintai kamu sedal...
Supardi dan Supangat
1880      866     1     
Humor
Ini adalah kisah Supardi dan Supangat si Double S yang Bermukim di Kampung Mawar. Keduanya bagaikan GALIH DAN RATNA yang selalu bersama mengukir kenangan (ceuilehh.. apasih) Terlahir dari rahim yang berbeda tetapi takdir mempertemukan mereka dengan segala ke-iba-an yang melanda
Kembali ke diri kakak yang dulu
2475      1440     10     
Fantasy
Naln adalah seorang anak laki-laki yang hidup dalam penderitaan dan penolakan. Sejak kecil, ia dijauhi oleh ibunya sendiri dan penduduk desa karena sebuah retakan hitam di keningnya tanda misterius yang dianggap pertanda keburukan. Hanya sang adik, Lenard, dan sang paman yang memperlakukannya dengan kasih dan kehangatan. Ini menceritakan tentang dua saudara yang hidup di dunia penuh misteri. ...
GEANDRA
732      559     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...